22. Feeling Guilty

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika aku punya kesempatan untuk menghabisi hidup seseorang, maka orang itu adalah Aditya. Tak diragukan lagi. Aku membencinya setengah mati setelah apa yang ia lakukan padaku. Menyebarkan gosip pada keluarga besar Mama tentang penyakit mental yang didera Arcano, dan sekarang ia bahkan memberitahu pada Mama tentang semuanya. Serius, aku benar-benar tak tahu apa yang ada di benaknya. Apa yang ia inginkan sebetulnya? Apa ia sebegitu terobsesinya denganku? Sampai-sampai ia ingin berurusan segala hal tentangku?

Hanya dengan mengingat dirinya, darahku rasanya mendidih.

"Ge, bisa kita mengobrol sebentar?" Panggilan lembut dari Pak Herry membuyarkan lamunanku. Pria itu datang ke kamar dan berbicara dengan nada pelan. Raut wajahnya serius. Ekspresi wajah itu pernah kulihat manakala kami pertama bertemu. Ketika beliau mengajakku mengobrol sepulang kerja, lalu mulai berbicara segala hal perihal Arcano, tentang depresi dan juga trauma-traumanya. Mengingat ekspersinya yang seperti ini, dadaku berdesir. Pasti, ada sesuatu hal yang teramat penting untuk dibicarakan perihal putranya.

Aku menatap bergantian ke arah jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam, kemudian ke arah Arcano yang tengah terlelap. Setelah sempat menangis nyaris seharian, akhirnya lelaki itu tertidur karena kelelahan.

"Ya, Pa." Aku menyahut pendek lalu bangkit. Bergerak pelan keluar kamar mengikuti Pak Herry yang sudah melangkah terlebih dahulu menuju ruang tengah. Kami duduk di kursi panjang menyerupai meja pertemuan. Walau jarang digunakan untuk acara kumpul-kumpul, vernis meja kayu tersebut mulai pudar. Tak sekinclong meja kayu di rumah orang kaya pada umumnya. Mungkin Pak Herry berpikir, tidak penting merawat barang yang jarang sekali digunakan. Aku pun akan melakukan hal sama jika di posisi itu.

"Perihal kedatangan Mamamu yang mendadak hari ini, Bapak benar-benar minta maaf. Besok atau lusa, bapak akan menemui Mamamu secara langsung untuk--"

"Kenapa harus papa yang minta maaf?" potongku. "Papa nggak perlu minta maaf. Mama yang telah lancang datang kemari tanpa pemberitahuan terlebih dahulu."

"Tapi, Ge..." Pak Herry menarik napas berat. "Bapak tetap saja merasa bersalah karena nggak jujur tentang keadaan Arcano. Sebetulnya nggak ada niat untuk membohongi keluarga besarmu. Tapi--"

"Papa nggak berbohong. Sejak awal papa sudah bicara jujur tentang keadaan Arcano dan saya bisa menerima. Jadi nggak ada masalah." Aku menggeleng beberapa kali.

"Tapi, Ge ...."

"Urusan Mama, biar saya yang selesaikan, Pa." Aku berujar tegas. "Papa nggak perlu datang ke sana, nggak perlu juga bicara lagi dengan Mama. Saya juga nggak berpikir untuk mengajak Arcano berkunjung mengingat keadaannya yang nggak terlalu baik."

Pak Herry menatapku dalam, masih terlihat keberatan dengan keputusanku. Pria yang terlihat lelah itu kembali menarik napas panjang lalu mengangkat bahu. Sampai kemudian beliau berujar, "Ge, ajaklah Arcano pergi. Kemana saja. Berpergianlah."

Aku tercengang. Pergi?

"Bawa dia pergi dari sini. Mulailah hidup baru, di tempat baru. Atau lakukan perjalanan kemanapun yang kalian suka. Demi kebaikan Arcano, dan juga dirimu." Pak Herry kembali berkata. "Bapak khawatir, jika terus menerus berada di sini, maka keadaan jiwa Arcano akan makin memburuk. Dan bapak yakin, kamu juga nggak akan baik-baik saja. Jadi sebelum semua terlambat, bawa dia pergi, Ge." Sorot mata Pak Herry tampak sendu.

Aku menelan ludah. Bepergian dengan Arcano tak ada gambaran sedikitpun dalam benakku.

"Dulu bapak sempat ingin membawanya pergi, ke suatu tempat yang baru, agar kami bisa memulai hidup yang baru. Tapi dia selalu menolak. Kali ini, barangkali saja dengan adanya dirimu, dia mau." Pak Herry kembali berujar sebelum aku mampu berpikir terlalu jauh akan ide beliau.

"Kami harus ke mana?" tanyaku pelan.

"Ke mana saja. Travelling dari satu kota ke kota lain. Atau pergi saja ke luar negeri. Habiskan waktu berdua, menjelajah tempat baru, bertemu dengan orang-orang baru. Jangan khawatir masalah biaya. Bapak sudah menyiapkan tabungan sendiri untuk Arcano." Pria itu kembali berujar bijak. Entah perasaanku saja atau bagaimana, tapi kerut di wajah Pak Herry terlihat semakin kentara. Wajah itu nampak lelah.

"Kalau kami pergi, bagaimana dengan Papa?" Kali ini aku bertanya ragu.

"Bapak akan tetap di sini, mengurusi bisnis, tentu saja. Bapak sudah sempat berbicara dengan beberapa saudara jauh, dan mereka siap membantu." Beliau berujar tegas.

"Kenapa kita tidak bepergian bertiga saja, Pa?" Aku menawarkan sebuah ide yang menurutku luar biasa. Akan terlihat sempurna bila kami bisa pergi bersama, bukan? Memulai segalanya dengan hal baru, bertiga.

Pak Herry tersenyum hambar lalu menggeleng pelan. "Bapak terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh, Ge. Jangan pikirkan Bapak. Bapak akan baik-baik saja di sini." Ia berkata.

"Tapi, Pa ...."

"Lakukanlah, bahagiakan diri kalian. Bapak memberikan restu."

Melihat keteguhan hati pada diri Pak Herry, aku diam membisu. Mencoba berpikir dengan baik, apakah aku dan Arcano memang sebaiknya bepergian saja? Menghabiskan waktu berdua, memulai segalanya dengan hal baru. Agar segala sesak yang kami alami bisa menguar pergi?

"Nanti saya akan bicara dengan Cano, Pa," ucapku kemudian.

Pak Herry kembali tersenyum lembut lalu mengangguk. Ada binar bahagia pada rona wajahnya yang makin menua. Binar bahagia dipadu dengan harapan baru. Terlihat jelas kalau beliau ingin kami, aku dan Arcano, pergi.

***

Hangat sinar matahari menjelang senja menerpa sebagian hamparan bunga dan juga pohon-pohon sekitar. Arcano sedang duduk-duduk di pinggir kebun, di bawah pohon angsana kesukaannya. Sejak peristiwa kedatangan Mama ke rumah, Arcano tak banyak bicara. Walau bibirnya tersenyum manakala kuajak ngobrol, sinar matanya tak bisa berbohong. Sendu, layu. Seperti bunga Morning Glory yang tengah ia pandangi.

"Sayang ..." panggilku riang lalu ikut duduk di sebelahnya kemudian berdusal manja. Arcano menoleh lalu terkekeh pelan. Tangannya terulur, mengusap kepalaku dengan lembut. Kusandarkan kepalaku di bahunya dan untuk beberapa waktu berikutnya, kami menghabiskan waktu dengan berdiam diri. Tatapan Arcano tak beralih dari hamparan tanaman di hadapannya. Sementara aku sendiri sedang mengatur nyali agar berani menyampaikan ide Pak Herry pada dirinya. Tentang bepergian dan menghabiskan waktu berdua ke luar negeri. Entah bagaimana reaksinya jika aku mengajaknya pergi dari sini.

"Cano ...." Akhirnya, setelah mengumpulkan segala keberanian, aku memutuskan untuk membahas tentang ide tersebut. Arcano hanya menyahut pendek. Tatapannya tak beralih ke arahku.

"Bagaimana kalau kita bepergian? Ayo lakukan perjalanan ke luar negeri. Travelling, ke tempat-tempat yang belum pernah kita kunjungi." Aku berujar kemudian.

Cano menoleh, kali ini tatapan kami beradu. "Bepergian?" Ia mengulang.

Aku tersenyum lalu mengangguk dengan antusias. "Iya, ayo travelling. Kemana kamu ingin pergi? Aku ingin ke Perancis. Ke Norwegia juga ingin, atau ke Austria? Irlandia juga boleh. Mungkin ... Skotlandia saja? Siapa tahu bisa ketemu tempat yang bagus di Edinburgh. Aku ingin sekali tinggal di sana. Countryside di sana sepertinya luar biasa ... "

Arcano mendengarkan ocehanku dengan saksama.

"Atau, mau coba ke Asia tenggara dulu? Atau Asia Selatan? Banyak yang bilang kalo Kasmir itu keren. Mungkin bisa kita susun dulu mappingnya." Walau mendapatkan respon yang datar, aku tetap berusaha untuk terlihat antusias. Mencoba sekuat tenaga menggali info tentang tempat-tempat yang barangkali saja menarik perhatian Arcano.

"Aku sudah mengobrol dengan Papa dan beliau memperbolehkan. Jadi kupikir ---"

"Travelling dalam jangka waktu yang lama 'kan berarti?" Ia memotong. Tatapannya tetap datar.

Aku mengangkat bahu akan pertanyaan tersebut. "Ya, bisa jadi. Bisa berminggu-minggu, atau berbulan-bulan."

Arcano terdiam lagi. Sejenak ia menunduk, lalu berujar, "Aku nggak bisa, Ge. Nanti ibu bagaimana?"

Aku menelan ludah. Ibu ... Ibu Arcano ...

Tetap dengan mengukir senyum, aku menangkup pipinya dengan kedua tangan. "Kan ada Papa. Papa yang akan menjaganya," jawabku.

Dan pria itu kembali menggeleng pelan. "Maafkan aku, Ge, aku nggak bisa. Walaupun ada Papa, aku tetap saja nggak tega ninggalin Ibu sendirian."

Aku kembali menelan ludah. Rasanya ada yang berderak di dada. Tersenyum kaku, akhirnya aku berujar, "Baiklah. Nggak apa-apa. Mungkin ... lain kali saja kalau kamu sudah berubah pikiran, kita bisa membahas ini lagi." Menarik tangan dari wajah Arcano, tatapanku beralih ke arah hamparan bunga. Lagi-lagi hening tercipta. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menemani Arcano sampai ia bersedia masuk ke rumah.

***

Mas Oky dan Mbak Susan menatapku dengan ekspresi syok. Setelah sekian lama, aku baru bisa datang ke studio foto. Dan dalam kesempatan itu, aku menceritakan segalanya pada mereka berdua. Bahwa aku ingin benar-benar berhenti dari studio foto dan memilih untuk menemani bisnis suami. Ya, aku ceritakan saja bahwa aku sudah menikah, dengan pria tampan berambaut panjang serupa legolas yang tengah sibuk membantu bisnis orang tuanya, sehingga aku memutuskan untuk membantunya juga.

"Serius? Kamu sudah nikah?" Mbak Susan berteriak haru. Ketika aku kembali mengangguk, perempuan itu menghambur dan memelukku erat. "Selamat ya, Ge. Semoga senantiasa bahagia. Kok nggak bilang-bilang sih," ujarnya.

"Nggak ada niat sembunyi-sembunyi, Mbak. Cuma waktu itu, tiba-tiba aja semua berjalan cepet. Serba mendadak. Jadi ya udah deh, yang penting sah dulu." Aku menjawab. Kali ini Mbak Susan menarik diri lalu menatap perutku. Mas Oky pun melakukan hal yang sama.

Aku tergelak, lalu menggeleng. Kenapa ya setiap ada orang yang menikah mendadak dan terkesan diam-diam, mesti dikira hamil duluan?

"Nggak, aku nggak hamil. Sumpah," ujarku. Dan keduanya manggut-manggut. "Kupikir karena itu, makanya nikahnya cepet-cepetan." Mas Oky berkomentar.

Aku menepuk lengannya gemas. "Nggak, Mas. Emang kebetulan aja dapat jodohnya cepet-cepetan." Aku terkekeh.

"Ya udah, nggak apa-apa kalo pengen break dulu. Ntar kalo ada kesempatan, bikin studio foto sendiri juga bagus. Kamu punya bakat." Mas Oky menyarankan.

Aku mengangguk. "Iya, Mas. Aku juga sudah kepikiran itu, kok. Ntar deh, kalau sudah mapan, pengen bikin studio foto sendiri," jawabku berbasa-basi.

Mas Oky mengacungkan jempol. Sebenarnya ada rasa tak tega meninggalkan tempat ini. Terlebih ketika hubunganku dengan Mas Oky maupun Mbak Susan sudah seperti saudara. Terutama Mas Oky yang sudah kuanggap sebagai kakak lelaki. Lihatlah, walaupun dia punya studi foto, ia tetap menyarankan diriku untuk bikin sendiri tanpa merasa takut tersaingi.

"Keep in touch, ya, Ge. Sering-sering main ke sini. Jangan putus komunikasi. Ntar kenalin kami ke suamimu juga kalo sempat. Oke?" ucap pria tersebut. Aku tersenyum lalu mengangguk. Untuk beberapa waktu berikutnya, kami menghabiskan waktu untuk mengobrol, membicarakan banyak hal, termasuk soal rencana studio foto yang kemungkinan besar akan punya cabang di beberapa tempat, dan juga rencanaku sendiri bersama Arcano. Aku bilang pada mereka bahwa kemungkinan kami akan melakukan travelling bila ada waktu. Anggap saja ini semacam doa, agar suatu saat nanti Arcano bersedia pergi bersamaku dan melupakan ibunya.

Semoga ...

Setelah puas mengobrol dan menyadari waktu yang semakin gelap, aku pamit. Memeluk Mas Oky dan Mbak Susan dengan hangat, aku meninggalkan studio foto tersebut.

Aku sedang berusaha mencari taksi ketika ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Mama.

[Ge, datanglah ke rumah. Penting.]

Hanya sebuah pesan pendek dan terdiri beberapa kalimat saja, tapi tetap saja kubaca berulang. Sempat bertanya-tanya dalam hati, kenapa tiba-tiba Mama ingin aku ke rumah? Apa urusan kemarin belum selesai? Karena takut Mama akan kalap lagi dan datang ke rumah Arcano, akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi panggilan tersebut. Setelah mendapatkan taksi, aku segera meminta pak sopir untuk meluncur ke rumah Mama.

***

Aku sampai di rumah Mama sekitar pukul tujuh kurang sepuluh menit. Ketika sampai di sana, rumah kelihatan sepi. Dulu, di jam-jam segini, Papa dan Mama biasanya duduk di teras samping. Menghabiskan waktu dengan mengobrol atau juga sekadar menatap kolam ikan mungil berisi beberapa ekor ikan emas.

Pintu tak tertutup. Tanpa memberi salam atau memberikan tanda kedatangan, aku masuk begitu saja. Menyusuri ruang tamu, menuju ruang tengah. Dan di sana, di ruang makan, terlihat mereka duduk berkumpul. Mama, Papa, dan Amel.

Mama dan Papa duduk berdiam diri, sementara adik perempuanku itu terlihat menangis. Air matanya bercucuran, sementara bahunya terguncang dan napasnya terisak. Nampak bahwa perempuan itu sudah lama menghabiskan waktunya dengan menangis.

"Apa aku mengganggu?" sapaku.

Ketiga orang di ruangan itu menoleh. Melihat diriku, tangis Amel kian meledak. Sementara tatapan Mama tajam dan diselimuti amarah. Perempuan itu bangkit, bergerak mendekatiku dan ... plakk!

Sebuah tamparan kuterima di pipi. Keras, hingga membuat tubuhku sempat terhuyung.

"Ternyata kamu benar-benar menunjukkan derajatmu sebagai perempuan murahan!" Mama berteriak. Aku menyibakkan rambut dan balas menatap Mama, membuat tatapan kami beradu, hingga entah kenapa rasa sakit di pipi tiba-tiba lenyap seketika. Ini bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi. Tiba-tiba Mama marah, lalu menamparku.

Ketika perempuan itu berniat kembali mengayunkan tangan dan hendak memukulku, Papa sigap bergerak dan menghalau lengannya. Tangis Amel tak kunjung reda.

"Lepaskan! Anak perempuan ini pantas menerimanya. Dia harus ditampar, dipukul, agar otaknya bisa waras!" Mama kembali berteriak, dan Papa terus berusaha menenangkannya. Ah, selalu saja drama yang sama.

"Cepat selesaikan apa maunya Mama, dan setelah itu aku mau pulang." Aku berujar santai. Papa menatapku protes, berharap aku tak memberikan respon provokatif. Tapi aku abai. Biarkan saja.

"Amel batal nikah. Dan itu semua gara-gara kamu!" Mama kembali berteriak. Kali ini beliau benar-benar kalap.

"Sorry? Is that something to do with me?" balasku. Menatap bergantian ke arah Mama dan Amel tanpa ekspresi berlebih.

"Kenapa Mbak tega melakukan ini padaku? Kenapa, Mbak? Kenapaaaa?!" Amel meraung sejenak, lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia terisak lagi.

Aku mengangkat bahu bingung. "Aku ... apa?" Menatap ke arah Mama dengan bingung. Rahang perempuan itu kaku. Ia tetap menatapku dengan mata berkilat.

"Bisa-bisanya kamu melakukan ini, Ge?" desisnya dengan gigi terkatub. Air matanya mulai berjatuhan. Mama juga menangis.

"Bisa-bisanya kamu ..." Kalimatnya terjeda. "Bisa-bisanya kamu tidur dengan calon suami adikmu sendiri?"

Aku menelan ludah. Kali ini tubuhku yang mendadak kaku.

***

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro