23. It Hurts

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dia bilang apa padamu?" Tatapanku beralih ke arah Amel. Perempuan itu masih menyembunyikan tangisnya di balik telapak tangan. Karena tak mendapat respon, aku bergerak mendekatinya. Berdiri di seberang meja, tepat di hadapannya. Menegakkan punggung, aku kembali memberikan pertanyaan yang sama. "Jadi si brengsek itu bilang apa padamu?"

"Ge!" Mama membentak. Mungkin ia tak terima aku menyebut calon menantunya dengan Si Brengsek. Oh, ralat. Bukankah sekarang ia sudah jadi mantan calon menantu. Ah, andai Mama tahu sosok Aditya yang sebenarnya, ia akan sangat berterima kasih padaku karena telah menyelamatkan putri kesayangannya.

Aku tak terprovokasi oleh amarah Mama. Pandanganku tetap tak beralih pada sosok Amel yang masih saja duduk lemah di kursinya.

"Baiklah, biar kutebak. Ia pasti bilang aku yang datang ke apartemennya, menggodanya, dan ... akhirnya kami terlibat hubungan terlarang. Setelahnya, ia bertindak playing victim. Untuk mengamankan dirinya dari dosa, ia bilang padamu bahwa ia tak mampu melanjutkan rencana pernikahan kalian karena ia merasa bersalah padamu. Ia pasti juga mengatakan bahwa, kamu terlalu baik untuk dirinya. Kurang lebihnya, pasti seperti itu. Ya, kan?" Aku berujar datar.

Amel membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya, lalu menatap diriku dengan tajam. Wajahnya sudah dipenuhi oleh air mata. "Memang kenyataannya begitu, kan? Mbak pasti yang sengaja datang ke apartemennya dan menggoda dirinya." Suaranya serak karena terlalu banyak menangis.

Aku terkekeh sinis. "Dan kamu percaya?"

"Tentu saja!" Ia berteriak. "Mengingat kelakuan Mbak selama ini yang murahan, aku percaya pada Mas Aditya. Aku mengenalnya dengan baik. Ia nggak mungkin tergoda kalau bukan Mbak yang mulai duluan."

Kali ini tawaku benar-benar tak mampu kutahan.

"Kenapa Mbak Ge tertawa? Apanya yang lucu? Murahan begini, kok." Amel kembali berteriak sembari menatapku tajam. "Sejak dulu begitu. Sudah berapa kali Mbak Ge merebut pacarku. Sejak SMA, lalu kuliah, dan sekarang? Mbak Sinting atau bagaimana? Kurang belaian? Kurang kasih sayang? Atau iri? Coba ngomong!" Amel tampak makin kalut.

Lagi-lagi aku terkekeh sinis. "Semua bener," jawabku enteng. "Karena aku kurang belaian, kurang kasih sayang, dan iri. Aku memang nggak pengen melihatmu bahagia," lanjutku. Amel membelalak. Mulutnya berdesis karena marah.

"Gloria!" Ia meneriakkan namaku lantang. Dan aku bergeming, tak gentar sama sekali. Ketika aku menoleh dan menjatuhkan pandanganku pada Mama, amarah di wajahnya tetap tak sirna. Bahkan boleh dibilang semakin tak terbendung. Kemarahannya sama dengan yang ditunjukkan Amel. Ah, dua wanita ini benar-benar membuatku gila.

"Mama dengar sendiri, kan? Karena Mama memperlakukan kami berbeda, makanya aku jadi begini. Jadi jangan pernah berpikir bahwa semua kekacauan ini bermula dari diriku sendiri. Ingat baik-baik, Mama ikut andil." Gigiku terkatub. "Bagaimana bisa kami yang dilahirkan dari rahim yang sama, tapi diperlakukan layaknya bumi dan langit? Satunya berharga seperti perhiasan, dan satunya hina layaknya sampah." Kali ini bibirku berdecih jijik.

Mama merangsek ke arahku, mencoba memukulku berkali-kali. Walau akhirnya Papa berhasil menarik tubuhnya dan berusaha kembali menenangkannya. Tapi toh pukulannya sempat mengenai dada dan pipiku. Anehnya, aku mati rasa. Tak ada rasa sakit sama sekali.

Tatapanku kembali kuarahkan pada Amel. "Kenapa kamu nggak bersyukur, Mel? Setiap lelaki yang dekat denganmu dan pada akhirnya tergoda padaku, itu tandanya mereka brengsek. Pun begitu dengan Aditya. Dia bajingan."

"Mas Aditya bukan lelaki seperti itu. Mbak yang sengaja menggodanya!" Amel menjawab cepat.

Bibirku berdecih lagi. "Andai memang benar aku yang menggodanya duluan, dan ia tergoda, jatuh ke pelukanku, kamu masih mau menerima dirinya?"

"Kenapa enggak? Yang brengsek Mbak Ge, bukan Mas Aditya." Perempuan itu bersikeras. Demi Tuhan, apa ia terlalu buta karena cinta.

"Aku nggak tahu sebesar apa sakit hati Mbak Ge padaku. Aku nggak tahu sebencai apa Mbak padaku karena perlakuan Mama. Tapi ...." Air mata Amel kembali tak terbendung. "Kita kan sama-sama perempuan, Mbak. Bagaimana andai kondisi berbalik? Aku yang menggoda suami Mbak Ge, dan ia tergoda, pasti Mbak juga hancur, kan?"

Aku menggeleng. "Kenapa harus hancur? Bukankah itu lebih bagus, itu artinya ia lelaki brengsek," jawabku. "Andai kamu bisa menggoda Arcano, dan ia jatuh ke pelukanmu, akan kuberikan ia padamu. Ambil saja. Aku nggak pernah takut kehilangan lelaki yang tak setia," tegasku.

"Tapi aku nggak mau kehilangan Mas Aditya." Amel bangkit dari tempat duduknya.

"Terserah. Kamu pikir aku peduli? Aku sudah berusaha menunjukkan siapa dia sebenarnya, tapi jika kamu tetap bersikeras ingin bersamanya, aku bisa apa?" jawabku sengit. "Dia yang minta pernikahan kalian batal, kan? Memohon saja padanya untuk berbaikan kembali. Itupun kalau kamu nggak punya harga diri." Aku menatapnya dari atas ke bawah. "Kurasa sih, enggak," sindirku.

Amel menggebrak meja. "Pergi dari sini! Aku nggak sudi melihat wajah Mbak lagi!" usirnya.

Aku balas menggebrak meja dan menatap wanita di hadapanku itu dengan mata berkilat. "Jangan kamu pikir aku suka datang kemari. Mama yang memintaku! Asal kamu tahu, aku nggak mau berhubungan lagi denganmu ataupun dengan Mama! Aku ingin enyah dari kehidupan kalian!" teriakku.

"Enyah saja kamu dasar anak durhaka!" Mama menyahut dengan suara menggelegar.

Aku menoleh dan menatap Mama dengan marah. "Karena itu jangan pernah menghubungiku lagi atau memintaku datang kemari! Aku juga nggak suka Mama datang ke rumah Arcano!" balasku dengan suara tinggi. Setelahnya aku kembali menatap Amel dan berujar, "Aku nggak akan meminta maaf atas perbuatanku. Aku tidur dengan calon suamimu sebelum kalian bertunangan, dan aku belum menikah. Jadi kuanggap itu sesuatu hal yang harusnya sudah selesai. Jika lelaki itu memilih untuk mengungkitnya, itu bukan urusanku lagi."

Mengibaskan rambutku yang tadi sempat berantakan karena pukulan Mama, aku bergerak meninggalkan ruang tersebut. Namun langkahku terhenti ketika kulihat sosok itu ada di sana, berdiri mematung di balik pintu. Tubuhku membeku seketika.

"Cano ...?" desisku tak percaya. Aku mengalihkan pandangan kembali ke arah Mama, Papa dan juga Amel. Terlihat mereka juga tampak kaget dengan keberadaan Arcano di tempat tersebut.

"Bagaimana kamu ... bisa di sini?" tanyaku dengan suara terbata. Arcano yang tadinya menjatuhkan pandangannya ke ubin, kini mendongak dan menatapku dalam.

"Aku khawatir karena kamu belum pulang-pulang. Jadi aku menyusulmu ke studio foto. Mereka bilang, kamu sudah pulang sejak sore tadi. Aku mencoba menghubungi ponselmu tapi nggak kamu angkat. Menelpon Papa dan dia bilang kamu belum sampai rumah. Jadi, akhirnya ke sini." Arcano menjawab gamblang.

"Sejak kapan kamu di sini?"

"Sejak tadi."

Aku menelan ludah kembali. Udara dingin tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh. Buru-buru aku menggamit lengannya dan menariknya pelan. "Ayo pulang," ajakku. Pria itu tak membantah. Tanpa berpamitan ataupun menoleh kembali, kami melangkah cepat meninggalkan tempat tersebut. Ternyata Arcano memarkir mobilnya di seberang jalan. Wajar saja jika kami tidak mendengar kedatangannya.

Setelah sampai mobil, aku segera duduk di kursi penumpang, dan Arcano berada di belakang kemudi kemudian menjalankan kendaraan tersebut dengan kecepatan sedang. Selama dalam perjalanan, ia tak membuka suara. Situasi mendadak sunyi. Arcano dalam versi yang tak banya bicara adalah yang paling tak kusuka. Aku kesulitan memahami dirinya yang seperti ini.

Melirik sekilas ke arahnya, wajahnya dingin. Pun begitu dengan tatapannya. Ia bahkan tak menoleh sedikitpun ke arahku. Aku meremas tanganku dengan gemetar.

"Sudah lama kamu berdiri di sana?" tanyaku ragu.

"Ya." Arcano menjawab pendek. Suaranya lirih.

"Kamu dengar semuanya?"

"Ya." Lagi-lagi ia menyahut pelan.

Aku menggigit bibir. Pertahananku runtuh. Tanpa mampu kubendung, air mataku berjatuhan titik demi titik.

Aku merasa kotor.

***

Arcano tetap tak bersedia membuka suara manakala kami sampai rumah. Bahkan ketika kami sudah berada di kamar pun, ia mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia hanya menghabiskan waktunya untuk duduk di kursi di depan jendela, lalu membuang pandangannya ke luar sana. Aku sendiri duduk terpekur di pinggiran ranjang. Tak berdaya, layaknya sosok manusia yang ketangkap basah melakukan tindak kejahatan. Aku siap dihakimi, siap diberi hukuman. Karena itu memang pantas kudapatkan.

"Bicaralah." Akhirnya aku yang memutuskan untuk menyudahi keheningan.

"Hm?" Pria itu kembali menyahut pendek.

"Bicaralah, Cano. Katakan sesuatu." Aku berujar lagi.

"Kamu ingin aku bicara apa?" Arcano berujar datar tanpa berbalik menatapku.

"Apa saja, terserah. Jika kamu merasa marah, luapkan saja. Kamu bisa berteriak padaku, memakiku, lakukan saja. Kamu sudah dengar semuanya, kan? Jadi ... ayo ..." Aku menghentikan suaraku yang mulai tercekat. "Marahi aku. Katakan sesuatu, apapun itu." Kali ini aku benar-benar putus aja. Apa saja yang ingin ia lakukan padaku, akan kuterima. Asal bukan didiamkan seperti ini.

Pria itu tetap saja bergeming. Tatapannya masih berada di luar sana. "Apa kamu mencintaiku?"

Suaranya tetap pelan.

"I love you. Dengan segenap jiwaku." Aku menjawab. Kedua mataku sudah basah sekarang. Apa yang bisa kuharapkan malam ini selain pertengkaran antara suami istri? Arcano mengetahui bahwa aku telah tidur dengan pria lain. Dan ini bukan hal sepele.

Hal terburuk yang bisa saja terjadi, mungkin ia ingin kami berpisah. Tapi demi Tuhan, aku tidak siap dengan hukuman seperti itu.

"Ge ... " panggilan itu serak. "Apa kamu bahagia hidup bersamaku?" Ia tetap saja tak mau melihatku.

"Bisakah kamu berbicara dengan melihatku?" pintaku getir.

"Tidak." Dan jawaban itu tegas, membuat hatiku hancur. "Aku ... belum mampu melihat wajahmu." Ia kembali berujar.

Kugigit bibirku yang gemetar. "Aku bahagia hidup bersamamu, Cano," jawabku kemudian. "Dan aku nggak pernah membohongimu tentang hal itu," lanjutku.

"Then ... why did you do that?" Suara Arcano bergetar. "Kenapa kamu tidur dengan pria lain?"

Lagi-lagi yang kulihat hanyalah punggungnya yang dingin. Ingin sekali aku berlari menghambur ke arahnya, memeluk dan menumpahkan tangisku di punggungnya. Namun nyaliku ciut. Aku tak siap dengan penolakan. Pria itu tak siap menerima pelukan dariku. Aku tahu itu.

"Karena ...," suaraku tercekat. "Karena aku gegabah dan ... murahan." Kali ini air mataku kembali berjatuhan tak terbendung. Kembali kugigit bibirku keras-keras agar tangisku tak meledak.

Arcano bangkit dari kursinya lalu melenggang pergi.

"Cano?" panggilku dengan suara parau.

"Aku ingin ke kamar ibu dulu," jawabnya lirih, tak berdaya.

Ibumu sudah mati ...

Nyaris saja kuteriakkan itu padanya, namun urung.

"Cano?" panggilku lagi. Dan kali ini pria itu tak menjawab. Ia bergerak ke arah pintu, lalu membantingnya dari luar. Suara bantingan itu menggema ke seluruh kamar. Membuat jantungku serasa terhempas, dan sekian detik kemudian menciptakan ruangan dingin nan hampa. Pada akhirnya, tangisku pecah. Bahuku terguncang dan aku terisak dengan hebat.

Tiba-tiba saja aku lelah.

Lelah hidup.

***

Bersambung.

Terima kasih untuk yang masih setia mengikuti cerita ini. Terima kasih untuk yang sudah vote, ngasih komentar dan semangat. Mohon maaf bilamana kadang-kadang tidak sempat membalas komentar satu persatu. Takut kebablasan terus akhirnya nggak nulis-nulis lanjutannya, wkwkwkwk. Maklum, aslinya diriku tuh receh banget. 🤣🤣🤣

Terima kasih juga untuk setiap kritik dan sarannya. Jangan lupa kasih tahu jika ada typo.

Salam sayang dari Gloria dan Cano. 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro