24. Aku dan Mama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arcano tetap menolak berbicara denganku. Hari-hari ia lalui dengan banyak diam. Bahkan menatap wajahku saja ia enggan. Tak hanya itu, ia pun kerapkali menghindari kontak denganku. Ketika aku berada di kamar, ia akan menghabiskan waktunya di kebun. Ketika aku menyusulnya ke sana, ia akan buru-buru beranjak ke kamar ibunya. Begitu terus. Tak hanya itu, ia pun mulai menolak minum obat-obatan yang biasa ia konsumsi. Sehingga bisa dipastikan, ia jarang tidur dan emosinya mulai labil.

Aku nyaris tak pernah melihat senyumnya lagi. Setiap kuajak bicara, ia akan menjawab pendek-pendek, dan nada bicaranya ketus. Dan rasanya aku hampir gila, putus asa. Seolah hubungan di antara kami tak mampu diselamatkan lagi.

Malam itu, aku mondar-mandir dengan gusar. Arcano keluar rumah sejak pagi dan belum kembali hingga kini. Aku sudah mengecek kantor ayahnya dan ia sama sekali tak ke sana. Ponselnya berkali-kali kuhubungi dan tak diangkat.

"Pa, jika Cano belum kembali sampai jam sepuluh nanti, apa saya harus lapor polisi?" tanyaku pada Pak Herry. Aku memberanikan diri untuk menemui beliau di ruang istirahatnya. Pria itu tengah sibuk dengan ponsel di tangan. "Jangan dulu, Ge. Ini aku sedang berusaha menelpon beberapa teman lamanya. Barangkali saja ia main ke sana." Ia menjawab tenang.

Tidak, aku tahu bahwa Pak Herry juga sama gugupnya dengan diriku. Ia hanya mencoba bersikap tenang karena tak ingin membuatku khawatir. "Nggak apa-apa. Akan papa usahakan untuk menemukannya. Kamu tunggu saja di kamar. Istirahatlah." Ia meminta lembut. Tak ingin membantah, aku mengiyakan saja titah beliau lalu beranjak ke kamar.

Nyatanya, setelah berada di kamar, aku tetap saja gusar. Jangan ditanya sudah berapa kali aku mencoba menelpon Arcano kembali dan hasilnya tetap saja nihil. Bahkan sejak beberapa waktu yang lalu, balasannya berupa pemberitahuan bahwa nomor yang dituju sedang tak aktif.

Aku nyaris saja mengambil keputusan untuk melesat keluar dan mencari sosoknya tanpa tujuan, ketika pada akhirnya, nyaris pukul sebelam malam, ia muncul. Berjalan santai memasuki kamar tanpa mengatakan apapun. Dan yang lebih membuatku syok, ia pulang dalam keadaan wajah penuh luka.

Luka memar di pelipis dan kening. Ada darah mengering di sudut bibir yang robek. Pun begitu dengan alis dan dahi. Ada luka gores, entah karena benda tajam, atau entah karena cakaran.

"Cano?!" pekikku. "Ada apa denganmu?" Tergopoh aku menghampir sosoknya. Namun tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia mengangkat tangan ke arahku untuk memintaku menjauh. "Tetap di situ, jangan mendekat," larangnya.

Tubuhku membeku seketika. "Cano?" tanyaku dengan suara serak. Aku masih berusaha untuk menggapai lengannya, namun pria itu menolaknya halus. Ia menghindari sentuhanku lalu melepas jaket, meletakkannya di tempat biasa, kemudian duduk di sofa dengan gerakan yang tetap santai dan tenang.

Aku masih saja berdiri kaku di tempatku. Hingga akhirnya pria itu berujar, "Wajahku nggak apa-apa. Hanya luka biasa karena keributan kecil." Ia menyandarkan punggungnya sembari menyentuh bibirnya yang terluka dengan ibu jari, lalu kembali berkata, "Suasana hatiku sedang buruk. Aku nggak bisa mengontrol sikapku dan beginilah akhirnya. Aku terlibat perkelahian secara random dengan beberapa orang di jalanan. Hanya itu."

Arcano masih berbicara tanpa melihat ke arahku.

"Setidaknya biarkan aku mengobati lukamu dulu," pintaku. Ia menggeleng. "Nggak usah, tadi sudah kuobati sendiri. Sekarang sudah mendingan." Ia menjawab dingin. "Kamu tidur saja. Aku juga mau tidur." Ia merebahkan tubuhnya di sofa.

Menatap sosoknya yang berbaring membelakangiku, aku bertanya lirih, "Kamu ingin aku bagaimana, Cano?"

Tak ada jawaban.

"Jika kamu merasa jijik melihat wajahku, kamu merasa jijik berdekatan denganku, lalu kamu ingin aku bagaimana?" Tanyaku lagi. Kedua bahuku luruh. Arcano masih saja berbaring membelakangiku.

"Cano?" panggilku lagi.

Pria itu berdehem pendek, baru kemudian menjawab, "Tenanglah, Ge. Aku masih mencoba menenangkan diri. Tidurlah. Selamat malam."

Aku menelan ludah. Air mataku nyaris saja tumpah. "Jika kamu masih marah padaku, marah saja. Aku nggak suka kamu diamkan seperti ini." Suaraku bergetar.

Lagi-lagi tak ada jawaban.

"Cano ... Kumohon ...."

Pria itu bangkit. "Aku nggak ingin membahas ini dulu, Ge. Sekarang, tidurlah. Aku ingin ke kamar ibu dulu." Ia berdiri lalu melangkahkan kakinya.

"Jika kamu butuh teman bicara, bicara saja denganku. Aku istrimu. Kamu sudah janji untuk membagi segala masalah yang kamu rasakan padaku, bukan pada siapapun. Jangan bicara dengan ibumu lagi!" Kali ini aku berteriak.

Langkah Arcano terhenti. Ia berbalik, dan kali ini bersedia melakukan kontak mata denganku. "Ada apa denganmu?" suaranya lirih.

"Harusnya aku yang bertanya, ada denganmu? Nggak ada siapa-siapa di sana. Kamar ibumu kosong." Emosiku meluap sekarang. Air mataku rasanya sudah mulai berjatuhan. "Ibumu sudah lama pergi. Ia sudah berada di surga sekarang. Ia sudah mati!"

Tatapan Arcano seketika hampa. Raut wajahnya datar. "Bicara apa kamu?" Ia mendesis.

"Ibumu sudah nggak ada! Sadarlah itu!"

Arcano bergerak mendekatiku, menatap mataku dalam, lalu mencengkeram bahuku. "Jangan bicara sembarangan, Ge."

"Dia sudah nggak ada, Cano. Ibumu sudah meninggal."

"Dia ada di sana. Hampir setiap hari aku bicara dengannya." Pria itu menggeleng tak percaya.

Aku menggeleng lirih. "Kamu berhalusinasi."

Arcano mundur beberapa langkah lalu tertawa sinis. "Omong kosong!" dan sosoknya kembali beranjak. Aku berusaha menghalau dirinya, namun gagal. Ia tetap saja bersikeras untuk pergi ke kamar ibunya. Meninggalkan diriku sendiri dengan perasaan remuk tak karuan.

Menarik napas lelah, aku menyambar tas dan jaket lalu bergegas keluar. Tidak, aku tidak lagi menyusul Arcano ke kamar ibunya, melainkan beranjak keluar dari rumah. Setelah melewati pintu gerbang, aku berjalan beberapa meter menyusuri trotoar untuk mendapatkan taksi.

Demi Tuhan, aku tak berniat meninggalkan Arcano karena aku tahu bahwa saat ini ia sedang tidak baik-baik saja. Tapi, aku hanya ingin menenangkan diri sejenak, semalam saja, untuk menangis dan meraung sepuasnya. Entah ke tempat Lisa, atau ke mana saja.

Sebelum naik ke dalam taksi, aku mengirimkan pesan singkat terlebih dahulu pak Herry.

[Pa, titip Arcano dulu, ya. Kami bertengkar, dan saya ingin menenangkan diri dulu di rumah teman.]

Lalu ponsel kumatikan. Dan sisa perjalanan itu kuhabiskan dengan menangis.

***

Aku masih menangis sesenggukan ketika sampai di tempat kost Lisa. Dan dengan terbata, kuluapkan semua emosi dan beban di dada pada dirinya. Tak ada yang luput untuk kuceritakan. Tentang Arcano, tentang Mama, tentang Aditya, semuanya.

"Aku nggak nyangka kalau hidup akan semelelahkan ini, Lis." Air mataku tak kunjung kering. Rasanya lelah jiwa dan raga. Sementara Lisa mendengarkan semua ceritaku dengan seksama tapi juga miris. Ia hanya merasa menyesal kenapa aku tak menceritakan tengan Aditya sedari awal.

"Karena kupikir, setelahnya kami nggak akan ada urusan lagi. Aku akan menikah dengan Arcano, dia pun akan menikahi Amel. Kami nggak akan saling berkomunikasi lagi. Tapi, aku salah langkah, Lis." Kugigit bibirku keras-keras. "Ini kesalahan fatal dan tak termaafkan."

"Bisa nggak sih Aditya dilaporkan ke polisi?"

"Atas dasar apa?" tanyaku balik.

"Stalker." Ia menjawab tanpa ragu. "Ia tahu semua kegiatanmu, Ge. Ia tahu segala hal tentang dirimu. Ia mencari info tentang dirimu secara sembunyi-sembunyi. Dan jujur, ini mengerikan. Aku takut otak laki-laki ini nggak waras. Bisa jadi ia gila, terobsesi denganmu, lalu berbuat nekat. Serius, Ge, dia harus dihentikan." Raut muka Lisa tampak was-was.

Aku menggeleng beberap kali. "Jujur, aku nggak peduli dengan dirinya, Lis. Bahkan jika endingnya ia tetap akan menikah dengan Amel, aku nggak peduli. Yang kupikirkan sekarang adalah, bagaimana caranya agar Arcano mau memaafkanku dan kami bisa berbaikan lagi. Jika dia begini terus, rasanya ... aku ingin menghilang saja dari muka bumi ini." Air mataku kembali jatuh titik demi titik.

"Ge ...." Lisa mengerang.

"Setelah sekian lama, Lis, hanya dia satu-satu alasan bagiku untuk berani memimpikan masa depan dan harapan baru. Jika dia nggak menginginkanku lagi, aku ... aku nggak tahu harus bagaimana menjalani kehidupanku." Kalimatku tercekat. Lisa bergerak dan memelukku erat. Membisikkan kalimat-kalimat lirih untuk memberikan semangat.

Dan malam itu aku benar-benar menghabiskan waktuku untuk menangis, terisak, sampai lelah.

Pukul empat pagi aku masih terjaga, sementara Lisa baru tidur sekitar sejam yang lalu. Ponselku yang tadinya mati mulai kunyalakan. Dan sesuai dugaanku, ada begitu banyak pesan masuk dari Pak Herry yang menanyakan tentang kondisiku dan keberadaanku. Tak ada pesan dari Arcano karena selama ini ia memang jarang pegang hp. Saat ini kemungkinan ia masih menghabiskan waktu di kamar ibunya.

Aku membaca pesan-pesan tersebut tanpa terlewat. Sempat ingin membalas agar Pak Herry tak khawatir, namun niat itu tertunda ketika sebuah pesan lain baru saja masuk. Dari Papa.

[Mamamu di rumah sakit, tadi malam nggak sadarkan diri. Sampai sekarang pun masih di ICU. Datanglah kemari.]

Aku menegakkan punggung dan membaca pesan tersebut secara berulang. Walau hubunganku dengan Mama buruk, tapi ketika tahu bahwa beliau sakit dan harus berada di ruang ICU, rasanya dadaku berdesir. Ada perasaan cemas dan was-was. Tidak sadarkan diri dan sampai dirawat di ICU, apakah sakitnya separah itu?

Awalnya aku ingin menunggu sampai fajar. Tapi karena tak tahan, akhirnya aku memutuskan untuk berangkat saat itu juga. Aku pergi secara diam-diam, tanpa membangunkan Lisa. Merasa kasihan karena ia baru saja tidur. Nanti saja, setelah sampai rumah sakit, aku akan mengiriminya pesan. Pun begitu dengan pesan singkat dari Pak Herry. Nanti saja akan ku balas kalau keadaan sudah tenang.

***

Aku sampai di rumah sakit ketika hari telah terang. Kulangkahkan kakiku menuju ke ruangan tempat Mama dirawat berdasarkan instruksi Papa lewat pesan. Ketika sampai sana, terlihat Papa, Amel dan Patricia yang duduk termenung di kursi tunggu. Kupikir Aditya pun akan ada di sana mengingat peristiwa terakhir kemarin, Amel berniat berbaikan kembali padanya. Nyatanya, tak kutemukan sosok itu di sana. Entah, hanya mengingat dirinya saja, perutku rasanya mual.

Melihat kedatanganku, Amel bangkit dan berteriak, "Ngapain kamu ke sini? Mama sakit gara-gara kamu! Gak usah sok-sokan nengokin."

Aku tak merespon. Sudah kuduga reaksinya akan begitu setelah pertengkaran kami beberapa waktu lalu.

"Pergi kamu! Nggak usah datang ke sini lagi!" Emosi Amel ternyata tak reda. Kali ini ia bergerak mendekatiku lalu mendorong tubuhku kasar. "Mama sakit gara-gara kamu, paham nggak, sih? Kalau sampai Mama kenapa-napa, aku nggak akan memaafkanmu!" teriaknya lagi. Membuat beberapa pengunjung yang ada di ruang tunggu menengok dan memperhatikan pertengkaran kami.

Papa sigap bergerak dan melerai keributan tersebut, begitu pula dengan Patricia. Gadis itu berusaha menarik tubuh Amel, sementara Papa menjauhkan diriku dari dirinya. Padahal aku tak berniat memberikan serangan balasan pada adikku itu.

"Mel, ini rumah sakit, jangan bikin ribut." Papa memberi peringatan. Ia meminta pada Patrica untuk mengawasi kakaknya, sementara beliau sendiri menggamit lenganku dan membawaku menjauh. "Ge, kamu ikut Papa."

Aku tak mengatakan apapun selain mengikuti langkah beliau. Menjauh dari ruang tunggu, dan membawaku ke salah satu bangku yang berada di taman. Ia memintaku duduk di sana. Taman pagi ini terlihat tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung dan petugas bersih-bersih.

"Kondisi Amel masih belum stabil setelah pertemuan kita beberapa waktu lalu. Tapi setidaknya, akhir-akhir ini ia sudah jauh lebih tenang karena ...." Papa ikut duduk di sampingku sembari berujar ragu.

"Mereka berbaikan lagi? Amel dan Aditya?" tanyaku langsung.

Papa menarik napas panjang lalu mengangguk. "Kudengar mereka sudah bicara kembali, mengobrol ini dan itu, lalu memutuskan untuk melanjutkan rencana pernikahan mereka. Tak jelas bagaimana detailnya, Mamamu hanya bilang kalau pernikahan akan tetap dilanjutkan," ujarnya.

Aku terkekeh lirih. Menertawakan kebodohan Amelia. Tapi ya sudahlah, itu bukan urusanku lagi.

"Mungkin karena Mamamu terlalu lelah dan banyak pikiran makanya kondisinya kurang baik dan akhirnya drop." Papa kembali berujar pelan.

Aku terkekeh lagi. "Putri kesayangannya nggak jadi batal nikah. Ia nggak akan kehilangan calon menantu idaman. Apa lagi yang dicemasin?" sindirku.

Papa tak menanggapi sindiranku. Pandangannya menerawang dan terlihat sekali ia tengah memikirkan sesuatu. Lama kami berdiam diri hingga membuatku canggung. Sebenarnya, meski hubunganku dengan Mama buruk, tapi dengan Papa, tidak. Walau tak sehangat hubungan beliau dengan Amel maupun Patrica, hubungan kami tetap baik-baik saja. Kami dekat, akrab, dan tak pernah terlibat adu argumen berlebih. Mungkin karena aku tidak menghabiskan masa kecilku bersamanya, sehingga bonding itu tak tercipta, mau sedekat apapun hubungan kami.

Papa sosok yang sabar dan mengayomi. Ketika aku dan Mama bertengkar hebat, beliau yang akan menengahi. Malah lebih sering beliau ada di pihakku. Bahkan ketika masih berada di sekolah, ketika bolak-balik panggilan orang tua oleh guru BK, beliau tak pernah sedikitpun ikut menghakimi ataupun memarahiku.

Dulu, ketika aku menangis setelah bertengkar hebat dengan Mama, ataupun karena masalah sekolah, ia akan menghibur dan membawaku pergi keluar untuk sekadar makan es krim. Begitu saja, bagiku sudah sangat luar biasa.

"Ge, ada yang mau Papa sampaikan ke kamu." Akhirnya beliau memecah keheningan di antara kami.

Aku manggut-manggut lalu menjawab santai, "Oke. Bicara saja, Pa."

Mendengar kalimat Papa barusan, jantungku rasanya berlompatan tak tenang. Bisa saja Ia ingin membahas tentang Arcano. Atau mungkin tentang Aditya. Atau, tentang penyakit Mama? Tiba-tiba dadaku berdesir. Apakah ... penyakit mama seserius itu?

Aku menatap Papa dengan lekat lalu bertanya lirih, "Tentang Mama?"

Dan ketika Papa mengangguk, jantungku makin berdebar. "Jadi ..."

Papa menarik napas lagi, lalu balas menatapku lembut. Sempat menggigit bibir ragu, akhirnya beliau berkata lirih, "Dulu, ketika Papa menikah dengan Mamamu, usia kandungannya sudah hampir tiga bulan."

Tubuhku mendadak kaku. Menatap Papa tanpa berkedip, mencoba mengira-ngira kemana arah pembicaraannya.

"Nenekmu meminta pada Papa untuk bertanggung jawab, walaupun ...." Ketika kalimatnya menggantung, mulutku ternganga. Sebentar, jadi maksudnya?

Seolah paham akan gejolak pertanyaan di benakku, Papa mengangguk pelan.

"Ya, Papa bukan ayah kandungmu."

***

Bersambung.

Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk mampir, membaca, memberikan vote dan juga komentar.

~ Kiss kiss kiss.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro