25. A Cruel World

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Aku sudah mengenal mamamu sejak kecil. Walau tidak terlalu dekat, aku tahu kalau dia adalah gadis yang pintar dan cemerlang. Ia tumbuh dengan baik, dan sangat bersemangat dalam hal pendidikan. Aku ingat dengan betul ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, ia sering sekali menjadi juara kelas. Sering dikirim lomba, maupun ikut cerdas cermat.” Papa mulai bercerita kembali. Sementara aku cuma duduk membeku di tempatku.

“Mamamu sangat ingin menjadi pekerja kantoran. Bekerja di kota besar, punya ruang di gedung-gedung bertingkat, dan berjibaku dengan mesin ketik ataupun laporan-laporan. Itulah kenapa, setelah lulus SMA, ia ingin langsung melanjutkan kuliah. Tapi karena nggak ada biaya, mamamu memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu. Menabung sedikit demi sedikit, agar bisa melanjutkan pendidikan.” Suara Papa serak. Beberapa kali ia menarik napas berat.

“Mamamu memutuskan untuk bekerja di sebuah swalayan yang berada di kota. Berangkat dan pulang dengan naik angkutan umum. Setiap hari berangkat jam enam pagi, lalu pulang sore sekitar jam empat. Semua berjalan lancar, sampai akhirnya musibah itu datang.” Papa menatapku dalam. Kedua matanya basah. Dan aku dilanda perasaan tak menentu. Antara rasa takut, terkejut, dan sesak datang bersamaan.

“Mamamu sedang dalam perjalanan pulang ketika ada pemuda berandalan menyeretnya ke semak-semak dan … merenggut kesuciannya.” Suaranya tercekat, membuatku merasakan hal yang sama di tenggorokan.

“Diperkosa?”

Papa mengangguk. “Dan begitulah awalnya, ia hamil kamu.”

Rasanya ada yang berdentum di dada. Setelah sekian lama, setelah semua hal yang kulalui bersama mama. Bagaimana hubungan kami yang begitu rumit, dipenuhi kebencian, pertengkaran tiada henti, dan sumpah serapah yang rajin menghiasi hari-hari kami. Bagaimana Mama menatapku dengan tatapan jijik, tapi di lain waktu, tatapan itu berubah sendu. Belum ketika beliau memperlakukanku seperti sampah, di mana adegan seperti itu akan diakhiri dengan tangisannya. Tak dapat kupercaya, ternyata inilah penyebabnya.

Bahwa ternyata aku adalah anak hasil perkosaan.

“Lalu … nenekmu memintaku untuk menikahinya, dan papa bersedia.”

“Bagaimana dengan yang memperkosa mama? Nggak ditangkap? Nggak dilaporin polisi?” cecarku.

Papa menggeleng pelan. “Dulu, penanganan kasus-kasus asusila nggak seperti sekarang, Ge. Terlebih lagi, masih menjadi suatu kepercayaan di masyarakat bahwa hal seperti itu adalah aib. Makanya, kami semua memilih untuk diam dan tak memperpanjang kasus tersebut. Hanya keluarga besar dan beberapa orang saja yang tahu tentang peristiwa yang dialami Mamamu.” Helaan napas kembali terdengar. “Nggak bisa papa bayangkan bagaimana mental mamamu andai seluruh masyarakat tahu kalau ia hamil karena korban perkosaan.” Ia bergidik ngeri.

“Jadi … pelakunya bagaimana?” bibirku bergetar. Membayangkan bahwa bisa saja ayah kandungku adalah berandalan, pemabuk, tukang begal, atau manusia laknat lainnya.

Yang kudapat kemudian hanyalah gelengan kepala. “Mamamu nggak mengingat jelas siapa pelakunya, jadi ya, sampai sekarang pun, kami nggak tahu siapa ayah kandungmu.”

Kedua mataku berembun. Entah bagian mana yang ingin kutangisi. Hidupku yang terlalu lucu? Ataukah fakta bahwa aku memang aib? Anak hina? Dan ayah kandungku tak ketahuan rimbanya?

“Mamamu sudah melewati banyak hal buruk, Ge. Kamu nggak tahu bagaimana beratnya hidup yang ia jalani. Selama hamil kamu, dan bahkan setelah kamu lahir.” Ia kembali meremas tanganku lembut. Tidak, ia sedang tak ingin menguatkanku. Sebaliknya, papa sendiri sedang mencari kekuatan untuk bisa menuntaskan ceritanya.

“Dia stress, depresi. Kalau jaman sekarang, mungkin akan kita sebut dengan Baby blues. Bayangkan saja, dia membawa janin dari orang yang tak ia kenal, dengan peristiwa buruk, dan menimbulkan mimpi buruk. Cita-citanya hancur, masa depannya pun begitu,” lanjutnya.

“Kenapa aku nggak digugurkan saja?” potongku.

“Sudah.”

Sudah.

Aku menelan ludah dengan susah. Kali ini air mataku mulai jatuh, demi mengetahui bahwa aku benar-benar seorang anak yang tak diinginkan di dunia ini.

“Beberapa kali Mamamu berniat menggugurkanmu. Tapi, pada akhirnya kami sadar bahwa kamu anak yang kuat sejak dalam kandungan. Sehingga mau tak mau, dengan bertaruh nyawa, mamamu membawamu ke dunia ini.” Papa menatapku dalam.

“Bersama kebencian yang ia simpan. Ya, kan, Pa?”

Papa mengangkat bahu, putus asa. “Dengan kondisinya yang seperti itu, apa yang bisa diharapkan dari Mamamu? Mencintai dan menyayangimu layaknya anak yang diinginkan? Tentu tidak, Ge.” Pria tersebut kembali menggeleng dengan ekspresi getir. “Beberapa kali, ia nyaris menghabisi nyawamu, tanpa ia sadari.”

Aku kembali ternganga.

“Berkali-kali,” ulangnya. “Pernah suatu hari, sepulang dari bekerja, ketika nenekmu nggak di rumah, aku melihat mamamu sendirian. Ketika aku bertanya kamu di mana, dia bilang, kamu kotor  dan harus dimandikan. Dan kamu apa yang terjadi? Dia membungkusmu dalam sebuah selimut lalu meletakkanmu di bawah pancuran, di kamar mandi. Usiamu baru dua minggu.” Bibir Papa bergetar, ada kengerian mendalam ketika ia bercerita. Dan ternyata tak hanya sampai di situ cerita mengerikan yang beliau utarakan. Kali ini tentang cerita bahwa sudah berkali-kali Mama mencoba mengakhiri hidupku, dan juga hidupnya sendiri. Menenggalamkanku di bak mandi, membuangku ke semak-semak, nyaris membawaku terjun ke sungai. Banyak hal yang sudah ia coba.

“Akhirnya, demi keselamatanmu dan juga mamamu, Papa yang berinisiatif untuk menitipkanmu pada ibu. Papa memutuskan untuk membawa Mamamu pergi, berobat, menenangkan diri.” Ia mengangkat bahu lagi, luruh. Putus asa. “Butuh waktu bertahun-tahun hingga keadaannya mulai membaik, hingga lahirlah Amel.” Papa tak menarik genggaman tangannya, ia meremas jemariku yang mulai gemetar. “Setelah Amel hadir, Mamamu mulai terlihat semakin bahagia. Ia mulai mengingat akan dirimu, menanyakan segala hal tentangmu. Lalu di suatu hari, ia meminta papa untuk membawamu pulang ke rumah. Dan, begitulah akhirnya. Kami menjemputmu, sisanya kamu tahu sendiri.” Tatapan mata Papa mengandung sejuta harapan tentang keluarga kami.

Tapi, apakah setelah ini, keluarga kami akan baik-baik saja? Sepertinya tidak.

“Kupikir, kita akan menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih bahagia. Sampai akhirnya papa menyadari bahwa emosi mamamu senantiasa meluap manakala melihatmu. Ia belum selesai dengan masa lalunya, dengan dendamnya.” Suara Papa serak. “Papa berniat untuk membawamu pergi lagi, mengembalikanmu ke rumah ibu, tapi Mamamu selalu melarang. Ia bilang agar sudi memberinya waktu untuk berdamai dengan dirimu. Nyatanya….” Kalimat Papa tercekat. “Maafkan mamamu, ya, Ge. Maafkan kami. Maaf karena dunia ini terlampau kejam buat kamu.”

Aku menggeleng lemah.

Cukup, Pa.

Sudah cukup.

Aku tak mau mendengar apa-apa lagi.

“Aku mau pulang,” jawabku lirih. Kulepaskan genggaman tangan Papa, lalu bangkit dari tempat dudukku dengan tertatih. Terlihat papa tak berdaya, pun dengan diriku yang mengalami hal serupa. Ragaku rasanya remuk dihajar kenyataan yang teramat menyakitkan.

“Ge … tolong maafkan mamamu, ya.” Sebuah permohonan yang terasa mustahil kukabulkan. Atas apa yang Mama lakukan padaku selama ini, haruskah aku memaafkannya? Toh bukan salahku lahir di dunia.

“Ge ….” Papa kembali memanggil ketika tak mendapat jawaban. Aku menatap beliau dalam lalu menjawab, “Aku mau pulang.”

Terlihat raut kecewa di wajah papa karena tahu bahwa bukan jawaban seperti itu yang ia harapkan. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, aku berjalan dengan langkah berat. Menyusuri lorong rumah sakit dengan hati hancur. Ajaib sekali rasanya aku mampu keluar dari area rumah sakit dan mencapai trotoar dengan langkah terseok-seok seperti tadi.

Pandanganku kabur oleh air mata sampai-sampai aku tak sadar ketika bahuku menghantam sosok lain dan tubuhku limbung. Sebelum sempat menghempas kerasnya lantai trotoar, sosok itu sigap menangkap tubuhku. Pandangan kami sempat bertemu. Tapi sekian detik kemudian, duniaku rasanya gelap.

***

Ketika membuka mata, aku dihadapkan pada sebuah pemandangan yang familiar. Kamar yang luas, cat abu-abu dan furniture bernuansa gelap. Menahan pening di kepala, aku mencoba mengingat kejadian yang sebelumnya ku alami. Keluar dari rumah sakit, limbung di pinggir jalan, dan sosok itu menopang tubuhku.

“Sudah sadar?”

Aku menoleh ke arah datangnya suara tersebut dan menemukan pria itu duduk santai di  sofa yang berada di seberang tempat tidur. Aku menarik napas lelah lalu bergegas untuk bangun. Menyingkirkan selimut yang menutup sebagian tubuh, aku menurunkan kaki dan duduk di pinggiran ranjang. Mengedarkan pandangan mencari tas dan ponsel, kutemukan benda itu di sisi pria tersebut.

Aditya. Ah, kenapa aku bisa berada di tempat pria ini lagi?

“Bagaimana aku bisa di sini?” tanyaku dengan nada biasa. Aku terlalu lelah untuk terlibat keributan atau sekadar beradu argumen.

Aditya mengangat bahu santai. “Ya, seperti yang sebagian masih kamu ingat. Tadinya aku ingin menjenguk mamamu. Tapi terlebih dahulu aku melihatmu keluar dari rumah sakit dengan keadaan yang kacau dan ya … begitulah. Lalu kamu pingsan di pinggir jalan, dan … aku membawamu pulang.” Ia menyeringai.

Aku mengeram. “Dan kenapa kamu harus membawaku ke sini?”

Aditya terkekeh. “Kamu ingin aku membawamu ke mana? Ke rumah sakit? Atau, pulang ke rumah suamimu? Tentu saja tidak. Terlalu sayang untuk membawamu ke sana. Jadi …” Ia terkekeh. “Akan sangat menyenangkan kalau aku membawamu ke sini.”

Aku menelan ludah. Tak bisa dipungkiri ada perasaan takut menyelimuti. Aditya sosok nekat, ia bisa melakukan apapun padaku. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, hal buruk apa yang belum kualami bersama pria brengsek ini?

Ia pernah meniduriku, pernah menghantamkan kepalaku ke headboard ranjang, menghempaskan tubuhku ke lantai, dan … mempermalukanku di depan orang tua dan adikku sendiri. Apalagi yang lebih buruk? Menghabisi nyawaku … mungkin? Ah, sepertinya itu tak terlalu buruk. Apalagi sekarang aku sedang dalam kondisi terpuruk.

Lelah untuk hidup.

“Kamu dan Amel berbaikan. Apa lagi yang kamu inginkan?” tanyaku.

Tawa lirih terdengar dari pria yang kali ini bangkit dan berjalan santai mendekatiku. “Sudah kubilang, aku suka sekali terhubung denganmu. Itulah kenapa aku memutuskan untuk berbaikan dengannya agar kita bisa kembali terlibat romantisme antara kakak dan adik ipar. Seru sekali, bukan?”

Gigiku bergemerutuk. Orang ini pasti sudah gila.

Aku tak tertarik untuk menatap wajah Aditya, hingga pria itu kembali berujar, “Lagipula, adikmu memohon-mohon padaku agar kami bisa berbaikan lagi. Jadi ya, aku iyakan saja. Bermain-main perasaan dengannya ternyata lumayan menghibur.”

Tawa Aditya menggema. Aku menatapnya dengan tajam. Dan untuk sekian detik berikutnya, aku terkejut. Lampu kamar Aditya tak terlalu terang, jadi ketika ia duduk di sofa tadi, aku tak melihatnya. Sekarang, terpampang jelas bahwa wajah pria itu babak belur. Ada memar berwarna hitam kebiruan di tulang pipi sebelah kiri. Lalu luka gores di alis dan juga luka robek di bibir atas. Menyadari bahwa aku terkejut dengan tampilan wajahnya, pria itu mengumpat.

“Jangan pura-pura terkejut. Apa suamimu tak cerita?” Ia menatapku dengan sorot marah.

“What?”

“Ini.” Ia menunjuk wajahnya yang terluka. “Suamimu yang melakukannya,” lanjutnya.

Aku ternganga. “Apa?”

“Dia datang kemari. Mengobrak-abrik rumahku, dan kami terlibat keributan. Berani sekali dia.” Aditya berujar dengan gigi terkatub.

Aku tertegun sejenak. Seketika ingat dengan keadaan Arcano yang tak jauh berbeda. Ada banyak luka di tubuh dan juga wajahnya, dimana ia mengatakan bahwa semua itu ia dapatkan karena terlibat keributan dengan orang-orang di jalanan. Ah, ternyata ia ke sini dan memukuli si brengsek ini.

Membayangkan bagaimana Arcano berhasil melayangkan bogem ke wajah Aditya, entah kenapa aku dilanda rasa puas. Bahkan tanpa sadar, aku tertawa senang. Rasanya dendamku terbalaskan.

“Kamu pantas mendapatkannya, brengsek,” ejekku, tetap dengan tawa sinis yang kuarahkan padanya. Tak ayal, tindakan itu memancing amarah Aditya. Pria itu memperpendek jarak di antara kami, lalu tangannya terulur dan mencengkeram rahangku dengan keras. Dengan tatapan dingin, ia berbisik di depan wajahku. “Jangan memancing emosiku, Ge. Bagaimanapun juga keadaanku lebih menguntungkan daripada dirimu. Hanya ada kamu dan aku di sini. Dan jika aku kalap, aku bisa melakukan apapun padamu, sesuka hatiku.”

Aku menelan ludah, merasakan cengkeraman tangan Aditya yang kali ini berpindah ke leher.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro