26. Ajak Aku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan tangan Aditya yang berada di leherku, tetap tak menghalangiku untuk bisa tertawa sinis. "Kamu lupa siapa yang kamu hadapi? Bahkan jika hanya ada kita di sini, aku takkan pernah takut pada dirimu." Aku menjawab tak gentar. "Hal buruk apa yang belum pernah kualami? Bertemu dengan orang brengsek seperti kamu pun, rasanya jadi hal biasa." Aku terkekeh.

Rahang Aditya kaku. "Kamu meremehkan aku?"

Menatap matanya tajam, aku tersenyum sinis lalu menjawab, "You're nothing."

Aditya melayangkan sebuah tamparan keras di pipi hingga sempat membuat tubuhku oleng dan nyaris terjerembab dari atas ranjang. Walau tubuhku rasanya lemah, namun aku masih mampu menjaga keseimbangan dan segera membenahi posisi dudukku. Menyugar rambutku yang menutupi sebagian wajah, aku menatap Aditya yang masih saja berdiri dengan wajah dipenuhi amarah.

"Kamu tahu kesamaanmu dengan Arcano?" tanyaku. Aku menjilat bibirku perih dan terasa asin. Sepertinya tamparan tadi membuat bibirku robek dan berdarah.

"Jangan berani menyamakan aku dengan bocah itu." Aditya menyahut pendek. "Bocah ingusan itu nggak sebanding denganku."

"Bocah ingusan yang mampu membuat wajahmu babak belur." Aku tertawa. Aditya kembali menghambur lalu menarik kerah kaosku dan kembali mendekatkan wajah kami.

"Apa kamu bosan hidup?" ancamnya.

Aku menelengkan kepala. "Sejujurnya, aku juga sudah lelah hidup. Coba saja kalau berani. Tapi yakinlah satu hal, jika terjadi sesuatu padaku, suamiku tak akan tinggal diam." Aku membalas mengancamnya.

Pria itu tertawa. "Sebelum itu terjadi, bagaimana kalau kita bersenang-senang dulu?" tangannya terulur dan berniat menarik kaosku lalu meloloskannya melewati kepala. Namun sebelum itu terjadi, aku memberikan perlawanan. Sehingga tak ayal, lagi-lagi kami harus terlibat baku hantam dan adu fisik yang lumayan brutal. Beberapa kali pria itu berhasil menampar wajahku, namun ketika ada kesempatan, aku pun mampu menghantamkan kepalaku ke wajahnya.

Ketika tangannya terulur dan berhasil menarik rambutku, kakiku tak tinggal diam. Kutendang pinggul dan perutnya dengan sekuat tenaga. Ketika pada akhirnya kami bergumul di lantai dan berhasil membenturkan kepalaku pada kerasnya ubin, tanganku sigap menarik rambutnya lalu melakukan hal yang sama pada kepalanya. Ketika aku berhasil membuat sosok itu menjauhi diriku, aku meraih apapun untuk bisa kulemparkan padanya. Vas, guci, hiasan dinding, semua benda di atas meja, apapun.

Untuk sejenak, keributan di antara kami sempat terhenti. Aku berdiri bersandar di dinding dengan napas terengah. Sementara Aditya terduduk lemah dengan kedua tangan yang tertumpu di lantai. Napasnya juga naik turun karena leleh. Darah bercucuran dari kepala yang sempat terkena pecahan guci. Luka di salah satu lengannya pun tak jauh berbeda.

Keadaanku sendiri juga tak lebih baik. Keningku bocor. Pria itu berhasil kembali menghantamkannya pada pinggiran meja. Hidungku berdarah, bibirku juga. Sementara kaos tipisku sudah robek dan tulang belikatku mulai terasa nyeri tak karuan. Melihat Aditya yang sepertinya sudah tak berdaya, tubuhku luruh. Aku jatuh terduduk, dengan punggung yang masih tersandar di dinding. Tatatapan was-was tak kualihkan dari sosok Aditya yang kali ini mulai sibuk mengusap darah di kening dan sebagian wajah. Ia juga mulai memeriksa goresan di lengannya.

"Kamu dan Arcano sama-sama butuh dokter. Jiwa kalian sama-sama sakit. Serius, Dit. You need some helps," ujarku. "Kegilaan ini harus kamu hentikan. Obsesi gilamu ini harus segera ditangani oleh para ahli," lanjutku.

Aditya mendongak dan menatapku dengan santai. Senyum tersungging di bibirnya. "Sok tahu kamu," jawabnya.

"Aku serius. Kali ini aku peduli padamu karena kamu adalah calon suami adikku. Ayolah, cari dokter. Kamu sakit." Kali ini aku menatap pria itu dalam.

"Bukankah kamu nggak suka dengan adikmu? Kenapa kamu harus repot-repot memikirkannya?"

"Aku memang nggak menyukainya. Tapi fakta bahwa ia gadis yang baik tak bisa dibantah. Ya, kan? Apapun yang kamu lakukan padanya, Ia mencintaimu dan akan memperlakukanmu dengan baik. Dan ... memang itu yang kamu butuhkan. Kamu butuh perhatian lebih. Dan yang jelas, bukan dariku." Aku menyahut. "Amel nggak akan menyakitimu. Buktinya, walau kamu yang salah, dia tetep pengen hidup sama kamu, kan?"

Pria itu tak menjawab.

"Dengar, aku mungkin ...." Kalimatku tertahan ketika pintu ruang tamu digedor. Aku dan Aditya saling pandang sejenak. Ketika aku berniat bangkit, pria itu melesat ke arahku dan menubruk tubuhku lalu menghempaskanku kembali ke atas lantai. Dan tak bisa dihindari, akhirnya keributan di antara kami kembali pecah. Kami terlibat pergumulan yang kembali sengit. Beberapa kali aku nyaris berhasil meloloskan diri darinya, namun detik berikutnya ia menarik dan mengunci tubuhku dengan tungkai kaki. Sementara kedua tangannya sigap mencengkeram leher. Adegan itu terjadi berulang, hingga aku kehabisan tenaga.

Merasa sempat putus asa pasrah dengan kejadian terburuk yang mungkin kuterima, tiba-tiba saja sosok itu datang. Lelaki menjulang dengan rambut panjang, menyeruak di antara pergumulan lalu menarik Aditya dari atas tubuhku. Selanjutnya, ia hempaskan sosok itu menghantam dinding, setelah sebelumnya sempat melayangkan tinju hebat ke wajah dan juga kepala.

"Menjauh darinya, Brengsek!" umpatnya. "Berani kau sentuh dia lagi, akan kuremukkan kepalamu!"

Dengan sisa tenaga yang masih kupunya, terlihat sosok berambut panjang itu kembali menarik tubuh Aditya yang sudah lemah lalu menghempaskannya ke lantai dengan begitu keras. Terdengar erangan dari sosok yang kini tergeletak tersebut.

"Cano ...." panggilku lirih. Dan pria yang kini berada di atas tubuh Aditya itu menoleh ke arahku, dan melesat menggapai tubuhku.

"Ge?" Ia menyentuh pipiku lembut. Kurasakan tangannya yang gemetar. Wajahnya tampak kalut, dan kedua matanya sudah basah. "Ge?" panggilnya lagi. Kali ini air matanya sudah berjatuhan.

Aku memejam mata sejenak. Rasanya air mataku juga sudah mulai berjatuhan kembali. Lirih aku berujar, "Aku mau pulang."

Mendengar ucapanku yang serak, Arcano mengangguk cepat. Ia sigap mengangkat tubuhku lalu mendekapku erat. "Ya, ayo kita pulang," bisiknya. Ketika ia mulai bergerak, membawaku pergi dari tempat sialan tersebut, aku merasakan Arcano mengecup puncak kepalaku berulang-ulang. Meringkuk dalam dekapan Arcano, menyembunyikan wajahku di dadanya dan merasakan aroma cendana yang khas dari tubuhnya, tangisku pecah seketika.

Lalu, perlahan semuanya gelap.

***

Aku tak sadarkan diri dalam waktu yang lumayan lama. Ketika membuka mata, aku sudah berada di kamar Arcano, kamar kami. Sempat mencubit lenganku sendiri beberapa kali untuk memastikan bahwa yang kualami bukanlah mimpi, akhirnya aku menangis lagi. Sadar bahwa sekarang aku sudah benar-benar berada di tempat yang aman. Di tempat suamiku.

Setelah tak sadarkan diri di rumah Aditya, Arcano langsung membawaku ke rumah dan memanggil dokter pribadi. Ia tak membawaku ke rumah sakit karena takut akan menghadapi urusan yang lumayan panjang. Karena kejadian yang baru saja nyaris merenggut nyawaku, bukanlah kecelakaan biasa. Itu tindakan kriminal.

"Untuk saat ini, aku nggak punya waktu untuk mondar-mandir ke kantor polisi. Aku ingin fokus dulu untuk pemulihanmu." Arcano membuka suara. "Tunggu sampai keadaanmu membaik, baru akan kuurus manusia brengsek itu. Akan kupastikan ia menerima balasan setimpal atas apa yang ia lakukan padamu. Bahkan jika perlu, aku sendiri yang akan melakukannya. Untuk setiap luka ditubuhku, akan kupastikan ia mendapat balasan dua kali lipat." Arcano berujar dengan mata berkilat.

Kutatap pria yang tengah duduk di sampingku itu dengan dalam. Entah karena masih syok, atau entah karena menahan rasa sakit di sekujur tubuh, tak ada kata yang mampu kuucapkan. Atau mungkin karena di kepalaku tengah berjubel berbagai pertimbangan dan juga pertanyaan.

Setelah apa yang kulakukan pada pria ini, masih pantaskah aku berada di sisinya?

"Ge?" Karena sadar aku tak memberikan respon, Arcano menatapku dengan ekspresi cemas. Ia beringsut dari pinggiran ranjang lalu berlutut, kemudian mendekatkan wajahnya ke arahku. "Yang mana yang sakit? Perlu kupanggilkan dokter?" Nada suaranya lembut.

Aku menggigit bibir, lalu menggeleng. Kedua mataku rasanya kembali basah. Tak ayal, sikapku tersebut malah membuat Arcano makin panik.

"Pasti ada yang sakit, kan? Akan kupanggilkan dokter saja." Ketika ia berniat beranjak, aku menyentuh lengannya pelan lalu menggeleng. "Nggak usah," jawabku lirih.

Arcano mengulurkan tangan dan mengusap pipiku dengan takut-takut.

"Terima kasih karena kamu sudah membawaku pulang," ucapku lagi.

Arcano tersenyum getir, lalu menjawab, "Maaf karena aku telat."

Kami saling berpandangan lagi selama beberapa saat. Lalu aku memberanikan diri untuk bertanya bagaimana cara dia menemukannya di sana. Arcano mengatakan bahwa setelah Ayah memberitahu kalau aku kabur, ia pergi mencariku ke kost Lisa. Karena tak menemukanku di sana, ia bergegas ke rumah Mama. Dan rumah itu kosong.

"Lalu ... aku teringat akan calon suami adikmu. Aku segera pergi ke sana. Firasatku tak enak." Ia menjawab ragu.

"Kamu pasti mengira aku akan tidur dengannya lagi, kan?" Kali ini aku yang terkekeh getir.

Di luar dugaan, Arcano menggeleng. "Kelakuanmu mungkin buruk, Ge. Tapi kamu nggak murahan."

Mendengar jawabannya, aku kembali terkekeh sinis. "Aku tidur denganmu pada pertemuan pertama kita. Itu kusebut juga dengan murahan."

Lagi-lagi Arcano menggeleng. "Beda, karena waktu itu kamu sedang nggak punya komitmen dengan siapapun."

Aku menatap pria itu dalam. "Cano ...."

"Aku memaafkanmu, Ge. Untuk semua khilafmu dengan Aditya, sudah kumaafkan," potongnya.

Aku menggigit bibir dengan keras. Luka karena pukulan Aditya rasanya makin perih. Tapi jika tidak begini, rasanya aku ingin terus menangis di hadapan Arcano.

"Apakah ... aku pantas dimaafkan?" suaraku serak.

Arcano menunduk dan mencium keningku lembut. Lalu kurasakan pria itu mengangguk. Dan akhirnya tangisku tak mampu kutahan. Aku kembali terisak di pelukan Arcano.

***

Senja mulai tiba. Aku merapatkan sweater dan berjalan perlahan menyusuri kebun bunga. Langkahku masih tertatih untuk bisa menjangkau bangku di bawah pohon Angsana. Kuhabiskan sore itu dengan duduk merenaung di sana. Seperti yang sudah-sudah. Hingga akhirnya Arcano datang menyusul. Ia duduk di sisiku, melingkarkan lengan memeluk tubuhku dengan perlahan dan hati-hati. Takut menyakiti tubuhku yang masih dipenuhi luka.

Menyadari bahwa aku jadi menjadi pendiam, Arcano berujar lembut. "Ada apa, Sayang?"

Aku memainkan bunga Morning Glory di tanganku. Tangkainya kujepit dengan ibu jari dan telunjuk, lalu kuputar-putar bunga itu dengan lucu. Sejak pulang beberapa waktu lalu, aku berusaha menimbang dengan baik, apakah perlu menceritakan asal-usulkku pada Arcano, bahwa aku adalah anak haram? Anak hasil perkosaan yang tak diketahui siapa ayah kandungnya?

Bagaimana reaksinya jika kebenaran itu terungkap? Apa ia akan merasa malu akan keberadaanku? Tapi jika tak kuungkapkan, kepalaku rasanya mau pecah. Aku hampir gila.

"Sayang?" Arcano kembali memanggil lirih. Dan lagi-lagi kedua mataku basah. Sudah kutumpahkan semua rasa sebah di dada, tapi kenapa hatiku rasanya masih tersesak-seak?

"Cano ...." bibirku gemetar. Akhirnya aku berujar serak, "Kelak, jika tiba-tiba saja kamu ingin mengakhiri hidupmu sendiri, jangan lupa ajak aku, ya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro