27. Ayo Pergi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Angin berembus pelan, menciptakan bunyi derak pada dahan Angsana yang bergesekan satu sama lain. Daun-daun kering berjatuhan dan terserak di atas rerumputan, beberapa menghampar di atas bunga Morning Glory yang tak lagi mengembang. Sore yang dramatis, seperti hari-hari sebelumnya.

"Cuma kamu yang aku punya. Kalau kamu pergi, aku nggak tahu harus gimana. Jadi, jika suatu saat nanti kamu pengen pergi, ajak aku, ya." Aku kembali membuka suara, kali ini dibarengi dengan air mata yang terus berjatuhan.

Arcano menatapku dengan mata melebar, syok. Buru-buru ia menangkup wajahku dengan kedua tangan lalu bertanya cemas. "Ge, ada apa?" Suaranya bergetar. Pertanyaan pria itu tak mampu kujawab karena detik berikutnya, suaraku tercekat karena isak tangis.

"Apa lelaki itu menyentuhmu lagi? Apa ia melecehkanmu? Apa Ia ...?" Tatapan Arcano berkilat.

Aku menggeleng lemah, masih tak mampu berkata-kata.

"Demi Tuhan, Ge. Katakan padaku apa yang sudah ia lakukan padamu hingga kamu harus merasa sesakit ini?" Pria itu kembali membawaku ke pelukannya. Mendekapku erat, membisikkan namaku berulang-ulang. Perhatian seperti itu justru membuat tangisku meledak. Rasa sesak di dada rasanya menghambur tak terbendung.

"Nggak apa-apa, Ge. Menangislah sepuasnya. Nanti kalau kamu sudah tenang, ceritakan segalanya. Aku di sini." Pria itu membelai kepalaku lembut.

Awalnya, aku berniat menangis sepuasnya lalu menenangkan diri. Baru kemudian menceritakan segala yang mengganjal di kepala secara runut, perlahan, tenang. Nyatanya, aku tak mampu menahannya lagi. Pada akhirnya aku memilih untuk meluapkan segalanya. Di sela isak tangisku yang kian menjadi, aku menarik diri dan menatap pria di hadapanku tersebut lalu mulai kuceritakan semua dengan perasaan hancur. Tentang rahasia yang baru saja diungkapkan Papa beberapa waktu lalu. Kalimatku terbata, tak runut, entah bagaimana pria di hadapanku ini mengerti apa yang ingin kusampaikan. Kemampuanku berbahasa rasanya lenyap seketika.

"Aku anak hasil perkosaan, Cano," bisikku serak.

Arcano menatapku dengan wajah pucat. Seperti itulah ekspresiku ketika pertama kali mendengar tentang kenyataan pahit ini. "Ya." Aku mengangguk-angguk. "Aku anak hasil perkosaan. Kehadiranku nggak pernah diharapkan di dunia ini. Bahkan oleh mamaku sendiri." Air mataku terus berjatuhan.

"Sekarang tahu kan kenapa Mama sangat membenciku? Aku bahkan nggak tahu siapa bapak kandungku." Aku meraung.

Arcano menelan ludah. Rahangnya kaku. Eskpresi kaget terlihat jelas di kedua matanya. Namun hanya sebatas itu. Setelahnya, ia dengan sabar menghapus tetes demi tetes air mata di pipi, lalu memelukku kembali, bahkan ketika ceritaku belum usai.

"Aku merasa begitu hina, Cano. Aku kotor!" jeritku.

Arcano menggeleng beberapa kali. Lirih ia berbisik, "Enggak, Ge. Nggak ada yang berubah sama kamu. Kamu tetep Gloria kesayanganku. Kamu nggak kotor, kamu nggak hina. Kamu baik-baik saja, Sayang." Kalimat itu terus berulang. Karena tangisku kian menjadi, ia bangkit dan mengangkat tubuhku.

"Ayo masuk ke rumah dulu." Ia berbisik. Melangkah terburu menyusuri kebun dan membawaku masuk ke kamar. Setelah sampai di sana, ia membaringkanku hati-hati ke tempat tidur. Dan aku tak berhenti merutuki diri sendiri. Membayangkan sosokku laksana perempuan lemah penyakitan. Tiba-tiba kemana semua kekuatanku selama ini? Aku kuat bahkan ketika masih di dalam kandungan Mama. Kenapa sekarang aku jadi lemah tak berdaya?

Mungkin karena mendengar isak tangisku yang kencang dan juga keadaanku yang kalap, Pak Herry memasuki kamar kami dan menghampiri dengan tergopoh dan raut wajah cemas. Berkali-kali beliau menawarkan untuk memanggil dokter. "Cano, panggil dokter saja. Ayah takut kalau Ge punya luka dalam yang memburuk. Jangan-jangan ada tulangnya yang retak? Atau patah? Atau ayah panggilkan sopir saja untuk menyiapkan segalanya ke rumah sakit?" tawarnya. Wajahnya pun kini tampak pucat karena khawatir.

Arcano menatap ayahnya dengan ragu. Namun aku buru-buru menggeleng. "Jangan ..." isakku.

"Aku nggak mau kemana-mana. Aku nggak mau dipanggilkan siapa-siapa. Aku ingin di sini, begini saja." Kalimatku lirih. Arcano dan Papa Herry kembali berpandangan. Masih menunjukkan wajah ragu dan bingung.

"Iya, Yah. Ge hanya sedang ... syok. Biar aku yang jaga." Akhirnya Arcano membuka suara. "Aku akan menemaninya hingga ia tenang."

Pak Herry menatap bergantian ke arahku dan juga putranya. Masih dengan tatapan ragu dan cemas, akhirnya ia mengangguk. "Baiklah. Ayahkan tinggalkan kalian berdua. Kalau ada sesuatu, panggil ya." Walau terlihat enggan, akhirnya ia beranjak, meninggalkanku yang masih saja menangis dengan putus asa.

Aku tak tahu siapa ayah kandungku. Mama yang membawaku ke dunia ini pun melahirkan dengan kebencian dan dendam, lantas memperlakukanku dengan buruk. Hubunganku dengan kedua adikku pun tak jauh berbeda. Kami tak terlalu dekat, bahkan sering berselisih pendapat. Tapi, walau pun begitu, selama ini aku dikelilingi orang-orang baik di sekitar Mas Oky. Lisa juga.

Dan sekarang, aku dianugerahi dua lelaki hebat dalam hidupku. Ada Pak Herry yang memperlakukanku berharga layaknya putri kandung. Dan juga Arcano yang menyayangiku apa adanya.

Tapi, mengapa aku tetap merasa seputus asa ini?

Mungkin karena keluarga adalah muara segalanya? Kata Mama, bukankah definisi keluarga memang seharusnya begitu?

Arcano terus saja melakukan sesuatu padaku demi bisa membuatku merasa tenang dan nyaman. Berbisik lembut, menyebut namaku dengan manis, mengelus puncak kepala dan juga punggungku dengan gerakan penuh kasih. Membuatku merasa begitu berharga, diperlakukan penuh cinta.

Ia sabar menemaniku, menunggu hingga kondisiku membaik dan tenang. Hingga aku lelah menangis dan tenagaku untuk meraung telah habis. Entah berapa lama aku menghabiskan waktuku untuk meratapi diri, lalu kemudian tidur karena kehabisan energi.

***

"Ponselku mana?" tanyaku. Beberapa hari ini aku fokus menghabiskan waktuku untuk pemulihan sehingga tak sempat memegang benda tersebut sama sekali. Sepertinya Arcano yang menangani segalanya. Karena ia selalu bercerita manakala Lisa mengirimkan pesan singkat, ataupun teman-temanku yang lain. Ia yang membalas pesan-pesan tersebut agar tak menimbulkan rasa khawatir pada mereka. Ia pula yang membalas ketika Papa menanyakan kabarku. Tentu saja ia tak bercerita secara jujur bahwa aku baru saja terlibat keributan dengan Aditya dan pria itu nyaris saja menghabisi nyawaku.

"Ini." Arcano sigap mengambil ponsel di laci meja lalu menyerahkannya padaku. "Mamamu sudah pulang dari rumah sakit sejak beberapa waktu yang lalu. Keadaannya sudah lumayan membaik." Ia menambahkan.

"Papa yang memberitahu?" tanyaku sembari menerima ponsel tersebut, lalu mulai mengecek pesan-pesan yang masuk lainnya. Arcano menyahut pendek.

"Ngomong-ngomong soal Aditya, harus kuapakan dia?" Pria itu duduk bergabung di sofa, menempatkan tungkai kakiku ke pangkuannya. Sorot matanya kembali berkilat manakala menyebutkan nama calon adik iparku tersebut.

"Kamu nggak terlibat keributan dengannya lagi, kan?" tanyaku hati-hati. Takut jika ternyata Arcano menyelinap keluar dan mendatangi Aditya ke apartemennya secara diam-diam lalu kembali berduel dengannya. Ia sudah pernah melakukannya, dan ia bisa saja melakukannya lagi.

"Kamu harus tahu usahaku untuk tidak melakukannya, Ge. Berkali-kali aku terpikir untuk mendatanginya kembali, mengobrak-abrik apartemennya, dan mematahkan lehernya." Ia mengeram. "Aku belum puas menghajar wajahnya." Tangannya mengepal. "Atau kusewa saja pengacara untuk menjebloskannya ke penjara? Penganiayaan yang ia lakukan tergolong berat. Dan mudah sekali untuk membawanya ke jalur hukum." Ia menatapku penuh arti, berharap aku mengiyakan saja kemauannya.

"Nggak usah." Aku menjawab cepat.

"Nggak usah? Atas apa yang ia lakukan padamu, kamu masih bisa memaafkannya?"

"Ia dan adikku akan segera menikah."

"Kamu akan membiarkan lelaki seperti dirinya menikahi adikmu?" Arcano menatapku tak percaya.

Aku mengangkat bahu. "Ya gimana lagi. Adikkku cinta." Aku menjawab pendek.

"Tapi, Ge ...."

"Mama masih sakit. Jika tahu apa yang terjadi antara aku dan calon suami Amel, aku takut kesehatannya memburuk." Aku memotong.

"Kamu masih memikirkan keadaan mamamu?"

Aku tak menjawab. Kutundukkan wajahku ke layar ponsel di pangkuan, menatap nomor Mama di sana. Biasanya, aku akan mati rasa manakala mengingat sosoknya. Antara ada dan tiada, rasanya sama saja. Tapi sekarang, entah kenapa aku merasakan ada desir yang tak mampu kujabarkan dengan kata-kata.

"Bagaimana pun juga, dia adalah mamaku," jawabku serak. "Walau ia nggak menganggapku ada. Setidaknya dia harus hidup dengan sehat demi papa dan juga adik-adikku," lanjutku. Aku memutuskan membaca beberapa pesan singkat di ponsel. Kebanyakan dari Lisa, ada pula dari Mas Oky. Pertanyaan ringan menanyakan kabar, tapi sudah dijawab dengan baik oleh Arcano. Pun begitu pesan singkat dari Papa menanyakan keadaanku sekaligus mengabarkan kalau keadaan Mama sudah membaik, juga sudah dibalas dengan baik.

Ah, walau umurnya lebih muda dariku, Arcano adalah sosok pria yang mampu diandalkan.

Kutatap pria yang tengah memijit lembut jemari kakiku. Rambut panjangnya ia kuncir asal hingga beberapa helai berjatuhan di seputar wajah. Tanpa sadar, aku mengulurkan tangan dan menyelipkan helai-helai rambut itu ke belakang telinga.

Arcano mendongak lalu ganti memegang tanganku kemudian mengecupnya ringan. "Jangan mikir yang aneh-aneh dulu, ya. Fokus ke pemulihan dulu. Aku ingin kamu yang senantiasa sehat," ucapnya.

Aku membayangkan bagaimana pria yang mentalnya juga sedang tak baik-baik saja ini tengah sibuk menjagaku. Pontang-panting memanggil dokter, mondar-mandir untuk berdiskusi dengan ayah. Ironis sekali, bukan? Orang sakit merawat orang sakit.

Aku tersenyum kaku, lalu mengangguk. keadaan hening sejenak, sampai akhirnya aku kembali membuka suara. "Tiba-tiba saja terpikir olehku. Kenapa selama ini kelakuanku buruk? Ternyata memang benihnya buruk." Aku tertawa miris, mengingat kelakuanku selama ini yang ternyata nggak ada baiknya sama sekali. Jahat dan penuh dengan dengki.

"Ge ...." Arcano mengerang.

Aku mengangkat bahu putus asa.

"Mungkin ini faktor genetik, ya? Karena ayah kandungku bisa saja lebih buruk. Lelaki mana yang tega merusak masa depan seorang perempuan yang tak ia kenal, kalau bukan lelaki brengsek." Aku terkekeh, lalu menatap Arcano dengan miris. "Jadi kenapa aku tumbuh jadi manusia brengsek? Keturunan." Aku kembali tertawa sinis.

Arcano beringsut, menyentuh pipiku lembut. "Bukan. Kamu bukan manusia yang seperti itu." Ia memastikan kembali. Tapi entah kenapa, kalimat itu rasanya basi. Tak mempan lagi.

"Aku benar-benar merasa kotor dan hina, Cano. Sepertinya kehadiranku di muka bumi ini memang nggak berguna," lanjutku dengan suara serak.

Arcano menggeleng lembut. "Itu nggak bener." Jemarinya belum berpindah dari pipiku. "Aku tahu kenapa Tuhan membuatmu kuat sejak di dalam kandungan, sehingga mau nggak mau, Mamamu tetap harus membawamu dengan selamat ke dunia ini."

"Apa?"

"Untuk ditakdirkan bertemu denganku." Arcano menyahut cepat disertai senyum lebar. Aku hanya merespon serupa dengan versi lebih tipis, lalu menggeleng. "Terima kasih sudah menghibur," jawabku.

Terdengar Arcano menarik napas panjang. Ia mengambil ponsel di tanganku lalu meletakkannya ke meja. Mencoba mengalihkan fokusku, agar aku lebih leluasa dengan obrolan kami. Setelahnya, ia meraih tanganku dan menggenggamnya lembut.

"Ayah bilang, nggak ada hal di muka bumi ini yang diciptakan tanpa fungsi. Semua hal punya kegunaan. Kamu mungkin diabaikan, tapi bisa jadi keberadaanmu adalah harapan baru untuk seseorang yang lain. Jadi, jangan pernah menganggap diri ini tak berguna. Percayalah, setiap dari keberadaan kita di dunia adalah harapan baru bagi seseorang yang lainnnya. Dalam ini, bisa jadi, kau untukku, dan ... vice versa." Kali ini ia mengecup tanganku lagi.

"Tapi ... aku .... " Aku menggigit bibir.

"Kamu menerimaku bahkan ketika tahu bahwa aku sakit." Arcano kembali buru-buru berujar.

"Ya, tapi aku yang butuh diselamatkan," potongku.

"Kita saling menyelamatkan." Ia menyahut tegas.

Tatapan kami beradu lekat. "Ge, ayo pergi," ucap pria itu kemudian.

Aku mengernyitkan dahi. Menatap pria di hadapanku dengan bingung. Keadaan berubah hening sejenak, karena aku mulai sibuk mencerna ajakannya.

Pergi?

Pergi kemana?

Mengakhiri hidup bersama?

***

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro