28. Gelas Kaca

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pergi kemana?" tanyaku bingung.

"Aku setuju dengan idemu beberapa waktu lalu. Ayo pergi. Kemana saja, yang jauh juga nggak apa-apa. Kamu dan aku, berdua saja." Kedua mata Arcano yang biasanya kelam kali ini terlihat lebih hidup.

"Ke tempat baru? Ke luar negeri?" ulangku.

Sosok yang masih menatapku lekat itu mengangguk. "Iya, kemana saja yang kamu mau. Keluar negeri? Kemana kemarin kamu ingin pergi? Ladakh? Kashmir? Atau Jepang? Atau ... Edinburgh? Ayah bilang, beliau punya teman di sana. Mereka bisa bantu untuk menemukan properti yang tepat di countryside. Kamu bilang ingin tempat yang tenang, kan?" Arcano berujar dengan antusias.

"Kenapa tiba-tiba kamu berubah pikiran?" tanyaku kemudian dengan keheranan. Walau tak bisa dipungkiri, aku senang sekali menyaksikan antusiasme di diri Arcano. Akhir-akhir ini, hal itu jarang kutemui pada sosoknya.

"Kenapa kamu ingin membawaku pergi?" tanyaku lagi karena Arcano tak kunjung memberikan jawaban. Arcano menatapku dalam dengan sorot mata tegas lalu menjawab, "Aku ingin menjauhkanmu dari Aditya."

Mendengar nama lelaki itu disebut, aku menelan ludah. Perasaan was-was kembali menyelimuti diri. Ada bagian dari diriku yang kembali merasa takut mengingat kejadian beberapa waktu lalu dan nyaris merenggut nyawaku. Rasa sakit ketika lelaki itu menghempaskan tubuhku ke lantai dan menghantamkan keningku ke meja, tiba-tiba kembali kurasakan. Perih, nyeri di mana-mana.

"Dia berbahaya, Ge. Dan aku takut ia akan melakukan hal lebih nekat dari yang sudah-sudah. Aku ingin kamu jauh-jauh darinya." Arcano kembali menambahkan. "Sebetulnya itu alasan kedua aku ingin membawamu pergi. Alasan utama, karena aku ingin menjauhkanmu dari mamamu."

Aku tertegun. "Mama?" desisku.

Arcano mengangguk lalu kembali meremas tanganku dengan lembut. "Kamu dan mamamu ibarat dua gelas kaca yang rapuh. Jika terlalu dekat, kalian akan berbenturan, lalu ... retak. Bisa salah satu, atau bahkan malah dua-duanya. Maka, setelah dipikir-pikir, sepertinya yang terbaik adalah jaga jarak. Itu terdengar lebih masuk akal. Atau ... hubungan kalian bakal gini-gini aja."

Tubuhku seketika membeku. Kalimat Arcano barusan terasa seperti sebuah tamparan. Karena faktanya, itu benar. Aku dan Mama adalah dua orang yang akan selalu membenci dan saling menyakiti.

"Kalian harus berjauhan, Ge. Karena jika tidak, kamu dan Mamamu hanya akan terus saling melukai. Ia rapuh, pun begitu dengan dirimu." Arcano menambahkan.

"Jika kita pergi, lalu ibumu bagaimana?" Aku bertanya ragu.

"Ayah akan menjaganya. Aku sudah berdiskusi dengannya semalam. Dan ia berjanji untuk terus menjaga ibu. Jadi, nggak ada yang perlu kukhawatirkan." Aku mengerjap, tak percaya. Karena kali ini Arcano berbicara dengan wajah semringah.

Kupikir Arcano akan sadar bahwa ibunya telah tiada, mengingat pertengkaran kami terakhir, aku sudah mengatakan padanya bahwa ibunya sudah pergi. Nyatanya, ia tetap saja masih berhalusinasi.

Tidak apa-apa. Pelan-pelan saja. Suatu saat, ia akan sadar bahwa ibu tidak ada lagi dunia ini.

"Bagaimana? Sepakat?" tanya Arcano lagi.

Aku menunduk, menatap tangan Arcano yang tengah menggenggam tanganku. Tak memberikan jawaban.

***

Aku tertatih menyusuri lorong ruang tengah menuju ruang kerja Pak Herry, pagi-pagi sekali, sebelum beliau berangkat ke kantor. Aku sudah lumayan pulih dari luka-luka akibat penganiayaan yang dilakukan Aditya. Tapi kakiku yang mengalami pukulan parah di bagian lutut masih terasa nyeri ketika digunakan untuk melangkah.

Pak Herry masih berada di meja kerjanya ketika aku sampai sana. Ketika melihat kedatanganku, beliau bergerak buru-buru. "Kenapa sudah digunakan untuk jalan-jalan, Nak? Kakimu masih belum sembuh benar?" Beliau membantuku duduk. Ada perasaan malu menjalar. Lagi-lagi merasa menjadi manusia tak berguna karena merepotkan orang yang lebih tua. Apalagi orang tersebut penuh perhatian luar biasa layaknya orang tua kandung.

"Ada yang mau saya bicarakan dengan Papa. Mumpung Arcano masih tertidur, makanya saya ke sini," jawabku.

Pak Herry bergerak untuk duduk di sofa yang berada di seberang tempat dudukku lagi menatapku dengan ekspresi serius. Ia mengangguk lalu menjawab, "Ya, bicara saja sama bapak."

Aku mengambil jeda sejenak sebelum kemudian mengutarakan maksud kedatanganku ke sini. Tentang keinginan Arcano untuk pergi. Pak Herry mendengarkan dengan seksama lalu mengangguk. "Benar, Arcano sudah berdiskusi dengan Bapak tentang rencananya untuk membawamu pergi. Awalnya bapak juga kaget, mengingat terakhir kali bapak menawarinya ide ini, ia menolak dengan alasan nggak tega meninggalkan ibunya. Tapi, sepertinya ia berubah pikiran setelah membawamu pulang beberapa waktu dalam keadaan berdarah-darah." Beliau menjawab.

Keningku mengernyit, lalu ditimpali dengan kalimat lagi oleh Pak Herry.

"Menyaksikan dirimu nggak sadarkan diri selama beberapa hari, ia luar biasa terpukul. Belum lagi dengan kondisi tubuhmu yang dipenuhi luka. Aku sudah sering melihatnya terpuruk beberapa kali, Ge. Tapi baru kali ini aku melihatnya sehancur ini. Arcano benar-benar, menyayangimu dengan sepenuh hati," lanjutnya.

Sosok yang memakai stelan kemeja dan celana kain rapi itu mendesah pelan lalu menatapku lagi dengan dalam. "Jangan buang-buang waktu lagi, Ge. Mumpung Arcano sendiri yang berniat membawamu pergi, turuti saja. Pergilah ke tempat yang baru, suasana baru, dan hiduplah bahagia. Bapak akan sangat mendukung kalian."

"Lalu Papa bagaimana?" tanyaku kemudian.

"Seperti yang sudah bapak ungkapkan, ya bapak akan tetap di sini. Kalian bisa bersenang-bersenang saja, berdua."

"Kenapa kita nggak pergi bertiga saja, Pa?"

Pak Herry menggeleng. "Selama ini Bapak merasa begitu berat berpisah dengan Arcano, mengingat bahwa bapak adalah satu-satunya keluarga yang ia punya. Takut bagaimana ia akan menjalani hidupnya bilamana bapak sudah nggak ada nanti, mengingat umur Bapak yang sudah tua. Tapi sekarang, bapak sangat lega karena Arcano sudah punya kamu. Jadi, bapak serahkan Arcano sepenuhnya padamu, ya. Jaga dia, sayangi dia. Kalian harus hidup bahagia bersama."

Kedua mataku seketika basah. Aku belum memutuskan untuk mengiyakan rencana bepergian ini. Tapi entah kenapa, ini serasa sudah mau pamitan.

"Bapak akan baik-baik saja di sini. Percayalah. Bagi bapak, masa depan kalian adalah yang utama. Jadi jangan buang-buang waktu lagi. Ayo, kita siapkan segalanya agar kalian bisa berangkat. Kemana kalian ingin pergi pertama kali?" Beliau kembali menawarkan lalu membuka ponsel. Jemari keriputnya bergerak pelan di atas layar. "Bapak punya teman yang bersedia membantu kepindahan kalian. Tinggal bilang saja mau bepergian kemana, maka akan segera bapak urus." Walau wajahnya tertunduk pada ponsel, tapi pantulan cahaya dari benda tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa kedua mata Pak Herry sudah basah.

"Countryside di Edinburgh juga bagus. Arcano bisa memulai dengan bisnis kecil-kecilan agar diperbolehkan membeli aset. Ia sudah lumayan ahli dalam hal bisnis properti. Anak itu bisa diandalkan. Nanti bapak bantu membelikan rumah di sana." Beliau tersenyum lagi, bangga.

Membayangkan Pak Herry akan menghabiskan hari-hari tuanya sendirian, aku menangis. "Papa nanti sendirian?"

Pak Herry menggeleng. "Ada banyak saudara jauh yang bersedia menemani bapak. Jadi jangan terlalu dikhawatirkan. Nanti, ketika keadaanmu dan juga Arcano sudah stabil, kita akan saling mengunjungi. Bapak janji."

Mendengar semua kalimat Pak Herry, aku menunduk dengan lunglai dan menangis kembali.

***

Arcano menjalankan mobilnya dengan pelan menyusuri jalan raya yang mulai disinari lampu-lampu lalu lintas. Jam digital di dashboard mobil menunjukkan pukul 17.20. Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah mama.

Setelah sempat merenung lama, berpikir, dan kembali berdiskusi dengan Arcano maupun Pak Herry, aku memutuskan untuk mengiyakan ajakan Arcano. Kami akan pergi, berdua saja. Ke Edinburgh. Berat ketika membayangkan Pak Herry akan menjalani hari-harinya sendirian saja. Tapi, mental Arcano, dan terutama mentalku sendiri, perlu segera untuk diselamatkan. Banyak kenangan buruk di tempat ini, dan kami harus pergi.

Tadi sebelum berangkat, aku sudah sempat menelpon Lisa sendiri. Meminta maaf karena kemungkinan tak bisa hadir dalam pernikahannya, sekaligus memberitahu padanya bahwa aku dan Arcano memutuskan pindah. Ia menangis, tentu saja. Merasa menyesal karena tak mampu membantu ketika diriku terlibat konflik dengan Aditya, ataupun ketika pertengkaranku dengan Mama dan adikku semakin memburuk. Ia juga menangis karena tak sempat mengunjungiku ketika aku sakit.

Lama kami mengobrol, bertangis-tangisan. Mencurahkan segalanya, dan juga mendoakan kebahagian masing-masing. Pembicaraan kami akhiri sesaat setelah ia berdoa agar Aditya disambar petir atas semua kelakuannya. Dan aku hanya mampu tergelak.

Aku tak ingin mengaminkannya. Karena bagaimanapun juga, ia calon suami adikku sendiri.

"Nanti, andai ada Aditya di rumah Mama, jangan buat keributan ya. Anggap saja nggak kenal, dan anggak saja ... nggak pernah terjadi apa-apa di antara kami." Suaraku memecah keheningan, setelah sekian menit dalam perjalanan kami menghabiskan waktu untuk berdiam diri.

Arcano menatapkku sekilas lalu berdecih. "Menganggapnya nggak ada, bisa. Tapi menganggap bahwa nggak pernah terjadi apa-apa di antara kalian, itu yang sulit." Ia menggumam, lalu melirik kembali keningku yang masih diperban. "Luka-luka di tubuhmu bahkan belum sembuh." Pria itu mengomel sembari mencengkeram kemudi hingga membuat buku-buku tangannya memutih. Aku menyentuh lengannya lembut.

"Aku nggak ingin ada keributan dan drama lagi, Cano. Aku ingin kita pergi dengan nyaman. Aku hanya akan menemui Mama dan Papa sebentar, pamit, lalu pulang. Oke?" ucapku.

Arcano tak segera menjawab. Ketiku aku kembali menyentuh lengannya, ia hanya mengangguk dan berdehem pendek. "Hm," jawabnya.

"Dan jangan ceritakan tentang keributanku dengan Aditya."

"Kalau mereka bertanya kenapa jalanmu pincang dan keningmu diperban?"

"Jawab saja jatuh." Aku menjawab singkat.

Tatapan Arcano kembali beralih ke arahku dengan sorot protes. Tapi sedetik kemudian, ia menarik napas berat lagi lalu menyahut, "Hm."

Lalu keadaan kembali lengang. Suara audio dimatikan, Arcano fokus menyetir, dan aku pun hanya diam membisu. Mencoba merangkai kalimat apa yang sebaiknya kuucapkan manakala bertemu Mama nanti.

***

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro