29. Pamit (End)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua puluh menit kemudian kami sampai di rumah Mama. Setelah memarkir mobil di bahu jalan, Arcano membantuku turun dan kami melangkah pelan memasuki rumah. Lampu-lampu sudah menyala, tapi tetap kelihatan lengang.

Papa yang menyambut kedatanganku pertama kali. Melihat keadaanku, ia tampak syok. Jalanku masih pincang, kening diperban, bahkan luka lebam di bawah mata dan tulang pipi masih nampak jelas. Sebelum beliau melontarkan banyak pertanyaan, aku buru-buru menjelaskan bahwa ini karena terjatuh dari sepeda motor. Raut wajahnya nampak khawatir, sementara Arcano yang sempat kulirik hanya menunjukkan wajah masam. Merasa kesal karena aku benar-benar menjalankan kebohonganku.

"Mamamu ada di kamar, ditemani Amel." Papa menyilakan.

"Patricia?"

"Masih ada ujian di kampus."

Aku manggut-manggut. Lalu bertanya hati-hati. "Aditya?"

Papa menggeleng. "Nggak, dia nggak di sini. Amel bilang, beberapa hari ini dia akan sibuk sekali dengan pekerjaannya dan juga rencana pernikahan mereka."

Aku manggut-manggut. Oh, jadi mereka tetap menikah rupanya.

"Ayo kalau bertemu mamamu." Papa menggamit lenganku, dan membawaku masuk ke kamar Mama sementara Arcano menunggu di ruang depan.

Mama tampak sedikit lebih kurus. Tubuh lemahnya terbaring dengan posisi bantal agak lebih tinggi, sehingga aku leluasa menatap wajahnya yang masih pucat. Amel yang melihat kedatangnku hanya sempat menatapku dengan raut wajah tak senang lalu buru-buru melesat keluar. Papa pun mengikutinya, meninggalkanku yang hanya berdiri tertatih di hadapan ranjang mama. Tinggal kami berdua sekarang.

Awalnya kedua mata Mama terpejam, namun ketika aku memanggilnya pelan, ia mulai membuka mata. Sejurus kemudian ia menatapku saksama dari atas sampai bawah dengan ekspresi kaget. Berkali-kali tatapannya singgah pada luka di keningku dan juga tubuhku yang lain.

"Jatuh." Aku buru-buru menjawab pendek. Mama tak mengatakan apapun. Lalu tiba-tiba keadaan berubah menjadi hening dan canggung. Kalimat yang telah kurangkai selama dalam perjalanan kemari tadi rasanya menguar begitu saja.

Aku berdehem lalu kembali berkata, "Papa sudah menceritakan segalanya padaku, Ma. Tentang rahasia yang selama ini Mama pendam. Bahwa ... aku bukan anak kandung Papa. Dan bahwa ... aku adalah anak ...." Kalimatku tertahan. Rasanya mustahil sekali menyelesaikan kata-kataku. Karena pada akhirnya, aku memang tak mampu.

Wajah Mama nampak tegang. Tapi lagi-lagi Mama tak mengucap sepatah kata. Kedua tangannya meremas selimut yang menutupi sebagian tubuh, sementara tatapannya nampak bingung dan putus asa. Aku bingung harus bagaimana mendeskripsikannya. Apakah Mama masih putus asa dengan takdir kami? Dengan kehadiranku di bumi ini? Atau dengan masa lalunya yang pahit?

"Aku ke sini karena ... mau pamit sama Mama." Tiba-tiba saja aku mulai terbata. Padahal biasanya, jika berhadapan dengan Mama, aku selalu lancar beradu argumen atau mengungkapkan apapun yang ada di kepalaku.

"Pamit?" Bibir Mama bergetar.

Aku tersenyum canggung lalu mengangguk. "Aku dan Arcano berencana pindah keluar kota. Kami akan pergi jauh. Dalam waktu beberapa bulan lagi, kami akan berangkat."

Mama ternganga dan aku buru-buru mengangkat bahu lalu berujar, "Arcano mengajakku pergi. Sebagai istri, aku setuju untuk ikut serta. Begitu saja alasannya."

Keadaan kembali hening. Mama membuang pandangannya ke luar jendela, sementara aku menunduk, menatap ubin yang selalu bersih dan mengkilat.

"Mmm, hanya itu saja tujuanku ke sini, Ma." Aku menatap kembali wajah Mama dan buru-buru ingin menyudahi obrolan ini. "Aku ... akan pulang. Jaga diri baik-baik ya, Ma."

Aku memutuskan sebelum keadaan canggung ini makin berlarut-larut. Setelah kembali melontarkan senyum kaku, aku beranjak. Entah kenapa sekarang kami ibarat orang asing. Apakah ikatan batin di antara kami benar-benar tak ada?

"Ge ..." Mama memanggil dengan suara tercekat, nyaris tertelan kembali ke tenggorokan.

Langkahku urung. Aku berbalik dan menatap kembali ke arah Mama. Kami berpandangan lekat. Aku menggigit bibir keras karena sadar bahwa kedua mata Mama sudah basah. Pun begitu, pandanganku sendiri kabur karena tertutup air mataku sendiri.

"Maafkan Mama, ya." Dan butir-butir kristal bening dari kedua mata Mama mulai menitik. "Maafkan Mama karena nggak bisa memberikan cinta yang seharusnya kamu dapatkan. Maafkan Mama karena ...." Air mata perempuan itu berjatuhan. Kalimatnya terhenti sejenak karena tertelan isak.

"I love you, Ge." Ia meraung. "Mama sayang sama kamu. Tapi ...." Bahu Mama terguncang. "Tapi ... setiap kali ngelihat kamu, bayangan buruk di masa lalu itu selalu menghantui. Semua kebencian dan dendam rasanya muncul kembali. Mama ... nggak tahu harus bagaimana lagi. Mama ...." Tangis Mama kembali meledak.

Aku kembali menggigit bibirku yang gemetar. Terpaku menatap perempuan yang tengah terisak hebat di hadapanku.

"Maafkan Mama ... Maafkan Mama ya, Ge." Ia terus saja menangis dan mengucapkan kata maaf berulang-ulang.

Dan tanpa bisa kubendung, aku pun terisak pelan. "Ya, Ma. Aku paham." Aku mengangguk berkali-kali. "Aku ... paham, Ma," ucapku lagi. Suaraku nyaris tertelan kembali. Dadaku rasanya sesak. Tapi setidaknya aku paham kenapa Mama memperlakukanku berbeda.

"Sehat-sehat terus, ya, Ma." Aku kembali berujar lirih, kali ini dengan tulus dari lubuk hatiku yang paling dalam. Aku benar-benar ingin agar Mama sehat dan baik-baik saja, demi papa dan juga dua adikku yang lain. "Jaga diri baik-baik. Ge pamit, ya." Aku menyeka air mataku lalu berbalik tertatih. Terdengar Mama masih terisak, dan aku tetap melangkahkan kakiku meninggalkan ruang tersebut tanpa melihat kembali ke arah beliau.

Sudah, begini saja lebih baik. Tak ada pelukan, tak ada ucapan perpisahan ataupun ciuman hangat layaknya ibu dan anak. Selesai begini saja.

Karena Arcano benar, aku dan Mama ibarat dua kelas kaca rapuh. Terlalu dekat, justru membuat kami retak dan saling memberikan luka.

***

Aku keluar dari kamar Mama dengan langkah tertatih sembari menghapus air mata di wajah, lalu menemukan Amel duduk di ruang tengah. Perempuan itu duduk di kursi dengan punggung tegak sambil menatapku sinis.

"Aku akan pergi. Ikut suami pindah ke kota lain. Jaga Mama dan Papa, ya." Aku berucap datar. Ini terdengar konyol, karena selama ini toh memang Amel yang selalu menjaga Mama dan juga Papa. Memperlakukan mereka dengan penuh hormat, sementara aku hanya bikin masalah. Tapi tetap saja, aku ingin mengatakan ini padanya.

Amel terkekeh sinis. "Emang selama ini aku kan yang jaga mereka? Mbak ngapain aja selain bikin masalah buat Mama dan Papa? Sampai Mama sakit gitu," jawabnya ketus.

Untuk pertama kalinya, aku merasa tak sakit hati dengan respon Amel. Biasanya, ketika ia mendebat, emosiku selalu naik ke ubun-ubun. Sekarang, tidak lagi. Aku tahu ia menyebalkan, tapi rasa cinta dan sayangnya pada Mama, Papa, maupun Patricia, tak perlu diragukan lagi. Ia akan menjaga mereka sepenuh hati. Ia selalu mampu diandalkan jika soal keluarga.

"Jadi kamu masih berniat menikah dengan Aditya?" tanyaku kemudian, mengalihkan topik pembicaraan.

"Kami saling mencintai. Tentu saja kami akan tetap melangsungkan rencana pernikahan kami." Lagi-lagi ia menjawab ketus.

"Dan kamu sudah bertemu dengannya, kan? Bagaimana lukanya?" pancingku.

Amel tampak kaget. Sorot matanya kelam seketika. Ia tahu arah pembicaraanku. Bahwa aku dan Aditya punya luka yang nyaris sama. Bahwa ada sesuatu hal buruk yang terjadi di antara kami.

"Kamu pintar, Mel. Tanpa kujabarkan panjang lebar pun harusnya kamu tahu apa yang terjadi di antara kami. Dia terluka, pun begitu dengan diriku. Jadi, silahkan tanya sendiri padanya, apa saja yang sudah ia lakukan padaku."

Rahang Amel kaku. Ia menatapku nanar.

Aku menggeleng lalu terkekeh. "Enggak, ini nggak seperti yang kamu bayangkan. Aku memang tidur dengannya, tapi hanya sekali. Dan itu sebuah kesalahan fata. Percayalah, itu tidak terulang lagi. Ia hanya ... sedikit temperamental dan ... brutal." Aku menunjukkan kening, tulang pipi, dan beberapa luka di tubuhku.

Amel menelan ludah dan menatapku dengan syok. Seolah tak percaya bahwa kami pernah terlibat adu fisik yang lumayan parah.

"Bawa dia ke dokter, Mel. Dia sakit. Dia butuh Psikiater." Aku kembali berujar.

"Suamimu mungkin gila, tapi calon suamiku tidak." Amel nyaris berteriak.

Aku terkekeh sinis. "Jangan denial. Itu hanya akan menyengsarakan dirimu sendiri. Terserah kamu saja, yang penting aku sudah berusaha mengingatkanmu. He needs help. Dia butuh dokter." Aku mengangkat bahu lalu melangkah lagi dengan pelan. Menemui Papa dan juga Arcano yang tengah berada di teras.

Melihat kedatanganku, Arcano sigap berdiri dan menggamit tubuhku. "Kami pamit dulu, ya, Pa."

Papa menatapku dengan wajah suram. "Cano bilang, kalian akan ...."

Aku buru-buru mengangguk. "Ya, kami memutuskan untuk pindah ke luar negeri. Tadi Ge sudah pamit sama Mama, dan juga Amel. Sampaikan salamku pada Patricia, ya."

Sebelum Papa mengatakan sesuatu, aku buru-buru memeluknya dengan erat, lalu terisak. Hubunganku dengan Mama memang buruk, tapi Papa adalah anggota keluarga terbaik setelah Nenek. "Jaga diri baik-baik ya, Pa," ujarku serak. Kami bertangis-tangisan.

"Tapi kamu nggak selamanya kan di sana? Kamu akan sering-sering pulang, kan? Mengunjungi Papa dan Mama, kan?" Papa kembali bertanya bertubi-tubi.

Kalimat papa tak kujawab, karena sejujurnya, tak ada yang mampu kujanjikan. Aku takut tak dapat memenuhi janji tersebut. Maka, yang dapat kulakukan saat ini adalah tak menjanjikan apapun.

"Jaga diri baik-baik ya, Pa. Sehat selalu, ya." Aku berucap lagi. Dan kali ini aku benar-benar pamit. Kupeluk sosok itu erat-erat, lalu benar-benar melepaskannya. Mengikuti langkah Arcano menuju mobil kami lalu pergi.

Dalam perjalanan pulang, tangisku tak berhenti. Arcano bahkan sampai harus meminggirkan mobilnya dan berhenti di bahu jalan. Ia sabar menungguku tenang. Ia bahkan dengan sabar membantuku menghapus air mata di pipi dengan jemarinya. Ketika tangisku tak mampu kubendung, ia membawaku ke dekapannya, memelukku lembut dan hangat. Memberikan rasa nyaman yang benar-benar kubutuhkan.

"Hidupku gini amat, ya," bisikku serak.

Arcano menarik diri lalu menatapku dalam. "Sama. Hidupku juga, kok." Ia mencoba melucu lalu menyeringai lebar. Nyatanya ia tak benar-benar tertawa, karena kedua matanya malah ikut basah.

"Jangan ikutan nangis," peringatku.

Bibir Arcano berdecih. "Ya gimana, kalau kamu ketawa, aku ikut ketawa. Kalau kamu nangis, aku juga ikut nangis." Ia menjawab asal. Childish, tapi lucu. Memberikan sedikit hiburan tersendiri di hatiku.

"Sudah kubilang, kita ini memang ditakdirkan satu sama lain, Ge. Untuk setiap luka yang sudah kita alami, kita akan saling menyembuhkan dan menguatkan. Mau seberat apapun hidup kita, harapan itu akan selalu ada. Harapan baru, kebahagiaan baru, oke?" lanjutnya.

Aku hanya tersenyum masam.

Pria yang rambutnya senantiasa dikuncir asal itu menangkup wajahku dengan kedua tangan, lalu berujar lembut, "Aku pernah dengar bahwa seseorang hanya membutuhkan tiga hal untuk benar-benar bahagia di dunia ini. Seseorang untuk dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu untuk diharapkan. Dan aku sudah menemukan semuanya, di kamu."

Mendengar serangkaian kalimat dari bibirnya, aku tersenyum haru.

"Bagaimana? Siap melepaskan segalanya dan memulai hidup baru?" Ia berbisik. Kali ini aku yang berinisiatif untuk mencondongkan tubuhku dan mengecup bibirnya lembut. Aku mengiyakan, pelan. Ia pun membalas ciuman itu dengan dalam.

"Ngomong-ngomong, belikan aku kamera ya?" pintaku, setelah mobil yang kami tumpangi kembali berjalan pelan membelah jalan raya.

"Untuk?" Arcano melirikku sekilas.

"Aku juga ingin membantu cari penghasilan. Aku bisa memotret, lalu hasilnya dijual."

Arcano manggut-manggut. "Boleh," jawabnya. Dan tiba-tiba saja ide tercetus.

"Bagaimana kalau kamu jadi modelnya saja? Wajahmu tampan, rambutmu panjang, kamu tinggi, kamu ganteng, kamu seksi. Kamu ... luar biasa. Kamu ..." Kali ini aku antusias sekali.

Arcano bergidik lalu buru-buru menggeleng. "No way...," jeritnya.

"Pasti hasilnya akan sangat estetik sekali." Aku tak pantang menyerah.

"Ge ...." Pria itu mengerang lalu berkali-kali menggeleng. "Nggak mau."

"Coba dulu, Sayang."

"Nanti wajahku dilihat orang banyak."

"Nggak apa-apa. Wajah tampan memang seharusnya menghasilkan."

"Gloria ....." Pria itu melotot.

Aku tergelak. Ah, betapa aku mencintai sosok ini.

Harapan baru. Semuanya ada di kamu.

***

Selesai.

Terima kasih sudah sabar mengikuti kisah Arcano dan Ge sampai selesai. Cerita ini akan terbit dalam bentuk ebook dan tersedia di Playstore. Akan ada beberapa part tambahan. Misal ingin lebih hemat, bisa nge-track di Karya Karsa, ya. Ayo, sebelum dihapus sebagian demi kepentingan penerbitan, dipuas-puasin ya bacanya.

Doakan lancar dan cepat kelar, jadi bulan depan bisa segera launching. Matur tengkyuuu.

I Love you semuanyaaa...

Salam cinta dari Arcano dan Gloria, ya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro