Dia Putriku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Waktu berjalan begitu cepat, usia kehamilan Andrea sudah menginjak sembilan bulan. Di bulan-bulan ini Andrea merasakan punggungnya nyeri dan geraknya terbatas karena nafasnya terasa berat.

"Kamu pulang jam berapa, Kak?" tanya Andrea melalui sambungan telepon.

Saat ini dia tengah berselonjor di atas sofa panjang dengan kaki yang sedang dipijat oleh Bi Asih. Entah mengapa ia merasa lelah sekali hari ini, tidak seperti biasanya. Intensitas buang air kecilnya pun meningkat akhir-akhir ini.

Rey baru saja keluar dari ruang operasi dan membersihkan diri. Ia saat ini sedang duduk di dalam ruangannya menunggu jam kerja selesai.

"Setengah jam lagi, Sayang. Kamu mau titip sesuatu?"  tuturnya seraya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Andrea menahan sesuatu yang terasa nyeri di bagian bawahnya. "Tidak, tapi segeralah pulang. Aku sepertinya sedang tidak enak badan."

"Oke, Sayang. Aku akan segera pulang."

Rey memutuskan sambungan teleponnya. Bulan ini adalah bulan prediksi kelahiran anak pertamanya. Jadi dia harus siap sedia jika sang istri mulai merasakan gejala-gejala akan melahirkan.

Andrea meletakkan ponselnya di atas meja, dia bangkit dari tempat duduknya hendak berjalan menuju kamar mandi untuk buang air kecil, tetapi ia merasakan perutnya semakin sakit dan tak tertahankan. 

"Non Andrea kenapa? Apakah perutnya sakit?"  Bu Asih bergerak mendekat setelah melihat Andrea memperlambat langkahnya.

Andrea mengangguk, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit yang ia rasakan. "Bu, sepertinya aku akan melahirkan. Tolong ambil tas yang sudah kita siapkan kemarin di kamar atas. Bawa serta tas yang biasa kita bawa ketika periksa, Bu. Aku akan duduk lagi di sofa."

Bu Asih langsung berlari naik ke lantai atas, mengambil tas perlengkapan melahirkan serta tas kecil yang sering dibawa periksa oleh sang majikan. Bu Asih membawanya ke lantai bawah.

Di lantai bawah Andrea sedang duduk bersandar di sofa. Ia merasa semakin sakit dalam perutnya, itu berlipat-lipat lebih sakit daripada perut ketika haid ataupun diare. Bersamaan dengan itu dia merasa seperti ingin buang air besar yang tak tertahankan, tetapi tubuhnya sudah lemas. Untuk itu ia hanya bisa menahannya hingga Bu Asih turun dari lantai atas.

"Non, sudah telepon Bapak lagi belum?" Bu Asih semakin khawatir melihat kondisi istri majikannya yang terlihat pucat dan kesakitan.

Tak ada jawaban dari Andrea, Bu Asih segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan menelepon kembali sang majikan. Ketika sambungan terhubung, dari seberang Bu Asih mendengar suara bising, sepertinya sang majikan tengah berada di jalan. Sesaat kemudian terdengar suara sahutan, "Tunggu, Bu. Saya sudah di jalan depan gang."

Bu Asih menghela nafas lega. Dia segera mematikan sambungan telepon dan menyimpan kembali ponselnya. Dia duduk mengambil duduk di samping Andrea dan berkata, "Sabar, Non. Tuan sebentar lagi datang."

Andrea hanya mengangguk sebagai jawaban, bibirnya yang kering dan pecah-pecah terkatup rapat. Ia diam sembari meremas ujung bantal sofa untuk melampiaskan rasa sakitnya. 

Suara mobil berhenti tepat di depan rumah, Bu Asih segera berlari membukakan pintu rumah, sosok Rey dengan wajah khawatirnya langsung bertanya keberadaan sang istri.

"Nyonya ada di ruang tengah, Pak."

Begitu melihat wajah pucat Andrea dan darah mengalir di antara dua kaki sang istri Rey segera membopong istrinya membawanya masuk ke dalam mobil. "Bu Asih, bawa tas dan perlengkapan lainnya masuk ke dalam mobil. Jangan lupa kunci pintu, kita harus segera ke rumah sakit."

"Sayang, sabar ya? Kita akan ke rumah sakit. Atur nafasmu, jangan mengejan meskipun kamu ingin itu akan membuat bagian bawah mu terasa sakit."

Andrea mengangguk lemah, dia sudah pernah mendengar nasehat itu sebelumnya dari sang ibu, jadi dia hanya diam dan menahannya sekuat tenaga.

Beruntung sekali jalanan sore itu tidak terlalu ramai, mobil Rey bisa leluasa melaju dan sampai di rumah sakit. Begitu sampai di rumah sakit, Rey langsung meminta bantuan. Andrea segera mendapat pertolongan tindakan medis.

"Pembukaan sudah empat setengah senti. Kepala bayi sudah hampir masuk mulut rahim." Tutur seorang perempuan paruh baya yang merupakan dokter spesialis kandungan.

Andrea langsung dibawa ke dalam ruangan bersalin, hanya selang dua puluh menit saja, Andrea sudah mendapatkan pembukaan sempurna.

***

Seorang bayi perempuan mungil yang cantik telah terlahir dari rahim Andrea. Rey begitu bahagia melihatnya. Ia mengecup dahi Andrea dan berkata, "Sayang, anak kita sudah lahir. Dia cantik sepertimu. Terima kasih sudah berjuang ya, Sayang."

Andrea dengan sisa tenaganya hanya tersenyum menanggapi ucapan Rey. Dia merasakan tubuhnya sangat lemah dan tak bertenaga saat ini, matanya terasa sangat lelah. Namun, ia merasa tidak sabar melihat wajah putrinya.

Sekitar setengah jam kemudian seorang perawat mendekat, mengangsurkan bayi yang telah dibedong kepada Andrea dan memintanya untuk segera diberi asi.

Dengan sedikit malu-malu Andrea membuka kancing piyamanya dan mengeluarkan bongkahan daging padat dengan pucuk yang menantang ke arah bibir mungil putrinya. Dia membiarkan bibir mungil itu melahap dan menyesap isinya. Ada rasa nyeri dan sedikit geli, Andrea menahannya sekuat hati.

Seolah dapat membaca mimik wajah sang istri, Rey mengulum senyum dan berkata, "Bersabarlah, Sayang. Lama kelamaan kamu akan terbiasa nanti."

Andrea mengangguk pelan dan mengusap lembut pipi putrinya. "Minum yang banyak, Sayang," tuturnya dengan suara rendah dan lembut.

Bayi itu tampak tenang dan melepaskan pucuk dada Andrea secara perlahan. Andrea mengancing kembali piyamanya, membiarkan sang putri tertidur dalam dekapannya.

"Wajahnya cantik, tetapi kenapa dia sangat mirip sekali denganmu, Kak?" protes Andrea mengerucutkan bibirnya.

Rey sendiri juga merasa heran, bagaimana bisa bayi itu memiliki bentuk hidung, mata dan bibir yang sangat mirip dengannya. Padahal jika dipikir-pikir dia bukanlah ayah biologisnya. Namun, Rey tidak mau mengungkapkan itu kepada Andrea. 

"Karena dia putriku, makanya dia mirip denganku," jawab Rey sekenanya.

Tiba-tiba hati Andrea merasakan sebuah kekhawatiran. Dia teringat jika bayi itu bukanlah anak kandung Rey, pikiran takut mulai menghinggapi hatinya. "Apakah Kakak akan menerimanya? Menyayanginya seperti putri Kakak sendiri?" tanyanya hati-hati.

Rey meraih pipi Andrea, mengecup dahi Andrea singkat lalu menyatukan dahinya dan dahi Andrea. "Apakah kamu masih belum percaya denganku, Sayang?" 

Andrea menggeleng dengan cepat, dia ingin menjelaskan apa maksud hatinya agar sang suami tidak salah paham. Namun, begitu bibirnya hendak bergerak dan terbuka, bibir Rey lebih dulu membungkamnya. Sesaat, tetapi begitu lembut dan dalam.

"Aku mencintaimu dan menerima apa adanya dirimu, pun dengan dia. Aku sangat menyayanginya, sama seperti aku menyayangi putri kandungku sendiri, Sayang."

"Apakah Kakak bisa berjanji padaku untuk tidak membedakan atau mengungkit tentang siapa dirinya suatu saat nanti?"

"Bahkan jika dia mengetahuinya dari orang lain, aku akan tetap meyakinkannya jika dia adalah putriku."

Jawaban Rey cukup membuat Andrea tenang, dia memeluk tubuh sang suami dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang suaminya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro