47

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Melihat semua orang meragukannya, mau tak mau, Laszlo pun tersinggung. "Aku tak mungkin salah mengenali orang lain sebagai orang tua kandungku!" sergahnya gusar. Kemudian, ia menarik selimut hingga menutupi kepalanya. "Keluarlah! Aku sudah selesai bercerita dan aku lelah sekarang," usirnya.

Keempat orang itu saling melirik bingung. Setelah melewati beberapa sekon dalam diam, mereka pun mengangguk tegas.

"Baiklah. Kalau begitu aku keluar dulu, Nak," pamit Davin terlebih dahulu.

Laszlo bisa mendengar ketukan sepatu milik Davin menabrak lantai yang semakin lama suaranya semakin samar. Pria itu telah meninggalkan kamarnya, begitulah ia simpulkan. Di saat bersamaan, ia merasakan bagian kiri ranjangnya agak turun menandakan ada seseorang yang naik di sana.

Sebuah telapak mendarat di bahu Laszlo yang terbungkus selimut. Gerakannya lembut dan pelan. Tanpa melihat pun, Laszlo bisa menebak bahwa itu adalah Emily. Dan ia semakin yakin bahwa tebakannya benar karena satu menit kemudian, Emily bersuara.

"Ya, sudah. Selamat beristirahat, Las. Terima kasih karena sudah kembali pada kami. Kami semua menyayangimu," ucapnya tulus.

Setelahnya, Laszlo merasakan bagian yang diduduki Emily tadi pun mengembang naik. Wanita itu pun pergi bersamaan dengan suara ketukan sepatunya yang terdengar semakin samar. Tersisa dua orang di dalam kamarnya saat ini.

Tanpa menarik turun selimutnya, Laszlo bertanya pelan. "Sampai kapan kau mau di sini, Yuri? Apa kau masih ingin bermesraan dengan Kai? Kalau memang benar begitu, haruskah aku yang keluar dari sini?"

Wajah Yuri dan Kaizen memanas dengan cepat. Keduanya langsung saling membuang muka. Yuri lantas berlari keluar dari kamar Laszlo dan mengejar Emily dengan cepat. "Emily, tunggu aku," teriaknya.

Sepeninggal Yuri, Laszlo keluar dari selimutnya dan mendesah lega. Saat mengangkat wajahnya, ia mendapati Kaizen tengah menatapnya jengkel. Namun, karena ia sama sekali tidak mengerti maksud dari tatapan tersebut, ia hanya menaikan sebelah alisnya dengan pandangan bingung.

"Haruskah kau mengusirnya dengan cara mempermalukan kami seperti itu? Apa kau tak tahu bahwa itu sangat kasar?" tuding Kaizen. Walau wajahnya terlihat jengkel, tetapi Laszlo tak bisa menangkap kejengkelan dalam suaranya.

Pemuda berambut hitam itu pun pada akhirnya mengangkat bahunya tak acuh. "Kau tak terlihat jengkel," komentarnya tenang.

Kaizen menghela napas lelah. Tak perlu mendebatkan sesuatu yang tak akan bisa ia menangkan. Ia lantas duduk di atas ranjang dan menatap Laszlo lurus-lurus. Tampangnya serius membuat Laszlo menjadi sedikit gugup.

"Sepertinya kau sudah tahu ada yang ingin kusampaikan, ya?" tanya Laszlo sambil lalu.

Kaizen menggeleng tak percaya. Ternyata memang tepat seperti perkiraannya. Namun, melihat gelagat Laszlo saat ini, sepertinya remaja pria itu tak ingin orang lain selain dirinya mengetahui hal ini.

"Ruang kosong itu merupakan tempat berkumpulnya jiwa. Sepertinya, orang yang bisa masuk ke sana adalah orang-orang yang sudah mati," jelas Laszlo tanpa basa-basi.

Napas Kaizen tercekat. Matanya membulat. Ada seberkas rasa takut, kecewa, panik, horor, dan yang lainnya bercampur menjadi satu saat mata hazel itu menatap Laszlo.

"Hei! Aku mengatakan ini padamu bukan untuk membuatmu takut atau panik!" tegur Laszlo sebal. "Begini, menurutku, sepertinya ruangan itu memiliki celah. Buktinya, aku belum mati, tapi aku bisa berkunjung ke sana bukan?" lanjut Laszlo setelah ekspresi Kaizen kembali normal.

Kaizen mengangguk sekali setelah terdiam cukup lama. Keningnya berkerut memikirkan ke arah mana pembicaraan ini berlanjut. Saat ini, ia mempunyai beberapa dugaan. Namun, setelah memikirkan beberapa dugaan tersebut dan memperhitungkan alasannya. Ia menemukan satu dugaan yang paling kuat.

"Jangan bilang!" seru Kaizen tak percaya.

Mata Laszlo membulat mendengar suara Kaizen yang naik beberapa oktaf. Ia segera melompat dan membekap mulut sahabatnya itu. Bisa gawat bila ada orang lain yang mendengar percakapan ini. Ia bisa menjamin bahwa tujuannya tak akan bisa tercapai hingga ia mati nanti.

"Hei! Pelankan suaramu! Kau mau seisi rumah tahu apa yang sedang kita bicarakan?" sembur Laszlo galak.

Kaizen tersentak. Setelah ia mengangguk paham, Laszlo pun melepaskan bekapan mulutnya. "Jadi? Kau berencara untuk kembali ke sana?" bisik Kaizen pelan-amat sangat pelan-hingga membuat Laszlo harus mendekatkan kepalanya pada bibir Kaizen.

Melihat kepala Laszlo mendekat, Kaizen sontak mundur ke belakang. Laszlo menegakkan tubuhnya dan memandang Kaizen heran. Sementara itu, Kaizen malah membalas tatapan heran itu dengan tatapan jijik.

"Untuk apa kau mendekatkan kepalamu padaku?" Kaizen menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Laszlo menggeram kesal. "Kurang-kurangi baca novel dan komik porno," ketusnya sebal. "Aku sama sekali tak tertarik padamu dalam hal yang seperti itu. Aku masih normal dan menyukai perempuan cantik seperti Yuri," lanjutnya lagi.

Mendengar hal itu, mata Kaizen membara. "Kau menyukai Yuri?" tanyanya tak terima.

"Bodoh! Lupakan sajalah!" putus Laszlo. Ia menatap lurus ke dalam mata Kaizen. "Kau akan menyelidiki sihir untuk teleportasi ruang, 'kan?" tanya Laszlo dengan tampang serius.

Kaizen meneguk ludahnya susah payah. Tak ia sangka tampang serius Laszlo begitu mengerikan. Tampang yang tak ingin mendengar penolakan ataupun ketidakberhasilan. Sungguh pemimpin yang mengerikan. Walau Laszlo sering menolak untuk dipanggil pemimpin, Kaizen tak bisa menampik kenyataan bahwa Laszlo memiliki aura tersebut.

Dengan gugup Kaizen mengangguk patuh. "A-akan kulakukan," ucapnya dengan terpatah-patah.

Laszlo tersenyum lebar. Ia meletakkan tangan kanannya di atas bahu kiri Kaizen dan menepuk-nepuknya dengan mimik puas. "Bagus! Kau sahabat terbaikku," ujar Laszlo puas.

Laszlo membaringkan tubuhnya santai, lalu menarik selimut hingga ke dadanya. "Kalau begitu, tidurlah. Kalian pasti lelah dan tidak tidur dengan benar karena mengkhawatirkan diriku," ucapnya sembari menyeberang ke alam bawah sadarnya.

Kaizen ikut berbaring di samping Laszlo. Kepalanya ia miringkan untuk menatap wajah damai Laszlo yang tengah terlelap. Ia bisa merasakannya sejak dulu. Walau remaja pria itu menolak untuk menjadi pemimpin, jiwa pemimpinnya begitu kuat. Bahkan, ia bisa mengintimidasi lawannya hanya dengan senyuman kecil saja.

Kaizen menggeleng kuat. "Benar-benar orang yang mengerikan," bisik Kaizen pelan sebelum mengikuti Laszlo menyeberang ke alam sana.

Napas Kaizen berubah menjadi teratur beberapa menit kemudian. Laszlo pun membuka matanya dan menatap langit-langit dengan tajam. "Aku harus bisa melindungi semuanya," bisiknya pelan dan penuh keyakinan.

Ya, ia sudah yakin. Besok, ia akan mengutarakan semuanya pada Davin dan Emily. Ia akan meminta mereka untuk membawanya pulang kembali ke klan dan mulai mempelajari keadaan dengan serius. Ia akan berusaha semaksimal mungkin agar korban dari pihaknya bisa ditekan hingga jumlah yang terkecil.

Ia akan melakukannya dan ia bisa melakukannya. Nathan dan Chrisabella percaya padanya. Maka dari itu, ia juga akan mencoba untuk mempercayai dirinya sendiri. Untuk malam ini, ia akan mencoba melatih untuk merasakan kekuatannya dengan benar seperti apa yang telah diajarkan oleh Nathan.

Ia akan belajar mengendalikan kekuatannya dengan sungguh-sungguh. Kemudian, ia akan mengalahkan semua orang yang bertentangan dengannya. Ia tak akan bersikap lembek pada siapa saja yang telah mengusik orang-orangnya. Ia juga akan menuntut pembalasan dendam pada orang-orang yang telah membunuh kedua orang tuanya. Ia pasti akan melakukan hal tersebut. Pasti!






----------------
1080.12032022
Hmm.. akhirnya masuk konflik utama. Wkwkwkw

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro