Leo-Taurus-Libra (final)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

***

Hari itu akan selalu si wanita ingat. Hari dimana dia dicampakkan oleh keluarga, orang yang dia sayang, bahkan dia tak akan pernah bisa bertemu dengan anaknya. Hanya karena sebuah kecelakaan yang dia derita. Kecelakaan itu berhasil menghancurkan hidupnya.

Saat itu olimpiade olahraga nasional tengah berlangsung. Suasana riuh khas olimpiade terasa begitu meriah. Para atlet yang berdatangan dari seluruh penjuru kota berjajar rapi di tengah-tengah lapangan. Sambutan penonton seakan membakar semangat para atlet untuk segera bersaing. Wanita itu tampak gembira karena telah merasa yakin akan kemenangannya di cabang atletik.

Namun begitu waktu bertanding dimulai. Pergerakan yang sudah benar-benar dia perhitungkan dengan matang, ternyata meleset. Akibatnya kaki kanan wanita itu mengalami cedera patah tulang. Begitu dia mendapat perawatan lebih lanjut, dokter yang saat itu bertugas memvonis kaki si wanita itu sudah tak bisa dipakai untuk hal-hal yang berat lagi. Karirnya sebagai atlet telah hancur. Juga reaksi orang rumah begitu berita ini sampai di telinga mereka. 

Hampa, hambar, kosong, hanya itu yang dia rasa setiap hari. Tak ada lagi yang namanya pujian, tak ada lagi yang namanya sanjungan. Keluarga itu benar-benar memperlakukan si wanita seperti anak tiri. Semakin hari semakin memanas, mereka benar-benar mencampakkan wanita itu, bahkan suami dari wanita itu juga ikut menjadi tersangka. Sampai satu ketika wanita itu benar-benar dibuang di tempat yang asing, duduk dalam gubuk dengan posisi kaki dan tangan yang terpasung.

Dendam yang teramat besar pada keluarga itu benar-benar menyulut api emosinya. Begitu bisikan negatif berdengung, dengan cepat dia mengiyakan. Perempuan misterius itu tersenyum lalu membuka alat pasung si wanita. Dibekali pisau sepanjang 6cm juga sebuah pistol, wanita itu mulai membalaskan dendamnya satu per satu pada keluarga yang mencampakkannya. 

"Bersihkan semua yang menghalagi jalanmu, bahkan jika itu kau harus masuk jurang keputus-asaan sekalipun," bisik perempuan misterius itu yang seakan menghipnotis lawan bicaranya.
"Lakukanlah kapanpun kau siap, karena aku akan selalu mengawasimu dari sini, di tiap langkah yang kau pilih," lanjut perempuan itu sebelum dia benar-benar menghilangkan jejak. 

Si Wanita yang mendapatkan kebebasannya mulai tertawa lepas. Air matanya ikut mengalir di sela-sela tawa yang memilukan itu. Tenaga kembali mengisi tiap tangan dan kakinya, perlahan namun pasti dengan tangan yang bergetar, diambilnya pistol di samping lututnya. Raut mukanya yang tampak marah segara menodongkan pistol ke arah burung kecil yang saat itu bertengger di kayu jendela gubuk. Setelah tenaganya benar-benar terkumpul, ditariknya pelatuk pistol tersebut. Senyum miris terukir di lanjutkan dengan tawa lepas kepuasan.

***

 "Hahahaha!"

Bau darah segar yang menyengat berbaur bersama udara sekitar yang memang telah membusuk. Mereka bertiga sama-sama tergeletak dan saling menggenggam pistol masing-masing. Deru napas gadis itu benar-benar memburu, luapan hormon adrenalin dalam tubuhnya begitu deras menanjak. Tawa yang terhela dengan napasnya membuktikan apa yang dia mulai telah usai. Sesekali dia tengok dua mayat yang tergeletak di sampingnya, mayat yang sudah tak mampu lagi bergerak.

Gadis itu terdiam cukup lama dalam posisinya yang terbaring di lantai. Semua perasaannya terus bercampur aduk. Senang, puas, menyesal, sedih, bangga, perasaan-perasaan itu terus tergali. Sampai deru napasnya benar-benar kembali normal, barulah dia mengankat kedua mayat yang tergeletak di sampingnya. Mayat dari sahabatnya juga wanita yang mengaku sebagai ibu dari sahabatnya. 

Diseretnya kedua mayat itu bersamaan dengan mayat-mayat lain yang dia temukan, dan kini telah dia tumpuk menjadi satu di halaman. Senyum itu kembali terlukis jelas, namun sebelum dia melakukan kebiasaannya, satu per satu ibu jari dari para mayat dia potong dan kumpulkan. Sebotol minyak berukuran 2 Liter dia siramkan ke tumpukan mayat tadi setelah Raia selesai melakukan ritualnya. Selagi ia berjalan menjauh, dilemparnya  korek api yang tengah menyala.

"Karya seni yang hangus terbakar, entah kenapa selalu nikmat tuk dinikmati, benar bukan?"

Raia mendongak ke arah lantai 2, dia mendapati sosok perempuan yang waktu itu tak sengaja terlukis. Perempuan itu melambaikan tangannya, namun Raia hanya terdiam menatapnya tajam. 

"Masih ingin lagi? Masih ingin melakukan pembantaian lagi?" lanjut perempuan itu bertanya.

"Sial, aku terpaksa menggunakan tanganku sendiri untuk membereskan mereka. Bidakmu cukup lemah dari  bidakku," balas Raia.

"Haha tak apalah. Kebetulan aku juga lewat daerah sini dan menemukan permainanmu,"

Raia tahu kalau perempuan itu tengah berbohong. Jelas-jelas dari semenjak di taman, perempuan itu sudah menyeretnya ke dalam permainan bodoh ini. Permainan yang sebenarnya digunakan untuk memilih objek seni terbaru milik Raia.

Gadis itu menghembuskan napas panjang. Segera ia tinggalkan area itu karena bunyi sirine mobil patroli terdengar. Dengan bergegas dia menelusuri bagian belakang sekolah dan menemukan lokasi yang pas untuk membakar semua jejak dirinya sebagai pelaku. Perlahan senyum itu mengembang lebar.

doorrr!!! doorrr!!!

"Bodohnya kau melupakan kalau aku masih bagian dari permainan ini."

"Ti-tidak mung-"

doorrr!!! doorrr!!!

Raia ambruk seketika saat peluru 3.5mm itu menembus kepalanya. Tak perlu banyak waktu, perempuan tersebut membuat tanda di tubuh Raia yang sudah tak bernyawa. Menyeimbangkan mana yang kurang bagus dilihat dan mulai menata tubuh Raia sedemikian rupa. Perempuan itu lantas pergi dan membuka gerbang yang tertutup.

"Charlotte win! Ready for the next stage?"

Perempuan bernama Charlotte itu kembali memasuki ruang gelap yang ada di hadapannya untuk duduk di kursi bermain. Setelah pintu tertutup rapat, permainan baru telah dimulai. Bersama dengan 6 orang asing dari berbagai daerah yang terkumpul dalam ruang gelap itu, Charlotte membuka matanya. 

"Let's play the game!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro