➪Hangatnya musim panas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•••

Suara pintu yang ditutup dengan susah payah menggema, membuat apartemen minimalis yang awalnya sunyi menjadi sedikit berisik kala sang empunya tiba. Kedua kaki melangkah, membuat derap langkah kaki menggema di ruang tamu. Hak sepatu Ankle boots terus berantukkan dengan lantai marmer bersih ketika sang pemilik masih menggerakkan kedua tungkainya.

Tiba di ruang makan, wanita yang baru saja memasuki usia 21 tahun tersebut meletakkan seluruh tas belanjaannya di atas meja makan. Memejamkan mata sejenak, segera ia mendudukkan dirinya di atas kursi kayu kokoh. Mengatur nafas dengan baik, dada naik turun karena lelah.

Hari ini lif apartemennya sedang rusak dan hal tersebut memaksanya untuk menaiki tangga untuk bisa sampai di flatnya yang berada di lantai 36. Ditambah lagi saat ini di luar sedang turun salju dan dirinya harus berbelanja bahan dapur dengan cara berjalan kaki.

Benar-benar merepotkan sekali tinggal di negeri orang. Terlebih di sini ia tidak memiliki siapa-siapa terkecuali beberapa kenalan dan teman kuliahnya.

Drrtt!

Wanita itu tersentak dari keheningannya. Tangan lentiknya segera meraih saku jaket musim dinginnya dan mengeluarkan ponsel layar sentuh dari dalamnya. Memperhatikan layar ponsel untuk beberapa saat, lidah berdecak ketika mengetahui siapa yang sudah menghubunginya di malam hari seperti ini.

Ibu jari menyentuh layar, bergerak ke atas untuk menggeser tombol hijau dan setelah itu panggilan tersambung. Layar ponsel didekatkan ke daun telinga dan langsung saja bibir tipisnya berucap. "Ada apa?" Tak ada sapaan hangat untuk membuka pembicaraan.

"[Name], apa kau di apartemenmu?"

Kening berkerut, ia mulai merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi jika orang yang menelfonnya sudah bertanya demikian. "Kenapa?" Alih-alih menjawab, wanita bernama depankan [Name] tersebut malah balik bertanya.

"Kau di apartemenmu, kan? Iya, kan? Hayo lah, jawab aku dengan serius kali ini sayang!"

[Name] berdecih lalu menggidikan kedua bahunya geli. "Sorry, I'm not a lesbian."

"Aku bercanda! Lagi pula, aku tidak tertarik denganmu. Pacarku yang sekarang lebih menggoda." Sang penelfon dari sebrang sana terkekeh, membuat [Name] berdecak malas.

Wanita berwajah oriental seperti orang Asia kebanyakan itu bangkit dari duduknya, berlalu meninggalkan ruang makan dan pergi menuju ruang tamunya yang nyaman. Sesampainya di ruang tamu, wanita ini dengan segera menghempaskan tubuh letihnya ke atas sofa. Merasakan sensasi lega ketika tulang-tulang punggung teristirahatkan, nafas dihembuskan dengan lega.

Sekalipun saat ini revolusi bumi mengakibatkan musim dingin, tak sekalipun hiruk pikuk kota Massachusetts sepi. Banyak sekali pendatang atau warga lokal yang berlalu lalang di jalanan tanpa kenal apa itu musim dingin.

[Name] yang melihat mereka betah berlama-lama di luar saat suhu sedang turun-turunnya hanya bisa bergidik ngeri. Mungkin jika dirinya berada di posisi mereka, ia bisa mati kedinginan.

"[NAME]!"

Spontan menjauhkan layar ponsel, [Name] terlonjak kaget saat sang penelfon tak beradab berteriak sehingga memekakkan telinga. Kembali mendekatkan layar ponselnya, [Name] langsung memaki sang penelfon.

"Apa mau mu, Sialan?!"  [Name] bertanya dengan kasar dan emosi yang sedikit terpancing.

"Ah, kau kasar sekali dengaku!"

"Ck, katakan apa mau mu? Aku tidak punya banyak waktu untukmu." Sekarang ia jengah.

Orang di sebrang sana tertawa. Suara tawanya benar-benar renyah dan tawa yang seperti itu adalah tawa yang [Name] tak ingin ia dengar saat ini. Orang-orang seperti sang penelfon sering kali tertawa seolah-olah tak ada beban sedikit pun di dalam hidupnya. Berbeda dengan dirinya. Jangankan untuk tertawa, bahkan tersenyum pun sudah terasa susah karena sudah terlalu lama dirinya seperti ini.

"Aku mau menumpang pacaran di apartemenmu ya? Nanti kubayar sewanya."

[Name] tidak terkejut. Sesuai yang ia duga, sesuatu hal yang buruk akan terjadi. Lantas [Name] menghela nafas, beralih melepaskan jaket musim dinginnya, ia berujar. "Kau kemari bersama pacar perempuanmu?"

"Memangnya dengan siapa lagi?"

"Cobalah sesekali untuk berpacaran dengan laki-laki. Kau itu perempuan, Ana."

Sang penelfon yang namanya disebutkan [Name] tertawa. Lagi dan lagi tawanya begitu renyah, membuat otak mengingat sosok lain yang sudah lama tak bertemu dengannya.

"Sudahlah, sekarang apa kau ada di apartemenmu? Jika iya, satu jam lagi aku akan ke sana."

"Kenapa tidak di rumahmu saja?"

"Ayah dan ibuku ada dirumah. Jika mereka tahu mengenai hubunganku dengan pacarku, aku bisa-bisa dibunuh. Sementara pacarku itu juga masih anak sekolahan, dia masih tinggal bersama orang tuanya. Untuk menyewa hotel, kurasa terlalu sayang sekali uangku. Lalu jika kami ke klub atau cafe dan taman-taman, pasti akan berisik sekali di sana. Kami butuh tempat yang sunyi dan sepi. Jadi, hanya apartemenmu saja yang bisa dipakai saat ini."

[Name] kembali mendudukkan dirinya. Ia mengusap wajahnya dengan sebelah tangannya lalu menghela nafas panjang. Memiliki teman yang mempunyai penyimpangan seksual serta pergaulan bebas memang membuat kepalanya pusing sendiri.

"Enam puluh lima dolar atau tidak sama sekali."

Setelah itu ia mematikan panggilan telfon secara sepihak. Tidak ada niat untuk mendengarkan perkataan dari temannya tersebut sama sekali setelah ia mengatakan nominal uang yang cukup mencekik. [Name] meletakkan ponselnya di atas meja kaca dengan asal, tak peduli jika sewaktu-waktu ponsel mahalnya itu tergores atau rusak. Menyandarkan punggungnya, kepala menengadah. Kedua netra mata yang indah dan memancarkan daya tarik tersebut memperhatikan langit-langit ruang tamunya yang bersih dengan saksama.

Berada di tengah kesunyian seperti ini benar-benar menenangkan. Terlebih dirinya bisa mengistirahatkan otak dari sibuknya dunia perkuliahannya di tahun ketiga ia kuliah.

Kembali larut ke dalam keheningan, [Name] mengerjapkan matanya sejenak. Ketika mendengar tawa renyah Ana, [Name] selalu teringat dengan tawa renyah seorang pria. Seorang pria yang memiliki senyuman sehangat matahari di musim panas.

"Apa aku tidak bisa bertemu dengannya lagi Dewa?" [Name] bertanya kepada sang Pencipta. Bertanya dengan penuh harap dan penyesalan. "Apa tak bisa? Aku benar-benar ingin bertemu dengannya lagi."

Kepala tertunduk dengan kelopak mata yang menyembunyikan kedua bola matanya. Terkadang ada rasa sesak jika [Name] sudah bertanya seperti ini kepada Batara.

Andai ia diberi satu permintaan yang akan benar-benar diwujudkan oleh sang Pencipta, maka [Name] akan meminta untuk dipertemukan sekali lagi dengan pemuda pemilik senyuman sehangat matahari dan tawa renyah yang memabukkan.

***

"[Name] Sayang, terimakasih atas kerjasamanya yaaaa!"

[Name] bergidik jijik ketika Ana mengucapkan terimakasih dengan dramatis. Langsung saja [Name] mendorong punggung Ana untuk keluar dari apartemennya sambil berucap. "Pergilah yang jauh dari apartemenku setelah ini."

Ana tertawa, mentertawakan kerisihan [Name]. Wanita yang memiliki perawakan seperti orang Amerika pada umumnya berbalik dan menatap [Name] yang lebih pendek darinya. Ana berkacak pinggang lalu tersenyum sehingga menampilkan deretan giginya yang begitu rapi. "Kau itu, jangan terlalu dingin dengan temanmu ini. Gini-gini kalau kau butuh sesuatu, kau pasti larinya padaku."

Kedua bola matanya memutar dengan jengah, [Name] berdecih, berakhir menatap Ana dengan tilikan tajamnya. "Hm, terserah." Setelah itu pintu apartemennya ia tutup. Membiarkan Ana seorang diri di luar apartemennya lantaran pacarnya sudah lebih dulu turun ke parkiran.

Kini, setelah apartemennya di sewa selama tiga jam lebih hanya untuk hal yang tidak berguna, [Name] bisa kembali menikmati ketenangan dari apartemen minimalis nan bersih miliknya ini. Menyandarkan punggungnya pada daun pintu, [Name] menatap lembaran uang yang ia terima dari Ana sebagai uang sewa.

Terlepas dari keanehan Ana, [Name] masih mau berteman dengan wanita itu hanya karena wanita itu yang siap membantunya kapanpun di negeri Paman Sam ini.

Kembali berdiri tegap, [Name] berlalu masuk ke dalam kamarnya sembari menyimpan lembaran uang yang kini resmi menjadi miliknya ke dalam saku celana jeans-nya. Namun, langkahnya terhenti tepat di ambang ketika indra penciumannya menghirup aroma jeruk yang menyeruak.

Wajah yang awalnya terlihat datar kini berubah menyendu. Sekalipun ia tahu bahwa aroma jeruk hanya akan membuatnya merasa sedih dan merasa bersalah sekaligus, tetapi, [Name] tetap saja memilih aroma jeruk untuk mengharumkan kamarnya.

Kembali melanjutkan langkahnya, [Name] menutup pintu kamar dan dengan segera menghampiri ranjang lalu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjangnya yang empuk.

Bulan Desember tak pernah bisa diremehkan. Terlebih untuk musim dinginnya yang sering kali membuat [Name] berdecih tak suka.

Berbicara tentang musim, ketika musim dingin berakhir, maka musim semi akan menyambut. Setelah musim semi berakhir, musim panas akan tiba. Lalu setelah musim panas berakhir, musim gugur menyambut hingga pada akhirnya, musim dingin akan kembali tiba.

Ada jarak diantara musim panas dan musim dingin. Sama seperti dirinya dengan seseorang dari masa lalu. Yang di mana, orang itu yang menariknya keluar dari musim dingin yang menyakitkan. Memberikannya kehangatan seperti hangatnya matahari pagi di musim panas.

Dulu, [Name] hanya mengetahui tentang musim dingin. Tak ada satupun musim lain yang membekas di otaknya selain musim dingin. Hingga pada malam itu, [Name] bertemu dengan orang itu. Orang yang membuatnya sadar akan musim lainnya. Terutama musim panas yang sebenarnya begitu indah.

"Kira-kira, apa senyumanmu masih sehangat matahari pagi di musim panas? Aku begitu kedinginan saat ini. Musim dingin terlalu menyakitkan untukku yang lahir di musim dingin."

Gadis itu bersuara rendah. Ia memejamkan matanya, tersenyum sendu kala otak mengingat kejadian awal bagaimana mereka berdua bertemu.

Waktu itu, pada akhir bulan Juli 2012, musim panas sedang berlangsung. Libur yang dinanti-nantikan oleh seluruh pelajar bahkan pekerja akhirnya tiba. Membuat berbagai destinasi wisata dipenuhi dengan pesanan karena hari libur.

Di saat siang hari, banyak orang yang pergi ke pantai untuk berjemur. Lalu ketika malam hari, banyak orang yang berpergian untuk menikmati festival kembang api di daerah masing-masing.

Namun, itu semua tidak berlaku untuk [Name]. Alih-alih menghabiskan waktu malam musim panas dengan keluarganya, [Name] yang saat itu masih berusia 15 tahun sudah berdiri di dekat tepi jembatan. Jalanan di sekitar jembatan ini sepi. Pas sekali untuk dirinya yang tidak suka keramaian.

Melangkahkan kedua kakinya mendekati pembatas, kedua tangannya yang dingin tersebut menyentuh besi pembatas. Tatapannya terlihat lelah, bahkan bibir yang melengkung ke bawah benar-benar terlihat menyedihkan.

Nafas dihembuskan secara perlahan, bibir tipisnya yang pucat bergerak seperti sedang menggumamkan sebuah kalimat. Namun, tak satupun suara keluar dari bibir gadis menyedihkan ini. Bahkan untuk bersuara pun semuanya terlalu menyakitkan untuk ia lakukan.

Lantas gadis bersurai hitam itu berdecak, mengusap wajahnya dengan kasar dan berdecih. Kepala tertunduk, membuat setiap helai anak rambut yang tidak ikut terikat bergelantungan di sisi wajahnya. Angin malam berhembus, mengusap wajah dan menggoyangkan pelan setiap helai anak rambutnya.

Lagi dan lagi nafas dihembuskan. Seolah-olah hanya hal tersebut yang bisa ia lakukan saat ini. Namun, itu tidak sepenuhnya salah. Memangnya, apalagi yang bisa seorang [Name] lakukan saat ini selain berdiam diri seperti ini? Toh tidak akan ada yang berubah sama sekali. Semuanya akan tetap sama. Semuanya akan tetap seperti seharusnya.

Jujur ini menyebalkan sekali. Apa Batara sedang tidak berada di pihaknya sehingga kondisinya seperti ini?

Gadis ini tertawa. Ini bukan tawa bahagia, ini adalah suara tawa penuh kelelahan. "Sekalipun ini musim panas, mengapa semuanya tetap terasa dingin seperti musim dingin?" Remaja frustasi ini bermonolog, menghilangkan tawa lelahnya.

Kembali menatap lurus ke depan, [Name] memperhatikan air sungai yang memantulkan cahaya dari rembulan yang bersinar di atas langit. Pantulan rembulan di air tersebut benar-benar terlihat indah. Lalu tak lama, pantulan yang awalnya menyajikan candrawama mendadak menyajikan pantulan niskala.

Pantulan air sungai diisi oleh berbagai warna yang bentuknya abstrak. Mendongak, kedua mata coklatnya yang indah menatap langit. Di atas sana, ledakan kembang api terpancar. Menampilkan hasil yang begitu indah dan menghasilkan gempita yang dinatikan.

[Name] menatap kembang api yang masih bersinar. Suara yang dihasilkan kembang api tersebut menyalurkan elegi untuk siapapun itu. Namun, nyanyian suka cita itu tidak dapat [Name] rasakan. Semuanya hampa, seperti dirinya.

Tapi, perlu [Name] akui, kembang api yang masih terus menerus diluncurkan ke langit benar-benar indah. Membuat [Name] ingin meraihnya dan berada di sekitarnya untuk merasakan warna dan hangatnya.

"Andai ayah dan ibu masih bersama, pasti aku sudah akan mengajak mereka pergi ke festival kembang api. Aku dan Amaya pasti akan menjadi sepasang kakak-adik yang bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama keluarga." Jeda sejenak, [Name] tertawa pelan. "Tapi, itu hanya sebuah andaian saja."

Tangan memegang pembatas jalan dengan erat, menyalurkan emosi tertahan miliknya, gadis itu beranjak naik ke atas pembatas dengan kepala yang masih mendongak. menatap lekat apa yang ada di atas langit, sebuah senyuman pahit tergambar.

"Yang kuinginkan hanya sebuah keluarga bahagia. Keluarga sehat nan harmonis seperti temanku. Tapi, tunggu sebentar. Apa aku punya teman? Ya, aku tidak punya teman sama sekali." [Name] berucap, mengeluarkan sederet kalimat yang ada di otaknya.

"Ini dingin, sekalipun musim panas masih berada dipertengahan waktunya." Seraya bergoyang pelan di posisinya [Name] terus mengucapkan kalimat yang ada di otaknya. Tak peduli jika sewaktu-waktu keseimbangannya hilang. Palingan yang akan terjadi adalah dirinya yang jatuh ke dalam sungai lalu tewas mati tenggelam.

"Apa musim panas begitu payah? Ini tidak ada hangat-hangatnya. Masih saja terasa dingin." Dia terkekeh, memperlihatkan senyuman remehnya. [Name] meremehkan bulan Juli ternyata.

Hingga pada akhirnya, decakan terlayangkan. [Name] muak berbicara seorang diri seperti ini. Lantas gadis ini memejamkan matanya sejenak lalu kembali membuka matanya. Beralih menundukkan kepalanya dan menatap seberapa jauh jangkauan air sungai dari posisi ia berdiri saat ini. Sangat jauh dan tinggi ternyata.

Di dalam dirinya, ada dorongan untuk melompat. Dorongan yang begitu kuat seolah-olah mengatakan bahwa semuanya akan selesai jika [Name] melompat ke dalam sungai. Tak akan ada hal yang membebani pikirannya. Tak akan ada yang membuatnya merasa sakit. Dan tak akan ada lagi yang membuatnya merasa dingin seperti kejamnya musim dingin.

"Ayah ... ibu, kalian benar-benar membuat aku muak." Satu umpatan muak [Name] lontarkan.

Kini, nafas dihirup secara rakus, memenuhi paru-paru dengan oksigen sebelum paru-parunya diisi penuh oleh air sungai nantinya. Memejamkan kedua matanya, dorongan dari dalam dirinya berhasil mengambil ahli seluruh dirinya.

Perlahan tapi pasti, secara perlahan [Name] menghuyungkan tubuhnya ke depan. Ia sudah siap dengan apa yang terjadi nantinya. Di dalam benaknya, ini adalah keputusannya. Lari dari semua masalahnya dengan cara bunuh diri adalah cara terbaik yang bisa [Name] pakai saat ini.

[Name] sudah kehabis cara.

Dirinya pengecut. Lari dari masalah dengan cara murahan seperti ini.

Namun, alih-alih merasakan tubuhnya menghempas air, [Name] malah mendapati sepasang tangan manarik pinggangnya dan menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke atas jalanan. Kedua mata sontak terpejam rapat ketika bokong merasakan nyeri yang luar biasa.

Sedikit meringis, [Name] dapat mendengar suara nafas seseorang yang menderu. Lantas [Name] membuka kedua matanya, mendapati seorang pemuda berambutkan jingga berdiri di hadapannya. Nafas pemuda yang sudah menjadi dalang dari gagalnya aksi bunuh dirinya tersebut tampak tersenggal-senggal. Dadanya naik turun, keningnya basah oleh keringat.

"Apa yang kau lakukan?! Apa dengan bunuh diri semua masalahmu akan selesai?!" Suara pemuda yang rambutnya terlihat lepek tersebut terdengar lantang. Menggambarkan amarah kentara untuk diperlihatkan kepada [Name] yang ingin mengakhiri hidupnya.

Dengan kedua mata yang membelak, [Name] memperhatikan wajah kesal yang ditampilkan pemuda itu. Kenapa pemuda ini repot-repot menghentikan aksi bunuh dirinya? Padahal bertemu pun mereka tak pernah.

"Kenapa kau menghentikan ku?" [Name] bertanya dengan kedua matanya yang mengosong.

"Hah?! Itu sudah jelas karena kau mau bunuh diri!" Pemuda itu menjawab dengan tegas sehingga membuat [Name] tersentak. "Jika kau memiliki masalah, maka bunuh diri bukanlah solusinya! Kau memang akan lepas dari rasa sakit, tapi, dengan kematianmu, kau hanya akan memberikan rasa sakit kepada orang terdekatmu!"

Hening sejenak.

"Setidaknya, bertahan lah untuk orang yang kau anggap berharga!" Pemuda itu menambahkan.

Bunuh diri membuat [Name] terlepas dari rasa sakit. Namun, setelah itu ia hanya akan memberikan rasa sakit. Terlebih untuk Amaya, adik kecil kesayangannya yang kemungkinan masih membutuhkan keberadaannya sekalipun mereka tak serumah lagi.

Setelah bergeming cukup lama pada posisinya, [Name] bangkit berdiri sehingga posisi tingginya dengan pemuda di hadapannya ini sejajar. [Name] menatap pemuda di hadapannya dengan kedua matanya yang kosong.

"Aku hanya sedang kehabisan cara untuk menyelesaikannya. Musim panas tetap saja terasa dingin seperti musim dingin. Tidak ada satu orang pun di sampingku. Aku sendirian-"

"Kau tidak sendirian." Pemuda itu menyela, memberikan tatapan yakinnya kepada [Name] sehingga membuat gadis ini lagi dan lagi bergeming di posisinya.

[Name] tidak sendirian? Dia pasti bercanda. Selama ini, tak ada satu orang pun yang mau merangkulnya sekalipun ia berada di titik terendahnya. Tak ada seorang pun yang mau mengulurkan tangannya dan membawa [Name] keluar dari sakitnya musim dingin. Tak ada satupun, tidak ada sama sekali.

"Bohong, kau berbohong. Selama ini aku sendiri. Lagi pula, tau apa kau tentangku?" Pemuda di hadapannya terkejut ketika [Name] berucap demikian. Tak lama [Name] terkekeh, memperlihatkan senyuman paksa yang terlihat mengerikan. "Lihat? Itu semua hanya omong kosong."

Pemuda di hadapannya memejamkan kedua mata sehingga kelopak menyembunyikan netra mata coklatnya. Nafas dihirup lalu dihembuskan dengan paksa. Kembali membuka kedua matanya, netra coklat berkilat menatap [Name]. Tak lama, sebuah senyuman hangat dan tawa renyah lolos bersamaan dengan kalimat. "Aku memang tak tahu apa-apa tentangmu. Jika selama ini kau merasa sendiri, aku siap menjadi temanmu." Pemuda ini payah ternyata.

[Name] terpaku dengan wajah terkejutnya. Bagaikan dijahit, [Name] tak mengeluarkan sepatah kata pun dari dalam mulutnya. Pandangannya menurun ketika tangan pemuda di hadapannya terulur padanya.

"Namaku Hinata Shoyo." Pemuda berani yang tanpa pikir panjang menghentikan aksi bunuh dirinya telah memperkenalkan dirinya. Tangan Shoyo mengambang di udara, menunggu [Name] meraih lalu menjabatnya. "Kalau kau, namamu siapa?"

Terkejut. Lagi dan lagi [Name] masih bergeming. Lidahnya terasa kelu untuk mengeluarkan kata-kata. Pemuda Shoyo ini berkata bahwa ia siap untuk menjadi temannya bahkan mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya.

Selama ini, belum ada yang bertindak seperti ini kepada [Name]. Tak pernah sekalipun ia menemui sosok yang menawarkan diri untuk menjadi temannya. Bahkan repot-repot sampai harus mengulurkan tanganya.

Ini yang pertama kalinya.

"Terimakasih." Pada akhirnya, hanya satu kata yang mampu [Name] ucapkan.

"Terimas kasih untuk apa?" Shoyo mendadak jadi bingung, tak mengerti mengapa [Name] tiba-tiba mengucapkan kata terimakasih.

"Terimakasih karena sudah mengulurkan tanganmu."

Hening sesaat, Shoyo menatap [Name] dengan kedua matanya yang membesar. Pemuda berambutkan langit senja tersebut tersenyum, memperlihatkan senyumannya yang menghantarkan rasa hangat kepada [Name]. "Bukan masalah!" Tak lama, suara tawa renyah lolos, membuat darah [Name] berdesir.

[Name] kembali memperhatikan tangan Shoyo yang masih terdiam di posisinya. Tangan yang masih memperlihatkan bekas merah di telapak tangannya sedang menunggu untuk disambut. Lantas [Name] menerima uluran tangan Shoyi dan dalam sekejap, kehangatan musim panas dapat ia rasakan.

Sekalipun suhu sering kali naik, kembang api terlihat begitu indah, tapi, tak sekalipun hal tersebut membuatnya merasa hangat dari musim dingin yang ia anggap terus berjalan sepanjang waktu dengan kesunyian yang kentara. Namun, dengan uluran tangan, senyuman sehangat matahari dan tawa renyah, [Name] merasa seperti ada penghalang yang pecah.

Cela-cela penghalang yang pecah sedikit demi sedikit diterobos masuk oleh cahaya hangat. Membuat sosok [Name] yang sudah terlalu lama berdiam diri di dalam penghalang dirinya mendapati seberkas cahaya hangat dan suara tawa renyah masuk menghampiri dan mengelilinginya.

Hinata Shoyo, pemuda dengan senyuman hangat yang membuat candu itu mengulurkan tangannya sembari tertawa renyah. Berkata siap menjadi teman [Name] dan merangkul gadis itu sehingga malam itu, [Name] menyesal sudah meremehkan bulan Juli.

Akhir bulan Juli 2012, ketika libur musim panas, untuk pertama kalinya [Name] merasakan hangatnya musim panas.

Malam itu dia bertemu dengan seseorang yang berhasil membawanya keluar dari dinginnya musim dingin dan memperkenalkan betapa hangatnya musim panas.

Musim panas menjadi saksi bisu antara [Name] dan Shoyo bertemu dengan jembatan yang menjadi titik temu mereka.

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro