➪Terimakasih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•••

Perapian sudah dihidupkan sejak sejam yang lalu. Bulan Desember berhasil dilalui dan kini bulan Januari menyambut. [Name] pun masih menghabiskan waktu musim dinginnya dengan mengurus segala tugas kuliahnya. Menjadi anak tahun ketiga di universitas idamannya sejak SMA memang tidak mudah. Banyak sekali rintangan yang harus ia lalui.

Terdiam sejenak, kedua mata sayunya memperhatikan layar laptop yang masih menyala. Monitor laptop yang menampilkan website yang ia jelajahi untuk mencari bahan materi tugas kuliahnya benar-benar terlihat memuakkan. Menghela nafas jengah, [Name] menggerakkan kursor untuk menutup website yang sudah ia buka lalu dengan segera mematikan laptopnya.

Kedua matanya mengerjap. Apartemen minimalisnya ini benar-benar sunyi sekali.

Bangkit dari duduknya, [Name] merapikan sejenak sweater rajut merah mudanya. Berlalu dari ruang tamu yang hangat karena perapian, [Name] memasuki dapur. Tenggorokannya butuh sesuatu yang menyegarkan.

Membuka lemari pendingin, [Name] mengecek satu persatu stok minuman dingin yang sudah ia stok. Bingung memilih yang mana, pada akhirnya [Name] mengambil satu kaleng minuman soda rasa leci. Membawa kaleng soda menjauh dari area dapur, [Name] kembali mendudukkan dirinya di atas karpet berbulunya yang hangat.

Meletakkan kaleng soda di atas meja kaca, [Name] menyandarkan punggungnya pada dudukan sofa. Menikmati keheningan, kedua nayanikanya menatap perapian yang ada di hadapannya dengan kosong. Api masih tetap hidup sekalipun secara perlahan kayu yang terlahap kobaran api mulai berubah menjadi abu.

Jika dirasa-rasa, hangat yang disalurkan oleh perapian mungkin masih kalah hangatnya dengan senyuman Hinata Shoyo.

Bertemu dengan Shoyo di akhir bulan Juli dan di pertengahan musim panas berhasil membawa [Name] keluar dari fase terendahnya.

Setelah bertemu dengan garis peristiwa yang tidak terduga tersebut, [Name] dan Shoyo saling bertukar nomor surel (meski dalam kasus ini [Name] lah yang memulainya). Waktu itu (sesudah Shoyo berhasil membuat [Name] sadar kalau bunuh diri bukanlah solusi dari segalanya), Shoyo menawarkan [Name] tumpangan untuk pulang dan [Name] menerimanya meski ia sempat ragu.

Dengan sepeda andalan Shoyo, pemuda itu berhasil menghantarkan [Name] sampai ke rumahnya tanpa adanya pembicaraan sedikit pun. Suasana diantara [Name] dan Shoyo waktu itu benar-benar canggung.

[Name] jadi teringat dengan kejadian setelah itu, kejadian setelah ia meminta untuk bertukaran nomor surel.

Waktu itu [Name] menyerukan nama Shoyo sehingga membuat Shoyo menghentikan langkahnya yang sudah menggiring sepeda andalannya cukup jauh darinya. Pemuda berambutkan langit senja tersebut berbalik, menatap [Name] dengan tatapan bingungnya. Ketika kedua mata Shoyo mengerjap, pemuda itu benar-benar terlihat lucu.

"Ada apa, [Surname]?" Shoyo bertanya, kembali berbalik dan menghampiri [Name] sehingga mereka kembali berdiri berhadapan.

Rasanya lidahnya cukup kelu untuk mengucapkan kata terimakasih atas tumpangan yang diberikan oleh Shoyo. Lantas [Name] menghela nafas, kembali menatap Shoyo lalu berucap. "Kau tak mau mampir?"

Dasar mulut badebah. Kenapa hanya untuk mengucapkan kata terimakasih terasa begitu susah? Ternyata memang benar apa yang gurunya dulu katakan. Tiga hal yang lamban laun sudah jarang ditemukan adalah orang yang mengucapkan kata permisi, maaf dan terimakasih. Lalu, [Name] menjadi salah satu dari kumpulan orang yang mulai melupakan ketiga hal tersebut.

"Lain kali saja, aku harus pulang karena ini sudah sangat malam."

Mendapati Shoyo menolak tawarannya lantas membuat [Name] berdecak tertahan. Ini memang sudah memasuki jam malam. Sudah seharusnya remaja sepantaran dengannya berada di rumah lalu mengistirahatkan diri setelah beraktifitas seharian.

Lantas [Name] mengangguk pelan. Gadis berambut hitam legam yang dipotong pendek tersebut menatap Hinata lalu berucap. "Ya sudah, mungkin lain kali kau bisa mampir ke rumahku. Namun, sebelum itu aku mau mengucapkan terimakasih atas tumpangan yang kau tawarkan. Hati-hati di jalan." Tanpa [Name] sadari, ia berhasil mengucapkan kalimat terimakasih setelah sempat merasa kesusahan.

"Sama-sama!" Shoyo mengangguk dengan senyuman yang terpatri. Kembali berbalik menggiring sepedanya, kini posisi Shoyo sudah memunggungi [Name]. Shoyo melangkahkan kedua kakinya, lamban laun kian menjauh hingga keberadaan Shoyo tak lagi ia lihat dengan matanya.

Terdiam pada posisinya, [Name] menengadah. Langit malam yang masih terlihat cerah dan menenangkan diperhatikan dengan lamat-lamat. Berkat Shoyo yang telah menghentikan aksi bunuh dirinya, kini [Name] masih bisa menghirup udara segar dengan baik.

Apa tadi seharusnya [Name] juga mengucapkan terimakasih kepada Shoyo karena sudah menghentikan aksi bunuh dirinya? Namun, lupakan itu sekarang.

Sekarang [Name] sadar. Bunuh diri bukan lah solusi dari segala masalahnya. Jika pun ia ingin lari dari masalahnya, maka tak seharusnya ia memilih bunuh diri sebagai caranya. Masih ada cara lain, yaitu dengan beristirahat. Sekarang yang perlu [Name] lakukan adalah beristirahat dari rasa lelahnya.

***

Mengucapkan kalimat terimakasih benar-benar bukan lah hal yang mudah bagi [Name], tetapi, mengucapkan kalimat terimakasih adalah hal yang mudah untuk Shoyo. Pemuda itu tanpa segan, tak memikirkan gengsinya selalu dengan mudah mengeluarkan kata terimakasih dari bibir tipisnya.

Bahkan hanya untuk hal kecil pun Shoyo sering kali mengucapkan terimakasih. Membuat [Name] yang terkadang sering meninggikan gengsinya merasa tersatire barang kali mata menangkap Shoyo berterimakasih.

Di atas itu semua, ketika [Name] dan Shoyo kembali bertemu di libur musim panas tahun 2013, Shoyo pernah berkata sesuatu. Mengatakan sebuah kalimat yang benar-benar menampar [Name] waktu itu.

Waktu itu, hembusan angin sore di pantai Miyagi benar-benar terasa lembut. Tak jarang rambut hitam sebahunya bergoyang pelan, membuat sang pemilik sering kali merapikan penampilan rambutnya. Suara deru ombak mengudara, mengisi pendengaran dengan suara air ombak yang berulang kali menghantam bebatuan dan permukaan.

Aroma pantai khas musim panas yang begitu menusuk dan menenangkan memenuhi indra penciuman, refleks membuat sang gadis kelahiran musim dingin memejamkan matanya.

"Jadi, apa kau serius untuk berhenti bermain voli?" Suara seorang pemuda yang sudah ia kenal dan ia ingat terdengar. Kontan membuat kedua kelopak mata terbuka dan menampilkan kedua nayanikanya.

Kepala menoleh, mendapati Shoyo sudah duduk di sampingnya. Jika diperhatikan dari posisi sedekat ini, rambut jingga Shoyo sudah mulai memanjang. Tak lupa pula rahang pemuda ini yang terlihatlah semakin tegas. Ternyata Shoyo banyak berubah secara fisik sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya satu tahun yang lalu.

Satu anggukan [Name] berikan untuk menjawab pertanyaan Shoyo. "Lalu ... bagaimana denganmu? Apa kau serius ingin bermain voli pantai, Shoyo?" [Name] bertanya balik, membuat Shoyo bergeming di posisi untuk beberapa saat.

"Alasan mengapa aku tak bisa bertahan sampai pertandingan berakhir adalah karena aku masih lemah. Aku harus mengasah semua skill voli-ku. Maka dari itu, aku ingin mencoba voli pantai. Lagi pula, semakin jauh aku melangkah ... maka akan semakin banyak orang yang aku temui."

Berhasil lolos ke nasional usai mengalahkan Akademi Shiratorizawa adalah pencapaian terbesar Shoyo waktu itu. Lalu kalah dari Kamomedai di inter-high musim semi memberikan dampak yang cukup besar untuk Shoyo. Dan terakhir, SMA Karasuno tempat Shoyo menimbah ilmu gagal ke nasional setelah kalah di final match menghadapi SMK Date Tech dalam inter-high musim panas tahun ini.

Angin dari arah laut berembus, menerbangkan poni jingga Shoyo yang mulai memanjang dengan pelan. [Name] terpaku ketika mendengar jawaban yang di jawab dengan nada bicara yang begitu yakin dari Shoyo. Pemuda di sampingnya ini sudah memiliki langkah awal untuk ke depannya. Shoyo sudah menyusun rencana bangkitnya. Namun, berbeda dengan [Name].

Dalam benaknya, semua rencana untuk masa depannya masih abu-abu. Hanya sekilas seperti angin yang berembus. Bahkan berhenti bermain voli ketika ia baru memijaki kaki di tahun keduanya bersekolah di Akademi Shiratorizawa adalah keputusan teraneh yang pernah [Name] ambil.

Banyak yang menyayangkan keputusannya tersebut karena selama bermain voli, kemampuan [Name] benar-benar menakjubkan. Tak jarang pujian lolos dari bibir-bibir orang yang menonton pertandingan yang [Name] ladeni, termasuk dari bibir Shoyo.

"Ah, aku sangat menyayangkan dirimu yang berhenti bermain voli. Padahal, spike-mu itu keren." Hinata Shoyo tak pernah segan-segan untuk memuji seseorang termasuk memuji [Name]. "Aku iri denganmu." Meski terkadang, gaya bicara pemuda ini juga blak-blakan dalam penyampaian emosionalnya.

Satu tarikan nafas [Name] lakukan. Lalu nafas dihembuskan secara perlahan. Sebuah senyuman tipis terpatri, senyuman yang jarang ia perlihatkan selalu [Name] perlihatkan dengan mudanya jika sudah bersama Shoyo. Dipuji oleh Shoyo membuat dada [Name] berdesir, bahkan rona tipis merambat di pipinya.

"Aku tahu ini aneh, hanya saja aku memang ingin berhenti bermain voli."

"Kenapa?"

"Aku mau fokus belajar. Ada Harvard yang ingin aku gapai."

Mereka berdua sama-sama terdiam. Menikmati suara deru ombak yang menjorok ke tepian dan kicaun burung yang terbang dengan bebas di atas langit. Sama-sama menghadap ke arah pantai, [Name] memanggil nama Shoyo.

"Shoyo."

"Apa?"

"Mungkin jika waktu itu kau tidak menghentikan ku untuk bunuh diri, mungkin sekarang aku tak akan ada di sini. Bahkan mungkin aku tidak akan pernah mengenal orang sebaikmu. Aku benar-benar bersyukur karena waktu itu kau datang tepat waktu." Sudah lama [Name] ingin mengatakan hal ini kepada Shoyo. Namun, tak ada sedikit pun kalimat terimakasih [Name] ucapkan untuk aksi berani Shoyo yang sudah menghentikan aksi bunuh dirinya.

Suara kekehan lolos dari sebelah, membuat [Name] kembali menolehkan kepalanya ke arah Shoyo dan menatap wajah pemuda hangat itu dari samping. "Kenapa kau tertawa?" [Name] bertanya.

Gelengan kecil Shoyo berikan. "Bukan apa-apa, hanya saja aku pun bersyukur bisa kenal dengan orang sepertimu. Meski kau itu tak jauh berbeda dengan Kageyama dan Tsukishima."

Mendapati diri disamakan dengan Kageyama dan Tsukishima yang notabenenya adalah rekan satu tim Shoyo membuat [Name] berdecak. [Name] tahu apa maksud dari perkataan Shoyo. "Perkataanku tidak semenyakitkan atau semelekit rekan satu timmu itu!"

Shoyo tertawa. Pemuda itu bangkit dari duduknya. Menepuk pelan bokongnya sejenak, pemuda itu menatap [Name] yang masih masih menatapnya. Sesaat kedua mata yang memiliki warna senada tersebut saling bersitatap. Membuat masing-masing jantung berdebar tak karuan dan perasaan aneh muncul tak kala tatapan masih berlangsung.

Mengulurkan tangan, Shoyo mengisyaratkan kepada [Name] untuk meraihnya. "Aku bercanda!" Tak lama gelak tawa lepas dari Shoyo. Gelak tawa itu selalu berhasil membuat [Name] terpaku dan merasa candu berulang kali ketika mendengarnya.

[Name] menerima uluran tangan Shoyo lalu bangkit dari duduknya. Melepaskan tangan yang sempat bertautan, kini mereka berdua berjalan menyusuri tepi pantai.

"Jadi ... Shoyo, sekalipun jika kau harus pergi ke Brazil untuk bermain voli pantai, apa kau akan tetap melakukannya?"

Sebelum musim panas tiba, [Name] sempat mendapati Shoyo bersama pelatih volinya datang ke sekolahnya untuk bertemu dengan Washijo-sensei. Ketika [Name] mengetahui Shoyo ingin bermain voli pantai dan siap jika harus pergi ke Brazil sekalipun, [Name] merasa tak percaya.

Pemuda ini benar-benar memiliki tekad tinggi untuk berkembang.

"Kuharap, aku dan kau masih bisa bertemu kembali, Shoyo."

Masing-masing langkah terhenti. Shoyo berdiri di hadapan [Name] lalu menatap gadis itu dengan tatapan bingungnya. "Memangnya kita tidak akan bertemu lagi?" Kepala pemuda itu sedikit dimiringkan dan kedua matanya mengerjap beberapa kali.

Mengangkat kedua bahu, [Name] beralih menghadap ke arah bibir pantai. Menyelipkan sejumput helai rambut ke belakang telinga, [Name] kembali tersenyum. "Aku hanya takut kita tidak bisa bertemu. Hanya itu saja."

Suara deru ombak kembali mengisi suasana. Suara girang orang-orang di sore hari juga tak luput mengisi suasana diantara [Name] dan Shoyo yang dilanda keheningan.

"Terimakasih."

Kening berkerut ketika mendengar Shoyo berucap demikian. Sontak [Name] menoleh, menatap Shoyo yang menatap lurus ke arah pantai. "Untuk?"

"Untuk hari ini. Mungkin jika kau tidak mengajak aku pergi bersama kemari, aku pasti dipaksa untuk belajar oleh ibuku." Shoyo menjawab, mendadak raut wajah pemuda di sampingnya ini berubah menjadi ngeri-ngeri sedap. Seperti orang yang sedang kesal dan ingin menghindari sesuatu.

[Name] kembali menoleh ke depan. "Shoyo, kenapa kau sangat mudah untuk mengucapkan terimakasih? Bahkan untuk hal kecil sekalipun."

Shoyo terkejut, tak menduga [Name] akan bertanya demikian. "Ketika aku mengucapkan terimakasih padamu, apa yang kau rasakan?" tanya Shoyo.

"Mmmm ... terkadang aku merasa biasa saja, heran dan ... senang."

Shoyo tersenyum. "Sedari kecil mengucapkan terimakasih adalah kewajiban dari ibuku. Dia berkata, ketika aku mengucapkan terimakasih kepada seseorang, orang itu akan merasa senang. Meski terkadang ... tidak selamanya seperti itu." Setelah itu gelak tawa Shoyo pecah, mengisi kecanggungan yang membuat [Name] bergeming.

Dengan mengucapkan terimakasih kita bisa membuat seseorang merasa senang? Ternyata membuat seseorang bahagia itu benar-benar sederhana. Sesederhana pemuda di sampingnya ini.

"Seperti itu ternyata." [Name] bergumam untuk penjelasan Shoyo barusan.

"Ya, begitulah kira-kira." Masih dengan tawa yang menyertai, Shoyo menyahuti gumaman [Name].

Sekali lagi, di pertengahan musim panas [Name] belajar sesuatu dari seorang Hinata Shoyo tentang terimakasih. Pemuda di sampingnya ini benar-benar berbeda dari sekian banyak orang yang sudah pernah ia temui. Shoyo spesial, benar-benar spesial.

"Terimakasih."

Shoyo menoleh, keningnya berkerut dengan alis yang menyatu. Raut wajahnya mendadak bingung ketika secara tiba-tiba gadis di sampingnya mengucapkan terimakasih. "Kenapa kau berterimakasih?"

"Terimakasih sudah menyelamatkan ku hari itu dan terimakasih sudah mengajariku tentang terimakasih hari ini."

Sejak hari itu, berterimakasih bukan lagi merupakan hal yang sulit untuk [Name] lakukan. Berkat Shoyo, [Name] bisa menurunkan gengsinya untuk berterimakasih. Karena berterimakasih tidak akan pernah menurunkan derajat dirimu. Bahkan sampai hari ini, di awal tahun 2018 pun, berterimakasih merupakan hal yang masih sering [Name] lakukan.

Pelajaran yang ia dapatkan dari Hinata Shoyo tak satupun ia lupakan. Terkecuali pelajaran untuk tetap tersenyum. Karena pada dasarnya, sumber tenaga [Name] untuk tersenyum hanya ada pada diri Shoyo. Ketika bersama Shoyo, tersenyum adalah hal yang mudah untuk [Name]. Namun, sekarang ... setelah sekian lama tak bersama dan berjarak, senyuman benar-benar menghilang.

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro