#3. Kecoro Sialan!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di dunia ini, sang kecoak adalah penguasa. Hanya dengan sekali kepakan sayap besarnya, dia mampu memporak-porandakan nebula. Hanya dengan sebuah gerakan tubuhnya, dia mampu menata ulang semesta. Sosoknya sudah berada ribuan tingkat jauh di atas para dewa.

Meski begitu, bagi sang kecoak, kehidupannya kali ini merupakan sebuah kutukan yang tak bisa dimaafkan.

"Aku rindu anjing kampungan yang selalu menjilati kakiku. Aku rindu kota di mana manusia tertawa geli begitu tertimpa tubuhku. Aku rindu jerat rantai yang selalu menjadi tempat berpijakku. Aku rindu ... aku rindu semua itu!"

Kini dia sendirian. Berada di puncak tanpa memiliki apa pun yang bisa dikategorikan sebagai teman. Hari-harinya selalu diliputi dengan kesunyian yang mengherankan. Membuatnya mulai melupakan apa arti dari kehidupan.

Sang pencari keabadian. Dulu, orang-orang menyebutnya demikian. Dia terus berkelana, melawan hukum semesta, hingga akhirnya dapat melampaui dewa, hanya demi sesuatu yang dinamakan keabadian. Sungguh keinginan yang hina, tetapi itulah kenyataan.

Kemudian, ketika dirinya telah berhasil menemukan ramuan keabadian, nasib sial malah menimpanya. Tepat di detik-detik terakhir sebelum dia menenggak cairan ajaib tersebut, seekor kecoak terbang dan masuk ke dalam rongga mulutnya. Sejurus setelahnya, binatang sialan itu malah ikut tertelan bersama dengan ramuan yang diminumnya.

Dengan begitu, kehidupannya sebagai seorang raja yang kaya raya lagi rupawan pun berakhir. Dirinya mulai bertransformasi menjadi sosok lipas yang menggelikan lagi abadi.

Merasa dipermainkan oleh takdir, sang kecoak agung yang tengah ditelan murka pun kembali menyulap kawanan nebula menjadi butiran pasir.

"Kecoro sialan! Kau menghancurkan segala kehidupan indah yang sudah kudambakan. Tidak bisa dimaafkan!"

Namun, semua sudah terjadi. Di dunia ini, waktu terus bergerak maju. Tidak ada yang bisa diubah, meskipun sang kecoak agung memekik-meminta waktu agar kembali.

"Ingatlah, kau pernah berkata, 'Gemerlap dunia sudah tiada artinya bagiku. Keabadian adalah satu-satunya keinginanku.' Dan sekarang aku telah mengabulkan keinginanmu itu."

Sebuah suara menggema di ruang hampa. Menyerukan kebenaran, sekaligus menghinakan dirinya. Membuatnya tersadar akan perkataan bodoh yang terlontar jauh di masa lampau, kala dirinya masih dilingkupi dengan kesempurnaan fana.

Tuhan akhirnya memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa dirinya saat ini merasa begitu tersiksa.
[]

Karanganyar, 9 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro