Chapter 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alfa tertawa puas. Setidaknya pemuda itu berhasil membuat Hanaru terluka parah. Itulah akibat jika tidak memiliki sifat baik hati untuk menolongnya.

Selembar kertas bergambar simbol pentagram hitam Alfa temukan tidak sengaja di dekat taman bunga sekolah. Di kertas tersebut memiliki gambar lain berupa hewan yaitu Babi Ungu.

"Sebenarnya ini milik siapa?"

Alfa menghentikan langkah sebentar di lapangan basket. Ia membolak-balikan kertas sambil mengingat sesuatu. Alfa seperti melihat simbol itu, tetapi entah di mana.

Tiba-tiba kepalanya berdenyut kencang. Alfa meraung kesakitan sampai tidak sengaja membuang kertasnya. Kepalanya seakan ingin meledak.

"Arghh! Ampuni aku!

Maaf, jika aku memiliki salah!"

Kepingan demi kepingan memori perlahan masuk ke dalam otak. Kepingan itu menyatu menjadi suatu gambaran.

"Tidak!"

Alfa tersungkur. Rasa sakit di kepala mulai menghilang. Keringat dingin, debaran jantung, sesak di dada serta wajah pucat semua terasa bercampur dalam satu momen.

"Kertas itu ... aku tidak memiliki kriteria yang cocok dengannya."

Alfa bergumam tak jelas. Ia mulai berdiri dengan terpatah-patah. Posisi agak sedikit membungkuk.

Drrtt!!!

Ponsel berwarna cokelat tua berdering. Alfa merogoh ponselnya di dalam saku jaket. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Isi pesannya berbunyi ...

From : 081xxxxxxxxx

'Waktu kematianmu telah tiba. Perbuatan di masa lalu harus dibalas setimpa. Selamat menikmati terakhir kalinya hidup, Alfa. 😊'

"Sial!"

Alfa membanting ponsel miliknya. Ia tidak peduli jika ponselnya rusak. Nyawa lebih penting dari apapun.

Di saat Alfa akan melangkahkan kaki kanan. Tubuhnya mulai terasa kaku. Kedua pupil memutih. Detak jantung berdetak kencang sampai terdengar gendang telinganya sendiri.

Waktu kematian Alfa telah tiba.

🌺🌺🌺🌺🌺

Alfa berdiri di tengah lapangan. Ia merentangkan kedua tangan lebar. Di salah satu tangan terdapat tali warna hitam yang menghubungkan ke suatu mesin.

Pemuda itu menarik tali hitam kencang. Ternyata di depannya sekitar sepuluh meter jaraknya berdiri. Sebuah mesin bernama robot penembak berisi bola-bola kasti berjumlah sekitar dua puluh bola.

Suara robot penembak menandakan mesin tersebut telah menyala. Di tengah-tengah badan robot terdapat lubang berdiameter cukup lebar.

Satu-persatu bola kasti keluar dari lubang. Seakan pelempar bola kasti profesional, bola itu melesat lurus mengarah ke target sang pemukul.

Bola pertama mengenai perut. Cairan dalam perut dimuntahkan dari mulut Alfa. Bola kedua dan ketiga mengenai pipi kanan dan gusi. Beberapa gigi Alfa copot, lalu terjatuh ke bawah.

Bola keempat, lima, enam, tujuh serta delapan mengenai organ-organ vital Alfa. Mulut memuncratkan darah segar. Kondisi Alfa saat ini sungguh memperihatinkan.

"Aarggh!"

Walau badan tidak bisa digerakan. Alfa masih bisa mengeluarkan suara rintihan kesakitan yang ia alami saat ini, hari ini dan detik ini.

Luka lebam biru dan organ vital dalam tubuh mengalami kerusakan hebat. Alfa sudah tak dapat mempertahankan posisi berdiri. Sebelum terjatuh, bola kedua puluh mengenai tulang pelipis dengan sangat keras hingga terlihat bengkok.

Alfa pun terjatuh bersimbah darah. Ternyata robot penembak masih melesatkan satu kali lagi dan ... itu adalah bunga Amaryllis yang terbungkus plastik. Aroma serbuk bunga membuat seseorang merinding, apalagi berada di dekat orang yang akan meninggal dunia.

"Maafkan aku ... tidak dapat menemukanmu ... Hicchan."

Buliran air mata tak kuasa ia tumpahkan.

Hembusan nafas terakhir Alfa keluarkan. Dan Alfa merupakan korban selanjutnya. 😊

🌺🌺🌺20🌺🌺🌺

Brakk!!

Zahra dan Rizal berhasil menemukan jalan keluar. Mereka saling bekerja sama selama masa pencarian.

"Zahra, ayo cepat sedikit," bisik Rizal.

Posisi Rizal saat ini dalam kondisi setengah duduk. Paha kanan sebagai pijakan kaki Zahra agar mencapai ujung jendela.

"Bawel sekali," gerutu Zahra.

Gadis bersurai merah di kepang dua merentangkan tangan lurus ke atas. Sedikit lagi ia akan menyentuh ujung jendela dan berhasil.

Zahra mulai menarik dirinya hingga ia selamat melewati jendela berukuran sebesar tubuhnya. Kedua sudut bibir menarik membuat senyuman, tetapi berubah dalam sekejap mata menjadi cemberut.

Kondisi di luar ternyata sedang hujan badai. Beberapa kali ia melihat kilatan petir di balik hujan.

Rizal mendarat sempurna. Perlahan seragam yang dikenakan menjadi basah akibat terkena tetesan hujan.

"Hujan?"

"Kau bisa melihatnya sendirikan!" sindir Zahra. Ia mengepalkan kedua tangan erat menahan kesabaran jika berada di sebelah pemuda itu.

Rizal tertawa kecil. Tanpa menunggu persetujuan dari Zahra, ia menarik lengan kirinya. Zahra sempat ingin protest, tetapi jari telunjuk Rizal berada di depan mulut.

Suara langkah kaki mulai terdengar dari arah dalam. Sepertinya pelaku penculikan mereka sudah mengetahui tawanannya telah melarikan diri.

Kedua insan berstatus murid kelas 2-E terus berlari di bawah guyuran hujan. Salah satu petir menyambar mengenai pohon mangga.

"Kita harus mencari tempat aman dulu," ucap Rizal.

"Hmm," gumam Zahra.

Bagaimanakah nasip mereka??

🌺🌺🌺🌺🌺

Ketujuh pilar masih berdiri dengan kokoh. Di atas pilar ada beberapa orang saling menatap ke tengah simbol pentagram hitam yang berada di bawah. Di sana terdapat seorang Gadis tak sadarkan diri.

"Dua!"

Sosok Tiga memanggil nomor Dua. Dua menatap tajam seorang pemuda di balik tudung hitam dan topeng tengkorak. "Apa?!"

Nomor Satu, Enam serta Tujuh hanya diam mengamati. Mereka memiliki pertanyaan sama tentang kedua sosok itu.

"Apa tidak kita tunda dulu ritual ini?" tanya Tiga.

"Aku tidak mau!" tolak Dua.

"Nomor Empat dan Lima tidak hadir. Kemungkinan ritual ini berhasil sekitar 70% saja." ujar Tiga memberikan alasan logis.

Sebenarnya pemuda dibalik sosok Tiga menahan emosi. Aura kemarahan seakan ingin menguasai dirinya, tetapi dia masih bisa mengontrolnya.

Dua menyilangkan kedua tangan di depan payudara besar miliknya. Ia cukup setuju dengan alasan Tiga. Namun, ritual ini tidak bisa ditunda terlalu lama lagi.

Rasa iri hati menyeruak saat Dua memikirkan sosok Empat dan Lima yang tengah sibuk bertemu dengan kandidat pengganti mereka. Walau dia sendiri sudah bertemu dengan kandidat pilihnya, Dua masih ragu.

"Jadi, bagaimana?" tanya Tiga kembali.

"Baiklah, kita akan menunda ini dua jam lagi," jawab Dua iri.

Sosok Pertama sebagai pemimpin hanya diam menikmati. Ia tidak perlu repot-repot untuk berdebat masalah tidak jelas baginya.

Nomor Tujuh mengerlikan mata kanan genit di balik topeng untuk Tiga. Enam masih sibuk menghabiskan makanan ringan miliknya yang tersisa tiga bungkus besar lagi.

🌺🌺🌺🌺🌺

Keadaan Ren sudah lebih baik. Memori-memori lama telah ia ingat kembali dengan sangat jelas.

"Aku lelah," keluh Ren.

Ren terduduk lemas di lantai. Kedua kaki ia luruskan dan mulai mengatur napas pelan.

Pemuda di depan Ren menguap kecil. Ekspresi wajah mengantuk nampak jelas terlihat.

"Hoamm ... ingatanmu sebagian telah kembali. Bagaimana perasaanmu?" tanya pemuda bertubuh tinggi itu.

"Aku ... tidak tahu," jawab Ren menggelengkan kepala lesu.

Dia memijit pelipis pelan. Rasa mual dan pusing masih sedikit terasa.

"Haha ... setidaknya aku sudah memberikan hadiah untukmu."

Pemuda itu mulai berdiri tegap. Ia meregangkan otot-otot tubuh terasa kaku. Pandangan mata malas menyorot ke arah Ren.

Ren ingin bertanya, tetapi ia urungkan. Bibir tertutup rapat. Rasa ngantuk ia abaikan sejenak.

"Fi---,"

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu!" Pemuda itu menatap tajam Ren.

Bulu roma Ren berdiri spontan. Aura intimidasi serta kemalasan bersatu.

Sang Pemuda menghapus make up di bagian mata kiri. Sebuah tato bergambar hewan Beruang Hitam terlihat di bawah mata kiri.

"Semoga kau dapat bertahan sampai akhir."

"Ma-maksudmu?" tanya Ren tak mengerti.

Pemuda itu tidak menjawab melainkan pergi meninggalkan Ren sendiri di ruang kelas. Ren menatapi kepergiannya dengan penuh misteri. Perlahan kedua mata tertutup rapat.

🌺🌺🌺20🌺🌺🌺

{09/03/2021}

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro