Chapter 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Fuyu berpisah dengan sang kembaran, Fikri. Dia tidak melarang kepergian si kakak dikarenakan ada urusan penting.

"Semoga berhasil Kak."

Fuyu melihat kepergian Fikri dengan perasaan sedih. Waktu, kebersaaman, dan perasaan sangatlah berharga bagi mereka yang memiliki ikatan batin kuat dengan saudara kembar.

Buliran air mata yang sudah terbendung sejak tadi akhirnya tumpah. Fuyu tak kuasa menahan tangis lebih lama lagi. Ia meremas dada kiri kuat, rasa sesak begitu ia rasakan.

"Kak Fikri ...."

Fuyu memegangi leher bagian kiri, sebuah siluet gambar hewan terlihat di sana. Dia pun memutuskan untuk menjalakan tugasnya.

Tangga demi anak tangga dipijaki dengan pelan. Sebuah aura iri menyelimuti seluruh tubuh Fuyu. Fuyu sangat iri dengan semua orang.

"Kenapa kalian bisa bahagia tetapi aku tidak?!"

Pertanyaan yang selama ini Fuyu pendam sendiri. Fuyu melihat berbagai pemandangan di sekitarnya penuh dengan rasa cinta dan kehangatan bersama teman maupun keluarga.

Namun, semenjak Fuyu dan Fikri menginjaki kaki di sekolah ini semua berubah. Seakan dinding tak kasat mata memisahkan mereka.

Tak terasa Fuyu sudah berada di lantai tiga akibat memikirkan masa lalu kelam. Mungkin ini saatnya dia akan bahagia di dunia lain bersama kakak kembarnya.

Fuyu berhenti di salah satu pintu bertuliskan tiolet perempuan. Dia bisa mendengar seorang gadis tengah menangis dan suara air mengalir di dalam.

Sreekk!!

Pintu terbuka sendiri. Seorang gadis berwajah kucing berdiri di depan Fuyu dengan tatapan menyedihkan.

"Fuyu!" seru gadis itu terkejut.

Fuyu hanya diam. Senyum tipis terukir di bibir manisnya.

"Hai, Icha," sapanya.

Icha reflek mengambil langkah mundur perlahan. Dia dapat merasakan sebuah aura buruk dari gadis di depannya. Icha melihat tatapan dari balik mata Fuyu begitu menyedihkan. Ia tersentak tak tahu harus berucap apa.

"Kenapa tatapan itu sangat sedih dan tersiksa?" batin Icha.

Fuyu membalikan badan, lalu berjalan pelan ke arah sebelah kiri. Icha bingung dengan sikap salah satu anggota geng pembuly di kelasnya. Dia pun memutuskan untuk keluar dari toilet perempuan.

Fuyu melirik ke arah saku baju Icha. Terdapat secarik kertas lusuh bergambarkan simbol pentagram hitam.

"Ternyata kamu berhasil menemukannya," ucap Fuyu tersenyum tipis.

"Hah?!"

Icha mengikuti lirikan mata Fuyu mengarah ke saku bajunya. Ia mengambil kertas itu dan menunjukan kepada Fuyu.

"Maksudmu ini?" tanya Icha.

"Tepat sekali. Baiklah, aku sekarang akan mengujimu. Apakah layak atau tidaknya sebagai 'pengganti'?"

Fuyu mengeluarkan aura luar biasa. Rasa iri hati begitu tersiksa dan menyakitkan. Tiba-tiba tubuh Icha merinding dikso. Kedua kaki seakan tidak mampu menahan tubuhnya.

"A-apa yang terjadi sebenarnya?"

"Waktu ... di mulai!"

"Argghh!!" Suara lengkingan Icha membuat siapapun yang mendengar pasti akan pingsan.

Bagaimana nasip Fuyu dan Icha??

🌺🌺🌺🌺🌺

Chita dan Widya berhasil menyelamatkan diri dari kejaran Andrew. Tiba-tiba saja pemuda itu berbelok ke arah lain. Entah hal apa yang membuat dirinya seperti itu, tetapi mereka tetap memasang sikap waspada.

Widya mengatur napas sejenak. Pasokan oksigen dalam tubuh perlu dinetralisirkan. Ia menyeka keliringat di tulang pelipis.

"Aku takut," gumam Chita.

Widya dapat melihat ekspresi muka Chita begitu ketakutan. Dia masih belum bisa memahami gadis itu untuk saat sekarang.

"Kau harus kuat!" Widya menyemangati Chita. Ia tidak ingin membuat teman sekelasnya itu semakin ketakutan.

Chita terduduk lemas di pojok ruangan laboratorium sekolah terletak di lantai dua. Suasana di sini cukup sepi dan sedikit seram.

Laboratorium terkenal akan salah satu ruangan berhantu di sekolah. Setahun lalu ditemukan seorang mayat pemuda tewas setelah meminum sebuah cairan di tabung kimia.

Chita memeluk kedua kaki erat. Memori demi memori yang masuk satu-persatu di otaknya begitu menyakitkan. Dia juga tak bisa mengontrol dirinya sendiri.

"Aku belum ingin mati," gumam Chita lirih.

"Chita." Widya memanggil pelan.

Widya mencoba menenangkan Chita, tetapi gadis itu malah berbalik menatap tajam dirinya. Bulu roma Widya seakan berdiri semua.

"Kau menyeramkan!"

Widya mundur perlahan ke belakang menjaga jaga seminimal mungkin. Chita berlinangan air mata tetap menatap tajam.

"Ah! Aku ingin ke toilet sebentar." Widya pergi tanpa menunggu balasan jawaban Chita. Ia harus menenangkan diri. Keadaan saat ini membuat psikologi sedikit terguncang.

Kini tinggallah Chita seorang diri. Ia masih setia menatap tajam kepergian Widya. Air mata tumpah membasahi kedua pipinya.

"Maafkan aku ...," ucap Chita.

Drttt!!!

🌺🌺🌺🌺🌺

Sejak tadi ponsel merah maroon Chita terus bergetar. Ia tidak mau membuat Widya tambah sedih serta khawatir melihatnya.

Gadis bersurai cokelat madu merogoh ponsel di dalam saku blazer merah. Chita menatapi sebuah pesan baru dari nomor tak dikenalinya.

"Inikah giliranku ... mati,"

Chita menutupi wajah dengan kedua tangan. Air mata semakin deras berjatuhan. Dia takut akan namanya kematian, walau sejak ia berada di kelas 2-E kematian sudah menunggu mereka.

From : 081xxxxxxxxxxx

'Chita! Masa lalumu membuat kamu terpilih untuk ... Mati! Semoga kau menikmati akhir kehidupanmu 😊.'

Degh!

"Aku ... belum siap menerima semua ini.

Arghh!!"

Chita berteriak histeris. Ia mencoba bangkit berdiri walau tertatih.

Degh!!

Sebelum Chita mengamuk, tubuhnya sudah terasa kaku seutuhnya. Kedua iris mata memutih dan pandangan seakan kosong.

Chita berjalan pelan menuju meja besar. Di atas meja sudah tersusun rapi beberapa botol kimia, cairan kimia dan mikroskop. Dia mengambil salah satunya yaitu botol kimia berwarna merah.

Gleekk!!

Gadis bersurai cokelat madu tanpa berpikir panjang meminum cairan itu. Kemudian, Chita mengambil dua botol lainnya berwarna hijau dan biru. Kedua cairan tersebut ia satukan menjadi warna ungu pekat.

Glekk!!

Cairan botol kimia kedua telah berhasil di minun hingga tidak meninggalkan satu tetesan sedikitpun. Chita membuat botol kimia sembarangan.

Ekspresi wajahnya begitu kesakitan. Warna kulit yang awalnya berwarna putih sekarang berubah menjadi gelap.

"Argghh!!"

Chita menjerit histeris. Tenggorokan terasa terbakar. Kedua tangan memegangi leher erat seperti mencekik. Dia mengamuk hingga menjatuhkan beberapa barang di atas meja lebar.

Prangg!!!

Tubuh Chita terjatuh di lantai yang sudah basah terkena cairan kimia. Ia masih menggeliat bagai ulat bulu di lantai laboratorium.

Mulut Chita mengeluarkan buih-buih busa. Pegangan di leher terlepas perlahan. Kedua pupil semakin melebar serta memutih. Bunga Amarylis terjatuh dari meja lebar tepat di atas dada Chita.

"A-aku ... be-belum ... ingin ... mati ...."

Hembusan napas terakhir Chita membuat ia meninggalkan dunia fana yang penuh tipu daya. Setidaknya rasa takut dan sakit sudah tidak Chita rasakan.

Dan ... korban selanjutnya adalah Chita. 😊

Sreekk!!

Widya membuka pintu ruang laboratorium cukup kencang. Ia mendengar suara keributan setelah kembali dari toilet. Dan alangkah terkejut pemandangan di depan matanya sendiri.

"Chi-Chita!!!"

Napas Widya terasa tercekat. Ia terduduk lemas melihat tubuh Chita sudah tak bernyawa lagi. Dia menyalahkan diri karena telah meninggalkan gadis itu seorang diri di sini.

"Aarghhh!!!"

🌺🌺🌺18🌺🌺🌺

Di sebuah ruangan, beberapa layar menyala terang. Seorang berpakaian serba hitam dan memakai topeng tengkorak menatapi layar di depan.

"Hahaha ... para nomor sudah mulai mencari kandidat baru," ucapnya.

Kedua sudut bibir tertarik membuat seringai lebar. Seseorang misterius itu sangat menikmati setiap adegan yang dilakukan oleh para murid kelas 2-E terkutuk.

"Selanjutnya akan semakin seru dan menegangkan ...."

🌺🌺🌺18🌺🌺🌺

{11/03/2021}

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro