Bab 15 🔞

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Are you okay?" tanya Jake sembari menangkup wajah pucat pasi Anna begitu sampai di rumah gadis itu. "Apa yang terjadi?"

Bibir Anna bergetar tanpa mampu meloloskan kalimat-kalimat yang berputar-putar dalam kepala. Semua untaian kata mendadak lenyap tanpa bekas menyisakan bayangan-bayangan mencekam saat seseorang menerima ancaman seperti itu. Kristal bening yang keluar dari pelupuk matanya makin mengucur tanpa henti hingga korneanya terasa pedih. Dia takut setengah mati sampai-sampai memukul dadanya sendiri, mencoba membangunkan diri siapa tahu ini hanyalah sekadar mimpi buruk. Tapi, sebesar apa pun usahanya untuk bangkit dari kekacauan, semuanya terlalu seram tuk menjadi kenyataan.

Apakah ada orang yang membencinya sampai tega mengirim benda mengerikan itu?

Begitu mendapat paket menjijikkan tersebut hingga mengeluarkan isi perut. Alarm dalam kepala Anna langsung mengarah ke nama Jake. Dia berlari ke dalam kamar, meraih ponsel dan terpaksa memutus sambungan video call Shanon lalu menghubungi lelaki itu. Anna ingat kalau Jake pernah menawarinya bantuan jika ada masalah dan mungkin saat inilah dia meminta pertolongan.

"Jake, tolong aku! Please, tolong aku!" seru Anna sesenggukan. "Aku takut, Jake!"

"Ada apa, Anna? Di mana rumahmu?" tanya lelaki itu mencoba tenang. 

"Aku kirim alamatku, tolong datanglah ke sini, Jake! Aku takut!" pinta Anna penuh harap.

Anna menutup wajah dengan telapak tangan tak sanggup membayangkan bagaimana jika ada ancaman lain yang akan datang. Bahkan bulu romanya enggan mengambil napas sejenak seirama paru-parunya makin sesak manakala sekelebat imajinasi buruk terlintas. Kata orang, mendapat kiriman seperti itu pertanda tidak baik dan mengundang malapetaka. 

Debaran dada Anna semakin tidak mau berdetak normal, semakin berdentum kencang hingga menimbulkan rasa nyeri hebat. Peluh keringat sebesar biji jagung menghiasi kening gadis itu membayangkan fotonya berlumuran darah disertai bangkai tikus sebesar anak kucing mengaduk-aduk perut. 

Sensasi tak mengenakkan itu bergejolak lagi, merangkak ke kerongkongan Anna menimbulkan rasa panas bercampur asam. Dia menahan gelombang mual tersebut, tak berani menatap bekas muntahan yang masih tercecer di teras akibat lonjakan rasa panik yang membekap tanpa permisi. 

"Aku ada di sini," bisik Jake mendekap tubuh gadis itu berusaha menurunkan kecemasannya. "Aku sudah menyuruh orangku membersihkan kegaduhan ini, Anna. Kamu aman bersamaku."

Dua pria bertubuh kekar yang datang bersama Jake langsung membersihkan kotoran-kotoran itu tanpa rasa jijik. Membasahinya dengan cairan karbol sehingga tidak meninggalkan bau menyengat. Salah satu dari mereka menoleh dan berkata, 

"Anda ingin saya mencari pelakunya?"

Jake hanya melenggut pelan. "Tolong." Lalu dia membawa Anna masuk ke dalam rumah dan mendudukkan gadis itu di sofa ruang tamu. "Aku ambilin air minum ya? Dapurmu di mana?"

Anna menahan lengan Jake dengan pandangan penuh harap. "I'm okay. Jangan tinggalkan aku sendirian, Jake, please."

"Baiklah, tapi kamu harus menenangkan dirimu dulu, Anna," kata Jake menyingkirkan helai rambut Anna yang basah akibat dibanjiri keringat.

Untuk sesaat sorot mata abu-abu gelap Jake mengitari sekeliling dan mengamati secara cepat suasana hunian Anna yang ditinggali seorang diri. Tidak banyak barang, hanya sofa berbahan kayu jati yang dilapisi bantalan bermotif batik, televisi berukuran 42 inci yang ditutupi kain berwarna merah, dan ada vas bunga imitasi di sudut atasnya. Di sedikit melongok ke ruang tengah di mana ada meja bundar dan dua kursi plastik, disebelahnya ada kulkas dua pintu berhias stiker-stiker kartun. Mungkin ruang makan kecil, pikir Jake.

"A-da seseorang yang mengirimiku paket," ujar Anna terbata-bata seraya merangkul lengannya sendiri seperti orang kedinginan. "Awalnya aku nggak curiga sama sekali, kecuali bagian nama dan alamat pengirim yang sama sekali nggak kukenal."

Refleks Jake melepas jaket kulitnya dan menyampirkannya ke bahu Anna agar gadis itu nyaman. "Lalu?"

"Aku berteriak begitu tahu isinya bangkai tikus dan fotoku yang sudah diberi tanda X dengan darah, Jake," ucap Anna berintonasi cepat lantas membungkam mulutnya akibat gejolak itu datang lagi. 

"Aku ambilkan minum ya, kamu punya dispenser kan?" tanya Jake yang dibalas anggukan. 

Dia beranjak dan berjalan masuk ke area ruang makan yang bersebelahan dengan dua kamar berpelitur cokelat. Di depannya ada rak piring dan gelas dan sebuah dispenser berisi galon berlabel Blue Aqua. Jake menghampirinya, mengambil satu gelas kaca dan menampung air hangat dari dispenser sembari berpikir motif tersembunyi si pengirim. 

Sejauh yang bisa diamati, tidak banyak barang berharga yang bisa diambil oleh pelaku jika niatnya ingin mencuri. Namun, entah mengapa, pikiran Jake mengarah ke mantan kekasih Anna yang dulu pernah mengejar dan nyaris memperkosa gadis itu. Apakah masalah di antara mereka berdua belum selesai? Apakah mantannya masih ingin menguras uang yang dicari Anna susah payah sampai ke negeri seberang?

Bisa jadi kan?

Jake kembali seraya membawa segelas air hangat untuk diberikan kepada Anna lalu duduk di sampingnya. Anna menerima usai mengucapkan terima kasih kemudian meneguk sedikit air tersebut sekadar menenangkan diri. Pandangan Jake mengiba lalu menoleh ke arah pengawalnya seraya berkata, 

"Kalau kalian mau balik nggak apa-apa. Aku akan di sini sementara waktu."

"Baik, Pak. Tadi kami coba menyisir area sekitar sini dan sayangnya nggak ada kamera pengawas. Kemungkinan besar akan sulit melacaknya."

"Kenapa nggak lapor polisi aja?" tanya Anna. "Aku bisa membuat laporan ada tindakan tak menyenangkan."

"Anna." Jake menggenggam tangan dingin gadis itu. "Kadang polisi hanya akan bergerak bila ada uang. Apalagi masalah ini bisa dianggap hanya masalah sepele, mereka pasti mengira kalau kejadian yang kamu alami hanyalah perbuatan orang iseng."

"Tapi--"

"Percayalah padaku. Kalau nggak bertindak sendiri untuk mencari bukti, mereka hanya menganggap angin lalu," sergah Jake meyakinkan Anna. "Aku yakin setelah ini pasti ada ancaman lain, Anna."

Anna menggigit bibir bawah merenungi kalimat Jake yang mungkin ada benarnya. Bisa jadi kejadian hari ini adalah awal permulaan, namun besok? Bisa lebih parah bukan? Akhirnya dia mengangguk setuju. 

"Di ujung gang ada supermarket," sahut Anna. "Kampungku hanya punya satu akses jalan masuk, mungkin kalian bisa cari tahu dari sana."

"Baiklah."

###

Semalaman Jake tidak bisa tidur nyenyak memikirkan Anna seorang diri dengan teror yang baru dialami. Sayang, gadis itu bersikukuh menolak penawaran agar menginap di kediamannya sebagai tempat perlindungan sementara. Dia berkelakar kalau tidak ingin menambah beban Jake yang bersedia datang secepat mungkin setelah ditelepon. 

Tentu saja Jake tidak ingin memaksa walau hatinya dilanda gelisah. Bolak-balik dia mengambil ponsel sekadar menilik menit ke menit tak sabar menyambut mentari. Jam masih menunjukkan pukul dua pagi, artinya dia harus menunggu sekitar empat jam lagi agar bisa mendatangi rumah Anna untuk mengecek kondisinya. Sungguh Jake dibuat resah dan yakin kalau pelaku teror itu adalah mantan kekasih Anna. 

Di antara kekhawatiran yang menyelimuti Jake, notifikasi dari Aria membuyarkan lamunan memunculkan gumpalan-gumpalan rindu yang belum tuntas terbayarkan.

 Aria : Kau belum tidur, Amore mio?

Bibir Jake mengulum senyum tipis sembari membalas pesan teks dari pujaan hatinya tersebut. 

Jake : Aku tidak bisa tidur nyenyak, Vita mia.

Jake : Merindukanmu di sampingku.

Aria : Bersabarlah. Bulan depan aku datang bersama adikmu, Amore. Ezio bilang dia terpaksa memundurkan jadwal karena ada satu tangki di pabrik Tuscano bocor sampai ke saluran air warga pedesaan.

"What?" Jake membeliak karena tidak menerima laporan dari adiknya pun ayahnya. Refleks dia menekan tombol telepon untuk mendengar langsung kronologi kejadian. Tuhan! batin Jake merasakan masalah demi masalah tidak ada habisnya. "Hei, Vita mia, apa yang terjadi?"

"Tangki nomor 38 di pabrik bocor, kemungkinan karena kerannya rusak, Jake," terang Aria sembari menyugar rambut panjangnya. "Kami sudah konfirmasi kalau wine yang mengalir di saluran air mereka tidak berbahaya. Padahal rencananya wine yang sudah difermentasi itu akan dikemas."

"Jesus, Aria, jangan sampai nonna tahu, oke. Aku takut kesehatannya mendadak memburuk jika mendapat informasi tak mengenakkan ini," pinta Jake. 

"Tentu, Amore mio. Aku paham kondisi nonna oleh sebab itu ayahmu juga tidak mengabari kalian."

"Iya, benar. Astaga, kepalaku rasanya meledak. Aku yakin kerugiannya tidak sedikit, satu tangki berisi 50 ribu liter kan?" keluh Jake geleng-geleng kepala.

Aria mengangguk, melengkungkan bibir merasa prihatin atas musibah yang menimpa Tuscano--perusahaan utama wine milik keluarga Luciano. Baru pertama kali dia melihat genangan merah mengucur deras layaknya hujan lokal dan mengalir ke pemukiman warga. Ya, meskipun mereka mulanya bingung kenapa keran-keran air rumah mendadak terasa manis di lidah. Beruntung Fabio Luciano dan ayahnya langsung turun tangan untuk memberi pengumuman dan melaporkan ke dinas kesehatan setempat agar tidak menimbulkan dampak negatif.

"Ayahku membantu mengatasi segalanya, Jake. Kau jangan khawatir," ucap Aria ingin mendekap kekasihnya saat ini juga. Jujur dia membenci hubungan jarak jauh yang terbentang begitu mengenaskan. Namun, Aria harus berbesar hati dan mengumpulkan banyak kesabaran karena tanggung jawab yang diberikan keluarganya juga keluarga Luciano untuk menjadi salah satu petinggi Tuscano di bagian administrasi dan pemasaran. "Hei, kau mau melakukan sesuatu yang nakal?" ajaknya sembari menyeringai penuh arti.

Mendadak pipi Jake merona bukan main. Iris mata abu-abunya berkilat menyiratkan gairah terpendam yang sudah lama tidak dilepaskan. Jake menjilati bibirnya sendiri seraya terkekeh,  baru menyadari baju tidur kekasihnya sialan seksi. Sebuah lingerie hitam berenda yang memiliki potongan dada terlalu rendah. Seolah-olah bagian favorit Jake ingin menyembul tak sabar untuk dipuja. 

Lantas dia berbisik merasakan hormonnya melonjak naik mendengar rayuan Aria. "Mi piacerebbe vederti, Vita mia. Voglio perdermi nei tuoi bellissimi occhi."

(Aku ingin melihatmu, Sayang. Aku ingin tenggelam dalam mata indahmu)

Mendengar gombalan maut Jake, Aria meletakkan ponsel di laci sebentar untuk mengambil sesuatu dari dalam sana. Sebuah vibrator kebiruan yang ujungnya sedikit melengkung. Benda favoritnya ini selalu menemani ketika Anna butuh pelepasan akan hasrat. Hubungan jarak jauh yang menyiksa ini benar-benar mengharuskan Aria maupun Jake mencari berbagai cara untuk tetap merekatkan komunikasi dan emosi. 

Dia melepaskan gaun tidurnya, mempertontonkan dada penuh nan padat kepada sang kekasih. Menekan tombol pada benda kesayangan sehingga bergetar cukup kuat untuk membuatnya mencapai puncak. Aria membuka kedua pahanya, merasakan dirinya mulai basah mendengar rayuan demi rayuan nakal dari bibir Jake. Ketika lelaki itu menyuruh untuk membelai puncak dada dan turun perlahan ke lembah kewanitaannya. 

"Should we start it right now, Amore mio?" tanya Aria dengan pandangan berkabut sudah dikuasai gairah. 

"Kau membuatku gila, Aria," balas Jake merasakan adrenalin memuncak dan membangunkan pusat tubuhnya yang terlelap lama. Tanpa sadar tangannya ikut turun ke balik celana longgar yang dikenakan Jake. Merasakan dirinya ikut mengeras akibat rasa rindu yang membuncah terhadap penyatuannya bersama Aria. "Aku ingin menuangkan wine ke tubuhmu dan menjilatinya."

"Kau sialan nakal, Jake. Tapi, aku suka semua yang kau lakukan padaku, Mr. Luciano. Jadi, apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu mencapai klimaks?" rayu Aria mengerlingkan mata sambil menjilati vibrator yang sudah basah oleh dirinya.

"Oh, Aria..." racau Jake benar-benar tidak sanggup ingin bertemu kekasihnya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro