11. An Introvert (Fida)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama: Fida Herawati
Jurusan:
1. Teenfiction
2. Religi

❤❤❤

Menjadi orang yang tertutup dan lebih banyak diam atau disebut juga dengan introvert adalah sesuatu yang tidak mudah. Banyak orang membanding-bandingkan antara introvert dengan ekstrovert. Ada yang bilang kalau ekstrovert lebih mudah sukses karena percaya diri dan ekspresif. Namun banyak juga yang berkata bahwa introvert adalah calon orang gagal.

Jadi introvert lebih suka diam terasa lebih nyaman ketimbang berbicara. Namun sayangnya, orang-orang disekitar mereka tidak paham dengan hal itu. Mereka manganggap bahwa introvert itu adalah orang-orang pemalu dan jaim. Padahal, kenyataanya tidak seperti itu. Para introvert sering merasa bahwa obrolan mereka kurang menarik padahal menurut orang lain belum tentu begitu. Maka dari itu mereka banyak menghabiskan waktu untuk berpikir, diam, dan mendengar ketimbang berbicara.

Sering banget ditemui bahwa sebagian anak sekolah yang dibully adalah introvert. Mereka diperlakukan seperti itu karena dianggap awkward dan nggak keren seperti teman-teman lain pada umumnya. Introvert sering dibilang beda dan dikucilkan. Iya, itu yang dialami gue selama hidup ini dan yang paling parah adalah masa-masa sekolah, terutama masa SMA. Selalu dikucilkan dan dihina. Bahkan, dengan teganya teman-teman sekelas ikut membully lalu yang laki-laki dengan teganya menjadikan gue target operasi baper alias bahan taruhan. Mereka dekat kalau ada maunya aja.

Saat istirahat gue diam duduk di bangku paling pojok, seperti biasanya. Yang gue lakukan adalah membaca novel sambil mendengarkan musik lewat earphone. Tiba-tiba novel diirebut paksa membuat gue memekik kaget. Mayang dan Ajeng berada di hadapan sambil menyobek kertas novel membuatku melotot. Mereka berdua tertawa sinis bak mak lampir. Kenapa harus novel yang baru gue beli tiga hari lalu? Itu novel favorite gue!.

"Kenapa mau marah?" tanya Mayang mengejek saat gue menatapnya horor, tanpa mengucap sepatah kata apa pun.

"Lo ngelunjak tahu nggak. Caper sama cowok-cowok di kelas ini. Mulai dari Mario, Haris, lalu Ethan. Semuanya lo deketin! Diam-diam ganjen juga ya," ujar Ajeng dengan tatapan berkilat amarah.

"Bukan gue yang dekatin mereka!" balas gue enggak terima. Jelas-jelas mereka yang dekatin, kenapa gue yang disalahin?

"Dasar cewek ganjen! Nggak tahu diri!" ujar Mayang pedas.

Gue udah nggak bisa nahan emosi. Gue tanpa aba-aba langsung menjambak rambut Mayang membuat Mayang dan Ajeng kaget juga Dina dan Chika yang masih ada kelas ikut kaget. Gue nggak peduli, gue udah cukup sabar. Gue udah nggak tahan! Kenapa seorang pendiam itu selalu ditindas? Gue nggak terima. Jangan mentang-mentang pendiam dibilang nggak bisa ngomong. Apa salahnya sama pendiam dan introvert? Toh, juga sama-sama manusia.

"GUE UDAH BERUSAHA SABAR BUAT NGGAK NGELUNJAK KARENA KENYINYIRAN KALIAN!. GUE MASIH ANGGAP KALIAN ITU TEMAN, BEGO. MAKANYA GUE GAK MAU MARAH-MARAH. TAPI, SEKARANG KALIAN MALAH TAMBAH NGELUNJAK." Gue melampiaskan emosi dengan menyeramg Mayang dan Ajeng membabi buta. Dina dan Chika membantu melerai, tapi, ikut kena imbas amukan gue sampai akhirnya Haris dan anak kelas masuk lantas memekik kaget melihat gue mengamuk sampai mengacak-acak meja kursi.

"KENAPA SELALU PENDIAM YANG DITINDAS!?" teriak gue setelah ditenangkan oleh Aksa, sang ketua kelas. Gue menatap nyalang ke arah anak kelas. Bukan cuma Mayang dan Ajeng yang kena imbas, tapi, Dina, Chika, Jeslyn, Harun, sampai Ethan kena imbasnya. Dada gue bergemuruh menahan gejolak emosi yang rasanya mau meledak lagi.

"GUE TANYA SEKALI LAGI, KENAPA HARUS PENDIAM YANG SELALU KENA TINDAS?" pekik gue nyaring membuat kelas mendadak hening. Semuanya nggak ada yang mampu menjawab. Kadang gue heran, pendiam nggak ada salah apa pun. Tanpa alasan mereka ditindas. Pendiam bukan berarti nggak punya mulut buat ngomong. Jangan karena diam mereka bisa menindas seenaknya. Pendiam juga bisa meledak sewaktu-waktu. Gue diam sesaat mengatur pernapasan lalu mencangklong tas. "Jangan ada yang ngikutin gue!" Tegas gue saat Aksa mau ikut menyusul. Mereka diam menatap gue yang keluar kelas, pergi ke rumah.

***

Malam hari. Gue duduk di balkon kamar menatap langit biru yang bersinar terang. Gue membuka sebuah buku bersampul hitam kusam. Itu adalah diary pemberian sahabat gue yang telah meninggal dunia. Semenjak dia meninggal, buku ini adalah tempat gue mencurahkan segalanya. Hanya buku ini yang dapat mendengarkan segala curahan hati dan keluh kesah.

Gue buka sebuah buku yang penuh kenangan itu. Tangan seakan bergetar saat membuka sampulnya. Air mata pun mulai merembes membasahi pipi. Gue hanya menatap buku itu seakan memberikan isyarat bahwa kenangan masa lalu kembali hadir. Gue benar-benar rindu sama lo, Ran. Kenapa lo pergi? Lo buat gue jadi seperti ini, andai lo tetap di sisi gue, Ran.

"ICHA! ADA TEMAN-TEMAN KAMU!" teriak Mama membuat gue tersentak lalu mengusap air mata dan mengembalikan buku ke tempat semula. Gue segera turun menuruni tangga. Langkah gue mendadak melambat saat seluruh anak 11 IPA 3 ada di ruang tamu berdesak-desakan. Mereka mau ngapain?

Gue cuma diam menampilkan wajah datar saat berhadapan mereka. Mereka juga mendadak diam menatap gue. Aksa membuka suara. "Kita minta maaf, Cha," ujarnya terlihat tulus dari hati.

"Gue minta maaf, Cha."  Lalu semuanya mendadak minta maaf. Gue berdecih tertawa sinis. Mereka ke sini cuma mau minta maaf?

"Kita tahu kita salah. Lo selalu memendam emosi lo setiap anak kelas ngeledek. Kita benar-benar minta maaf. Terutama kita minta maaf soal anak cowok yang jadiin lo taruhan. Gue tahu kalau orang pendiam ketika marah itu lebih menyeramkan. Kita senang akhirnya lo bisa meluapkan emosi. Lo mau maafin kita nggak, Cha?" Aksa menyerocos panjang lebar. Keheningan terjadi. Gue bungkam, bingung harus apa. Antara kecewa, marah, dan nggak tega bercampur jadi satu.

Gue menghela napas. Nabi Muhammad SAW saja orang yang pemaaf, kenapa gue enggak? Akhirnya gue mengangguk singkat. "Gue maafin," ucap gue membuat mereka bernapas lega.

"Kita minta maaf ya Cha. Nggak bakal bully atau pun menindas lo lagi. Ternyata lo lebih nyeremin daripada singa," ujar Mayang menatap gue dengan tatapan bersalah sekaligus sedikit mengejek begitu pula Ajeng. Sempat banget sambil ngejek.

"Nah gitu dong, akur! Jangan pernah bikin marah singa kita gais," seru Ethan membuat tangan gue mendarat untuk menggeplak kepalanya. Semuanya tertawa. Ya, introvert juga bisa melawan dan berskepresi bukan?

Kamu memang tak bisa membuat semua orang suka kepadamu. Ada kalanya kamu harus menerima dari orang yang merasa tidak suka kepadamu – meski hal itu sama sekali tidak dibenarkan. Ketika hinaan datang kepadamu, sakit hati sudah pasti kamu rasakan. Namun jangan pernah jadikan hal tersebut sebagai beban yang menghambatmu untuk berkembang.

Kamu boleh dihina sekarang. Dan kamu boleh sakit hati. Namun jadikan itu sebagai pemicu semangatmu. Untuk membuktikan kepada mereka yang pernah meremehkanmu, bahwa kamu sama kuatnya dan akan lebih berhasil dari mereka.

Meski kamu dibully, dihina, dan dicerca dengan gencar oleh mereka-mereka yang membencimu, kamu gak perlu takut apalagi sampai depresi. Cukup tabah dan lihat segalanya dari sisi positifnya. Hinaan yang mereka lancarkan padamu adalah buah observasi yang mereka lakukan tiap hari. Jadi ya anggap aja mereka mereka perhatian kepadamu.

Jangan khawatir juga ketika mereka terus menghujanimu dengan cacian. Itung-itung kamu memberikan mereka kerjaan buat mikir tiap harinya. Lagian dengan mendapat hinaan dari mereka, kamu bisa dapet transferan pahalan jika kamu mau sabar dan tabah saat menghadapinya. Kalau bisa lawan mereka, tunjukan ekepresimu. Jangan malu sebagai introvet! Tunjukkan pada semua orang bahwa introvert itu berbeda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro