12. Someone You Loved (Zahra)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama: Zahra Deprilia
Jurusan :
1. Romance
2. Fanfiction

❤❤❤

Mata berkilat milik Mama masih terbayang. Ada sebagian jiwaku yang tidak bisa menerima perlakuan seperti apa yang Mama lakukan. Semakin diingat, semakin pusing juga kepalaku. Jika bisa melihat apa yang sedang pikiranku kerjakan, pasti otak ini beroperasi seperti mesin pemotong kelapa di pasar sayur yang ramai dan kotor, mungkin. Karena yang kulihat, kelapa-kelapa kupasan itu langsung dilemparkan oleh sang pemillik ke sebuah karung robekan. Langsung pecah ketika berhasil mendarat di ubin beralaskan karung itu. Benar, sepertinya pikiranku pun mulai terpecah-pecah.

Pertanda buruk, pikiranku. Segera kugerakan tangan memegang kepala, berharap kalau tanganku bisa menyangga jiwa ini agar tetap terkendali. Jalanku pun mulai sempoyongan dan aku semakin ketakutan. Tetap menjaga kesadaran adalah hal yang harus kulakukan.

“Tenanglah, Sejeong, setidaknya biarkan raga dan jiwamu lurus kembali. Kau hanya perlu tenang,” bisik seseorang yang suaranya sangat mirip denganku.

Argh, aku harus mengakhiri semua ini sebelum hal baik benar-benar lenyap. Ayolah, kakiku, terus berjalan atau kalau perlu kau harus lari secepat mungkin. Andai saja Mama tidak merusak mood amburadulku, aku memastikan semua kejadian memalukan ini tidak akan terulang. Minimal tidak di acara pernikahan kakak dari sahabatku. Aku bisa malu, takut dengan anggapan tamu-tamu mereka tentang diriku.

Sebelum datang ke sini aku sangat baik, masih menjadi Sejeong yang ramah menyapa dan ceria dengan gigi berserinya. Kebaya warna biru dan kain jarik yang melilit pinggang, disiapkan dengan riasan salon yang Mama panggilkan langsung periasnya untuk mendandani aku, sebagai anak sematawayang yang berkeinginan menemui sahabatnya di sebuah acara pernikahan.

Sial. Mama tak akan sebaik itu. Bodohnya, aku baru menyadari saat sebuah mobil putih mengkilat yang kutaksir harganya bisa mencapai milyaran itu menjemput kami.

Bersama sifat ramah yang diturunkan Mama padaku, wanita setengah baya bersanggul anggun itu segera menyambut seorang laki-laki jangkung yang baru saja keluar dari kendaraannya. “Wah, Nak Doyoung ... sudah mapan sekali ya, kau, kelihatannya,” sambut Mama merentangkan kedua tangannya. Memberi isyarat pada pemuda yang ia panggil Doyoung itu untuk memeluknya.

Ya ampun, kenapa pemuda itu harus menuruti tingkah ibu-ibu sosialita cerewet yang kenyataannya adalah mamaku sendiri. Jangan-jangan ia berondongnya Mama? Aku tertawa sendiri, kuhembuskan napas perlahan, lalu mencoba mengendalikan diri. Yang kuketahui, bahagia berlebihan adalah pertanda buruk.

Doyoung tertawa singkat. “Sepertinya malah tante yang terlihat semakin makmur setelah menjadi single parent. Apakah yang Doyoung katakan ini benar, Tan?” Pemuda itu ... kenapa membawa-bawa status janda Mama pula. Ia semakin meyakinkan diriku tentang dugaan-dugaan negatif tentangnya.

“Bisa saja, kamu, ya! Di mana mamimu yang bawelnya hampir setara dengan Sejeong itu, _by the way,_” balas Mama, “oh, iya. Sejeong, mendekatlah ke sini. Kenalan sama anak teman Mama.”

Aku menegakkan tubuh sekurus batang sapu lidi ini. Berjalan mendekat, melangkahkan kaki ke arah mereka. Terus saja kuingat untuk bersikap manis dan _friendly_ setiap berhadapan dengan teman-teman Mama, kolega Mama, dan kali ini; anak salah satu teman Mama. Beliau sendiri yang menempelkan notes pengingat berperekat panas seperti ini pada kepalaku. Entah dipengaruhi oleh faktor apa, mungkin anak gadis di luaran sana juga bernasip sepertiku.

“Kenalin, saya Kim Sejeong.” Senyum manisku tercetak.

“Kamu sudah tahu nama saya,” ucap Doyoung menjabat tangan kananku. Ekspresi seorang pemuda yang harus kuhindari karena dari mata tajamnya, entah mengapa malah terlihat teduh. Ia sepertinya merupakan seorang pria pengertian. Hah, singkirkan ini.

Dari sini, masalah antara Mama dan aku dimulai. Kami yang sudah tiba di gedung acara pernikahan memilih untuk ke kamar mandi sebentar, dengan dalih membenarkan make-up dan pakaian kebaya. Tentu saja tidak mengajak Doyoung yang merupakan seorang laki-laki, kami meninggalkan pria itu setelah bersalaman pada kedua pengantin.

Mama mendorong pintu kamar mandi, di dalam tidak ada banyak orang, hanya seorang perempuan bersama bocah kecilnya. Aku memilih kaca, bayanganku tercermin di sana. Tiba-tiba sepasang tangan memegang bahuku untuk berbalik menghadapnya, Mama.

“Umurmu sudah cukup untuk menikah, apa kau tidak ingin membina rumah tangga, Jeong? Di keluarga kita usia sepertimu malah sudah seharusnya memiliki anak minimal satu. Mama malu, khawatir jika kamu menjadi perawan tua. Mama ... gak akan kuat melihat anak sematawayangnya menjalani hidup sendirian.

“Okey kalau kamu mau berkarier dulu, tapi tengoklah. Memang apa yang sudah kamu capai, apa yang bisa kamu banggakan pada Mamamu ini? Turutilah permintaan Mama, Jeong, menikahlah.”

Aku menyingkirkan tangan yang sudah mulai keriput itu dari bahuku. Sebentar, biarkan aku menarik napas. Rasa-rasanya dadaku sesak, seakan besok sudah kehilangan kesempatan jika aku tidak segera mengisi paru-paruku dengan oksigen. Berapa sih umurku memangnya? Baru 26 tahun. Definisi perawan tua bagiku adalah wanita berusia 37 tahun yang tak pernah menyesali pilihannya untuk melalangbuana demi mengejar impiannya.

Mataku menatap netra itu penuh amarah. Percuma saja Mama menyenangkanku dengan perawatan salon, pakaian bermerek, dan kendaraan mewah kalau berakhir dengan beliau yang melukai hatiku kembali. Aku yang selalu diremehkan dan Mama yang tak pernah peduli pada kesehatan mentalku yang sebenarnya tidak baik-baik saja.

“Dengar, Ma. Aku hanya tidak mau menikah di usia yang terlalu belia. Lalu bercerai dan menikah sesaat saja. Seperti Mama.” Kulihat Mama meradang mendengar kata-kataku yang kurang sopan, kurang ajar.

Wanita itu menamparku, perih, tentu saja. Aku memegang pipiku, menunduk tak berani walau untuk menatap ujung sepatu tinggi milik Mama. Beliau melemparkan tas hitam yang digunakannya untuk menamparku ke arah kaca. Tidak, jangan lakukan itu, Ma.

Tanganku berpindah menutup telinga. Suara pecahan kaca itu membuat seorang perempuan dan bocah kecilnya yang tak kukenal siapa, keluar melarikan diri dari pertarungan antara aku dan Mama. Pecahan kaca, salah satu kepingannya jatuh di ujung sepatu yang kukenakan. Langkah kaki ini mundur ketakutan. Takut akan bunyi menggelegar yang tak pernah kuharapkan kehadirannya. Gelombang suaranya benar-benar keras, telingaku pengang, parahnya kepalaku merasakan pijatan-pijatan berkedok tusukan pedang.

Aku harus lari. Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus. “Mama bakal memasukkanmu ke rumah sakit jiwa lagi kalau kau tak menurut, Sejeong! Dengarkan Mama, Sejeong, berhenti!”

Kau terlambat Mama, badanku mendorong kasar pintu kamar mandi. Sudah cukup, tenggorokanku tercekat ketika ingin berteriak. Bodoh, bodoh! Mataku yang sempat tertutup erat kembali kubuka secara paksa. Tanganku masih menutup kedua telinga.

Kenapa aku malah berada di tengah kerumunan orang-orang ini?!

“Kau akan mempermalukan reputasi ibumu, biar. Biarkan dirimu mempermalukannya, Sejeong! Lihatlah, buka matamu, semua orang di sini akan mengetahui kalau kau gila!”

“Maju dan hancurkan acara pernikahan ini. Bukankah kau membenci pernikahan?”

“Rusak nama baik ibumu!”

Tidak. Tidak, ini tidak benar. Aku tidak kuat membuka mata, mereka memandangku aneh. Aku ingin mengakhiri semua halusinasi ini. Sejeong, kau harus tenang, dan kendalikan pikiranmu. Jangan membuatnya menjadi terpecah-pecah.

Aku mundur, penyangga tubuhku sudah tak kuat lagi. Lebih baik aku kehilangan kesadaran. Atau ... mati saja dari pada daftar riwayatku sebagai mantan pasien salah satu rumah sakit jiwa membebani hidup Mama.

“Sejeong! Sejeong, jangan menyerah, hei!” Mataku berkunang-kunang. Meski bayangannya memburam, aku tahu, kalau orang yang memekik keras itu adalah Mama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro