13. Safe Way (Naee Hava)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama: Naee Hava
Jurusan:
1. Romance
2. Science Fiction

❤❤❤

“Kalo Amon rangking satu, Papa janji bakal bawa Amon liburan ke ‘Stasiun Tayo’.” Papa sesekali melirik spion dengan senyum teduhnya, tangannya santai membanting setir.

Ini janji Papa yang kutunggu-tunggu dari kelas tiga. Aku selalu minta dibawa berlibur ke sana, tapi Papa nggak pernah mau.

Mama yang duduk di sebelah kiri Papa, lebih sering melirikku melalui spion. “Mama yakin, Amon pasti bakal dapat rangking satu.”

Aku tidak terlalu ragu lagi dengan perkataan Mama, karena semester ini aku benar-benar rajin belajar, dan itu juga berkat dukungan Mama. “Makasih, Ma.”

Mama hanya menanggapi dengan senyuman. Mungkin itu pertama kalinya Mama tersenyum bahagia karenaku.

Aku sudah tak sabar untuk segera sampai ke sekolah.

“Papa! Awas!” Mama memekik tiba-tiba.

Aku spontan mengintip ke depan, sebuah mobil sport tanpa atap muncul begitu saja dari kiri simpangan jalan.

Papa berusaha bermanuver, membanting setir sekuat tenaga. Namun, laju mobil yang dibelokkan tanpa direm tak akan bisa bergerak normal, karena tak memiliki daya cengkram, melainkan mobil menjadi lepas kendali. Dengan susah payah, Papa memang berhasil menerobos lewat sebelah kanan, tapi sayang sekali, sebuah truk melaju pada jalurnya tanpa kompromi. Jarak berhadapan satu dua meter dengan arah berlawanan, tidak memungkinkan untuk saling menghindari.

Aku sempat mendengar teriakan Papa dan Mama sampai kepalaku membentur jendela dengan sangat keras. Setelah itu raib. Gelap.

Saat mataku terbuka, aku sudah berada di kamar rumah sakit. Badan, lengan, leher, kaki, di mana-mana penuh dengan balutan luka. Ketika aku mencoba bergerak, seluruh tubuhku terasa nyeri.

“Papa Mamamu meninggal saat itu juga?” Dona mulai tak sabaran, menyelaku bercerita.

“Iya. Saat seorang suster masuk, aku langsung bertanya kabar Papa sama Mama.” Air mataku tiba-tiba saja menggenang saat mengatakan itu.

“Semoga berhasil, Mon.” Senyum Dona memancarkan sedikit energi positif, rasanya aku tak ingin menyianyiakan dukungannya. “Di sana, kedua orang tuamu pasti semakin bangga. Anaknya mau melakukan sesuatu atas dasar kehilangan mereka.”

Aku mengangguk sambil menatap dua bola mata bening yang menyiratkan makna yang tak bisa kupahami. Namun, melihat dia yang selalu kepo dengan proyekku ini, mungkin dia hanya ingin tahu saja.

Aku melirik jam pintar di lengan kiriku yang menunjukkan waktunya untuk pulang.

“Udah waktunya pulang, ya?” Rupanya Dona memperhatikan gelagatku.

Aku mengangguk. “Iya.”

“Yuk, barengan.”

“Ah, nggak usah. Aku naik taksi aja.”

Aku tak suka merepotkan. Mama juga yang mengajariku. Berangkat ke sekolah, Papa selalu siap sedia untuk mengantar, tapi tiap malam Mama selalu berbisik agar aku menolak tawaran Papa dengan sopan pada paginya. Aku selalu pergi ke sekolah dengan sepeda. Sepuluh tahun telah terpisah dunia, bukan berarti aku harus lupa dengan semuanya.

“Oke lah. Hati-hati, ya.”

“Kamu juga.” Aku segera menuju halte, menunggu taksi online yang sudah kupesan, sedangkan Dona ke arah kanan menuju parkiran.

Suara mobil BMW semakin dekat. Aku melirik ke arah mobil itu, Dona melambai dari jendelanya. Mobil melaju semakin jauh.

Sebuah tangan kasar membungkam mulutku tiba-tiba. Pelukan seseorang mengunci gerakan tubuhku.

Lalu muncul yang lainnya di depanku dan langsung menempelkan lakban di mulutku. Tanganku sudah diikat dengan sangat kuat di belakang. Lantas mereka mendorongku secara paksa menuju sebuah Mobil Jeep yang terparkir sejak tadi beberapa meter dari halte.

Aku hanya bisa meringis dalam gumaman. Mobil melaju membelah jalanan kota. Berbelok di beberapa persimpangan hingga yang terakhir, sampailah di sebuah lorong yang sangat sepi.

Mobil berhenti. Aku dikeluarkan dan didorong paksa menuju rumah berpagarkan seng—lapisan luarnya saja.

Tiba di dalam, seseorang terduduk santai di sebuah kursi. Asap rokoknya mengepul. Dua orang berpakaian serba hitam, berdiri tegap di sisinya. Dia berdiri, berbalik badan perlahan.

Lorent? Pacarnya Dona? Kuanggap pacarnya karena sering mengantar Dona kerja. Untuk apa dia menculikku seperti ini?

Dia mendekatiku perlahan. Tatapannya dingin. Rokoknya dilepaskan dari gigitan bibir saat jaraknya denganku tak sampai setengah meter, lalu menginjaknya hingga padam.

“Kau tidak tahu kenapa aku membawamu ke sini?” Frekuensi suara dia bertanya sangat rendah, hampir seperti berbisik, tapi nadanya membuatku merasa sangat terintimidasi.

Aku tidak bisa menjawab karena mulutku masih berisi lakban.

“Jauhi Dona!” Nada bicaranya meninggi. Bulu kudukku mulai berdiri, karena tangannya baru saja merogoh saku blazzer hitamnya dan mengeluarkan pistol.

Aku menggeleng. Buat apa dia memintaku menjauhi Dona? Memangnya aku merebutnya? Sungguh, sikapku pada gadis itu biasa aja selama ini. Dia Cuma kuanggap teman kerja, dan kenyataannya memang begitu.

Kini dia berdiri di sampingku. Ujung pistolnya ditekan dipelipisku. Aku memejam, seluruh tubuhku mengejang, bagaimana kalau pelatuknya lepas dan pelurunya menembus kepalaku? Aku benar-benar tak siap dengan situasi ini.

“Berjanjilah untuk menjauhi Dona.”

Aku mengangguk cepat, bukan pilihan yang sulit untukku, karena Dona hanya teman kerja.

“Bagus.”

Aku bersorak lega—dalam hati.

“Satu lagi.” Apa?

Ujung pistol yang menyentuh pelipisku sudah tak ada lagi karena Lorent sudah berjalan ke sudut ruang itu, membuka laci di sebuah meja.

Dia kembali membawakan sebuah laptop sambil menatapku dengan senyum miring.

Apa!? Tidak! Itu laptopku! Dari mana dia mengambilnya!? Mau apa dia!

“Bawa satu meja dan satu kursi ke sini.”

Dua anak buahnya langsung membawa apa yang bosnya minta. Laptop diletakkan di atas meja, lalu dibuka. Layarnya dihidupkan.

Ujung pistolnya kembali ditempelkan ke pelipisku. “Cepat tunjukkan hasil pekerjaanmu selama ini!” Ikatan tanganku dilepas dari belakang. Namun, aku tetap tidak berani mencoba kabur, karena pistol yang dipegang Lorent bisa menembak kepalaku dengan cepat.

Aku tidak mengerti maksud permintaannya. “Pekerjaan yang mana?”

“Kau mau bikin jalanan bebas kecelakaan, ‘kan?” Apa!? Dari mana dia tahu? Apa Dona yang memberitahunya? Kurang ajar, jadi itu maksud dia kepo dengan urusanku ini? “Cepat tunjukkan!” Pistolnya semakin ditekan. Aku meringis.

Sial! Dalam situasi ini, aku benar-benar tak berdaya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti semua perintah musuh. Dari dulu tidak pernah terkira bahwa suatu saat akan diculik begini. Kalau saja tahu, pasti aku akan belajar ilmu bela diri. Hanya kecelakaan lalu lintas hal berbahaya yang lebih masuk akal terjadi menurutku—karena pernah mengambil nyawa Papa dan Mama—daripada penculikan yang tak jelas motifnya.

“Cepat!”

“AW!” Pistol semakin menekan pelipisku. Tidak ada pilihan lain, aku harus memamerkan segera hasil simulasiku.

Berbagai jalur folder kutelusuri hingga sebuah file berukuran 1 GB langsung terbuka sekejap setelah kuklik. Laptop keluaran dekade ketiga abad 21 ini memiliki performa luar biasa dengan prosesor generasi ke-35. Teknologi telah berkembang pesat meski lajunya pernah terhambat oleh insiden Corona yang terjadi dua belas tahun lalu.

Cool.” Lorent bertepuk tangan melihat layar laptopku yang sedang menampilkan sebuah model jalanan. Lalu ia meminta anak buahnya mencopot lakban di mulutku. “Bisa kaujelaskan?”

Aku mengangguk dan menjelaskannya.

Model itu menggambarkan simulasi kendaraan bebas tancap gas tanpa harus takut bertabrakan, karena dalam lapisan jalan dan trotoar telah diselipkan sensor magnetik dengan kadar daya tolak yang dirancang taktis untuk membatasi hantaman dua benda logam sebelum benda itu berjarak delapan meter—jarak sadar paling krusial saat seorang pengendara melihat kendaraan lain muncul tiba-tiba di persimpangan. Kapasitas daya tolak mampu menghalau logam seberat 1800 ton.

Aku membiarkannya menikmati pertunjukan di layar laptopku.

“Wow, dengan begitu, tak akan ada lagi kecelakaan lalu lintas?”

Aku mengangguk.

Dia menjentikkan jemari, lalu mulutku kembali ditutup dengan lakban oleh anak buahnya. “Baiklah. Sekarang hapus file ini.” Ia tak lupa menekankan pistolnya di pelipisku. “Cepat!”

Aku benar-benar tak habis pikir, demi apa dia ingin menggagalkan cita-citaku. Tapi yang terpenting saat ini adalah keselamatan nyawaku.

Dengan gemetar, tanganku perlahan menyentuh keyboard. Aku berusaha mengikhlaskan semua yang sudah kukerjakan itu. Butuh waktu berbulan-bulan untuk menghitung semua ukuran dari setiap parameter dan variabel yang terkait dengan lalu lintas. Banyak pikiran dan tenaga yang terkuras, waktu yang terbuang, juga energi dan amunisi yang harus kukorbankan demi menyelesaikan ini. Namun, kali ini semuanya sia-sia karena aku harus menyelamatkan nyawaku.

“Cepat!” Lorent makin tidak sabaran melihat tangan gemetarku yang tak kunjung menyentuh keyboard.

Aku terpikir sesuatu, kenapa dia tidak menghapusnya sendiri? Aha! Dasar bodoh! Aku bisa manfaatkan ini untuk mengelabuinya. Aku menatap ke pintu di belakangku dengan mata melotot, berpura-pura napasku menderu seolah-olah ada polisi yang sedang menyergap.

Sontak saja mereka melihat ke luar, pandangan Lorent pun teralihkan dari layar laptopku, dan saat itulah tanganku dengan cepat dan cermat menyimpan file simulasiku ke cloud storage.

Saat pandangan Lorent kembali ke layar laptopku, aku tinggal mengklik tombol oke pada kotak konfirmasi delete file. Urusan beres. Lorent bodoh menepuk pundakku, lalu berucap, “Thanks, dan Dona tidak pantas untukmu.” Dasar bodoh, apa hubungannya? Emm, rupanya dia mengira Dona menyukaiku karena aku pandai membuat model itu? Aku bersorak dalam hati.

Besoknya, Lorent mengajakku makan bersama—bertiga dengan Dona—sebagai terima kasih karena tidak menghalanginya untuk mendapatkan hati Dona. Aku mengiyakan walaupun tidak pernah ada niat merebut Dona darinya.

Besoknya lagi, Dona menemuiku di ruang kerjaku.

“Maafin aku, Mon. Gara-gara aku, semua impianmu jadi gagal.”

Aku mencoba mencerna ucapannya dengan baik. Kulihat, wajahnya suram—seperti penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, Don.” Aku juga pura-pura sedikit sedih.

Tangannya tiba-tiba meraih tanganku, lalu menggenggamnya. “Aku tidak pernah menyukai Lorent. Aku hanya diintimidasi olehnya. Kalau aku menolak menjadi pacarnya, dia akan membunuh keluargaku.”

Aku terdiam, menelan ludah. Berusaha mencari maksud ungkapan itu.

“Aku menyukaimu bukan karena kehebatanmu, tapi karena kegigihan dan niat baikmu untuk menyelamatkan orang banyak. Walaupun kamu sudah gagal, jika kamu mau, aku akan mendukungmu untuk memulainya lagi. Aku siap membantu apa saja, siap mendampingimu.” Kini mata sipit itu menatapku dengan lekat, wajahnya melukiskan senyum tipis.

Aku ingin menjelaskan bahwa tidak ada yang gagal. Namun, suara yang ingin kulepaskan seketika tertahan, genderang di dalam dadaku menabuh dengan begitu kuatnya. Sejak pertama bertemu, aku tak mampu memungkiri rasa kagum kepada Tuhan yang telah menciptakan makhluknya seindah itu. Bukan hanya wajahnya yang cerah tanpa celah, tapi juga hatinya yang sederhana. Kini, ungkapannya membuat waktu terasa berhenti. Aku seperti ... tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata.

“Ma-makasih, Don.”

*THE END*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro