25. Merci (Esther)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama: Esther
Jurusan:
1. Romance
2. THAM

❤❤❤

Hembusan angin musim semi di Jepang, memang menjadi hal terbaik yang selalu membuatku rindu. Bagaikan candu dia membuatku terus-menerus ingin merasakannya, menerpa wajah dengan lembut dan memainkan setiap anak rambutku. Menggoyangkan pakaian yang kukenakan hingga membuat tubuhku sesekali terbawa arus udara bergerak tersebut.

Hujan berwarna merah muda, kelopak bunga sakura, tiada henti berguguran memenuhi permukaan tanah. Semerbak wangi menerobos masuk indera penciuman, mengisi setiap sudutnya dengan aroma khas musim semi.

Jepang, bunga sakura dan kisah kasih pada musim semi. Menjadi bagian besar dalam sejarah kita.

"Apa kamu setuju?"

***

Merci

Story by

Esther Juu

***

Kupejamkan mata sejenak menikmati semilir angin pengundang bahagia. Kelopak bunga sakura berjatuhan, beberapa menyapa lembut wajahku. Mungkin ada yang singgah juga di rambutku yang tergerai nan bebas. Hiruk pikuk rombongan tour and travel terdengar bising mengagumi lelehan bunga sakura, tapi sama sekali tidak menggangu. Belum lagi penduduk setempat yang juga ikut menikmati keindahan kota Nagoya. Menambah ramai suasana pagi penuh aura kehangatan.

"Kyle, tempat mana yang sangat ingin kamu kunjungi?" Salah satu dari rombongan yang menjadi teman seperjalananku bertanya. Namanya Adolphe Grix, pemuda blasteran Indonesia-Belanda.

"Yamazaki! ya, sungai Yamazaki!" jawabku setengah berteriak, tanpa pikir panjang.

Tentu saja, sungai Yamazaki adalah yang terbaik. Sekitar 2 km di sepanjang sungai, pohon bunga sakura tumbuh di tepian sungai. Dengan bangku-bangku dan beberapa taman di sepanjang jalan, sangat cocok untuk menikmati piknik di sore hari. Jalan setapak berbatu-batu, jembatan yang dihias, dan dua air terjun terlihat lebih baik dengan pencahayaan malam yang menyoroti bunga-bunga. Membuat bentangan sungai sangat indah dan memiliki nuansa romantis. Karena itulah sungai Yamazaki menjadi tempat terakhir yang ingin kukunjungi sebelum kembali ke negara asalku.

Sebuah kamera DSLR tergantung di perpotongan leherku, sesekali akan kugunakan untuk mengabadikan setiap momen. Meskipun keindahan ini dapat tersimpan dalam memori kamera, namun tetap saja suasana dan perasaan tidak dapat tersimpan di sana. Hanya tubuh dan hatiku saja yang selalu mengingat sentuhan euforia tak terurai aksara ini.

Alunan lembut lagu Sparkle persembahan dari Radwimps untuk anime dengan judul Kimi no Na wa bersenandung merdu, menerobos lubang telingaku. Seorang pemuda dengan saksofon peraknya terlihat begitu menawan, jari-jari lentiknya bergerak lincah menekan tombol keypad pada badan saksofon. Nada yang diperdengarkan pun begitu mengiris hati, membuat siapa saja yang mendengar akan merasa terhanyut bersama lagu tersebut. Jika diperhatikan dengan seksama Saksofonis itu memiliki proporsi wajah yang berbeda dari kebanyakan orang Jepang, mungkin dia memang bukan penduduk lokal.

Tak sedikit pun atensi ku teralihkan darinya, hingga tanpa sengaja dia menoleh ke arahku. Sejenak dua insan tenggelam dalam kubangan tatapan tak terurai makna. Hanya sekilas, tetapi memberi pengaruh besar, cukup untuk mengubah goresan takdir sang Pencipta.

"Kyle, kita sudah tertinggal rombongan!" teriak Adolphe, membuyarkan lamunanku. Benang merah yang terjalin antara aku dan sang saksofonis itu terputus.

"Bagaimana ini, Kyle?" Adolphe nampak panik, tangan kanannya memegang gawai canggih miliknya, berusaha menghubungi pihak tour and travel. Sesaat kemudian wajah Adolphe kian memucat, mulutnya mengeluarkan sumpah serapah. Tanpa penjelasan pun aku sudah tau jika gawai itu tidak memiliki kuota atau pulsa.

"Tidak masalah, kita akan mengelilingi Nagoya tanpa pemandu. Jauh lebih menyenangkan, kan? kita bisa melakukan perjalanan ke tempat yang sangat ingin kita kunjungi tanpa mengikuti seluruh kegiatan pemanduan."

"Kyle Anne, otakmu memang hanya dipenuhi kesenangan saja. Bagaimana jika kita tersesat di negeri orang?"

"Kita bisa bertanya pada penduduk lokal, atau melapor pada polisi." Kutarik tangan pemuda setinggi 179 sentimeter itu, membawanya pergi dari tempat tersebut dan melanjutkan perjalanan.

Menaiki kereta cepat, bermain di taman, berbincang dengan penduduk setempat, menyicipi aneka street food dan makanan khas negeri sakura tersebut. Mengikuti arus langkah kaki panjang dan cepat orang-orang yang di sana. Tak lupa senyum dan tawa renyah selalu terpatri di wajah usai melakukan hal-hal gila bersama. Tempat-tempat wisata  telah kami kunjungi, meski banyak terlewat karena tidak mengikuti arahan dari buku panduan yang telah diberikan pihak tour and travel. Tetapi, kami sangat menikmatinya.

Tidak terasa waktu berlalu seperti hembusan angin, hanya sekilas dan melekat dalam ingatan. Senja sudah menebarkan rona merah pada horizon, membuatnya seperti terbakar. Ditambah lagi gugusan bunga sakura yang tak kunjung selesai. Sungguh mengesankan. Bukan hanya mata yang dimanjakan, tetapi lidah pun tak bisa melupakan rasa masakan yang menyentuh dasarnya. Musim semi di Jepang memang selalu menjadi pilihan terbaik.

Benakku seolah menghidupkan alarm pengingat. Sungai Yamazaki, telah memanggilku untuk menulis keindahannya dalam memori. Segera kuedarkan pandangan.

"Adolphe!" seruku, mencari keberadaan pemuda itu.

Aku menoleh ke belakang ketika merasakan seseorang menepuk pundakku. Akan tetapi, tidak ada siapa pun. Suara yang berat menyenandungkan namaku, begitu kasar. "Kyle Anne!" panggilnya. Refleks aku mengoper pandangan ke arah sumber suara. Wajahku kian datar, mungkin seperti bumi dalam teori flat earth. Seseorang dengan topeng oni menutupi wajahnya tiba-tiba muncul.

Tangannya kutarik paksa. Belum sempat dia membuka topeng, ataupun memuntahkan kalimatnya. Kami berjalan dengan langkah yang lebar, menjejaki trotoar jalan menuju sungai Yamazaki. Jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Secara tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan membuatku sedikit terhuyung ke belakang, menabrak tubuh tegapnya.

"Adolphe! Kenapa berhenti tiba-tiba?" tanyaku dengan nada suara yang tinggi. Tautan tangan kami terlepas.

"Kita akan pergi ke mana?" Dia balik bertanya.

Kedua alisku saling mendekat, lamat-lamat kupandangi netranya yang masih bisa terlihat dari balik topeng. Sungguh membingungkan. Apa dia terlalu asyik jalan-jalan tanpa pemandu, hingga membuat otaknya tertinggal di sepanjang jalan.

"Kita akan ke sungai Yamazaki."

"Oh, kalau begitu kita harus berlari. Ayo, berlomba," ucapnya sambil merenggangkan kaki, lalu berlari mendahuluiku.

"Kamu curang!" Teriakku dan mengikuti langkahnya.

Kami berlari seolah tidak merasakan lelah di sekujur tubuh. Padahal satu harian berjalan-jalan menyusuri kota Nagoya tanpa henti, kecuali jika sedang menyicipi aneka makanan. Dua berlari semakin cepat ketika sungai Yamazaki sudah ada di depan mata. Aku tidak bisa lagi mengikuti langkahnya, sehingga kuputuskan untuk berhenti sejenak di salah satu kursi taman.

Matahari sudah tenggelam, kegelapan menyelimuti langit. Warna-warni lampu menyala, memberikan rona yang mencolok mata. Bunga sakura masih terlihat menawan, meski berlatarkan langit malam. Angin berhembus mengajak ranting pohon ikut menari dalam liuknya yang mengundang rindu. Mataku terpaku pada air sungai yang memantulkan cahaya lampu. Tanpa sadar kakiku melangkah mendekati sungai tersebut.

"Kyle!" teriak seseorang. Aku membalikkan badan untuk melihat sang pemanggil.

"Aku mencarimu dari tadi, untungnya aku sudah menduga kamu ke sini," ucapnya lagi dengan napas memburu.

Adolphe tanpa topeng muncul dari belakangku. "Maafkan aku!" seruku, jarak kami terpisah beberapa meter.

"Tidak masalah. Akan kubantu mengambil fotomu, berdirilah di sana." Dia menunjuk pada salah satu pohon sakura terindah yang pernah kulihat. Tanpa pikir panjang aku melangkah ke arah pohon itu. Sebuah lampu dengan cahaya redup tertanam di sisi pohon. Aku berpikir, akankah terlihat bagus jika memotret dalam kondisi minim cahaya seperti ini?

Pikiranku terhanyut dalam pelukan keindahan yang memanjakan memori. Kupejamkan mata ketika merasakan hembusan angin menerpa tubuh, lelehan bunga sakura ikut menghujani. Semoga dapat kurasakan hal ini dalam waktu yang lama.

"Merci."

Terjengit. Sebuah suara muncul dari sisi pohon yang gelap. Lagi, seseorang dengan topeng oni menyembulkan kepalanya. Kali ini aku benar-benar dibuat terkejut. "Adolphe!" seruku, namun dengan nada yang lebih pelan. "James," katanya. Dia membuka topeng yang melekat di wajah.

Sang Saksofonis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro