9. DILEMMA (Zora)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama : Zora Lin
Jurusan:
1. Romance
2. Fanfiction

❤❤❤

Cuaca hari ini tiba-tiba tidak bersahabat. Langit mulai tampak muram dan sepertinya siap untuk menumpahkan air matanya. Sekelompok penyelam dari tim penyelamat khusus hari ini mengadakan latihan di laut lepas. Kedalaman yang harus dicapai tidak main-main. Jika mereka bukan orang-orang terlatih, tentu pihak pengawas laut tidak akan mengijinkan mereka untuk melakukannya.

"Daren, kau adalah anggota terbaik di tim kita. Apakah kau tidak ingin berbagi tips dengan kami?" Seorang lelaki setengah baya memberikan apresiasi pada sesosok lelaki muda yang merupakan anggota dalam tim mereka.

"Tips? Hanya perlu menahan napas lebih lama, mengendalikan gerak tubuh dan mengatur ritme udara dalam air. Itu saja, tidak ada lagi." Lelaki muda tersebut-Daren Wang-menanggapi pertanyaan rekannya dengan santai.

"Hei kemari, berkumpul sebentar. Kita harus segera kembali ke dermaga, cuaca saat ini tidak baik untuk melanjutkan latihan. Aku khawatir ketinggian ombak bertambah, dan itu akan membahayakan keselamatan kita," ujar sang leader dalam tim tersebut memberikan arahan dan penjelasan.

Kelima anggota tim penyelam masuk ke dalam kabin kapal yang mereka tumpangi, menyisakan Daren yang masih berdiri di dek kapal. Mata tajamnya menerawang jauh, mengamati siluet sosok wanita berambut panjang yang berdiri di ujung tebing. Helaian rambutnya berkibar dan gaun yang dikenakannya melambai karena embusan angin yang cukup kuat.

_Apa dia mau bunuh diri?_

Pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Mata tajamnya masih mengawasi pergerakan wanita yang berada di tebing itu. Entah mengapa ia merasa khawatir, padahal ia tak tahu siapa wanita itu. Apakah ia mengenalnya atau tidak? Ia tak tahu. Beberapa menit berlalu dan ....

Benar saja, wanita itu melompat dengan begitu tenang dan anggun. Daren dengan gesit segera menyambar kacamata renang dan melompat dari kapal.

"Daren!!" Teriakkan dari ketua timnya bahkan tak ia indahkan. Daren tak tahu apa yang terjadi padanya, tapi hatinya berkata untuk menyelamatkan wanita itu.

Gerakannya di dalam air begitu gesit. Namun, karena ombak di tepi tebing begitu kuat dan beriak, ia pun cukup kesulitan melihat ke dalam air. Sebuah kilatan yang mungkin berasal dari benda logam menuntunnya. Membawa ia pada sosok wanita yang telah tak sadarkan diri. Tubuh wanita itu terus turun, mencoba mencapai kedalaman laut yang tak berdasar.

Dengan cepat Daren menyambar pergelangan tangan wanita tersebut, menariknya masuk ke dalam rengkuhannya. Ia bersusah payah kembali ke permukaan laut, berat badannya dan wanita dalam dekapannya juga ombak yang cukup besar membuatnya kewalahan. Tetapi akhirnya ia bisa kembali ke kapalnya dengan selamat.

.....

"Kau sudah sadar?"

Kelopak mata cantik itu terbuka perlahan, menampakkan mutiara kelam yang begitu memikat. Warna eboni yang dominan membuat siapapun yang menatap kelereng pekat itu akan terjerat ke dalamnya.

Ia mengangkat tubuhnya-mendudukkan diri- pandangannya mengedar mengamati lekat di mana dirinya berada saat ini. Tatapan matanya terhenti pada sosok lelaki asing yang berdiri di gawang jendela besar. Ruangan yang temaram ini tak bisa memperlihatkan dengan jelas rupa lelaki tersebut. Selain itu, tirai putih yang melambai juga sedikit mengaburkan pandangannya.

Siluet tubuh lelaki itu melangkah, mendekat ke arahnya. Ia pun dengan sigap memasang mode waspada.

"Pusing?" Lelaki itu bertanya setelah berdiri di sisinya. Wajah yang tampan dan perawakan yang bagus menjadi suguhan yang memanjakan mata. Tanpa sadar ia termenung sejenak, hingga membuatnya tidak fokus dengan apa yang ditanyakan oleh lelaki di depannya.

"Hah?"

"Kau terlalu banyak menelan air laut, dan kau tak sadarkan diri cukup lama. Aku pikir kau tidak ingin hidup lagi," ujar lelaki tersebut.

Ia menunduk dan berujar dengan lirih, "Aku memang tak ingin hidup lagi."

Hening beberapa saat. Lelaki itu masih menatapnya, hingga tak lama kemudian ia bersuara kembali. "Daren, Wang Daren."

"Aku Li Jian."

"Aku sudah tahu." Kalimat Daren barusan membuat Jian bingung. Ia menyipitkan mata dan menatap Daren dengan pandangan menyelidik.

"Kau mengenalku?"

Senyum simpul hadir menghiasi wajah Daren. "Ya. Kau mungkin tidak mengetahui tentangku, tapi aku tahu kau. Aku selalu memperhatikanmu sejak di bangku kuliah."

"Oh! begitu," sahut Jian dengan suara lirih.

Daren mengamati lekat wajah manis di depannya yang masih betah menunduk, "Apa kau baik-baik saja?"

Jian terkekeh ringan, "Tidak. Jika aku baik-baik saja mungkin aku tidak berdiri di tepi tebing dan terjun begitu saja."

Ia kemudian tersenyum kecut dan kembali mengutarakan apa yang dirasakannya. "Kau tahu, hari ini harusnya menjadi hari yang membahagiakan untukku. Pengucapan janji suci dan pesta pernikahan meriah yang sudah aku impikan sejak lama akan segera terwujud. Tapi semuanya hancur, pernikahanku hancur, dan dia pergi dengan wanita itu.

Aku benar-benar tidak beruntung. Tepat sebelum pernikahanku berlangsung, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kekasihku tengah bergumul mesra dengan wanita lain. Kau tahu? ini begitu menyakitkan, sangat menyakitkan.

Awalnya aku berlari ke tebing hanya untuk menenangkan diri, tapi suara kekasihku yang tengah mengerang dan mendesah dengan wanita lain itu terus terngiang di telingaku. Membuatku berpikir tidak logis dan menceburkan diri ke laut. Aku tidak sadar, jika aku ... aku."

Jian tak sanggup lagi mengatakan kelanjutannya, air matanya menetes tanpa bisa ia cegah. "Maaf, seharusnya aku tak mengatakan ini ... Maaf," ia berujar sembari menghapus lelehan air mata yang mengalir di pipinya.

Sebuah pelukan hangat tiba-tiba dirasakan Jian, alunan suara lembut yang mengalir itu membuat pikirannya tenang. "Menangislah! Lepaskan semua beban yang kaubawa," ujar Daren.

Dengan tubuhnya yang berdiri menjulang, ia mendekap erat kepala Jian di perutnya. Memberikan elusan lembut di rambut wanita manis yang tengah bersedih itu. Getaran tubuh Jian begitu terasa, wanita itu menangis hebat hingga sesenggukan.

Setelah beberapa menit berlalu, keadaan mulai senyap. Deru napas Jian mulai teratur dan kesunyian mendera sekitar mereka. Suasana ruangan yang terbilang temaram itu membuat Daren berpikir di luar akal sehatnya.

Tangannya terulur menangkup kedua pipi Jian, membuat wanita cantik itu mendongakkan kepala. Tatapan mata keduanya bersiborok, saling terjerat dan mengunci satu sama lain. Dengan perlahan Daren memajukan wajahnya, mengikis jarak di antara mereka. Embusan napas hangat menerpa wajah Jian, kelopak matanya pun terpejam. Ritme detak jantungnya bertalu-talu, mengiringi bunyi detik jam yang terus berputar.

Kedua belah bibir itu menyatu dengan sempurna, tekstur lembut yang dirasakan Daren membuatnya gila. Ia pun memperdalam ciumannya dan mencoba mengulum bibir bawah Jian.

Tanpa sengaja, gumamam ringan lolos dari bibir Jian dan itu seketika membuat wanita cantik itu tersadar. Kelopak matanya terbuka tiba-tiba dan manik hitamnya melebar. Dengan raut linglung ia mendorong pundak Daren, membuat tautan bibir mereka terlepas.

"Maaf, maafkan aku ...."

"Tidak perlu," sahut Jian cepat. Pikirnya, kenapa Daren harus meminta maaf? Sedangkan ia sendiri tidak menolak ciuman itu dan malah ikut menikmatinya.

Jian menunduk, ia merasa malu dan canggung. Ini kali pertamanya ia berciuman dengan laki-laki asing selain kekasihnya. Dalam hati pun ia bertanya-tanya, Apa yang terjadi? Kenapa ia bisa semudah itu terbawa suasana dan berciuman dengan seseorang.

....

Malam semakin larut, ruangan mewah ini sudah semakin senyap. Aktivitas di luar sana pun seakan terhenti, hanya ada pijaran lampu yang menghiasi jalanan dan beberapa bangunan yang tampak tenang.

Jian masih terbangun, matanya tak bisa terpejam sedikit pun. Saat ini, ia menempati ranjang besar milik Daren; sedangkan sang pemilik justru terlelap di sofa dengan selimut tipis yang membalut tubuhnya.

Bayang-bayang kejadian yang Jian alami hari ini, membuatnya berpikir kembali. Betapa takdir sungguh luar biasa mempermainkan hidupnya. Menjalin hubungan selama lebih dari 10 tahun, dan hancur tepat di hari pernikahannya adalah hal yang tak pernah ia duga sebelumnya.

"Miris," gumamnya.

Pandangannya teralihkan pada Daren, tiba-tiba ia teringat kembali dengan apa yang laki-laki itu katakan beberapa jam yang lalu.

_"Li Jian, mungkin ini akan mengejutkanmu tapi aku akan mengatakan yang sejujurnya padamu. Aku mencintaimu ...._

_Sudah lama, sejak aku masih di bangku sekolah menengah atas. Kau juga alasan kenapa aku masuk ke kampus yang sama denganmu. Namun, aku akhirnya melangkah mundur saat aku menyadari jika kau telah lama menjalin kasih dengan seseorang._

_Aku minta maaf, sebelumnya aku sudah tahu jika kekasihmu bukanlah lelaki baik-baik. Beberapa tahun yang lalu aku pernah mengirimkan sebuah amplop berisi surat dan beberapa lembar foto kekasihmu dengan wanita lain. Tapi, aku yakin kau tidak mempercayainya bukan? Ya, aku mengerti. Meskipun aku mencantumkan namaku di sana, mana mungkin kau mau mempercayai orang yang tidak kau kenal?_

_Kau sudah melakukan hal yang benar, dengan begitu maka takdirlah yang menunjukkan padamu dan mengungkap semuanya. Namun, satu hal yang harus kau tahu. Meskipun aku menyerah tapi perasaanku untukmu, masih sama. Aku masih mencintaimu hingga sekarang ...."_

Kalimat panjang yang Daren utarakan beberapa saat yang lalu, membuatnya dilema. Ia tak tahu harus merespon bagaimana? Dan akhirnya ia hanya diam seribu bahasa.

Kini, ia menatap sendu lelaki tersebut. Ia merasakannya-perasaan tenang dan nyaman yang menyeruak-ketika matanya bersitatap dengan manik tajam itu.

_Daren, aku mengenalmu di antara hidup dan matiku. Apakah ini jalan yang takdir tunjukan untukku? Saat aku dirundung pilu, kau datang dan memberiku sebuah harapan._

_Aku harus bagaimana, sekarang?_

Seperti pepatah mengatakan, cinta itu tak pernah bisa ditebak. Kapan, di mana, pada siapa, dan bagaimana? Seperti juga takdir, siapa yang akan tahu apa yang akan dialami seseorang di masa depan? Takdir seperti apa yang akan datang?

Jian termenung, waktu hampir menjelang pagi tapi ia tetap tak bisa terlelap dan mengarungi alam mimpinya. Hal yang menimpanya siang hari ini sungguh tak terbayangkan dalam hidupnya. Mencintai seorang lelaki selama lebih dari sepuluh tahun, berusaha setia meski pernah dilema, tetap bertahan di sisinya meskipun harus menerima luka.

Beginikah akhirnya?

Jian pernah membayangkan, jika suatu saat nanti ia akan hidup bahagia dengan suami dan anaknya, tapi harapan itu hancur seketika.

Di kepalanya terus berputar bak kaset rusak kejadian yang ia lihat siang tadi. Bagaimana lelaki yang dicintainya itu mengerang, memanggil nama wanita lain membuat Jian hampir gila.

Sepuluh tahun lebih ia bahkan tak pernah membiarkan kekasihnya menyentuh tubuhnya. Ia menjaga dan menahan diri untuk tidak melewati batas, hanya ciuman, tidak lebih. Namun, melihat kekasihnya melakukan hubungan seksual tadi ... sepertinya itu bukan kali pertama mereka melakukannya.

"Apa di otak lelaki hanya ada seks saja yang mereka pikirkan?" gumamnya. Netranya menatap kosong, hatinya terasa pilu dan otaknya tak lagi sanggup untuk berpikir.

"Hah!"

Terdengar suara embusan napas kasar. Lamunannya buyar dan Jian mengalihkan pandangan, matanya menatap intens Daren yang masih terlelap telentang di sofa. Ia bangkit dan melangkahkan kakinya menghampiri lelaki tersebut, duduk bersimpuh di lantai mengamati wajah rupawan Daren.

_Apa yang harus aku ucapkan untukmu? Apakah kata terima kasih cukup?_

"Kau belum tidur?"

Kalimat yang barusaja terucap tersebut mengejutkan Jian. Daren memiringkan tubuhnya, dan tersenyum ringan. "Masih memikirkan apa yang terjadi pada pernikahanmu? Atau memikirkan pernyataanku?" tanyanya lembut. "Jian, dengarkan aku. Kau tidak perlu memikirkannya, aku tahu hatimu masih miliknya."

Daren mengulurkan tangannya-meraih pipi Jian-tubuhnya sedikit terangkat dan sebuah kecupan ia layangkan di dahi wanita cantik tersebut. "Istirahatlah. Tubuh dan hatimu lelah, kau perlu beristirahat. Selamat malam," ujarnya.

Jian berdiri, ia kembali ke ranjang tanpa mengucap sepatah kata pun. Tubuhnya segera ia rebahkan dan memejamkan mata, berusaha untuk terlelap dengan tenang. Satu harapannya sebelum jatuh tertidur, ia berharap apa yang terjadi hari ini hanyalah mimpi.

*END.*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro