Bab 19: GRAVITASI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tujuh tahun lalu

"Dex!" seru Kai sambil mendekati Dexa yang sedang memegang bola. "Dicariin sama itu."

Dexa mengikuti arah pandang Kai dan mendapati Farah tengah menatapnya dari pinggir lapangan. Murid laki-laki itu mengulum senyum. "Biarin aja," sahutnya.

Dexa kembali mendrible bola, mengoper, mengambil lagi, berlari, melompat, lalu membidik bola ke keranjang. Masuk! Dexa memamerkan gaya khasnya sambil melirik ke arah Farah yang terus mengikuti arah pergerakannya.

Ini bukan latihan, juga bukan pertandingan resmi. Ini hanya permainan antar murid untuk mengisi 30 menit jam istirahat kedua.

Biasanya yang bergabung dalam pertandingan bebas itu adalah mereka yang sudah menghabiskan uang jajan di istirahat pertama, yang tidak membawa uang jajan, atau yang malas jajan karena kantin terlalu penuh sesak. Dexa adalah kelompok yang terakhir. Daripada harus berdesak-desakkan di kantin, dia lebih suka bertabrakan saat rebutan bola basket.

"Kayanya urusan penting. Lo enggak mau nyamperin?" tanya Kai lagi.

"Biarin aja," ulang Dexa acuh tak acuh. Baginya ini adalah momen untuk memamerkan kehebatan bermain bola keranjang. Kesempatan langka karena Farah jarang sekali mau menonton pertandingan bola basket. Apalagi jika Dexa menjadi salah satu pemainnya.

Sementara di pinggir lapangan, Farah terus memperhatikan Dexa sambil meremas-remas jari. Ia kesal karena sejak tadi diacuhkan padahal jelas-jelas Dexa sempat menengok ke arah Farah yang sedang melambaikan tangan.

Farah melihat jam tangan. Lima menit lagi waktu istirahat selesai. Namun ia belum juga bisa menyampaikan pada Dexa pesan dari guru Fisika mereka. Jika bukan karena pesan itu, Farah pasti sudah berada di kantin, bukan berdiri seperti fans-fans Dexa yang lain.

"Yeay!"

Kring... kring... kring...

Suara teriakan tim basket Dexa berbarengan dengan dering bel masuk untuk jam 9 dan 10. Bersamaan dengan murid-murid lain yang meninggalkan lapangan, Dexa pun berjalan hendak menuju kelas. Namun sebelum itu, dia tahu harus mampir kemana.

"Tumben lo nonton pertandingan gue sampe selesai. Ketagihan karena liat kehebatan gue, ya?" ledek Dexa pada Farah yang berjongkok di pinggir lapangan.

Farah mendongak, lalu bangkit. Setelah menghela napas, ia berkata, "Unfortunately, I di sini bukan buat watching you. I cuma mau bilang, you disuruh sama Pak Joni buat prepare alat-alat for physic experiment." Farah menyerahkan catatan kecil yang dititipkan oleh Joni, guru Fisika mereka. "Bawa semuanya to our class."

"Buat kapan?"

"Today," ucap Farah penuh penekanan. Gadis itu lalu berbalik dan berjalan menuju kelas.

Selama beberapa detik, Dexa termangu sambil membaca catatan yang diberikan oleh Farah. Namun di detik berikutnya, dia langsung menarik tangan Farah.

"What are you doing?"

"Ikut gue ke lab! Bantu nyiapin alat-alat," ucap Dexa sambil menyeret Farah.

"But itu tugas you, bukan i!"

Sebagai ketua kelas, Dexa memang sering diberi tugas untuk membantu persiapan mengajar guru-guru. Mulai dari menyiapkan alat-alat untuk percobaan, mengatur proyektor LCD, hingga membawakan buku-buku.

"Karena ini semua salah lo. Kenapa lo enggak bilang dari tadi? Jamnya Pak Joni kan sekarang." Dexa terus berjalan dengan langkah-langkah lebar. Dia tidak mempedulikan Farah yang harus berlari kecil untuk menyeimbangi.

"Dari tadi I kan udah try to tell you. You aja yang ignore i."

"Usaha lo kurang keras. Harusnya lo masuk ke lapangan kaya waktu itu."

Farah ingin menyanggah kata-kata Dexa, tapi mereka sudah tiba di depan laboratorium. Farah pun menyerah. Tidak ada salahnya membantu Dexa. Bukankah ini juga demi kelancaran praktikum di kelas mereka?

"Statif, penjepit, gabus, stopwatch, benang, anak timbangan, mistar. Oke! Semua lengkap," ucap Dexa sambil menutup boks berwarna cokelat. Pria itu lalu berjalan ke luar laboratorium menuju kelas mereka. Sementara di belakang, Farah membuntuti tanpa banyak bicara.

"Lo tahu ini buat percobaan apa?"

"Percepatan gravitasi," jawab Farah acuh tak acuh.

"Tumben lo pinter," komentar Dexa sambil menoleh ke belakang.

Farah membuang muka, tidak ada niat untuk menjawab komentar Dexa.

"By the way," Dexa melambatkan langkah agar bisa berjalan bersisian dengan Farah, "Lo tahu enggak, kenapa Newton menemukan teori gravitasi ketika apel jatuh?"

Farah mengernyit. Ia menduga Dexa lagi-lagi hendak menguji kapasitas otak teman sekelasnya. Tak ingin menjadi bulan-bulanan, Farah pun menukas, "You tanya aja sama Pak Joni!"

Perempuan itu lalu berjalan dengan langkah-langkah lebar. Meninggalkan Dexa yang membawa kardus cokelat sambil mengulum senyum.

***

Masa kini

"Any question?" tanya Farah sebelum menutup pelajaran hari itu.

Archi segera mengacungkan jari. Meski belum dipersilakan, murid laki-laki itu langsung bertanya, "Bu Miss, kasih contoh penggunaan Matematika dalam merayu wanita, dong."

Ruangan kelas pun langsung riuh dengan sorakan murid-murid. Sementara Farah menahan tawa sambil geleng-geleng. "Saya enggak yakin Matematika bisa dipakai untuk merayu orang."

"Sebentar, sebentar. Kata Bu Miss, Matematika sangat berguna untuk kehidupan kita. Tapi kalo masalah percintaan menjadi hal yang dikecualikan, berarti Matematika enggak seasyik itu. Betul enggak, Teman-teman?" Archi melayangkan pandang sambil meminta persetujuan dari seisi kelas.

Kompak, seluruh murid mengiyakan.

Farah terpojok. Mau tidak mau ia harus menuruti permintaan Archi. "Kasih saya waktu untuk berpikir sebentar," ucapnya.

Suasana kelas pun hening. Farah berpikir, sedangkan murid-murid turut diam sambil menanti kata-kata yang keluar dari mulut guru mereka.

Setelah beberapa saat, Farah berdehem, lalu berkata, "Hubungan kita itu seperti rute angka delapan. Meski berliku tapi tidak akan pernah berakhir."

Sontak kelas bergemuruh dengan sorakan, tepuk tangan, hingga siulan. Mereka tidak menyangka, Farah bisa menemukan kata-kata rayuan. "Lagi, Miss!" seru murid-murid.

"Hari-hariku tanpa kamu seperti titik sudut pada lingkaran. Tidak ada atau hampa."

Ruangan kelas kembali bergemuruh. Sementara itu, Farah menahan tawa karena seperti menyadari salah satu bakat terpendamnya: membuat kata-kata rayuan.

"Lagi! Lagi!" Murid-murid berseru karena ketagihan.

"Satu lagi, ya. Karena saya ditunggu sama teman-teman kalian di kelas lain." Farah menjeda untuk merangkai kata. "Kamu itu seperti modus dalam statistika. Sering banget muncul di pikiranku."

Lagi-lagi kelas riuh dengan sorakan. Hingga beberapa saat kemudian, Farah pun berpamitan dengan kelas XI-A. Namun tiba-tiba, Archi kembali mengacungkan telunjuk, lalu berdiri.

"Sebentar, sebentar, Bu Miss. Saya juga punya satu untuk Bu Miss." Archi berdehem sambil memperbaiki kerah baju. "Bu Miss tahu enggak, kenapa Newton menemukan teori gravitasi ketika apel jatuh?"

Dahi Farah berkerut, rasa-rasanya ia tidak asing dengan pertanyaan tersebut. Meski sedang menggali ingatan, Farah tak urung bertanya pada Archi, "Memang kenapa?"

"Karena ketika menemukan Bu Miss, saya yang jatuh hati."

Kelas lagi-lagi bergemuruh, sedangkan Farah hanya geleng-geleng.

"Saya serius, Bu Miss!"

Farah mendapati Archi menatap dengan cara yang berbeda. Tidak seperti tatapan murid pada gurunya. Maka buru-buru, Farah mengalihkan topik, "Kamu dapat itu dari mana?"

"Pak De. Pak Dexa."

Deg!

***

Farah berjalan menuju ruang guru dengan perasaan yang berkecamuk. Ia sekarang ingat, bertahun-tahun lalu Dexa pernah mengajukan pertanyaan yang sama saat mereka berjalan dari laboratorium menuju kelas. Namun, pertanyaan itu tidak pernah sempat dilanjutkan. Apakah lanjutannya seperti yang diucapkan Archi? Farah bertanya-tanya.

"Bu Farah!"

Farah hampir-hampir saja melepaskan buku-buku yang sedang digenggamnya. Sosok yang ia pikirkan sekarang hadir di samping. Entah kenapa, detik itu Farah merasa ada yang berbeda. Jantungnya seakan-akan berdegup lebih cepat dan kencang.

"I-iya." Farah mendongak. Meski sudah menggunakan sepatu berhak 4 centimeter, ia masih harus menengadah untuk bisa bersitatap dengan Dexa.

"Bu Farah tahu enggak, kenapa Newton menemukan teori gravitasi saat apel jatuh?"

Farah menelan ludah. Ini adalah kali ketiga ia mendengar pertanyaan yang sama. Saat pertama mendengar pertanyaan itu dari Dexa, Farah menduga itu hanya sebagai ejekan. Namun setelah mendengar lanjutannya dari Archi, dugaan Farah tidak bisa sama lagi.

Wajah Farah sontak memerah. "I-itu, itu--"

Melihat wajah Farah yang merona, Dexa mengulum senyum. Dia yakin, Farah sudah mengetahui lanjutan pertanyaan yang diajukan.

"Karena saat apel jatuh, Newton menyadari bahwa ada suatu gaya yang menyebabkan buah itu jatuh ke bumi." Dexa kembali mengulum senyum. "Bu Farah belajar lagi, ya," pungkasnya sambil mengacak-acak puncak kepala Farah.

Tanpa rasa bersalah, Dexa berjalan meninggalkan Farah yang masih terpaku.

Sambil menatap punggung Dexa, Farah memegang dada, tepat di titik jantungnya berada. Jantungnya sekarang benar-benar berdetak lebih kencang dan cepat.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro