Bab 20: KHUSUS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Congratulation! Selamat, selamat!" Farah menghampiri Ibib dan Archi yang masih berdiri di tengah lapangan.

Beberapa menit sebelumnya, Arya mengumumkan hasil Olimpiade Sains tingkat provinsi. Archi mendapat posisi pertama dalam bidang Fisika dan Ibib ada di posisi kedua dalam bidang Matematika. Artinya, kedua murid laki-laki tersebut akan mewakili provinsi mereka untuk bertanding di tingkat Nasional.

Archi dan Ibib pun diminta maju ke tengah lapangan dan terus berada di sana hingga apel pagi selesai. Saat barisan dibubarkan, Arya pun memberi kesempatan kepada guru-guru dan murid-murid lain untuk mengucapkan selamat kepada Archi dan Ibib.

Farah sengaja menunggu hingga seluruh murid dan guru selesai memberikan selamat kepada Archi dan Ibib. Ia tidak hanya sekedar ingin menjabat tangan Archi dan Ibib. Farah ingin mengucapkan rasa bangganya kepada kedua murid tersebut secara khusus.

"You've worked hard for this, and I'm so proud of you both," lanjut Farah sambil menatap Archi dan Ibib secara bergantian. "Ups! Maaf. Saya koreksi. BUkan hanya saya, tapi kami semua bangga pada kalian. Kalian bisa menjadi role model untuk siswa-siswa yang lain. Great job!"

Archi dan Ibib pun tersenyum bangga, meskipun dengan alasan yang berbeda. Archi bangga karena bisa membuktikan pada teman-teman bahwa dirinya bisa berprestasi tanpa campur tangan orang tua. Sementara Ibib bangga karena bisa membuktikan pada Dexa dan Farah bahwa kedua guru itu memang benar. Dia bisa jadi the next Edison atau Habiebie.

Sebenarnya Archi tidak terlalu kaget dengan pengumuman pagi itu. Dia cukup percaya diri untuk bisa lolos ke tingkat nasional. Saat seleksi berlangsung, Archi yakin bisa menjawab dengan benar hampir semua soal. Pelatihannya dengan mantan juara olimpiade Fisika tingkat nasional memang tidak sia-sia.

Akan tetapi, tidak demikian dengan Ibib. Meski sudah berlatih mengerjakan soal setiap hari serta mengurangi jam tidur hingga berat badannya turun, dia tidak begitu yakin bisa lolos ke tingkat nasional. Namun ternyata, kerja-kerja kerasnya membuahkan hasil.

"Gimana? Siap untuk bertanding di tingkat Nasional?" Dexa yang baru saja tiba di tengah lapangan langsung melayangkan pertanyaan pada Archi dan Ibib.

Archi dan Ibib sontak berpaling pada Dexa. "Siap, Pak!" seru mereka serempak sambil melakukan sikap hormat bendera.

Tersenyum puas, Dexa pun menepuk-nepuk pundak Archi dan Ibib. "Saya suka semangat ini! Pertahankan!"

"Pasti! Saya pasti akan terus semangat sampai mendapat medali emas di tingkat nasional!" tegas Archi sambil tersenyum penuh arti.

Dexa yang tahu pasti arti senyum itu, langsung menyeringai. "Medali di tingkat internasional," koreksinya. "Dan three points shoot dari arah belakang."

Dexa lalu terbahak, sedangkan Archi menekuk wajah. Dia ingin membalas kata-kata Dexa, tapi tahu bahwa dia masih membutuhkan bantuan sang guru. "Pak De masih tetap jadi tutor saya, kan?" tanyanya yang disambut dengan anggukan Dexa.

Tak ingin ketinggalan, Ibib pun bertanya penuh harap, "Bapak masih akan terus melatih saya, kan?"

Lagi-lagi Dexa mengangguk.

Melihat percakapan itu, Farah terkejut. Dia tidak tahu kalo Dexa melatih Ibib. Kapan? Dimana? Apakah Dexa benar-benar mengerti Matematika? Dan yang lebih penting, kenapa Dexa tidak pernah memberitahunya?

Banyak pertanyaan yang terlintas di benak Farah. Namun belum sempat pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan, Malahayati sudah bergabung bersama mereka.

"Selamat, ya, Bib!" ucap Malahayati sambil mengulurkan tangan dan tersenyum.

Ibib menyambut uluran tangan Malahayati, menjabatnya dengan erat, lalu berkata tulus, "Kalo kemarin lo ikut, pasti lo yang berdiri di sini."

Malahayati memang tidak jadi ikut olimpiade Matematika tingkat provinsi. Dua hari sebelum pelaksanaan olimpiade, dia ambruk dan harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Demam dengue, demikian kata dokter. Maka saat Ibib berjuang memecahkan angka-angka, Malahayati juga sedang berjuang menaikkan angka trombosit.

"Lo kagak iri, kan?"

Malahayati segera menggeleng. "It's okey. Khusus buat lo, gue enggak iri sama sekali. Malah gue ikut senang karena lo bisa lanjut ke tingkat nasional mewakili sekolah dan provinsi kita."

"Enggak iri, sih, enggak iri. Tapi tangan kok enggak lepas-lepas, ya?" komentar Archi sambil melirik ke arah tangan Ibib dan Malahayati yang masih saling menjabat.

Dengan wajah merona, Malahayati buru-buru melepas genggaman tangan. "Kata Pak Dexa, masih ada kompetisi lain yang sertifikatnya bisa gue pakai buat masuk kampus jalur prestasi," ucapnya mengalihkan topik. Malahayati lalu berpaling ke arah Dexa. "Benar, kan, Pak?"

Dexa mengangguk. Saat menjenguk di rumah sakit, dia melihat mata sembab Malahayati. Murid perempuan itu sangat berharap bisa mengikuti olimpiade hingga tingkat nasional agar bisa menggunakan sertifikatnya untuk diterima di kampus bergengsi melalui jalur prestasi. Namun ternyata, seekor nyamuk sudah merenggut impiannya.

Dexa pun menunjukkan daftar kompetisi-kompetisi Matematika tingkat SMA yang bisa diikuti oleh Malahayati. Selama satu jam, Dexa juga menjelaskan kompetisi-kompetisi mana saja yang sertifikatnya diakui untuk masuk ke kampus-kampus bergengsi. Harapan Malahayati pun menyala kembali.

"Pak Dexa juga janji, mau jadi tutor gue." Malahayati memamerkan perjanjiannya dengan sang guru.

Lagi-lagi Farah terkejut mendengar pengakuan salah satu muridnya. Tidak bisa lagi menahan rasa penasaran, Farah pun bertanya, "Kamu bisa ngajarin soal-soal kompetisi Matematika?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Farah, Dexa malah mengangkat kedua bahu sambil tersenyum misterius. "Ayo kita ke kelas! Sebentar lagi jam pertama dimulai," ucapnya mengalihkan topik.

Meski kesal karena pertanyaannya tidak dijawab, Farah tetap menyetuji kata-kata Dexa. Mereka sudah terlalu lama berbincang di tengah lapangan yang mulai sepi. Kelima orang tersebut pun bubar. Farah dan Dexa berjalan beriringan menuju ruang guru untuk mengambil buku-buku, sedangkan para murid berjalan ke arah ruang kelas masing-masing.

Akan tetapi, baru beberapa meter berjalan, langkah Farah dan Dexa terhenti karena mendengar panggilan Archi. Farah dan Dexa kompak berbalik dan mendapati Archi sedang berlari ke arah mereka.

"Bu Miss!" Archi yang sudah tiba di hadapan Farah mulai mengatur napas. "Kalo nanti berhasil dapat medali emas di tingkat nasional, saya punya permintaan khusus, ya."

"Permintaan khusus?" Farah mengernyit. "Bebas ujian Matematika tapi nilai di raport dapat 97?" tebaknya.

Farah memang menjanjikan hal itu pada Ibib dan Malahayati sebagai imbalan atas usaha keras mereka di olimpiade Matematika. Jika mendapat medali di tingkat provinsi, mereka otomatis mendapatkan nilai Matematika 94. Sementara jika mendapat medali di tingkat nasional, mereka akan mendapat nilai Matematika 97. Semua itu tanpa perlu mengikuti ujian-ujian.

Tentu saja hal itu tidak berlaku untuk Archi yang mengikuti bidang lain.

"Bukan itu, Bu Miss. Itu, sih, enggak khusus."

"So, may I know what is it?"

Archi berdehem untuk melegakan tenggorokan dan mengumpulkan keberanian. "Kalo saya dapat medali emas di tingkat nasional, saya boleh bawa orang tua saya ke rumah Bu Miss, ya?"

Mendengar pertanyaan Archi, dahi Farah langsung mengernyit. Ia sudah bersiap menceramahi Archi, tapi Dexa langsung menyambar.

"Enggak usah repot-repot! Orang tua Bu Farah masih ada, kok."

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro