Bab 21: FACT OR FAKE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sembilan tahun lalu

"Selamat sore, Miss Nawang," kata Farah sambil memasuki ruangan Nawang. "This is tugas yang Miss Nawang asked. I udah finished it."

Sekilas, Nawang melirik lembaran kertas yang sudah diletakkan di mejanya, lalu berpaling pada Farah. "Tugas apa?" tanyanya sambil mengernyit.

Farah ikut-ikutan mengernyit. "Katanya, Miss Nawang minta I untuk buat rangkuman perjalanan sekolah I dari elementary sampai secondary, terus dreams I, dan rencana I untuk mewujudkan dream itu."

"Siapa yang bilang?" kejar Nawang.

"Dexa. Dia juga said kalo tugas ini ditunggu sama Miss Nawang today."

Nawang mengulum senyum sambil geleng-geleng kepala. Pantas saja murid perempuan di hadapannya belum pulang meski jam sudah menunjukkan pukul 4 sore.

"Dexa bohong ke I, ya, Miss?" tebak Farah.

***

Masa kini

"Pak Dexandra!" panggil Farah. Ia beruntung karena Dexa belum meninggalkan sekolah.

Dexa yang sudah siap untuk pulang, segera menghentikan langkah dan berbalik. Dari ujung lorong berjalan seorang perempuan. Dulu sekali rambut panjangnya dibiarkan tergerai, seolah-olah sang pemilik mengizinkan angin menyelinap di helai-helainya. Kini rambut itu digelung, menampakkan keanggunan pemiliknya. Meski begitu, Dexa tetap menyukai kedua versi Farah.

Dengan sabar Dexa menunggu hingga Farah mendekat dan menyampaikan maksudnya.

"Kamu benar-benar ngelatih Ibib?" tanya Farah tanpa basa-basi. Namun belum juga Dexa menjawab, ia sudah melayangkan pertanyaan lain. "Kamu bisa ngajar soal Matematika kompetisi?"

Mendengar pengakuan Ibib tadi pagi, membuat Farah tak konsentrasi sepanjang hari. Apakah yang dikatakan Ibib sungguhan atau palsu? Fact or fake? Jika benar hal itu sungguhan, jangan-jangan selama ini Dexa-lah yang berperan lebih banyak untuk mengantarkan Ibib hingga melaju ke tingkat Nasional.

"Kapan kamu ngelatih Ibib? Dimana?" berondong Farah.

Dexa menahan tawa. Perempuan di hadapannya benar-benar tidak sabaran. Farah bahkan belum memberi kesempatan pada Dexa untuk menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Betul. Saya memang melatih Ibib. Awalnya tidak sengaja. Ibib datang ke rumah saya untuk menemani Archi belajar tambahan. Dia sekalian ngerjain soal-soal yang kamu kasih. Lalu ada soal yang menurutnya sulit. Dia tanya saya, dan kebetulan saya bisa jawab. Akhirnya, saya suruh dia datang ke rumah setiap hari, kecuali saat jadwal math club," jelas Dexa, menjawab seluruh pertanyaan Farah.

"Kamu minta dia datang setiap hari?" ulang Farah yang dijawab anggukan Dexa. "Jenius seperti Ibib tidak memerlukan pelatihan yang terlalu bertubi-tubi! Sama seperti kamu yang," Farah berpaling ke lapangan. Tidak seperti harapannya, di sana hanya ada sekitar dua puluh siswa dari ekstrakurikuler paskibra yang sedang berlatih baris berbaris, "seperti kamu yang masih masih bisa meluangkan waktu untuk main basket saat akan ikut olimpiade."

Alih-alih menjawab, Dexa malah menuju salah satu kursi kayu panjang yang berada di depan ruang kelas. Pria itu lalu membuka tas yang tadi disampirkan di punggung, mengaduk-aduk isinya hingga menemukan sesuatu. Dexa lalu mengulurkan amplop dengan lis warna biru muda dan jingga pada Farah yang masih berdiri sekitar tiga meter meter darinya.

"Kita lagi ngomongin Ibib. Kamu jangan mengalihkan topik dengan murid titipan baru," ucap Farah mengingat kali terakhir menerima amplop yang berisi hasil psikotes Ibib.

Dexa bergeming. Pria itu tetap mengulurkan amplop yang tak kunjung diterima Farah.

Hal itu membuat Farah jengah. Maka mau tak mau, ia berjalan mendekati Dexa dan menerima amplop yang tidak asing itu. "Sekarang punya siapa?" tanyanya sambil ikut duduk di samping Dexa.

Alih-alih menjawab, Dexa malah mengerling ke amplop tersebut, isyarat agar Farah menemukan sendiri jawabannya.

"Alva Habiebie." Farah membaca sekilas, lalu kembali melipat lembaran kertas tersebut dan memasukkannya kembali ke amplop.

"Baca dulu dengan teliti," tukas Dexa, lalu memberi isyarat agar Farah kembali membaca lembaran tersebut.

"Emang ini hasil psikotes yang berbeda? Kapan diambilnya? Setelah belajar tambahan sama saya atau kamu? Terus gimana hasilnya? Lebih meningkat?" berondong Farah, tapi tak urung membuka lagi lembaran tersebut. Ia menduga bahwa Dexa hanya ingin pamer pada kemampuan mengajarnya.

Tanggal dan skor IQ, itulah dua hal yang langsung Farah cari. Namun, dua hal itu juga yang membuatnya terkejut.

"Tahun lalu?" Farah membaca ulang lembaran tersebut, mengecek angka, nama, juga tanggal pengambilan tes. "What is it? Is it fake?"

"Bukan. Ini hasil psikotest yang asli," jawab Dexa dengan tenang.

Sekali lagi farah membaca angka-angka pada tabel bagian atas. "Taraf kecerdasan: 110, taraf kecerdasan verbal: 101, taraf kecerdasan performance: 99. Semua ada di rentang rata-rata?"

Dexa mengangguk.

"Omong kosong! Saya lebih percaya kalo kamu bilang bahwa di Indonesia ada fosil dinosaurus."

Dexa berpikir sejenak. "Kamu juga harus percaya hal itu karena memang sudah terbukti. Peneliti nemuin fosil reptil laut purba yang namanya," pria itu mengingat-ingat, "Mixosaurus timorensis."

Farah mengernyit.

"That is fact!" tukas Dexa. "Fosil itu ditemukan di NTT. Memang bukan di daratan karena pada masa itu sebagian wilayah Indonesia masih di bawah laut. Satu-satunya daratan Indonesia yang sudah ada adalah pulau Kalimantan yang bersatu dengan Eurasia."

Farah tercengang, bukan karena penjelasan Dexa, tapi karena ternyata ia salah memberi perumpamaan. Bukan itu poinnya.

"Intinya, hasil psikotes yang kamu pegang adalah fact, not fake," ucap Dexa penuh penekanan. "Kamu tahu apa artinya?"

"We lied to him!" ucap Farah penuh penekanan.

Dexa tersenyum tipis. Farah memang benar. Namun, bukan poin itu yang dia maksud. "Artinya ketika seseorang mempercayai bahwa dirinya jenius, maka seluruh anggota tubuhnya akan ikut serta mewujudkan kepercayaan itu. Yang dibutuhkan tinggal kerja keras untuk menjadikan itu nyata," jelasnya.

"But you lied to Ibib!"

"Kamu lebih suka Ibib yang apatis karena label buruk dari lingkungan atau Ibib yang optimis karena hasil tes palsu ini?" tanya Dexa penuh penekanan.

Mendengar itu, Farah terdiam. Selama beberapa saat, tidak terdengar suara baik dari Dexa maupun Farah. Hanya teriakan-teriakan lantang dari pemimpin paskibra yang bergema di lapangan.

"Terkadang kita perlu sedikit menutupi kebenaran untuk mengubah mindset seseorang. Jika itu memang untuk kebaikan, why not? Jenius bukan hanya disebabkan karena orang itu berbakat dari lahir. Jenius juga bisa dilahirkan dari kerja-kerja yang keras," lanjut Dexa.

Farah tertegun. Ia mengingat bagaimana Ibib berubah secara drastis selama lebih dari satu tahun ini. Mungkin yang dikatakan Dexa ada benarnya. Namun, ada satu hal yang belum bisa dia terima.

Farah mendengkus. "Tidak dulu, tidak sekarang, you always lied to me."

"Bukan begitu." Buru-buru Dexa menyanggah. "Dulu ataupun hari ini, aku cuma--"

Belum juga tuntas Dexa menjelaskan, Farah sudah bangkit dan beranjak pergi.

Dexa menghela napas panjang. 'Mungkin bukan hari ini.'

***

Sembilan tahun lalu

"Kenapa lo bohongin dia?" tanya Kai. "Dia jadi ngerjain tugas sendirian di kelas."

"Kan ada kita yang nemenin," ucap Dexa sambil membidik bola ke keranjang.

"Tepatnya, lo yang nemenin. Gue cuma nemenin orang yang mau nemenin," gerutu Kai. Jika bukan karena janji makan siang gratis selama seminggu, dia tidak akan mau menyanggupi permintaan Dexa.

Kai mengambil bola yang baru saja masuk ke keranjang, lalu mengopernya ke arah Dexa. "Lo enggak kasihan dia pulang kesorean?"

Dexa menoleh ke jendela kelas. Memang dia tidak bisa melihat Farah. Namun, dia tahu Farah masih berada di sana. "Lebih kasihan kalo dia pulang tepat waktu dan ketemu anak-anak yang mau ngasih surprise ulang tahun. Dia bakal mandi telur busuk yang campur gula, tepung, dan lumpur. Pasti susah ngebersihin rambut panjang itu."

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro