꒰ 15 ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ʚ n o w  p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻

In My Fantasy - Lucas Estrada

ʚ ɞ

Aku berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju kantin. Oliv dan Naureen berjalan bersisian denganku, mereka hendak membeli minuman, sama sepertiku.

Begitu sampai di kantin yang kami tuju, Oliv dan Naureen langsung mengambil sebotol air minum dingin sementara aku mengambil sekotak susu rasa taro. Kami membayarnya masing-masing.

"Rin, mau ikut yang lain?" tanyaku kepada Naureen. Aku bertanya apakah ia ingin ikut teman-teman yang lain ke restoran cepat saji.

Setelah menenggak airnya, ia menjawab, "Iya, Na," jawabnya, "Kalian nggak ikut?" tanya Naureen.

Aku dan Oliv melakukan kontak mata selama beberapa detik, kemudian Oliv menjawab, "Nggak, Rin."

"Oh, ya udah, duluan ya!" Naureen melambaikan tangannya pada kami, lalu berjalan menjauh.

"Dadah, Norin!" Aku melambaikan tangan padanya.

"Kamu mau pulang, Liv?" tanyaku dengan kepala yang sedikit tertunduk untuk menatapnya.

"Gerimis, An, kayaknya nanti dulu deh," jawabnya yang membuatku kontan menoleh pada langit. Langit memang telah berubah kelabu sejak tadi kami latihan, tapi aku baru menyadari kalau sudah gerimis.

Aku menoleh ke tempat Oliv berdiri, lalu terpana sejenak. Apa yang aneh ya?

Oh, astaga!

"Liv, temenin yuk, tas aku ketinggalan." Kakiku sudah bergegas untuk bergerak, tetapi aku menunggu Oliv terlebih dahulu.

"Perasaan ada yang ketinggalan mulu," gumam Oliv heran.

Aku tak menunggu persetujuan Oliv, aku langsung menarik tangannya dan berjalan ke ruang cheerleaders. Tasku kutinggalkan di sana, aku sangat yakin kali ini. Aku menaruhnya di sana bersama tas teman-temanku yang lain—yang sepertinya sekarang sudah tidak di sana semua, tinggal tasku sendirian.

Kami menerjang gerimis tipis-tipis yang berjatuhan demi menyeberang ke gedung sebelah barat. Untungnya gerimis itu tak membuat kami basah kuyup, paling hanya bulir-bulir air yang singgah di atas permukaan rambut.

Ruangan itu telah sepi. Pelatihku memang sudah pulang—kami dibubarkan cepat karena sang pelatih punya jadwal mengajar di sekolah lain. Teman-temanku kebanyakan sudah pulang, beberapanya memutuskan nongkrong-nongkrong sejenak.

Syukurlah tas berwarna baby pink polos dengan gantungan kunci Cinnamoroll itu masih ada di sana lengkap dengan tote bag bermotif kotak-kotak warna ungu muda-putih.

Kami berdiam sejenak di tempat karena hujan bertambah deras. Masih terlihat beberapa aktifitas siswa di organisasi yang diikutinya.

Ada PMR yang masih di ruang UKS, juga anak futsal yang masih setia menggocek bola di tengah lapangan licin. Dia ikut bermain bersama teman-temannya, terlihat bahagia meski air hujan terus menghantam tubuhnya dan membuat kuyup baju kebanggaannya.

Hari Selasa ini kami hanya latihan sebentar. Hanya pemanasan dan melatih kelenturan tubuh kami.

Dalam tim, aku bertugas sebagai spotter—pendamping base—karena aku agak kikuk kalau dijadikan base—orang yang mengangkat flyer—dan keberatan untuk diangkat-angkat.

Aku sebenarnya jarang diperlukan untuk atraksi-atraksi, Oliv dan Indira-lah yang paling diperlukan. Mereka adalah flyer—orang yang diangkat-angkat bahkan dilempar ke udara.

Karena sudah lama tidak atraksi menekuk-nekuk tubuh, pinggangku sedikit encok dan kayaknya begitu sampai rumah aku mau mandi lalu tidur sore. Tidur bukan cara yang ampuh untuk mengusir encok, sih, paling sedikit mengusir capek.

Di tengah asyiknya menatap anak-anak futsal yang ada di lapangan, aku ingat akan satu hal.

"Liv, aku 'kan bawa payung," ujarku memecah hening di antara kami.

""Ya udah, ke kantin yuk, aku laper," balas Oliv.

"Sama, yuk." Aku mengeluarkan payung kecil itu dari dalam tasku, membukanya, dan kami berdua berjalan di bawahnya.

Ketika sampai di kantin, aku langsung melipat payung dan menaruhnya di atas sebuah meja kantin.

Sore-sore begini sebetulnya sebagian besar kantin sudah tutup, hanya ada beberapa yang masih buka. Salah satunya kantin Ibu-Ibu Pojok yang menjual mie instan dan minuman-minuman. Mie instan kuah pakai bakso dua biji adalah pilihan yang tepat di cuaca hujan seperti ini.

Sembari menunggu pesananku datang, aku menginformasikan Tante Lulu kalau aku masih di sekolah karena harus berteduh.

"Dor!" Seseorang menepuk bahuku, membuat bahuku terangkat dan jempolku oleng sedikit, membuatku typo.

Aku segera menengok ke belakang. Rupanya si empunya tangan adalah Zaky.

"Ih, Zaky! Jadi typo 'kan!" protesku.

"Jangan sedih," ucapnya enteng sambil menggerekkan telunjuk dengan lentik.

"Belom pulang lu?" tanyanya.

"Belom, kamu juga belom?" tanyaku balik.

"Belom, 'kan PMR," jawabnya sembari mengambil tempat di sampingku.

"Oh iya," balasku sembari memencet tombol kirim pesan kepada Tante yang sempat tertunda.

"Makan, Zak?" tanyaku.

"Kalo dibayarin gue mau," ujarnya, "lo pada mau makan?" Ia balik bertanya sembari melirik pada Oliv yang masih berdiri di depan kantin itu, menunggu pesanan.

"Iya, pesen aja sana, Zak, nanti bayar sendiri," timpalku.

"Yah, nggak asik," ucapnya seraya bangkit, lantas berjalan untuk ikut memesan.

***

Kami tengah menikmati mie kuah panas kami di tengah cuaca hujan—sungguh itu kenikmatan yang tidak ada tandingannya—sambil berbincang-bincang asyik. Tiba-tiba seorang pemuda basah kuyup mendatangi meja kami.

Dia benar-benar basah dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut lepek, jersey yang basah hingga kelihatan melekat di badannya yang kurus, serta kaus kakinya yang juga basah.

"Bau lo! Ganti baju sana!" hardik sobatnya langsung begitu cowok itu muncul.

Ia mendecak. "Bentar napa, Zak, gue nitip tas dulu." Ia mengangkat tas ranselnya, menyandarkannya pada sebuah tiang kayu, dan mengambil baju seragamnya. Ia melepas sepatu dan kaus kakinya.

"Titip dulu ya, Liv," ujarnya sambil berlalu pergi tanpa alas kaki.

"Goodluck, Bro!" Seorang teman futsalnya menepuk-nepuk bahunya sementara ia tetap berlalu ke kamar mandi. Goodluck agar sukses ganti baju?

Aku agak terharu dia lebih memilih bergabung dengan kami ketimbang bersama teman-temannya yang tengah berada pada kantin di ujung yang lain.

Zaky mengeluarkan ponselnya. "Main ludo yuk!" ajaknya.

"Mau dong." Oliv menanggapi.

"Aku mau warna kuning," timpalku.

Lalu kami makan sambil main ludo yang membuat makan kami makin lama.

Ketika sedang asyik main ludo, Abinaya datang lagi dalam keadaan sudah memakai seragam putih abu-abu.

"Ih, main ludo? Ikut dong," ucapnya sambil memasukkan baju basahnya ke dalam plastik.

"Telat lo!" ujar Zaky.

"Nanti kalau udah selesai," kata Oliv.

Ia tak menanggapi dan langsung memesan mie instan seperti kami.

Begitu kami bertiga selesai main dan Abinaya sudah menghabiskan setengah mangkuk mi-nya, kami mengajaknya ikut main. Namun, Oliv dan Abinaya harus bertukar tempat untuk menyesuaikan dengan posisi warna mereka yang membuat Abinaya duduk tepat di depanku. Kurasa aku sudah cukup mahir mengontrol salah tingkahku saat ada di dekatnya. Kalau dulu rasanya sejurus tatap saja bisa membuatku salah tingkah tak keruan.

Akhirnya kami bermain ludo cukup lama dan beronde-ronde, hingga selesai makan pun kami masih tetap bermain. Sampai akhirnya kami berhenti ketika menyadari hujan sudah hampir reda meski masih ada gerimis sedikit-sedikit.

"Gue pesen ojek ya," ucap Zaky sembari mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja.

"Kamu naik apa, Liv?" tanyaku.

"Aku dijemput abangku," jawabnya dengan mata yang masih fokus pada layar ponsel, menunggu balasan chat.

"Anais pulang naik apa?" tanya lelaki yang ada di depanku.

"Kayaknya ojek deh," jawabku.

"Mau barengan nggak?" tawarnya.

"Masa numpang mulu? Nanti ngerepotin lagi," ujarku tak enak.

"Nggak lah, nggak apa-apa," ucapnya. Kalimat itu tentu saja membuatku meleleh. Kapan lagi aku bertemu laki-laki sebaik dia?

"Hmm, ya udah deh, boleh," putusku pada akhirnya.

"Eh, ojek gue udah nyampe, bye ...!" pamit Zaky. Ia melambaikan tangannya. Zaky pergi dan turut serta membawa barang-barangnya termasuk mangkuk mi yang tinggal kuah—bukan untuk dibawa pulang, tapi dikembalikan.

"Bye bye." Aku membalas lambaian tangannya.

"Dah," balas Abinaya.

"Aku juga duluan ya, Anais, Abi." Oliv juga pulang dan menyisakan kami berdua di meja.

"Tungguin dulu ya," ujar Abinaya yang tengah fokus menatap layar ponsel dan jemarinya yang tengah menari di atas layar tersebut, tampaknya sedang membalas chat dari seseorang.

Jika aku bucin yang tak tahu malu, mungkin aku akan bilang, "Apa sih yang enggak buat kamu?"

"Iya, Bi, santai aja," ucapku yang sebenarnya.

"An, cheerleaders belom ada lomba-lomba lagi?" tanyanya.

Sedang melamun, aku tersentak. "Eh, belom, Bi," jawabku, "Minggu depan main lagi ya?" tanyaku balik.

"Iya, masih jauh, semoga main terus lah," jawabnya.

"Aamiin ...." Aku mengamini.

"Sabtu besok kalian pada dateng?"

"Aku enggak tau sih, Rizella katanya nggak dateng, tapi pas pensi penutupan baru dateng, takut bokek katanya," beri tahuku.

"Bukannya dia banyak duit?"

Aku terkekeh kecil. "Khilaf abis banyak diskon kali," jawabku.

Abinaya tertawa pelan. "Udah yuk," ujarnya sembari bangkit dari kursi.

Lantas aku ikut bangkit, mengembalikan mangkuk, dan pamit pada Ibu Kantin. Kami berjalan menuju parkiran sekolah, lalu tancap gas ke rumahku. Sepertinya canggung di antara kami sudah sedikit terkikis.

──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

Kamis, 26 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro