꒰ 16 ꒱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ʚ n o w p l a y i n g ɞ

0:00 ─〇───── 3:12
⇄ ◃◃ ⅠⅠ ▹▹ ↻

Sunkissed - Khai Dreams

ʚ ɞ

Selama beberapa minggu belakangan, aku sering menumpang pulang bersama Abinaya, setidaknya seminggu sekali. Tiap ada kesempatan bertemu saat pulang sekolah, ia selalu menawarkan untuk menumpang di motornya. Masa mau kutolak?

Kini aku sudah rapi terbungkus dalam pakaianku. Aku sudah tak sabar menunggu momen ini sejak seminggu lalu. Saking antusiasnya aku, aku sampai menyiapkan apa yang ingin aku pakai dari seminggu yang lalu, meski ada perubahan mendadak tadi malam. Pada akhirnya aku memakai kaus warna oranye muda dengan gambar buah peach di atasnya dan juga boyfriend jeans warna biru muda, tak lupa aku mengepang rambutku.

Sekali lagi aku mengecek hal-hal yang kubawa. Orang luar tak boleh membawa alat tulis, make up, parfum, rokok, senjata tajam, dan hal lain yang sekiranya berbahaya. Jika kedapatan membawa barang-barang tersebut, maka barang itu akan disita dan dikembalikan setelah selesai acara. Tentu saja aku tetap membawa parfum dan liptint. Oh, aku juga sudah membawa tiket. Akan sangat menyedihkan jika aku disuruh menunggu di luar karena tiketku ketinggalan.

Kali ini aku tengah menunggu kedatangan seseorang. Sekitar sepuluh menit lalu kami masih berbalas pesan. Pesan terakhirnya menjelaskan kenapa ia tak lagi membalas pesanku, ia hendak menuju kesini, katanya.

Meskipun terhenti sebagai semifinalis-yang artinya bukan hadir untuk mengambil hadiah-ia tetap datang ke pentas seni penutupan.

Aku dan kawan-kawanku juga telah menanti acara ini, pasalnya salah satu dari tiga guest star yang hadir adalah penyanyi dari lagu yang belakangan ini paling sering kami putar di kelas. Aku sudah membayangkan momen menyanyi lagu galau sambil lambai-lambai tangan di udara.

Oh iya, aku jadi penonton setia acara itu. Aku hampir tak pernah absen-kecuali saat suatu pagi aku mendadak meriang-meski dengan teman nonton bareng yang berbeda-beda. Kata teman-temanku aku harus jadi supporter setia Abinaya, makanya aku harus selalu datang. Aku sih nurut-nurut saja, toh bermanfaat juga 'kan.

Tak lama kemudian aku mendengar suara motor yang berhenti depan rumahku, langsung saja aku melongokkan kepala ke jendela untuk memastikannya. Rupanya benar, sebuah motor abu-abu berhenti di depan rumahku.

Aku tak tak tahu sejak kapan Tante Lulu sudah berdiri di belakangku, ikut mengintip motor siapakah yang berhenti di depan rumah.

"Itu temen kamu yang biasanya?" Ia bertanya.

"Iya, Tan," jawabku.

"Kok nggak pernah diajak masuk?" tanya Tante lagi.

Aku tak menjawab pertanyaannya yang itu, aku justru menyerahkan telapak tanganku di depannya. "Aku pergi dulu ya, Tante," pamitku.

Tante menyambar telapak tanganku dan aku menciumnya. "Lumayan," katanya.

"Lumayan apanya?" tanyaku sesaat setelah menyalimi tangannya.

"Lumayan ganteng lah!" jawabnya agak ngegas.

Dengan malu-malu aku menanggapi, "Ish, Tante!"

Tante terkekeh, aku meninggalkannya. Aku ke luar rumah dan langsung menghampirinya.

Kali ini aku harus tertegun dulu begitu membuka pagar karena ya ampun! Cowok itu tengah berdiri di samping motornya, ia memakai pakaian yang cukup jarang kulihat darinya. Ia memakai kemeja biru lengan pendek dengan kancing yang terbuka untuk memperlihatkan kaus putihnya dan celana panjang warna krem. Biasanya dia hanya mengenakan kaus atau sweatshirt saja, belum pernah kulihat ia pakai kemeja-selain seragam-apalagi dengan kancing terbuka seperti itu.

Termangu sejenak, aku berhasil sadar pada detik berikutnya. Aku segera menghampiri motornya.

"Hai, Abi!" sapaku.

Dari jarak sedekat ini aku dapat menghirup wewangian yang ia kenakan. Parfum yang sama seperti biasanya, aku suka baunya. Namun, kali ini semerbaknya seperti ia habis mandi parfum.

"Mau helm?" tawarnya sambil memegang sebuah helm warna putih yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku sebetulnya tak ingin pakai helm karena takut rambutku berantakan, tapi demi menghargai niatnya membawakan helm untukku-maaf geer-dan takut tiba-tiba ditilang polisi di tengah jalan, maka aku menerimanya.

"Makasih," ucapku sembari mengambil alih helm itu dan memakainya.

Kami lalu naik ke atas motor dan berangkat ke sekolah SMA tempat acaranya digelar. Kedua tanganku kuletakkan di atas kedua pundaknya. Ia mengendarai motornya ke luar blok rumahku. Motor yang kami tumpangi melaju membelah jalanan perumahan yang pada jam segini tak terlalu ramai, membuatku merasa sepanjang jalan adalah milik kami berdua.

Beberapa minggu terakhir pertemanan kami semakin dekat. Aku mulai bisa merasa nyaman mengobrol berdua dengannya. Dan rasanya aku semakin rela jika saja ia jatuh cinta atau dekat dengan perempuan lain. Dia orang baik, dia pantas mendapat yang baik-baik. Kalau ada yang lebih baik dariku, masa mau kucegah?

Akan tetapi, rasanya masih ada secuil rasa khawatir yang ada di hatiku. Ya, dia berkali-kali menawariku tumpangan untuk pulang-dan sekarang berangkat bersama ke tempat pentas seni. Ya, dia baru saja dengan niat membawa helm ekstra untukku. Aku mengapresiasi tiap hal baik yang ia lakukan kepadaku. Namun, itu tak lantas menghilangkan seluruh prasangka buruk yang ada di hatiku.

Aku tak tahu apa rencana main dengan Virgitta waktu itu sudah terlaksana atau belum. Tapi kutahu pada hari Minggu lalu dia pergi ke mall berduaan dengan Kanya. Dalam rentang waktu yang tak jauh jaraknya, ia komen di unggahan akun pribadi rizella pakai emoticon hati dan secara terang-terangan memuji kecantikan Rizella lebih dari sekali. Ia memilih untuk meminjam buku catatan Oliv meskipun aku juga sudah menyelesaikan catatanku-dia menanyaiku lebih dulu tapi lebih memilih pinjam buku Oliv.

Mungkin aku kedengaran sangat berlebihan dan memang itulah kenyataannya, tapi aku sudah berusaha seikhlas mungkin jika saja kami cuma berakhir sebagai teman. Aku tak ingin lagi berharap ia menyukaiku balik, hanya saja sebagian dari diriku tak rela orang yang paling kuinginkan menjadi milik orang lain.

Kami sudah dekat dari sekolah tujuan kami, hanya perlu memutar balik sebentar dan kami sampai.

Karena parkiran sekolahnya penuh, kami akhirnya harus mencari tempat penitipan motor. Untung saja ada tempat penitipan motor di dekat sini. Sepertinya dia memang sudah familier dengan daerah sini, kemungkinan juga ini bukan pertama kali ia ke penitipan motor ini.

Kami berdua turun dari motor. Aku langsung merogoh parfumku dari dalam tas selempang yang kubawa. Aku menyemprotkan parfum yang katanya beraroma sakura hitam, tapi menurutku lebih mirip permen karet.

Aku mendengar sebuah gumaman dari lelaki yang ada di depanku saat aku tengah menyemprotkan parfum ke seluruh penjuru tubuhku.

"Mau?" tawarku sambil menunjukkan botol parfum warna hitam itu.

"Boleh deh," jawabnya, "di sini aja." Ia menyerahkan pergelangan tangannya.

Aku langsung menyemprotkannya pada pergelangan tangan kanannya. "Satu lagi," ucapku.

Ia dengan sigap menjulurkan tangan kirinya untuk kusemprot parfum.

"Udah," ujarku sembari memasukkannya ke dalam tas.

Kemudian kami berjalan ke luar gang tempat di mana penitipan motor itu berada. Penitipan motor itu sebenarnya berada tepat di belakang sekolahnya, jadi cukup kedengaran sayup-sayup suara musik dari gedung sekolah.

Sekolah itu sudah cukup ramai. Tempat menyerahkan tiket di depan juga sudah ramai yang antre. Kami berdua berpisah karena tubuhku harus diperiksa-untuk mencari jika saja aku membawa barang-barang yang dilarang-oleh panitia perempuan dan ia tentu saja diperiksa oleh panitia laki-laki.

Setelah parfum dan liptint-ku disita, kami diperbolehkan masuk ke dalam.

──⋆⑅˚ ʚ ɞ ˚⑅⋆──

Minggu, 29 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro