Part 10: Secrets

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagaimana kau bisa melihatnya?" Raut santai Will surut seketika. Garis garis wajahnya terlihat menegas. Ia sudah mencondongkan tubuh kearahku dan mengunciku dengan tatapan tajamnya. Sial, aku seharusnya tidak menanyakan hal itu, batinku mengutuki rasa penasaranku. 

Apakah itu kelemahan Will yang berusaha ia tutupi? Sungguh, sebenarnya lingkaran merah pada irisnya terlihat sangat samar. Dan entah bagaimana menurutku terlihat indah. Membuat mata abu-abu gelapnya terlihat berbeda dan memikat. Haruskah aku memberitahunya seperti itu? Will masih menolak melepaskan tatapannya dari mataku.

"Ehm." Aku memulai dengan gugup, Cowok ini benar-benar tahu bagaimana cara mengintimidasi orang. "Sebenarnya terlihat sangat samar, sungguh. Jika aku tidak melihatnya dari dekat aku tidak akan menyadarinya." Will mengangkat alisnya yang sempurna, seakan ia tidak mengerti aku bicara apa.

"Sungguh Will, aku bertanya bukan karena aku berpikir itu hal yang aneh. Aku hanya penasaran karena somehow terlihat... indah." Akhirnya aku mengatakannya karena Will belum berucap sepatah katapun.

"Apa?" Ia mengerjap tak percaya, benar-benar kaget. Oh Will, sepertinya tidak perrnah ada yang memujinya akan hal itu. Atau apa ia pernah diolok gara-gara semburat warna irisnya yang berbeda? Namun aku menepis pemikiran terakhir. Mana ada yang berani mengolok cowok seperti Will. Cari mati saja.

Akhirnya Will kembali bersandar di kursinya. Ia menatapku sambil mengerutkan kening. Bibirnya membentuk satu garis rata seolah sedang berpikir.

"Kau tidak mengerti apa yang kau ucapkan." Will berkata sambil bersedekap, seolah menarik suatu kesimpulan dari pemikirannya. "Aku curiga kau bahkan tidak mengetahui dirimu sendiri," lanjutnya lagi.

"Apa maksudmu?" Sekarang aku yang kebingungan, apa aku salah bicara lagi? Aku tahu kadang mulutku ini terlalu cepat membuka sebelum sempat tersaring lagi.

"Sekarang giliranku bertanya. Kau pernah melihat makhluk yang seharusnya tidak terlihat oleh manusia kan? Kau─apa sebutannya─Indigo?" Tanya Will, menatapku lekat-lekat.

Sebuah ingatan terlintas di benakku. Seorang nenek-nenek tiba-tiba mengeluarkan cakar dari tangannya dan mata yang berubah kuning terang seperti mata kucing. Ia mengejar seorang gadis gecil berambut pirangdiriku. Gadis itu jatuh terjerembab dan menangis sejadi-jadinya, kemudian saat ia menoleh monster tadi sudah hilang. 

Ya, aku pernah melihatnya, batinku. Namun, alih-alih menyuarakannya, aku mengulas senyum ke arah Will. Berusaha mengendalikan jantungku yang bertalu-talu mengingat kejadian itu. Aku sudah terlatih untuk menyembunyikan hal ini.

"Tidak, aku tidak percaya ada makhluk-makhluk mistis," jawabku dengan tenang, lalu memalingkan wajah kembali ke Mr.Trevor. 

Aku sangat penasaran kenapa Will tiba-tiba bertanya begitu, namun aku tidak ingin memperpanjang topik ini dengan bertanya balik padanya. Aku tidak akan mengambil resiko salah bicara dan mengungkap yang sebenarnya. Dalam bayanganku Will dengan senang hati bisa menjadikan kemampuan indigo ku itu sebagai bahan bully-an.

"Benarkah? Aku tidak memahami mu," sahutnya. Aku bisa merasakan Will masih memicing ke arahku. "Ada berapa orang yang kau lihat di kelas ini sekarang?"

"Kau bercanda? Kau kira aku lelucon?" Aku melotot kearahnya, berekspresi seolah idenya itu tidak masuk akal.

"Jawab saja," kata Will datar. Aku mendesah menyerah. Baiklah terserah kau, pikirku. Aku menghitung semua murid termasuk diriku dan Mr.Trevor. Saat menyapukan pandangan ke seluruh kelas, aku menyadari ada beberapa makhluk lain di kelas ini, kebanyakan jiwa-jiwa seperti mereka memang berada dimana-mana. Namun, latihan selama bertahun-tahun sudah membuatku kebal seolah aku tak melihat apa-apa. Para jiwa itu ataupun monster yang ada diluar sana tidak akan menyadari aku bisa melihat mereka, dan orang-orang disekitarku juga tidak akan sadar aku bisa melihat makhluk lain. Tidak ada siapapun yang tahu kecuali Mom dan Dad.

"Dua puluh lima orang termasuk Mr.Trevor, kau bisa menghitungnya sendiri. Jadi, hentikan pertanyaan konyolmu." Aku memutar bola mata. Will menatapku dengan pandangan aneh, seperti menatap teka-teki rumit.

"Kau anomali, Isabelle Cleveland." Aku mendengarnya bergumam, tidak mengerti maksudnya. Aku berkonsentrasi mendengarkan Mr.Trevor agar Will tidak menanyaiku lagi. Untungnya dia sudah tidak bersuara lagi sampai bel pergantian pelajaran berbunyi.

***

Aku menghempaskan diri ke kasur Lizzie melepas kepenatan hari ini, sementara sepupuku itu sibuk di kamar mandi berganti piyama. Kalau saja Lizzie tidak memiliki kebiasaan tidur yang buruk dengan menendang kesana kemari, pasti menyenangkan bisa tidur disini, mengobrol sampai kami ketiduran. Namun aku harus menyelamatkan diriku sendiri dengan tidur dikamar lain.

Saat makan malam tadi, Auntie dan Uncle langsung bertanya tentang hari pertamaku di sekolah. Sebenarnya tidak ada yang special. Setelah kelas sejarah tadi pagi, di dua kelas berikutnya aku sekelas dengan Lizzie dan Will, lagi. Sisanya hanya kelas yang membosankan dan melelahkan penuh dengan perkenalan-perkenalan. Identitasku sebagai anak pemilik sekolah sudah tersebar seantero Riverdale High, entah bagaimana.

"Kau berencana memilih kegiatan club apa? Kurasa kau bisa memilih sesuka hatimu dan langsung diterima," kata Lizzie, begitu keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Entahlah, yang pasti bukan Cheerleaders," kataku sengaja menggodanya.

"Teruskan saja diskriminasimu," Lizzie mendengus. "Ah! bagaimana dengan club music orchestra? Kau kan bisa bermain harpa. Club music Riverdale aktif mengisi acara atau ikut kompetisi antar sekolah," saran Lizzie. Tiba-tiba membuat moodku memburuk.

"Aku sudah tidak memainkan harpa sejak tahun lalu." Lizzie tampak menyadari perubahan emosi di suaraku.

"Sejak Uncle Oliver tiada?" tanya Lizzie. Ia sudah duduk berselonjor di kasurnya. Aku mengangguk.

Sejak Dad pergi meninggalkanku, aku hampir kehilangan mood sepenuhnya terhadap music. Setahun yang lalu, aku langsung pulang dari London begitu tahu dari berita bahwa Oliver Cleveland, pemilik group bisnis besar di America meninggal mendadak oleh serangan jantung di rumahnya.

Tidak ada yang menelfonku.

Tidak ada kabar dari Mom.

Bahkan tidak ada satupun bawahan Mom atau Dad yang memberitahuku. Tanpa pikir panjang, aku menggunakan uang bulananku untuk membeli tiket pesawat kembali ke New York secepat mungkin, lalu menggunakan sisanya untuk membayar taksi menuju Mansion keluarga Cleveland. Pikiranku begitu kacau saat itu. Memendam amarah pada semua orang yang membiarkanku tahu dari berita! Padahal aku putrinya. Penyebab kematian Dad juga sangat aneh, aku tidak pernah tahu ia memiliki riwayat penyakit jantung.

Begitu aku sampai di rumah, di dalam penuh orang-orang berpaikan hitam, aku tahu sebagian besar diantaranya adalah orang-orang penting. Mereka memandang ke arahku dengan tatapan mengasihani. Aku tidak melihat dimana Mom. Tanpa sadar aku berlari, berusaha menyingkir dari tatapan-tatapan tadi dan mendapati diriku menuju ke ruang santai di lantai paling atas. Mom ternyata disitu. Duduk sendirian. Kedua siku berada di atas kakinya dengan wajah tependam diantara kedua telapak tangannya.

"Mom?" Aku ingat memanggilnya dengan air mata yang menetes. Mom mendongak kearahku, tampak terkejut menyadari aku berdiri disitu. Namun, ada sesuatu yang lain dalam tatapannya. Ia memandangiku selama beberapa detik sebelum berkata,

"Kau sudah pulang. Maaf Mom tidak langsung menelfonmu." Wajahnya tampak sangat lelah. Dandanannya yang biasa terlihat rapi, terkesan berantakan sekarang. Matanya terlihat sembab. Aku ingin berteriak marah, kenapa tidak memberitahuku apa-apa, mungkin selama ini ternyata Dad menyembunyikan sakitnya. Namun amarahku langsung surut saat melihat Mom. Alih-alih, aku langsung menghambur kedalam pelukannya. Aku sempat terkejut saat Mom tidak langsung membalas pelukanku. Baru beberapa saat kemudian ia mengusap punggungku dengan tangan gemetar.

"It's okay," Mom berkata. Walau itu terdengar lebih untuk menenangkan dirinya daripada menenangkanku.

Mom yang melepaskanku dulu. Ia kembali menatap kearahku dengan pandangan aneh. "Isabelle, kau harus kembali ke London, segera setelah pemakaman. Aku akan meminta Ms.Paige memesankan tiket pesawat." Aku merasa seolah diguyur air dingin.

"Apa?" seruku kaget. Ini salah. Hanya tinggal aku dan Mom sekarang, bukankah ia seharusnya menahanku pergi dan menguatkanku selama beberapa hari kedepan? Dalam bayanganku Mom akan berkata "Kau masih mempunyai Mom, Isabelle. Kau bisa pindah ke New York kalau merasa kesepian, Mom akan menemanimu." Tapi aku tidak mendengar Mom menjelaskan lebih lanjut.

"Kau harus. Dad pasti akan menyuruhmu untuk melakukan hal yang sama. Kau memiliki kewajiban untuk berkonsentrasi dengan sekolahmu." Aku tidak bisa mencerna ucapan Mom. Namun, dengan berat hati akhirnya aku mengangguk. Mungkin Mom tipe orang yang akan suka menyendiri kalau berduka. Mom terlihat lega.

"Mom harus kebawah sekarang, untuk menemui tamu-tamu yang datang dan mengurus berkas-berkas hukum," Ia memejamkan mata sejenak, seolah kelopaknya terasa sangat berat.

"Aku ikut."

"Tidak," jawab Mom spontan. Aku membelalak. "Maksud Mom, kau bisa menenangkan diri disini. Orang-orang dibawah sana tidak akan membuatmu tenang dan kau tidak akan mau menungguiku berdiskui dokumen-dokumen hukum dengan Mr.Norris," Mom cepat-cepat menjelaskan.

"Baiklah," kataku pasrah. Penjelasan Mom ada benarnya. Aku butuh waktu sendiri.

Lama aku termenung sendiri di ruangan luas yang terisi oleh beberapa set sofa mewah. Ruangan ini juga digunakan bila anggota keluargaku yang lain sedang berkumpul disini. Sebuah harpa besar tersanding megah di sebelah jendela setinggi empat meter dengan tirai classic yang rumit. Akhirnya aku tidak tahan dengan keheningan yang memekakan disini. Sepertinya lebih baik bersama Mom meski ia sedang membahas dokumen warisan dan embel-embel lainnya dengan Mr.Norris, kuasa hukum pribadi orang tuaku.

Aku turun ke lantai dua tempat kantor pribadi Mom dan Dad berada. Pintu ganda itu terbuka sedikit. Aku mulai mendorong pintu berat itu saat suara Mr.Norris membuat langkahku berhenti. Aku mendengar kelanjutan percakapan mereka berdua, mataku membelalak, tanpa sadar kakiku melangkah mundur, mengekspresikan perasaanku yang berusaha mundur dari kenyataan. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Aku membekap mulutku sendiri menahan tangis yang akan pecah. Kakiku dengan sendirinya berlari menjauh, tanpa sadar membawa diriku kembali ke ruang santai di lantai atas.

Setelah itu, aku mencoba menenangkan hatiku dengan music. Namun, saat aku menyentuh harpa besar di ruangan itu yang terbayang dipikiranku hanyalah Dad yang sedang duduk di sofa berlengan, memejamkan mata tersenyum sambil menikmati alunan harpa yang kumainkan. Kadang Dad bahkan membawa pekerjaannya kemari sambil mendengarkan permainan musikku. Tangisku langsung pecah. Aku tidak kuat menerima kenyataan kalau semua itu hanya tinggal kenangan dan tak sanggup mencerna kembali percakapan Mom dengan Mr.Norris.

Setiap aku mencoba memainkan harpa lagi, ingatan itu terus kembali. Sejak saat itu aku tidak pernah menyentuh harpa lagi. Aku bahkan keluar dari club music di sekolahku waktu di London

"Sorry aku tidak bermaksud mengingatkanmu," kata Lizzie setelah jeda beberapa saat. Aku menggeleng.

"Tidak apa, mungkin memang aku harus mulai mencoba lagi." Aku menghela nafas panjang. Kalau aku membiarkan ingatan itu terus menghantui, tanpa mencoba mengatasinya, sampai kapanpun aku akan merasa trauma.

"By the way, kapan kau akan mulai memberitahuku tentang alasanmu kabur dari rumah?" Tanya Lizzie. "Kau tahu mungkin Auntie Alyson sedang merindukanmu tapi tidak bisa berbuat apapun karena ia mungkin super sibuk sejak harus menangani semuanya sendiri."

"Kalau begitu berarti kerjaan kantornya lebih penting daripada aku." Aku tersenyum masam.

"Benar juga, memang sih menurutku Auntie Alyson sedikit workaholic. Aneh, sudah dua bulan anaknya kabur dari rumah, dia sama sekali tidak memaksamu pulang," kata Lizzie, membuatku tertawa. "Hei tapi serius, kau berjanji akan memberitahuku dua bulan lalu saat kau tiba-tiba menangis didepan pintu rumahku sambil membawa koper, membuat Mom dan Dad kebingungan. Mereka pasti masih takut menanyai alasanmu juga. Kau tahu, kita sudah seperti saudara kandung, ceritalah Isabelle."

"Aku tahu, tapi aku belum sanggup menceritakannya padamu," Aku mendesah lelah. "Aku pasti akan cerita padamu nanti." Dalam pikiranku, sebenarnya aku bisa menebak kenapa Mom tidak memaksaku pulang. Kejadian menjelang malam natal tahun lalu masih terasa baru, walaupun ini sudah awal februari. Mom pasti merasa bersalah karena ucapan yang berusaha ia sangkal, namun ia tahu kalau itulah yang dirasakannya.

"Baiklah, awas kalau kau cerita ke Mom duluan," ancam Lizzie.

"Jadi, ganti topik?" Aku menatapnya dengan senyum memohon.

Lizzie tidak mendesakku lagi, pembicaraan kami mulai mengalir membicarakan hal-hal di sekolah. Lizzie bercerita tentang Bernard, Bernard, dan... Bernard. Sementara aku menanyakan beberapa siswa yang tadi sekelas denganku. Lizzie seperti buku daftar siswa, ia mengetahui hampir semua orang yang kutanyakan.

"Liz, aku penasaran tentang Will. Seperti apa ia dikenal di sekolah?" Pernyataan itu tiba-tiba terbersit dibenakku. Aku harus mengenal lawanku kalau tidak ingin tertindas olehnya. Belum lagi setiap senin pagi aku harus duduk disebelahnya, karena Mr.Trevor melarang berganti tempat duduk.

"Will?" Alis Lizzie terangkat heran, seolah tak menduga pertanyaanku. "Hmm bagaimana mendeskripsikannya. Para cewek menganggapnya sebagai gebetan abadi."

"Gebetan abadi?" Aku mengangkat alis.

"Artinya tidak ada kesempatan untuk menjadi pacarnya. Kau tahu lah, Will terkesan eksklusif. Ia hanya mengobrol dengan orang yang dikenalnya, cuek. Cewek-cewek mengidolakannya seperti aktor. Mengagumkan tapi tak tersentuh. Hanya bisa dipandang dari jauh. Aku juga pernah ngefans padanya," Lizzie mengakui, tersenyum malu. "Karena itu banyak yang mengharapkan sekelas dengan Will di kelas Mr.Trevor agar bisa sebangku." Ia melanjutkan sambil terkikik.

"Aku sebangku dengannnya," cetusku, spontan.

"Benarkah? Will mengajakmu ngobrol?" Lizzie menatapku penasaran.

"Yah, hanya bicara yang bersifat basa-basi. Lagipula dia kan sudah mengenalku." Aku tidak akan bercerita pada Lizzie tentang pembicaraan aneh kami.

"Ah iya,ia sudah mengenalmu," jawabnya sambil memanggut.

"Aku penasaran, apa Will pernah membully murid lain?" tanyaku.

"Tentu saja tidak. Hanya ucapannya memang terdengar tega dan auranya sedikit mengintimidasi, tidak lebih." Rautnya tampak seolah aku menanyakan hal yang aneh. Dalam hati aku sedikit lega.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro