Part 11: Where I Belong

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bel yang menandakan waktunya istirahat selalu menjadi suara paling indah bagi para murid. "Kau ikut kami ke kantin?" tanya Gabby teman sekelompokku, ia menunggu dengan beberapa teman sekelasku yang lain.

"Kalian duluan saja nggak apa, aku menunggu sepupuku," kataku tersenyum, masih menata sisa-sisa botol kimia yang ada di meja.

"Baiklah kalau begitu, bye Isabelle," balas Gabby.

Tak berapa lama kemudian, Lizzie melenggang masuk sambil menyapa beberapa teman sekelasku yang dikenalnya. Aku segera mengambil tasku menyusulnya.

Begitu aku sampai di kantin, antriannya sudah lumayan panjang. Aku menyadari murid di sekolah ini banyak sekali, begitu juga dengan jurusan-jurusannya. Tidak hanya bidang science dan social, Riverdale High memfasilitasi untuk jurusan art, bahasa dan sebagainya.

Lizzie tentu saja memanduku ke satu meja yang ada Bernard-nya. Saat aku meletakkan nampanku diatas meja, Kyle, Bernard, dan Will sudah disitu. Mereka terlihat berbincang seru tentang sesuatu. Harus kuakui makanan disini terlihat lezat-lezat, mereka benar-benar mencukupi gizi para murid. Aku baru menyadari mungkin sebagian besar siswa yang bersekolah disini adalah anak pengusaha terkenal atau yang benar-benar berprestasi.

"Hai Isabelle, nice to meet you. Kurasa ini baru pertama kali kita berbicara langsung," Bernard, pacar Lizzie, ia tersenyum lebar kearahku saat aku duduk. Dibanding Will dan Kyle disebelahnya yang terlihat seperti model brand berkelas, Bernard terlihat lebih seperti model yang akan dipakai oleh brand pakaian olahraga.

"Nice to meet you too, Bernard. Kurasa kita sudah saling mengenal lewat cerita-cerita Lizzie," kataku membalas senyumnya.

"Tentu saja, Natasha suka sekali bercerita. Tapi aku tidak pernah bosan mendengar suaranya," kata Bernard, dilanjutkan mengedip kearah Lizzie. Mereka berdua jelas-jelas terlihat seperti pasangan baru yang masih mabuk cinta. Satu hal yang membuatku sedikit lega dari Bernard, ia tidak terlihat se-playboy Kyle. Matanya yang menatap sepupuku terlihat tulus.

"Mulai lagi," kata Will sambil mendengus. Ia langsung berpaling dari Bernard dan menatap makanannya.

"Enaknya punya pacar," sahut Kyle, menatap mereka bergantian dengan pandangan sedih.

"Carmen tampaknya masih menyukaimu," Will menanggapi, sambil mengaduk makanannnya.

"Tidak, aku dan Carmen sudah berakhir. Yang sudah berlalu biarkan berlalu," kata Kyle, rautnya terlihat begitu santai.

"Inilah masalahmu Kyle. Kau harus lebih serius," kataku.

"Ok, aku akan mencobanya. Kau bisa melihat perubahanku saat kita pacaran. Bagaimana?" ia tersenyum jahil kearahku. Aku menyadari Will menoleh ke arah kami sambil mengangkat alis. Rasanya aku ingin menabok Kyle dengan nampanku. Untung saja seorang pemuda tiba-tiba menyamperi mejaku, menyapa mereka.

"Nick. Kukira kau tenggelam dibalik partitur musikmu," kata Will, menyambut satu lagi anggota gengnya.

"Sorry guys," pemuda berstyle geek tanpa kacamata itu tertawa. Aku terpana dengan pembawaanya yang terlihat tenang dan terkesan gentleman.

"Hei Nick! kenalkan ini sepupuku," kata Lizzie memundurkan tubuhnya agar ia bisa menatapku.

"Hai, kau pasti Isabelle Cleveland? Aku Nico Deveron, kau bisa memanggilku Nick," ia berkata sambil menjabat tanganku. Aku mengangguk tersenyum, terhanyut oleh auranya yang menenangkan. Ia tampan meskipun tidak serupawan Will dan Kyle. Perawakannya terlihat lebih kurus dibalik sweater berwarna coklat itu.

"Bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku.

"Aku mendengar banyak gossip yang menyebutkan namamu," Ia meringis.

"Oh iya, mungkin Isabelle akan bergabung denganmu di club orchestra. Ia bisa bermain harpa," kata Lizzie.

"Benarkah? dengan senang hati aku akan menyambutmu. Tidak ada yang memainkan harpa selama bertahun-tahun. Jarang yang bisa," Matanya melebar semangat. Aku menyikut Lizzie yang sembarangan mengusulkan, tapi ia mengabaikanku.

"Aku sedang memikirkannya," kataku. Satu-satunya alasan yang mungkin membuatku bergabung adalah karena Nick dengan aura gentlemen nya.

"Tidak apa. Kau bisa langsung memberitahuku kalau sudah memutuskan," katanya tersenyum sabar. Tak lama kemudian ia pamit karena harus mempersiapkan rehearsal, ditanggapi oleh protes dari teman-temannya.

"Apa posisinya di club orchestra?" tanyaku sumringah, begitu Nico tak terlihat lagi. Akhirnya ada teman Lizzie yang tampak menjanjikan.

"Dia pianist. Andalan sekolah ini. Sampai-sampai tidak memiliki waktu lagi untuk berkumpul dengan teman-temannya," jawab Bernard. Pantas saja jari-jarinya terlihat panjang dan ramping. Senyumku melebar dan bertanya lagi,

"Dia sudah punya pacar?" Aku yakin mendengar Will batuk-batuk dan Kyle hampir tersedak. Bernard memandang kedua temannya itu dengan heran.

"Dia pacar Jessa," sahut Lizzie tak bersalah, sambil menyuap makanan ke mulutnya. Tidak menyadari perubahan raut wajahku seiring harapanku lenyap. Beginilah yang sering terjadi. Orang yang kuincar selalu tidak tepat.

"Ternyata itu tipe yang kau maksud," kata Will menelengkan kepalanya, menatap ke arahku.

"Tipe seperti itu bisa menenangkan trust issue ku," kataku sambil mengangkat salah satu sudut bibirku.

"Dengar itu Kyle," kata Will, nyengir kearah Kyle.

"Ok, aku menyerah," kata Kyle berlagak mengangkat kedua tangannya. "Aku tidak bisa menyombong kalau aku akan setia, sayang sekali," lanjutnya sambil tersenyum masam. Aku tak kuat menahan rasa geliku.

Saat kami semua mulai berkonsentrasi menyantap makanan, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin luas yang masih asing bagiku. Ketika kembali menatap orang-orang yang duduk semeja dengan ku, aku menyadari mejaku mungkin dianggap 'meja anak-anak populer Riverdale High'. Will dengan segala reputasinya. Kyle, Student Council President. Lizzie anggota club Cheers. Aku sendiri. Dan Lizzie sudah bercerita kalau Bernard adalah kapten club basket. Belum lagi Nick, yang juga teman dekat mereka.

Sebenarnya ketika sudah mengenal mereka semua, tidak ada yang berbeda. Mereka hanya sekumpulan orang yang memiliki peran dan kesibukan sendiri. Semua orang mengenal mereka tapi belum tentu memiliki kesempatan berteman dengan mereka, kurasa karena itulah kebanyakan orang menganggap mereka eksklusif. Mungkin, kecuali Will yang memang terlihat eksklusif. Aku harus banyak bergaul jika tidak ingin dicap sombong, batinku.

"Dimana Jessa? Biasanya dia bersamamu," tanya Kyle pada Lizzie. Ah iya aku hampir melupakan si Ace club Cheerleaders.

"Entahlah, ia tampak selalu sibuk saat aku menemuinya," kata Lizzie mengerutkan kening.

"Untung saja Nick terlihat sabar. Aku tidak akan tahan seharian tidak bertemu denganmu," kata Bernard pada Lizzie.

"Please...," aku dan Will berkata hampir bebarengan. Bernard terkekeh.

Belum sempat aku menyuap makananku, aku menyadari seseorang berdiri di sampingku.

"Nona Isabelle, Mrs. Cleveland ingin bertemu dengan anda." Aku mengenali suara Ms.Paige. Tubuhku menegang diserbu perasaan tidak enak. Nafsu makanku langsung lenyap seketika. Aku mendongak mendapati raut wajah yang hampir tidak pernah berubah.

"Tolong ikuti saya," Ms Paige berkata lagi saat aku enggan beranjak. Aku menyadari suasana kantin terasa lebih sunyi. Mereka semua memperhatikan, batinku. Kalau aku menolak-yang pasti diikuti perdebatan antara aku dan Ms.Paige, besok pasti akan beredar gossip tentang hal ini. Aku menyadari posisiku sekarang sangat rentan gossip.

"Ok." Akhirnya aku menurut, tidak ingin membuat kegaduhan baru. Aku mengekor dibelakang Ms.Paige, melewati koridor-koridor yang untungnya lumayan sepi karena waktu istirahat. Ia berhenti di sebuah pintu ganda. Aku membaca keterangan ruangan itu. Headmaster Office. Ms.Paige mengetuk pintunya. Terdengar suara laki-laki paruh baya dari dalam, mempersilahkan masuk.

Ms.Paige membukakan pintu untukku, memperlihatkan ruang tamu simple yang terlihat nyaman dan cukup mewah. Begitu aku melangkah masuk aku langsung melihat Mom yang duduk di salah satu kursi berlengan.

"Saya akan memberi anda privasi, Mrs.Cleveland," kata laki-laki paruh baya tadi-kepala sekolah Riverdale High. Mom mengangguk.

"Sir," sapaku sopan, pada sang kepala sekolah, walaupun aku bahkan tidak tahu namanya. Ia tersenyum ramah kearahku, kemudian meninggalakan kami berdua di ruang tamu elegan ini sementara ia menuju kantor privatenya dan menutup pintu tebal diantara kedua ruangan, memastikan tidak bisa mendengar percakapan kami.

Selama beberapa detik tidak ada yang bersuara. Kemudian Mom yang memulai duluan.

"Isabelle," Mom memulai sambil menatapku. Aku bisa melihat, Mom membutuhkan perjuangan untuk berbicara denganku. aku masih diam saja. "Kalau kau akhirnya memutuskan tidak akan kembali ke London, kumohon pulanglah ke rumah."

Aku masih berdiri didepan Mom, dengan meja pendek sebagai penghalang diantara kami. Melihat Mom, langsung membawa kembali ingatan dua bulan yang lalu, beserta semua perasaan yang sudah berusaha kupendam. Akhirnya semuanya mendesak kepermukaan lagi, membuka kembali retakan lama yang tertimbun dibawahnya.

"Kenapa aku harus kembali ke tempat yang bukan rumahku?" tanyaku, tak kuat lagi menahan air mata yang sudah menggenang. Setetes air mata menuruni pipiku.

"Apa maksudmu?" tanya Mom shock.

First Author note:
Hi Readers! ^o^ Thank you for reading my first story. Please kindly follow and vote ya. Silahkan kalau mau comment", Feel free~

Today I give you double update, enjoy! :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro