Part 9: Something You Shouldn't Know

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa kau tidak menggunakan nama keluargamu?" tanyaku pada Kyle, sambil berusaha mengalihkan perhatian dari bebagai pandangan-pandangan yang diarahkan padaku. Selama berjalan menuju school office aku sudah menemui berbagai tatapan mulai dari penasaran, curiga, tidak suka, dan lainnya.

"Aku sudah berhenti menggunakannya bertahun-tahun lalu karena alasan tertentu," jawab Kyle santai, namun aku menyadari ia tidak benar-benar menjawab kenapa.

"Mmm," aku hanya bergumam menanggapi, tak bertanya lebih jauh.

"Kau pasti akan terpesona denganku jika tahu," ia mengulas senyum andalannya lagi. Aku hanya memutar bola mata. "Kau sekolah dimana sebelum pindah kemari? Kenapa kau pindah saat akan menginjak Senior Year?" Ia bertanya penasaran.

"London," jawabku. Kyle menatapku sambil menaikkan alisnya bertanya-tanya. "Well, aku terpaksa kembali ke America karena....masalah keluarga." Ia tampak mengerti untuk tidak mengungkit lebih jauh.

"Keluarga. Akan sepi tanpa masalah," katanya. Aku hanya tersenyum. Sendainya hanya masalah biasa, seperti yang dimaksudkan Kyle. "Is it nice there? London?" Ia mengalihkan topik pembicaraan.

"Tentu saja, tempat yang indah. Terasa Classic. Aku mulai menikmatinya saat terpaksa kembali kemari," Aku tertawa sedih.

"Aku berharap suatu saat bisa tinggal di London. Mungkin berkarir disana? Entahlah," ia mengangkat bahu. "Lebih menyenangkan bila kau yang menjadi pemanduku disana—"

"Greyson Kyle!" Tiba-tiba seorang gadis berambut brown burgundy gelap dengan panjang menyentuh lengan menghadangku dan Kyle, membuat kami langsung berhenti melangkah. Ia sedikit lebih pendek dariku, rambutnya seperti hasil blow dari salon. Matanya menatap nyalang. Dari sekali lihat, cewek ini mungkin pacar Kyle, atau mantannya. Tamatlah riwayatmu Kyle, batinku sambil mengingat ucapan terakhir Kyle tadi.

"Lama tak berjumpa, Carmen." Tak kusangka ia masih bisa nyengir. Sebuah tangan ramping langsung melayang kearah wajahnya, namun dengan sigap Kyle menghindar di detik-detik terakhir, membuat mataku membelalak. Cewek berambut burgundy itu tampak semakin panas, lalu ia mengalihkan tatapan marahnya padaku dan menatap Kyle lagi.

"Jadi, kau mengabaikanku selama liburan karena pacar barumu ini? Bagaimana bisa kau selingkuh secepat itu!" Oh astaga, harus berapa kali aku menjelaskan aku bukan pacarnya! Aku ingin berteriak, namun aku sadar betapa berbahayanya menyela cewek yang sedang ngamuk.

"Dengar, Carmen, aku tidak pernah bilang kita pacaran. Aku hanya menyetujui untuk kencan beberapa kali, hanya itu," jawab Kyle. "Berhentilah bersikap tidak rasional. Kau adalah Student Council Vice President sekolah ini, dan dia adalah murid baru disini, bukan pacarku," lanjutnya. Untungnya Kyle sadar untuk tidak meneruskan candaannya. Tatapan marah gadis itu—Carmen, mereda.

"Sorry," katanya padaku. Tampaknya ia menyadari perilakunya tidak pantas mengingat dirinya wakil Student Council di sekolah ini, lalu ia pun berlalu sambil melayangkan tatapan menusuk pada Kyle.

"Maafkan drama tadi," Kyle tersenyum minta maaf.

"Sepertinya kejadian seperti itu sudah sering terjadi?" kataku sambil tersenyum masam.

"Yah, begitulah. Jangan terlalu dipikirkan, Carmen gadis yang baik, ia tidak akan melabrakmu," jawabnya.

***

Setelah menerima jadwalku, aku masih sibuk mengisi beberapa dokumen administrasi sementara di latar belakang aku mendengar Kyle berbicara dengan Ms.Abby—guru bagian kesiswaan.

"Aku ingin meminta ijin tidak bisa menghadiri Homecoming tahun ini," kata Kyle.

"Lagi? Ah, tanggalnya bertepatan lagi ya," Ms. Abby menanggapi.

"Yeah. Aku harus keluar kota, mungkin tidak sempat kembali hari itu juga."

"Sayang sekali, banyak cewek yang menanti untuk berdansa denganmu," canda Ms.Abby, membuat Kyle tergelak. "Kau harus memberitahu Carmen untuk mewakilimu di acara Homecoming,"

"Soal itu, aku memohon padamu Ma'am untuk berbicara dengannya. Kau tidak tahu ia hampir menamparku di koridor tadi." Ms.Abby terdengar berdecak menanggapi ucapan Kyle.

Aku menandatangani kolom sign di bagian bawah dokumen dan menyerahkan semua berkasku pada bagian administrasi.

"Kau cantik seperti ibumu, Mrs.Alyson," kata Mrs.Lewis, petugas administrasi sekolah, membuatku terkejut.

"Terima kasih," kataku akhirnya sambil tersenyum. Ternyata semua sama saja, batinku. Aku tahu pasti kalau aku dan Mom sama sekali tidak mirip. Mereka yang mengatakan mirip, sudah pasti hanya basa basi semata.

Saat aku berbalik, hanya tinggal Kyle yang bersadar di meja Ms.Abby, sementara guru beraura keibuan itu sedang beralih ke meja lain.

"Kau sudah selesai? Apa kelas pertamamu?" tanya Kyle.

"Sejarah."

"Sayang sekali, kelasku kimia," Ia tampak kecewa. Dalam hati aku merosot lega. "Kau sudah tahu dimana kelasmu?"

"Mrs.Lewis sudah memberitahuku tadi," jawabku.

"Baiklah, aku harus harus segera menemui Coach dulu," kata Kyle.

"Ok," jawabku. Tak lama setelah Kyle melesat keluar, aku mulai menyusuri koridor dan naik ke lantai 2 sesuai dengan petunjuk yang diberikan Mrs.Lewis.

***

Will meletakkan bukunya diatas meja, ia sengaja memilih kursi di dekat jendela, berjaga-jaga jika bosan ia bisa menatap keluar. Sesekali Will menoleh ke arah manusia-manusia disekitarnya, kadang ia sendiri tidak menyangka akan berkumpul dengan mereka dan bahkan berteman dengan beberapa diantaranya. Kalau tidak demi mencari belati itu, ia tidak akan pernah repot-repot berada diantara mereka. Sudah hampir ratusan tahun ia tidak berkecimpung langsung dengan mereka. Biasanya ia akan menunjuk beberapa demon sebagai wakilnya di dunia manusia. Mereka akan dikenal sebagai pengusaha-pengusaha sukses bahkan sebagai anggota kerajaan di masa lalu. Baru beberapa tahun terakhir ini Will memutuskan untuk berhubungan langsung dengan dunia manusia, dan tak lama kemudian Caleum mulai was-was. Will yakin si Angel petugas Confinium itu akan didesak Caleum untuk membuntutinya. Mungkin dalam beberapa hari si petugas baru kemarin, Leo, bisa saja datang ke sekolah ini juga. Dan Will benci orang yang suka ikut campur urusannya.

Karena itu, akhirnya Will memutuskan untuk drop out dari sini. Sebenarnya Will berada disekolah ini hanya karena perjanjiannya dengan Kyle, ia berencana akan memberitahu Kyle perjanjian itu tetap berlaku meskipun ia keluar. Dan tentu saja Will tetap bertekad menemukan belati itu, ia tidak ingin menunda-nunda lagi. Namun, ia tidak akan berlama-lama di satu tempat agar Caleum tidak bisa mengikuti jejaknya.

"Apa tempat ini masih kosong?" ia mendapati seorang gadis tidak dikenal bertanya dengan malu-malu sambil menunjuk kursi disebelah Will. Inilah yang tidak ia suka dari kelas sejarah. Mr.Trevor selalu menata kelasnya dengan susunan dua bangku digabungkan. Alasannya untuk memudahkan ketika ia memberi tugas yang dikerjakan secara berpartner

"Sayang sekali, sudah penuh," jawab Will sambil melempar tasnya di kursi kosong itu. Tidak mempedulikan si gadis yang menarik nafas terkejut.

"Ehm, aku tidak masalah kalau kau menaruh tasmu di bangku ku," gadis itu berkata lagi membuat raut manis. Will setengah tetawa dan mendengus tak percaya.

"Tidakkah kau mengerti maksudku? Aku tidak mau duduk denganmu," jawab Will, mengubah raut wajah gadis itu menjadi kelam, untungnya dia menyerah. Will tak habis pikir dengan gadis-gadis manusia yang sedang jatuh cinta. Padahal ia sudah bersikap secuek mungkin, namun masih saja ada yang tidak peduli. Kegigihan yang luar biasa dan kadang menyusahkannya. Tidak heran banyak demon yang akhirnya jatuh cinta, lalu menghasilkan keturunan setengah demon yang menyusahkan.

Tak berapa lama kemudian tiba-tiba Will mendapati seseorang memindah tasnya ke atas meja didepannya. Ia langsung menoleh ke arah si pelaku yang berani-beraninya melakukan itu.

"Jangan meletakkan tasmu sembarangan," kata gadis berambut pirang keemasan itu─Isabelle.

"Itu tandanya aku tidak ingin duduk bsersebelahan dengan siapapun," jawab Will sambil bersedekap. "Kau tidak lihat cewek yang kuusir barusan?"

"Aku tahu, karena itulah dia menduduki kursi kosong terakhir selain ini, dan aku tidak ingin duduk dilantai," jawabnya, sambil menghempaskan diri ke kursi di sebelah Will. "Ternyata memang tukang bully," ia mendengar Isabelle bergumam pelan, mengira dirinya tidak bisa dengar. Will hendak membalas perkataanya saat ia menyadari memang tidak ada kursi yang tersisa di kelas ini. Akhirnya ia mendesah pasrah dan mengurungkan protesnya. Paling tidak, gadis ini tidak berencana mencari perhatiannya seperti yang sebelumnya.

"Sepertinya hanya kau yang kukenal di kelas ini," Ia mendengar Isabelle bergumam, sudah melupakan perdebatan tadi.

"Memangnya kau mengharapkan siapa? Pacarmu?" tanya Will sambil menatap kearahnya.

"Pacarku?"matanya melebar menatap Will dengan heran.

"Kyle," kata Will sambil tersenyum miring. Tadi, sepanjang berjalan kemari telinganya menangkap hampir semua gadis di koridor bergossip tentang Kyle yang membawa pacar barunya setelah memutuskan Carmen.

"Demi Tuhan! Dia bukan pacarku," sembur Isabelle, seolah ia sudah menahan kata-kata itu begitu lama. "Ada apa sih dengan kalian?"

"Aku hanya mendengar dari orang-orang," kata Will sambil mengangkat bahu. Isabelle memutar bola matanya.

"Para penggosip, apa yang mereka tahu? Kyle bahkan bukan tipe ku," kata Isabelle, membuat Will menaikkan alis. Tidak banyak gadis yang akan berkata 'Kyle bukan tipenya', hal itu memancing sisi jahilnya.

"Jadi, apa tipemu sepertiku?" Will mencondongkan tubuh kearah Isabelle lalu menopang kepalanya diatas meja untuk menatap lurus ke arah sepasang mata berwarna turquoise yang tampak seperti air laut di siang hari. Isabelle membelalak terkejut ke arahnya. "Aku akan memakluminya kalau itu alasanmu menyusup kedalam penthouseku semalam," lanjut Will lagi, setengah menahan senyum. Selama beberapa detik tak ada yang berkedip diantara mereka. Will hampir yakin gadis itu akan meluluh saat tiba-tiba Isabelle tertawa dan berpaling darinya.

"Dasar cowok, sama saja. Dengar ya, kalau kau ingin mendapat perhatianku dengan cara-cara seperti itu tidak akan mempan. Sampaikan itu pada temanmu juga," kata isabelle, tersenyum menantang. Will tertawa pelan, tak mampu menahannya. Sekarang ia tahu kenapa Kyle tampak penasaran pada gadis ini. Isabelle sama sekali bukan tipe yang gampang jatuh hati. Will mengakui untuk ukuran manusia, gadis ini terlihat cantik, bahkan hampir membuatnya menyangka kalau dia adalah Aurielle. Ia bisa membayangkan mungkin di sekolahnya yang dulu, Isabelle memiliki fans-fans yang mengekor dibelakangnya, membuatnya bersikap sedikit jual mahal. Syukurlah, ia tidak akan membuntuti Will atau menatapnya dengan pandangan aneh yang membuatnya risih.

"Morning, Class!" suara Mr.Trevor membuat Will menyandar kembali di kursinya. Beberapa murid membalas sapaanya. Mr.Tervor tampak ceria seperti biasa. Dia terlihat siap mendongeng lagi, pikir Will. Guru itu menyapukan pandangan keseluruh murid-murid dan berhenti menatap Isabelle.

"Class, pagi ini ada murid baru di kelas kita," katanya bersemangat. Isabelle langsung duduk tegak, tidak menyangka Mr.Trevor menyadarinya. "Isabelle Cleveland! Tidak usah malu jika nanti ada yang ingin kau tanyakan, aku pasti akan menjawab. Dan class, sekedar informasi dia adalah putri Mrs.Alyson Cleveland. Aku harap kalian bisa berhubungan baik sebagai classmate," lanjutnya, membuat Will mendengus. Satu lagi sifat jelek manusia, kebanyakan bermuka dua. Para murid langsung berbisik-bisik memandang Isabelle dengan kagum, sementara Isabelle hanya tersenyum.

"Nice to meet you all. Nice too meet you Mr...?"

"Trevor," jawab guru itu, memasang wajah ramah

"Mr.Trevor," Isabelle tersenyum sopan. Namun, sesuatu dalam senyumnya terlihat dipaksakan. Saat kelas kembali tenang, Mr.Trevor akhirnya memulai kelasnya. Ia mengatakan sesuatu tentang membahas sejarah dunia kuno menyangkut Mesir. Will mendengarkan dengan bosan, ia sudah tahu semua hal yang pernah terjadi di bumi ini. Kadang, yang diketahui manusia sekarang sudah bukan fakta yang benar-benar terjadi di masa itu. Namun, Will tidak peduli tentang apa yang mereka percayai.

"Apa Mr.Trevor selalu mengajar sambil nyengir terus seperti itu? Giginya bisa kering," Isabelle berkata, keningnya mengerut.

"Kau tahu, ia berusaha bersikap baik didepanmu," Will tak bisa menahan sudut bibirnya berkedut menahan senyum. Isabelle mendesah, terlihat lelah.

Kelas semakin sunyi karena beberapa anak sudah hampir tertidur, sementara Will menatap kedepan hanya karena penasaran apa yang diketahui manusia tentang mitos-mitos kuno. Lama-lama Will merasa seolah ada yang memperhatikannya. Ia menoleh kearah Isabelle, mendapati gadis itu tengah menatap lekat-lekat kearahnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Will, ada yang ingin kutanyakan," kata Isabelle, menatap matanya. "Aku tahu mungkin ini terdengar tidak penting tapi aku benar-benar penasaran," lanjutnya lagi.

"Apa?"

"Irismu benar-benar memiliki cincin berwarna merah. Itu asli...?" Rautnya yang penasaran menunggu jawaban.  Will mematung. Seharusnya tidak ada manusia yang bisa melihatnya, bahkan Kyle pun tidak. Will tahu cincin merah itu tanda jiwanya yang terikat oleh kutukan—Lucifer's Curse. Seharusnya semakin kuat seorang Demon, maka tanda-tanda yang menunjukkan kalau ia bukan manusia semakin tidak terlihat. Jadi, mustahil manusia manapun bisa melihat tanda itu. Antara ada sesuatu yang salah pada dirinya atau pada Isabelle. 

Will teringat kembali kejadian kemarin saat Isabelle juga melihat kedua Demon di penthousenya, dan berlagak seolah hal itu biasa saja. Mungkinkah gadis ini bukan manusia? Will menduga, namun langsung menepis hal itu. Jika gadis ini bukan manusia, ia akan merunduk takut begitu melihatnya. Bahkan seorang Half-Demon sekalipun secara naluriah dapat merasakan kalau Will berbahaya, dan tak akan berani menatap matanya langsung.

"Bagaimana kau bisa melihatnya?" Will menatap tajam ke arah Isabelle.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro