Part 8: Falling

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Isabelle! Isabelle! Kembali ke dalam." Mom mengejarku sambil berteriak, namun aku terus berlari tanpa menoleh kembali ke Mansion dibelakangku. Perasaanku berkecamuk antara marah, sedih, kecewa. Aku terus berlari tanpa menyadari suasana disekitarku berganti menjadi dataran batu yang gersang dengan tebing-tebing runcing yang menjulang di kanan kiriku. Aku tidak peduli, satu-satunya yang kupikirkan adalah lari sejauh mungkin agar Mom tidak bisa mengejarku. 

Aku berdengap terkejut saat menyadari tidak ada dataran yang bisa kuinjak lagi di depanku. Dataran diseberang berada sangat jauh, terpisahkan oleh jurang yang tak terlihat dasarnya. Hanya pendar merah samar yang memantul di dinding jurang. Sebuah suara di benakku memberitahu, Tartarus. Aku tidak mengerti bagaimana aku bisa tahu. Detik berikutnya tanah yang kupijak tiba-tiba bergetar, kakiku kehilangan keseimbangan.

Aku terjatuh.

Jantungku terasa berhenti berdetak. Kemudian sesuatu dengan sayap gelap yang besar menyambarku

Deg! Aku tersentak bangun dan langsung terduduk. Jantungku masih berdebar kencang. Apa-apaan mimpi tadi. Tiba-tiba aku merasakan sengatan panas dari kalung yang kupakai, membuatku mengernyit. Sontak aku mengeluarkannya dari balik piyamaku memandang kalung berliontin batu hitam mengkilat. Batu hitamnya terasa hangat, tidak seperti biasanya. Mungkinkah reaksi alamiah batu dan suhu tubuh? Lalu cepat-cepat menepisnya. Ide bodoh dari mana itu, pikirku.

Terdengar suara pintu kamarku terbuka dan Lizzie menongolkan kepalanya.

"Ah, kau sudah bangun rupanya. Ayo sarapan, kita harus berangkat sekitar empat puluh menit lagi," kata Lizzie, sudah terlihat segar.

"Oke," jawabku, sambil merosot turun dari kasur. Lizzie tampak bersemangat sekali memulai semester musim semi ini. Pasti gara-gara pacar barunya. Kadang aku membayangkan mungkin menyenangkan jika ada gebetan atau pacar yang sudah menantimu di sekolah. Seperti angin segar diantara tumpukan rumus yang berjibun. Sayangnya, selama ini cowok yang menyatakan cinta padaku justru bukan cowok yang kuincar. Selalu saja seperti itu.

"Kau ingin selai apa Isabelle?" sambut Auntie Charlene begitu aku memasuki ruang makan. Ia terlihat sibuk memilih botol-botol selai di cabinet. Sementara seorang asisten rumah tangganya sedang memasak bacon yang harum.

"Selai cokelat boleh," jawabku sambil menarik salah satu kursi disamping Lizzie. Uncle Dave yang sudah berpakaian rapi, sedang menyesap kopinya sambil membaca koran, tipikal bapak-bapak dipagi hari. Sesekali Auntie Charlene menghampiri untuk menuang kopi ke cangkir suaminya yang sudah berkurang setengah, lalu Uncle Dave akan mengecup pipi istrinya. Suasana pantry dan ruang makan sederhana tapi nyaman, dengan aroma toast serta bacon memenuhi udara. Pemandangan yang bagiku hanya ada di setting film drama. "Morning, Uncle," sapaku.

"Ah Isabelle, kuharap kau betah tinggal di rumah sederhana kami," kata Uncle Dave, menatapku ramah.

"Tentu saja, Uncle," Aku tersenyum. Jika saja Uncle Dave tahu seperti apa suasana di rumahku dulu, ia pasti akan menyombongkan rumahnya. 

Sebelum aku dipindahkan untuk bersekolah di London pada awal-awal memasuki secondary school, setiap pagi hanya asisten rumah tangga yang sibuk lalu lalang di mansion. Mom sudah sibuk berbicara dengan sekertarisnya─wanita kurus dan tinggi dengan wajah yang tampak seperti siswa yang sedang ujian matematika─Ms. Paige, sambil mengenakan jam, perhiasan, atau memakai blazernya. Biasanya, tak lama setelah aku duduk untuk sarapan, Mom akan berkata 'Isabelle, Mom berangkat dulu. Habiskan sarapanmu, have a nice day.' Seperti rekaman yang terus diulang setiap pagi, lalu ia pun menghilang dari pandangan dengan Ms. Paige yang membuntuti dibelakangnya.

Jika Dad sedang bekerja di luar kota atau luar negeri, maka tinggalah aku sendiri di ruang makan. Namun, bila Dad tidak kemana-mana, ia akan berlama-lama membaca koran sambil menyantap sarapan pelan-pelan, walaupun sudah bersetelan lengkap. Ia akan berkata, 'Tidak ada lady yang makan seperti dikejar-kejar. Santailah, Isabelle.' Sambil tersenyum geli. Aku tahu Dad secara tidak langsung tidak ingin membiarkanku makan sendiri. Sesekali Dad akan bercerita tentang sesuatu, atau aku menceritakan sekolahku, jika aku masih punya sisa waktu sebelum berangkat sekolah. Namun, hal itu tak akan terulang. Aku tidak akan pernah bertemu Dad lagi.

"Hei, kalau kau makan sambil melamun kita akan telat." Seruan Lizzie menyadarkanku, membuatku mengunyah dengan cepat.

"Hmm?" tanpa sadar aku sudah mengiris roti berulang kali hingga menggesek piringnya. Cepat-cepat aku mengejar Lizzie yang sudah hampir menghabiskan sarapannya. Auntie Charlene sudah membantu Uncle Dave mengenakan dasi, menandakan Uncle Dave akan segera berangkat.

Setelah sarapan, aku naik ke kamar dan bersiap-siap, lalu menata rambutku. Sebelum meninggalkan kamar, aku menatap pantulan diriku di cermin dalam balutan jeans muda dan tank top putih dengan blazer katun panjang berwarna nude pastel. Rambut pirang keemasanku tergerai sepunggung dengan loose curl diujung nya. Saat memperhatikan pakaikanku, aku teringat kalungku. Biasanya aku membiarkan kalung itu langsung menyentuh kulitku mengingat betapa berharganya barang tersebut bagiku, namun mengingat insiden tadi pagi akhirnya aku mengeluarkannya dari balik pakaian.

"Isabelle, aku akan menunggumu di mobil." Teriak Lizzie diiringi suara langkah kaki yang menuruni tangga kayu. Astaga, semangat sekali. Aku menyambar tasku, lalu keluar kamar.

"Bye Auntie," kataku saat melesat melewati ruang makan. Mobil sedan Lizzie sudah menunggu didepan rumah

***

Riverdale High. Nama sekolah itu terpatri di tembok pendek disamping pintu gerbang sekolah. Arsitektur sekolah ini campuran antara model gedung classic dengan dinding batu merah bata dan kesan modern dinding-dinding kaca yang menutupi beberapa sisi bangunan serta lantai dasar yang sepenuhnya berdinding kaca.

"Bagaimana kalau kau bertemu Auntie Alyson di sekolah?" tanya Lizzie sambil memarkirkan mobilnya.

"Mom tidak senganggur itu tiba-tiba menginspeksi Riverdale High. Ia terlalu sibuk di kantornya," balasku. Riverdale High sebenarnya berada dibawah Cleveland Group, group bisnis milik orang tuaku. Namun, aku tahu kalau sekolah ini berada langsung dibawah nama Alyson Cleveland─Mom. Jadi singkatnya Mom adalah pemilik Riverdale High dan segala propertinya.

"Aku penasaran bagaimana guru-guru memperlakukanmu," kata Lizzie tiba-tiba, mengulas senyum jahil. "Saat mereka tahu aku keponakan Alyson Cleveland, kepala bagian kesiswaan langsung menwariku untuk masuk club-club yang paling diminati, kau tahulah menjilat. Karena itu aku bisa mendapat kesempatan audisi club cheerleaders, dan aku berpikir, kenapa tidak?" lanjutnya sambil nyengir. Harus kuakui sepupuku satu ini sangat pintar mengambil kesempatan di setiap waktu. Otaknya lihai berpolitik demi keuntungan dirinya sendiri.

"Jadi itu rahasiamu menjadi wakil Ace cheerleades? Lalu kau mem-bully siswa lain karena kau ponakan Alyson Cleveland?" tanyaku sambil melangkah keluar dari mobil.

Lizzie berdecak kesal. "Hei itu hasil usahaku sendiri. Aku memang bersungguh-sungguh masuk tim cheerleades. Kau menghinaku." Ia melirik kearahku, menutup pintu mobilnya. "Dan, anak-anak club cheers tidak semua tukang bully, Isabelle. Setidaknya, tidak disini. Kami benar-benar fokus berkompetisi. Memang, kami sering jadi pusat perhatian di sekolah karena anggotanya cantik sepertiku," lanjutnya, sambil berlagak genit. Aku langsung membuat gerakan seolah ingin muntah. Ok, Lizzie memang cantik, berambut kecokelatan dan memiliki mata berwarna Hazel. Kepribadiannya ramah dan mudah bergaul dengan siapapun, namun bercandanya kadang kelewat pede.

Aku dan Lizzie berjalan melewati halaman parkir yang luas. Sepertinya kami kepagian dilihat dari halaman parkir yang masih lumayan sepi. Lizzie sibuk menyapa orang-orang, sementara aku mengamati sekeliling dan tersenyum saat sesekali Lizzie mengenalkanku. Setidaknya itu membuktikan Lizzie bukan anggota Cheerleaders tukang bully. 

Begitu melewati beberapa pasang pintu kaca yang terbuka, Aku langsung disambut oleh lobby sekolah yang terkesan modern, terang, bersih dan lapang. Ada sebuah tangga yang sangat lebar menuju lantai dua, yang dijadikan spot untuk duduk sekaligus nongkrong oleh para siswa.

"Aku harus kemana untuk mengambil jadwalku?" tanyaku pada Lizzie, sambil memandang kesekitarku. Beberapa dari mereka menatap kearahku, sadar ada wajah baru.

"Oh, aku akan mengantarmu setelah ini. Biarkan aku mencari Bernard dulu."

"Lizzie!"

"Ok, ok, paling tidak kita lewat kantin, kalau Bernard ada, aku akan memberitahunya aku akan mengantarmu ke school office dulu, biar ia tidak mencariku," kata Lizzie memasang wajah memohon.

"Ya Tuhan, apa gunanya ponsel?" aku memutar bola mata. Lizzie hanya meringis. Astaga susahnya anak remaja yang baru jadian ini.

Tapi akhirnya kami berjalan menuju kantin dulu, sesuai kemauan Lizzie. Saat melewati koridor, Lizzie menyapa seseorang yang berpapasan dengan kami.

"Jessa!"

"Oh, hai Nat," balas gadis berambut pirang pucat dengan perawakan seramping Lizzie itu. Sekilas gadis itu tampak sedang tidak fokus.

"Kenapa rautmu begitu?" Rupanya Lizzie juga menyadarinya.

"Tidak, tidak apa," katanya sambil mengulas senyum. "Oh ini sepupumu yang kemarin kau bicarakan?" tanyanya sambil menatap ke arahku dan mengulurkan tangan.

"Yeah," jawab Lizzie. "Jessa adalah Ace club Cheerleaders," kata Lizzie menerangkan padaku.

"Isabelle Cleveland," kataku tersenyum sambil menyambut uluran tangannya.

"Aku Jessa Morgan. Tunggu, Cleveland? By any chance, kau anak Mrs Alyson Cleveland?" Matanya yang berwarna abu-abu terang membesar.

"Yah begitulah. Kau pernah bertemu Mom?" tanyaku, berbasa-basi.

"Well, sekali saat tim kami memenangkan piala," jawab Jessa. Aku mengucapkan 'Wow' tanpa suara. Walaupun gadis itu Ace, ia tampak ramah dan lebih lembut daripada Lizzie yang mudah berbicara dengan siapa saja. Sama sekali tidak terlihat sombong atau suka mem-bully orang yang lebih jelek darinya.

"Dengar tuh, kami benar-benar berkompetisi," Lizzie menyikutku. Aku hanya tersenyum membalas perkataannya.

"Aku pergi dulu, ada yang harus kutemui. Nat, Bernard ada di kantin sedang mencarimu tadi," kata Jessa, lalu melambai ke arah kami.

"Ok, bye Jess," balas Lizzie, senyumnya merekah.

Ternyata, saat kami tiba di kantin, hanya ada segelintir orang disana. Saat aku menyapukan pandangan untuk mencari tampang pacar Lizzie, aku melihat dua orang pemuda yang tampaknya sedang berbicara serius. Aku mengenali keduanya, wajah-wajah yang tidak kuharapkan. Satu berambut ash brown-Will, dan satu lagi berambut cokelat terang-Kyle. Aku tidak menyangka harus bertemu mereka lagi secepat ini. Ugh!

"Itu Kyle dan Will. Dimana Bernard?" Gumam Lizzie, mendekat ke arah dua cowok yang sama sekali tidak menyadari kami.

"─ aku harus drop out jika tidak mau si petugas baru itu menguntitku kemari." Aku mulai bisa mendengar kata-kata Will, saat jarak kami semakin dekat.

"Kalau kau DO, bagaimana dengan perjanjian─?" tanya Kyle, terpotong oleh Lizzie.

"Hei, apa yang kalian bicarakan?"

"Bukan sesuatu yang penting," Kyle menjawab santai, ia duduk membelakangi ku. Sementara Will langsung menatap kearahku. Ia mengenakan T-Shirt body fit warna navy, memperjelas perawakannya nya yang seperti model, terlihat hot kau gila, Isabelle! Akal sehat menamparku.

"Apa kau menyusup lagi ke sekolah ini?" Ia bertanya, senyum mengejek terulas dibibirnya. Tatapan menusuk itu berbinar geli. Kyle berbalik kearahku, tampak penasaran.

Aku berusaha mengendalikan rasa malu atas kejadian kemarin dan berkata, "Sayangnya kali ini kau salah. Tolong jangan membahas kejadian kemarin kalau kau tidak ingin memulai awal yang buruk sebagai teman baru," kataku, berusaha mengulas senyum. Ia hanya tertawa, lalu bangkit berdiri. Saat hendak melangkah pergi, ia berbalik lagi kearahku seakan baru teringat sesuatu. Will menatap kearahku lagi sambil mengulurkan tangan.

"Will Blanford."

"Isabelle Cleveland," kataku seraya menyambut uluran tangannya.

"Cleveland? Ah, kau orang penting rupanya." Ia mengangkat alis, menilai. Hanya sebatas itu. 

Sebenarnya aku berharap ia sedikit tunduk saat mengetahui aku adalah anak pemilik sekolah tempat ia berada sekarang, namun hal itu seolah tidak penting baginya. Harus kuakui, pemuda ini benar-benar tampan. Siapapun yang menatapnya dari dekat akan merasa terpaku. Lekuk wajahnya yang sempurna membuatnya terlihat menawan, belum lagi auranya yang terasa memikat─"Well, inilah yang seharusnya kau lakukan untuk mengenal seseorang, berjabat tangan, bukan mengendap-endap di dalam rumahnya," Will melanjutkan.─namun, ternyata menyebalkan. Ia sepenuhnya mengabaikan kata-kataku tadi. Benar-benar cowok ini! belum sempat aku membalas, ia sudah berbalik.

"See you later," sahutnya pada Lizzie dan Kyle. Ia melenggang keluar kantin dengan cuek, tak mempedulikan cewek-cewek yang berbisik dan memandang kearahnya.

"Yah, itulah Will," kata Lizzie sambil mengangkat bahu. Jika dilihat dari club cheerleaders yang tampak 'jinak', mungkin si Will inilah tukang bully di sekolah. Di setiap komunitas selalu ada yang menduduki posisi sosial tertinggi bukan?

"Senang bertemu denganmu lagi. Kau terlihat lebih cantik seperti ini," Kyle sudah berdiri dihadapanku, ia tersenyum menatapku. Membuatku sadar masih ada si playboy disini. Aku tahu banyak cewek yang akan meleleh melihat tatapan seperti itu. Sayangnya, aku sudah kebal dengan model begini.

"Terima kasih atas pujiannya," kataku, membalas dengan senyum. Jangan harap aku temakan pujianmu, batinku.

"My pleasure," jawabnya.

"Aku benar-benar curiga sekarang. Kalian beneran pacaran kan?" Tanya Lizzie blak-blakkan, bergantian menatap kearahku dan Kyle.

"Terlihat seperti itu kah?" Kyle berlagak semangat. "Aku tidak masalah punya pacar sepertimu," ia memandang kearahku dengan senyum menawannya.

"Jangan mimpi," kataku sambil mendengus, dibalas oleh tawa Kyle.

"Oh ya, tadi Bernard buru-buru menuju lapangan basket. Coach menyuruh tim basket berkumpul. Ia berpesan kau bisa menyusulnya kesana. Sepertinya kelas pertama kalian sama," kata Kyle pada Lizzie.

"Ok, aku akan menyusulnya nanti. Kenapa kau tidak ikut?" tanya Lizzie. Tampaknya Kyle juga anggota tim basket, aku tidak kaget.

"Nanti. Aku harus ke school office dulu."

"Aku juga mau kesana menemani Isabelle mengambil jadwalnya. Dia murid baru jadi jadwalnya tidak di email," Lizzie menjelaskan.

"Kalau begitu biar aku saja yang mengantar," Kyle menatap ke arahku. "Sekalian membawanya keliling sekolah? Kurasa itu tugasku."

"Kenapa harus tugasmu?" Aku mengernyit.  Perasaanku mengatakan Lizzie akan mengkhianatiku.

"Kau benar, Ide bagus! Aku menyerahkan Isabelle padamu." Lizzie berseru senang pada Kyle, seolah aku tidak berkata apa-apa. 

"Teganya kau," kataku tak percaya. Aku ditinggal gara-gara si Bernard pacarnya itu.

"Bye!" kata Lizzie sambil tersenyum minta maaf, lalu langsung melesat keluar kantin.

"Kenapa harus tugasmu mengantarku keliling sekolah?" Tanyaku lagi. Sial, sekarang aku tinggal berdua dengannya. 

"Percayalah, aku tidak sedang menggodamu. Sudah tugasku memperkenalkan sekolah ini pada murid baru." Kyle menatapku sambil menahan tawa.

"Bagaimana bisa?"

"Aku Student Council President di sekolah ini, Isabelle." 

"Apa?" Semburku. Ia tergelak melihat ekspresiku. Aku hampir melongo. Tidak mungkin cowok ini ketua Student Council. Aku jadi bertanya-tanya, berapa banyak anggota Student Council yang sudah dipacarinya. Semua cewek?

"Aku sampai lupa memperkenalkan diri," katanya lagi. "Greyson Kyle. Kau bisa memanggilku Kyle." 

Saat ia menjabat tanganku, aku hanya berkata, "Kau sudah tahu namaku." Ia mengangguk. Aku masih tak percaya kata-katanya tadi.

"Kau tidak sedang mengerjaiku kan?" Tanyaku, memicing curiga. 

Ia tertawa lagi.  "Untuk apa aku berbuat begitu? Aku tidak mau cewek-cewek yang kesal padaku menjulukiku si tampan berotak kosong. Jika aku jadi Student Council President yang notabene bernilai akademik bagus, tidak ada alasan bagi mereka untuk mengolokku," kata Kyle sambil nyengir. Well, dia benar    

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro