30. Turun Tangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 30 Turun Tangan

Daniel mengangguk. Dan beruntung ketegangan tersebut segera terpecahkan oleh kedatatangan Carissa. Dengan nampan berisi teh hangat dan camilan di piring.

“Gyokuro, teh favorit kakek datang.” Carissa meletakkan satu cangkir teh yang masih mengepulkan asap halus di hadapan Arata.

Napas Daniel kembali, menatap sang kakek yang perhatiannya mulai teralih pada Carissa dan teh di meja. Minuman favorit sang kakek untuk menghabiskan waktu santai di malam hari.

Begitu Carissa duduk di sampingnya, pembicaraan pun berubah menjadi lebih ringan. Dan tepat jam sembilan, sang kakek memutuskan untuk pulang. Daniel dan Carissa mengantar Arata ke depan teras, keduanya menunggu mobil sang kakek menghilang dari balik pintu gerbang barulah kembali masuk ke dalam rumah.

“Apa kau akan kembali ke apartemen?” tanya Carissa mengekor di belakang Daniel naik ke lantai dua.

“Bawa barangmu kembali ke kamarmu.”

Mata Carissa melebar. “Apa kau akan bermalam di sini?”

Langkah Daniel terhenti, menatap senyum di wajah Carissa. “Kau pikir aku tak tahu apa yang kau lakukan pada Liora di belakangku?”

Senyum Carissa segera membeku.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan, Carissa. Mencoba mendapatkan perhatian semua orang untuk mengusik posisi Liora.”

“Aku tak tahu apa yang kau katakan, Daniel. Tapi … bukankah memang lebih baik kau tinggal di rumah ini untuk sementara waktu. Kau tahu kakek sedang mengawasi tempat ini. Dia jelas mulai mencium sesuatu yang tak beres dengan pernikahan kita.”

“Kau memainkan peranmu dengan sangat baik, Carissa. Bahkan sejak tiga tahun yang lalu. Kecuali …” Daniel mengulur kalimatnya, tatapannya mengunci kedua mata Carissa sebelum melanjutkan. “Kau memainkan peran ganda.”

Kedua mata Carissa segera melebar. “A-apa maksudmu?”

Daniel mengedikkan bahu sekali. “Jika sekali lagi kau mempermainkan hubunganku dan Liora, jangan kau pikir hanya kakek yang bisa mengendalikanku, Carissa. Kau mengenalku dengan sangat baik, kan?”

Carissa berkedip dengan raut yang membeku. Ya, akan sangat baik jika ia tidak membuat kenekatan Daniel yang berbicara dengannya. Ditambah obsesi Daniel pada Liora, semua itu jelas bukan perpaduan yang tepat untuk membahayakan posisinya sebagai Carissa Lim. “Aku mengerti,” jawabnya pelan.

Daniel berbalik dan langsung ke kamarnya. Mengganti pakaiannya dengan piyama tidur dan memang tak berencana membawa Xiu ke apartemen karena hari yang sudah malam. Sekaligus memberi pelajaran pada Liora.

Ia mengambil ponselnya, berniat menghubungi pengawal yang ia minta untuk mengawasi Liora di apartemen ketika melihat layar ponselnya. Tak hanya notifikasi belasan panggilan dari Liora yang tertampil di layar, tetapi juga 5 panggilan dari James dua jam yang lalu.

Kening Daniel berkerut, sepertinya ada sesuatu. Ia pun menekan tombol panggil kembali. “James, ada apa?”

“Tuan, nyonya mengalami kecelakaan. Sekarang beliau berada di ruang operasi.”

“Apa?!”

***

“Apa yang terjadi?”

“Mobil beliau ditabrak …”

“Bukankah dia di apartemen?!”

James menunduk. “Maafkan saya, Tuan.”

Daniel menggeram, melayangkan satu tinjunya ke hidung James. James kehilangan keseimbangan hanya untuk sesaat, kemudian kembali berdiri tegap di hadapan sang Tuan.

Pintu ruang operasi terbuka dan seorang perawat melangkah keluar. “Keluarga nona Liora?”

Daniel bergegas mendekat. “Saya suaminya.”

“Nona Liora mengalami patah kaki, dokter baru saja selesai mengoperasinya dan pasien sedang dibawa ke ruang pemulihan. Setelah pasien bangun, Anda bisa menemui pasien di ruang perawatan. Sekarang Anda bisa menemui dokter di ruangannya untuk keadaan pasien lebih detail.”

Daniel mengangguk. Mendesah dengan gusar meski satu kelegaan mengaliri tenggorokannya akan keadaan Liora yang sudah tertangani. “Apa kau sudah menyelidikinya?”

James menggeleng. “Saya sudah memeriksa CCTV, tetapi CCTVnya rusak. Dan saya pikir bukan sebuah ketidak sengajaan. Saya akan menyelidikanya lebih dalam.”

Daniel berkerut kening. “Maksudmu ini kesengajaan?”

James mengangguk.

Kerutan di kening Daniel semakin dalam. Tampak berpikir lebih keras.

***

Patah tulang di kaki kiri, luka di kepala dan robekan di lengan kiri yang cukup panjang yang membutuhkan delapan jahitan. Daniel baru selesai bicara dengan dokter dan mendengarkan semua detail luka yang didapatkan oleh Liora. Semua lukanya jelas lebih dari serius. Kesengajaan atau tabrak lari, jelas niatnya untuk mencelakai Liora. Tetapi siapa yang sedang mencoba melukai Liora?

Kakeknya?

Apakah ini peringatan?

“Tuan?” Panggilan dari arah samping memecahkan lamunan Daniel.

“Ada apa?”

“Nyonya sudah bangun dari pingsannya. Tapi …”

“Tapi apa?”

***

Kepalanya terasa berat meski tak ada rasa sakit yang menusuk di sana. Perban yang melilit kepala serta lengan dan kakinya yang digips membuatnya mengingat kejadian terakhir sebelum ia pingsan. Tetapi tak ada apa pun yang bisa diingatnya selain mobilnya yang tiba-tiba ditabrak dari belakang dan menggelapkan semua pandangannya.

Perawat menanyakan beberapa hal dan memeriksa tubuhnya. Yang ia jawab dengan suara keringnya.

“Suami Anda sedang bicara dengan dokter. Setelah selesai beliau akan segera menemui Anda,” ucap perawat itu setelah memperbaiki selimut Liora dan berpamit pergi.

Keningnya berkerut. Daniel?

“Liora?” Suara familiar dari arah pintu mengalihkan lamunannya. Melihat Samuel yang melangkah masuk dengan kecemasan dan penyesalan di wajah. Pria itu menghambur ke arah ranjang pasien, mengamati tubuh Liora dari atas ke bawah dengan kekhawatiran yang begitu besar. “Apa yang terjadi padamu?”

“B-bagaimana kau tahu?”

“Aku menghubungimu. Tapi ada orang asing yang mengangkatnya panggilanku. Dia memegang ponselmu. Mengatakan kau mengalami kecelakaan dan sedang dibawa ke rumah sakit.”

“Ponsel?”

Samuel mengangguk. “Aku langsung ke rumah sakit dan menyuruh orang untuk membawakan ponselmu, juga mengurus mobilmu.”

Mata Liora melebar. “Apa?” Jika Samuel mengurus mobilnya, situasi akan menjadi semakin runyam.

“Tenanglah. Aku sudah mengurus semuanya. Tadi aku bicara dengan perawat di ruang operasi. Tapi sudah ada yang mengurus semuanya, termasuk ruang perawatanmu. Sepertinya anak buah Jerome.” Samuel mengedarkan pandangannya. “Apa Jenna belum datang? Atau sedang keluar.”

“Jenna?” Liora ikut mengedarkan pandangannya.

“Kenapa? Kau ingin aku menghubunginya?” Samuel mengelus lengan Liora yang tidak terluka. Menghela napas panjang setiap kali melihat perban di tubuh wanita itu.

“Aku baik-baik saja.”

“Kau tidak baik-baik saja. Kau tahu itu, Liora.”

“Pulanglah. Jika Jenna melihatmu, dia akan marah padamu.” Liora berusaha mendapatkan alasan yang bagus. Perawat tadi mengatakan Daniel sedang bertemu dengan dokter. Suatu keberuntungan keduanya tidak berpapasan, tetapi sepertinya keberuntungan itu tak akan bertahan lama jika Samuel tetap di tempat ini.

“Ck, kau tahu aku sudah biasa mendengarkan ocehannya. Telingaku sudah kebal.” Samuel mengerlingkan matanya. “Kau butuh sesuatu? Aku akan menunggumu di sini sampai kau sembuh.”

Liora memaksa tersenyum. “Apa Alicia tidak menunggumu?”

“Berhentilah mengkhawatirkan dia.” Samuel menarik kursi ke samping ranjang pasien dan duduk. “Bagaimana semua ini bisa terjadi?”

“Aku tak ingin mengingatnya.”

“Kau harus mempekerjakan sopir. Aku sudah sering mengatakan padamu, kan.”

“Ck. Dan kau yang akan kandidat terbaiknya, begitu?”

Samuel tertawa. “Kau ingin minum?”

Liora menggeleng.

“Kau ingin makan buah?”

Liora menggeleng lagi. Menggigit bibir bagian dalamnya dan sesekali melirik ke arah pintu. Was- was jika sewaktu-waktu Daniel muncul. Benaknya berpikir keras, memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk membuat Samuel pergi.

“Ini sudah hampir tengah malam, Samuel. Pulanglah,” ucapnya meski yakin Samuel akan dengan mudah membalas perintah.

“Aku akan bermalam di sini. Tadi aku sudah memperkenalkan diri sebagai tunanganmu pada para perawat.”

Liora tersentak kaget. Matanya membulat sempurna. “K-kau apa?”

“Kenapa? Kau tak suka.”

“Kau sudah gila, Samuel.”

Samuel terkekeh. Kemudian terbahak. “Kenapa? Kau malu bertunangan denganku?”

“Jangan membuat gosip yang tidak-tidak, Samuel. Atau jangan pernah muncul …”

“Di hadapanmu lagi?”

“Ya,” jawab Liora lirih meski terdengar penuh ketegasan.

“Hanya sekali ini saja.”

Liora mendesah. Toh sudah terlanjur, hanya saja …

Suara pintu yang digeser terbuka mengalihkan keduanya. Daniel berdiri di ambang pintu dengan kemarahan yang berusaha dipendamnya. Tatapan tajamnya langsung menghujam tepat di kedua mata Samuel. “Apa yang kau lakukan di sini?” desisnya.

Samuel bangkit berdiri dan tertawa kecil dengan pertanyaan juga emosi di wajah Daniel yang berlebihan. “Bukankah itu yang seharusnya kutanyakan padamu. Apa yang kau lakukan di sini? Liora sudah tidak bekerja denganmu.” Ada ejekan dalam suaranya. “Kemarin dia sudah mengundurkan diri, kan?”

Wajah Daniel mengeras, menatap tajam ke arah Liora yang juga tak berkutik dengan balasan sialan kalimat Samuel. Bibirnya menipis menahan kata-kata bahwa Liora adalah miliknya. Keduanya jelas tak bisa mengungkapkan tentang pernikahan mereka. Dan semua itu benar-benar membuatnya frustrasi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro