🌷Jatuh Cinta🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Cara mencintaiku sangat sederhana, bertemu dalam mimpi dan enggan menyudahi mimpi untuk terbangun~

****
After the Rain by Galuch Fema


Sengaja update habis Maghrib, takut baper atau emosi, karena tidak mau ibadah puasa yang baca terganggu dengan kehadiran cerita ini. Happy reading dan jangan lupa vote


Adit berjalan sambil menghentakkan kakinya menendang batu-batu kecil di atas tanah. Setidaknya satu masalah selesai. Namun, masalah yang sangat berat mulai bermunculan.

Entah mengapa bersama perempuan itu, jantungnya berdetak lebih cepat. Padahal ia sudah meredam sebisa mungkin tetapi nihil hasilnya.

Ia sudah berjanji tidak untuk jatuh cinta setelah masa lalunya yang kelam. Namun, ia hanyalah makhluk  lemah harus tunduk pada kata keramat tersebut.

"Sekarang lo beda ya?" tanya Anton di sela-sela sedang merapikan baju yang akan dibawa pulang.

"Beda gimana?" tanya balik Adit pada sahabatnya.

"Muka lo cerah, bukan Adit seperti biasanya."

"Ngaco."

"Bener kok, apalagi sejak  deket sama Kiran. Gak gue aja yang merhatiin, temen-temen juga pada kehilangan sosok Adit yang dulu. Cinta emang bener bisa mengubah seseorang ya?" sindir telak Anton.

"Sudah cepetan ayuk pulang!"

Setelah mengurus persyaratan administrasi di puskesmas, Adit melajukan motornya untuk bertemu seseorang. Menyerahkan kepada temannya untuk meneruskannya.

🌷🌷🌷🌷


"Sibuk bener?" tanya Iffah pada sahabatnya yang tengah mengetik sesuatu di layar laptopnya.

"Iya, dong," jawabnya tanpa melepaskan pandangannya pada kata-kata yang sedang ia rangkai.

"Serius kamu ikutan proyek nulis di kampus?"

"Ya iya dong, ini kan juga tugas mata kuliah dan nilai tambahnya jika karya aku lolos nanti bisa terbit. Mana kampus bekerja sama dengan penerbit kece. Siapa juga yang tidak mau karyanya nampang di toko buku favorit," ucap Kiran sambil tersenyum bahagia.

"Tapi jangan jadikan Adit yang jadi objek? Kasihan dia? Kecuali kamu minta izin dulu sama Adit!" perintah Iffah.

Kiran termenung, ada baiknya omongan sahabatnya.

"Bakalan ditolak nanti sama dia," seloroh Kiran.

"Dicoba saja belum," sahut Iffah bersiap-siap pergi.

"Astaghfirullah!" pekik Iffah kaget melihat seseorang tengah memarkir motor dengan suara knalpot yang sangat keras di depan kontrakan.

"Adit!" bisik Iffah dan Kiran lirih.

Laki-laki itu berjalan menuju kedua perempuan yang tengah berbincang di depan teras kecil. Adit hanya menatap bawah ketika berpapasan dengan Iffah.

"Hai?" sapa Kiran gugup setengah mati. Ia buru-buru menutup laptopnya padahal belum di non aktifkan.

"Tolong taruh dalam!" perintah Kiran pada sahabatnya.

Iffah menerima dengan senang hati daripada nantinya akan ada perang di kontrakannya.

"Tumben kemari?" tanya Kiran salah tingkah.

Adit hanya mengangguk sambil menyerahkan kantung kresek warna putih untuk diserahkan pada Kiran.

"Apaan?" tanya Kiran sambil berusaha membuka plastik tersebut.

"Kok kue pancong? Bukan martabak?" elak Kiran merasa kecewa dibuat-buat.

Muka Adit tersentak kaget, ia mengira pemberian dia akan diterima.

"Kamu mau martabak?" tanya Adit sambil berpikir keras.

"Eh, ini saja gak apa-apa."

"Besok ya? Kalau ada uang parkir lebih, aku beli martabak untuk kamu."

"Eh, enggak usah. Ini saja cukup," sahut Kiran berbohong.

"Yakin?"

Kiran mengangguk.

"Besok berangkat kuliah jam berapa?" tanya Adit hati-hati.

"Besok ada mata kuliah pagi. Aku harus berangkat jam tujuh pagi."

Adit kembali mengangguk.

"Emang ada apa?" tanya Kiran penasaran sampai tak sadar gula pasir sudah menempel di bibirnya.

"Enggak ada apa-apa. Ya sudah aku pulang," pamit Adit sambil terus menatap wajah yang mulai mengisi hatinya.

"Kesini cuma ini saja?"tanya Kiran merajuk.

Spontan Adit terkejut.

"Maksudnya apa?  Kamu mau apa ? Nanti aku carikan," jawab Adit bingung.

"Eh, enggak apa-apa. Aku cuma mau foto kopi saja di depan," sahut Kiran salah tingkah.

"Ya sudah, aku temani kamu," tawar Adit dengan hati berbunga-bunga.

"Yakin?"

"Iya."

Dengan gerakan cepat, Kiran langsung membawa setumpuk materi yang lumayan berat untuk segera ia copy.

"Banyak amat?" Adit langsung merebut tumpukan di tangan Kiran agar perempuan itu tidak keberatan.

"Mau foto kopi di mana?"

"Jalan depan saja. Jalan kaki tidak apa-apa kan?"

"Oke."

Adit berjalan berdampingan, jujur ia sangat kaku dengan kondisi seperti ini. Berjalan bersama dengan perempuan yang baru ia kenal beberapa hari ini.

Tiba-tiba teriakan melengking terdengar dari serambi masjid.

"Kiran kalau jalan sama cowok jangan dekat-dekat? Agak jauhan!" pekik seseorang sehingga membuat Kiran terjebak dalam malu. Ia lalu menatap Bang Iqbal yang tengah menahan tawa bersama teman-temannya.

"Astaghfirullah kalau bukan calonnya Iffah sudah aku pukul. Bikin malu saja," gerutu Kiran dengan kesal. Ia menggeser langkahnya menyamping sehingga berjauhan dengan Adit, sekarang tawa gelak laki-laki di seberang semakin menjadi.

"Siapa?"

"Bang Iqbal."

"Yang antar kamu pas motornya mogok?" tanya Iqbal tak percaya.

"Ya. Calonnya temanku tadi di kontrakan," jawab Kiran masih sebal.

Adit hanya manggut-manggut sedangkan Kiran sudah mempercepat langkahnya di depan karena tawa laki-laki di sana terdengar sangat nyaring.


🌷🌷🌷🌷


Keduanya kembali lagi berjalan di trotoar setelah beberapa lembar di tangan Adit semakin banyak.

"Boleh minta sesuatu?" tanya Kiran dengan tiba-tiba.

Adit menatap ke belakang karena ia masih ragu berdampingan dengan perempuan yang memakai penutup kepala. Takut terjadi omongan lagi saat mereka berangkat seperti tadi.

"Apa?" tanya Adit.

"Minta hati bakal aku kasih," sambungnya dalam batin Adit.

"Sudahi acara pertikaian atau berkelahi."

Ucapan Kiran terdengar sangat tegas sehingga Adit menatap tak percaya.

"Aku tidak bisa," jawab Adit sambil membuang tatapannya.

Dia dan adu otot sudah melekat kuat setelah hidupnya berpindah di jalanan. Itu merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan.

"Aku tidak mau ada pertikaian lagi," ucap Kiran sekali lagi.

"Maaf, aku tidak bisa."

"Jangan salahkan aku jika menjauh, karena aku tidak mau berdekatan dengan orang yang suka berantem!" ancam Kiran membuat Adit menganga.

"Mau pilih mana? Hubungan kita tetap lanjut atau jauhi pertikaian?"

Adit mendengkus kesal, pilihan macam apa itu? Dua-duanya tak bisa ia hindari. Pantas saja Anton dan teman-temannya melarang dirinya untuk berdekatan dengan makhluk perempuan karena yang ditakutkan seperti ini.

"Aku tidak bisa," ucap Adit dengan tegas.

"Pilih salah satu?" pekik Kiran dengan suara cempreng.

"Aku tidak bisa kita jauh....." ucap Adit sambil menghentikan ucapannya.

Senyum tersungging di bibir Kiran. Usahanya berhasil karena telah membuat seorang preman tobat.

"Dan aku juga tidak bisa jauh-jauh dari hobi berantem," sambung Adit sehingga senyum Kiran memudar.

"Adit!" pekik Kiran sambil mengejar laki-laki itu yang sudah berlari. Saking kesalnya, Kiran mengejar laki-laki itu sambil memanggil nama Adit. Sayangnya tenaga Kiran tak sampai untuk mengalahkan Adit, maklum laki-laki itu biasa dikejar-kejar musuh atau satpol PP.

Sekarang Kiran hanya bisa duduk di bangku taman sambil meluruskan kedua kakinya yang terasa capek. Dalam hatinya sudah bersumpah jika laki-laki itu nantinya tertangkap.

Tubuh Kiran membeku ketika benda yang terasa amat dingin menempel di pipinya. Ia menengadah ke atas, wajah yang memakai topi itu terlihat sangat jelas, ia bukan preman seperti biasa.

"Kok ditinggal?" tanya Kiran cemberut sambil mengambil botol minuman yang masih ditempelkan di pipinya.

"Beli minum buat kamu," jawab laki-laki itu dengan enteng.

Kiran bernapas lega ketika lembaran itu masih berada di genggaman Adit.

"Jahat kamu!" pekik Kiran sambil meminum untuk mengobati hausnya.

Adit berjongkok di depan Kiran yang sedang duduk, posisi mereka tetap berjauhan.

"Aku memang jahat, urakan, bandel. Kamunya saja yang masih mendekati aku."

Sekarang Kiran yang menjadi salah tingkah.

"Ak-aku cuma mau kamu jangan berantem saja," pinta gadis itu.

"Aku itu hidup di jalanan. Semua resiko sudah aku hadapi. Dari dikejar musuh, berantem, mau ditangkap satpol PP. Aku sudah kenyang itu semua. Hidup di jalanan itu sebuah perjuangan untuk aku."

Kiran menatap laki-laki di depan yang masih berjongkok, wajahnya sangat serius. Hari ini ia banyak informasi tentang laki-laki itu.

"Kamu jangan takut? Aku sudah kebal dengan semuanya. Nih, di perut ada bekas luka tusuk."

Kiran bergidik ngeri.

"Kalau tidak percaya mau lihat?" ledek Adit sambil tersenyum dan hendak membuka kaos yang dikenakan. Mata Kiran melotot dan bersiap-siap untuk menghindar.

Adit hanya tertawa terbahak, ia hanya bercanda karena tak mungkin melakukan hal segila itu. Tawa lepas yang ia keluarkan hanya saat ini saja karena selama ini ia lebih memilih diam dan menyendiri.

"Pulang yuk mau Maghrib," celoteh Kiran dengan nada manja.

"Ya sudah, kamu jalan dulu di depan. Aku di belakang saja!" perintah Adit dan langkah Kiran mulai menapaki trotoar menghirup udara sore yang terasa berbeda saat ini.

"ADIT!!!"

Sebuah suara teriakan melengking memanggil laki-laki bertopi hitam. Adit dan Kiran buru-buru menengok ke arah belakang Adit.

Mata Kiran membulat ketika mendapati seorang perempuan dengan rambut pirang turun dari mobil. Perempuan dengan baju branded melangkah mendekati Adit yang wajahnya sekarang sudah berubah.

"Adit?" panggilannya sekali lagi tetapi tatapan sayu perempuan itu terus memperhatikan Kiran.

"Siapa dia?" tanyanya kembali.

"Bukan urusanmu!" pekik Adit sambil melangkah dan sekarang posisinya sejajar dengan Kiran.

"Dit, tunggu sebentar?"

"Aku tidak ada waktu," jawab Adit sinis.

Kiran semakin tak mengerti hubungan antara Adit dan perempuan itu. Apalagi raut wajah Adit terlihat menyimpan dendam karena matanya yang sudah memerah. Kiran sendiri sempat ketakutan karena melihat perubahan wajah temannya.

"Tinggal bilang dimana kamu sembunyikan Ibu dan selanjutnya aku tidak akan menggangu kamu?" pinta perempuan itu dengan memelas.

"Dia bukan ibu kamu!"

"Aku tahu,  aku ingin bertemu sebentar saja," ucapnya sambil memelas. Tak terasa air mata sudah berlinang.

"Kiran, kita pulang!" perintah Adit dengan tak sadar memegang pergelangan Kiran untuk pergi dari perempuan yang masih menitikkan air matanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro