🌷Rahasia Besar🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Sementara hanya menjadi pengagum dalam diam terlebih dahulu sembari memantaskan diri untuk bersamamu nanti~

Happy reading dan jangan lupa vote

Kiran buru-buru melepaskan pegangan tangan Adit di lengannya. Teriakan di belakang masih terdengar jelas.

"Dit, kasihan cewek itu."

Kiran terus menatap mata di balik topi yang kini merah karena menyimpan emosi yang akan meledak. Jujur saja Kiran sedikit takut menghadapi Adit saat ini.

"Pulang!"

Satu kata saja yang keluar dari bibir Adit, mau tak mau Kiran kembali melangkah memasuki gang yang masuk ke kontrakannya.

Sekarang mereka sudah berdiri di halaman, dengan pelan Kiran mengambil beberapa foto kopian dari tangan Adit dengan hati-hati. Sedangkan Adit menata deru napasnya yang tak beraturan.

"Maaf sudah membentak kamu," sesal laki-laki itu.

"Siapa perempuan itu?"

"Bukan siapa-siapa."

"Tapi dia tadi sempat bertanya tentang keberadaan ibu kamu?"

"Biarkan saja!"

"Adit?"

"Maaf, ada sesuatu yang tak bisa aku ceritakan. Sudah sana masuk, besok pagi aku  antar kamu ke kampus!" perintah Adit sambil menghampiri motornya. Ia buru-buru pergi karena takut menjadi lemah di depan Kiran. Takut membongkar rahasia yang ia simpan dalam-dalam.

"Aku tidak suka sama laki-laki yang menyakiti perempuan," tukas Kiran dengan ketus.

Adit hanya mendengkus sambil berucap, " Aku tidak pernah menyakiti perempuan. Jika kamu tahu kenyataan yang sebenarnya mungkin kamu akan melakukan hal yang sama seperti aku lakukan."

Motor Adit melaju pelan agar suara knalpot tidak terlalu bising mengingat daerah kontrakan Kiran ramai tempat duduk dan terdapat tempat ibadah juga.

Kiran menatap punggung laki-laki itu yang semakin jauh, apa yang sebenarnya Adit selama ini sembunyikan? Siapa perempuan itu sebenarnya? Apa mungkin kekasihnya?


🌷🌷🌷🌷

Suara pintu diketuk dengan keras, biasanya disertai salam tetapi yang ini terdengar suara ketukan pintu saja.

"Ceklek!!!"

Iffah sangat kaget ketika melihat siapa yang datang. Tadinya ia mengira yang datang adalah calon suaminya, namun ternyata bukan.

"Kiran mana?" tanya Adit to the point.

"Sudah berangkat lima menit yang lalu. Tumben hari ini, itu anak berangkat pagi banget. Biasanya juga mepet."

Hati Adit sangat kecewa. Padahal ia sengaja  datang kemari setengah jam dengan waktu yang ia janjikan kemarin.

"Ya sudah," jawab Adit pasrah. Impian untuk bisa mengantarkan Kiran berangkat kuliah sirna sudah. Kiran benar-benar marah pada dirinya.

"Apa aku harus berterus terang kepada Kiran mengenai perempuan sialan itu?"

Adit mengalami pergolakan batin yang sangat hebat. Ia ragu untuk berterus terang kepada Kiran yang notabene bukan siapa-siapanya. Kenal saja hanya baru beberapa hari.

🌷🌷🌷🌷

Kiran bernapas lega karena sudah berada di depan gerbang kampus. Tak sia-sia ia sempat ngebut di jalan agar tidak bertemu dengan Adit. Selama laki-laki itu belum menjelaskan siapa itu perempuan, Kiran lebih baik menghindar, takut menjadi tersangka karena sebagai pihak ketiga.

Baru saja bernapas lega, ia terpaksa mengerem mendadak karena sebuah mobil tiba-tiba langsung berhenti tepat di depan motornya.

Kiran menelan ludah yang terasa pekat karena ia baru sadar jika mobil yang di depan adalah milik Haris. Baru saja mau belok kanan untuk menghindar, sayangnya laki-laki itu tengah berjalan ke arahnya.

Keringat dingin diiringi debaran jantung membuat Kiran semakin ketakutan.

"Hallo sayang?" panggilnya membuat perempuan itu mau muntah. Entah sudah berapa kali ia sampai mual mendengarnya.

"A-ada apa?" tanya Kiran dengan pura-pura tegar tetapi tidak dengan hatinya.

"Siapa laki-laki kemarin yang bersama kamu!"

Suara Haris meninggi, apalagi sekarang ia berdiri sambil memegang motor Kiran bagian depan.

"Laki-laki mana?" tanya Kiran pura-pura tidak tahu. Padahal ia sangat yakin jika yang ditanyakan Haris adalah Adit.

"Jangan pura-pura bodoh. Apa benar dia pacar kamu?" selidik Haris dengan wajah tak tenang.

"I-iya. Adit pacar aku," sahut Kiran ikut berbohong demi keselamatannya. Semoga saja setelah mengetahui hubungannya dengan Adit nantinya Haris tidak akan mengganggu lagi.

"Putuskan dia. Kamu tidak boleh menjadi milik laki-laki lain kecuali aku!" gertak Haris sambil menyeringai. Apalagi cengkeraman di stang motor Kiran terasa sangat kuat sehingga bulu kuduk Kiran berdiri. Mana suasana kampus masih sepi karena dirinya berangkat terlalu pagi.

"Sayangnya tidak, karena Kiran adalah milik aku!"

Haris dan Kiran menatap suara yang tiba-tiba dari belakang. Ada rasa bahagia ketika Kiran melihat sosok Adit tengah berdiri di belakang motornya. Namun, rasa malu tiba-tiba hadir ketika baru menyadari omongannya tadi, semoga saja Adit tak mendengar apa yang ia ucapkan.

"Kamu lagi!" pekik Haris merasa tak terima karena untuk kedua kalinya Adit menggagalkan usahanya mendekati Kiran.

"Awas kamu!" gertak Haris sekali lagi sambil memasuki mobilnya dengan wajah yang sangat kesal.

Setelah kepergian Haris, sekarang tinggal Kiran berdiri mematung seperti tertangkap basah karena melakukan kesalahan.

"Sudah aku bilang, kita berangkat bareng," sahutnya dengan wajah kesal.

"Ak-aku bisa berangkat sendiri kok," ujar Kiran pura-pura biasa tak seperti ada masalah.

"Buktinya kamu di depan laki-laki tadi sudah ketakutan," sanggah Adit sambil geleng-geleng.

"Eh, e—"

"Kiran, dengarkan aku dulu sebentar!" perintah Adit sambil berjalan mendekati Kiran. Sedangkan perempuan itu sangat gugup, posisi Adit sangat dekat dengannya, ia memilih mundur selangkah untuk memberi jarak diantara keduanya.

"Kamu sudah memaksa masuk dalam kehidupan aku. Berarti kamu juga harus terima semua resiko segala sesuatu yang berhubungan dengan aku. Entah itu musuh, teman atau sahabat yang nantinya menikam, tawuran dan lain-lain. Oleh sebab itu, kamu harus menurut sama aku demi keselamatan kamu. Aku tidak ingin kamu luka atau kenapa-napa."

Kiran terbelalak, entah mengapa kalimat terakhir yang Adit ucapkan terasa mengena di lubuk hatinya.

"Ak-aku mau pergi, aku masih marah sama kamu," ucap Kiran merajuk.

"Marah kenapa?" tanya Adit tak paham.

"Perempuan yang kemarin?"

Adit mengusap wajah bagian bawah dengan kasar, ia sendiri bingung mau menjelaskan dari mana agar Kiran paham.

"Nanti saja, aku akan jelaskan jika waktunya sudah tepat."

Kiran mendengkus kesal, ia mengira Adit akan menjelaskan sekarang. Ia lalu duduk di jok motor, tangan Adit hampir saja menyentuh tangan Kiran di setang motor.

"Aku janji akan menjelaskannya," tukas Adit sambil meyakinkan Kiran.

"Dia pacar kamu?" selidik Kiran. Ia tak berani menatap wajah di samping.

"Pacar?"

Sekarang yang terdengar gelak tawa Adit yang semakin keras sehingga Kiran mengernyitkan keningnya karena tak paham.

"Kiran....Kiran. Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Adit dengan tawa yang belum berhenti.

"Ak-aku cuma tidak mau mengganggu hubungan kalian saja," jawab Kiran merasa tak enak hati.

"Dia bukan siapa-siapa aku. Cuma orang lain yang ingin mendapatkan pengakuan di dalam keluarga aku."

"Yakin kamu tidak bohong?"

Kiran belum sepenuhnya percaya.

"Untuk apa aku bohong sama kamu. Apa jangan-jangan kamu cemburu?" tuduh Adit sehingga  wajah Kiran langsung memerah.

"Enggak kok," sahut Kiran sambil menggoyangkan kedua tangannya.

"Cemburu juga gak apa-apa kok? Gratis ini?" sindir Adit sekali lagi.

"Aku mau masuk, kelas mau dimulai."

Kiran terpaksa berbohong, padahal kelas akan dimulai setengah jam lagi. Ia menghidupkan mesin motornya siap melaju.

"Hey, tunggu sebentar!" pekik Adit sambil menahan laju motor.

"Apa lagi?"

Wajah Kiran sudah cemberut.

"Ada sesuatu untuk kamu. Tunggu sebentar!"

Adit berlari menuju motor yang diparkir di belakang, ia mengambil tas hitam yang ia gantungkan di stang motornya.

Kiran hatinya berbunga-bunga, mungkin ini adalah pemberian Adit yang kedua kali setelah kue pancong.

Adit mengambil beberapa lembar di saku tasnya dan menyerahkan pada Kiran. Perempuan itu menerima dengan berat hati, wajahnya tambah kesal.

"Bayar utang yang kemarin."

Kiran mengangguk dengan bibir yang sengaja ia majukan. Adit tersenyum karena bisa membaca pikiran perempuan ini. Ia lalu mengambil sesuatu kembali dan menyerahkan pada Kiran.

Dalam hitungan detik, wajah sudah berubah. Tampak senyum mengembang di bibir merahnya.

"Terima kasih," ucapnya sambil mengayunkan sebatang cokelat pemberian Adit.

"Sudah sana masuk!" perintah Adit yang sudah siap-siap memakai helm.

"Kamu mau kemana?" tanya Kiran curiga. Tumben hari ini itu anak memakai kemeja yang dipasangkan dengan celana kain warna hitam dan topi yang tak pernah lepas dari kepalanya.

"Aku mau kuliah. Hari ini aku ada praktek," sahutnya sambil mengambil ponsel di saku celananya untuk melihat jam di sana.

"KULIAH!!" pekik Kiran tak percaya, bahkan mulutnya menganga karena terkejut.

"Emang preman gak boleh kuliah?"

"Ak-aku kira selama ini kamu juga tukang parkir saja."

"Aku berangkat kuliah kalau praktek saja, males kebanyakan teori. Aku juga punya cita-cita pengin kerja yang bagus jadi kalau kita nanti nikah bisa kasih nafkah kamu sama anak kita," ucap Adit sambil menahan senyum.

"Nikah? Siapa juga yang mau nikah sama kamu. Amit-amit jabang bayi," seloroh Kiran sambil menggoyangkan tangannya.

Adit cukup terkejut juga mendapat balasan seperti itu, ada rasa sakit sendiri di hatinya.

"Jaga omongan kamu, awas kalau nantinya kamu yang ngejar-ngejar aku," sahut Adit pura-pura biasa saja.

Kiran hanya tertawa.

"Sudahlah aku mau masuk. Terima kasih cokelatnya. Adit emang sahabat aku yang paling baik," puji Kiran sambil tersenyum.

"Sahabat huft cuma sebagai sahabat dan tak bisa lebih," gerutu Adit dalam hati.

"Kalau ada yang gangguin kamu, tinggal telepon aku saja. Aku sudah tulis nomor ponsel aku di balik bungkus cokelat itu!" perintah Adit.

"Aduh so sweet banget. Jangan lupa yang rajin kuliahnya biar istri sama anak bisa makan," ledek Kiran sambil menahan senyum.

Adit hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum, lagi-lagi perempuan itu berhasil merobohkan dinding es di hatinya yang sudah lama membeku.

🌷🌷🌷🌷

Di sebuah ruangan yang besar tepatnya di lantai tiga terdapat seorang Ayah tengah memarahi putranya.

"Kenapa kamu tidak bilang sama Ayah jika kamu bertemu dengan Adit!" pekik pria paruh baya sambil berkacak pinggang.

Anak yang merasa dituduh seperti itu tak mau kalah, ia berdiri di depan Ayahnya dengan kedua mata yang memerah karena telah puas minum minuman alkohol.

"Aku juga tidak tahu jika itu Adit," ucapnya sambil sempoyongan.

"Kamu itu tidak seperti kakak perempuan kamu yang tak pernah lelah mencari Ibu."

"DIAM! JANGAN UCAPKAN LAGI KALAU DIA ITU IBU AKU!" ancam anak dengan berani kepada Ayahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro