🌷Rasa itu Memang Ada🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


~ Hujan itu turun bukan jatuh karena yang jatuh itu aku, di hatimu~

****

After the Rain by Galuch Fema

Update gasik soalnya lagi libur dan sibuk sama dua kinder joy. Happy reading dan jangan lupa vote 🌟


1. Aditya ➡️masih remang² ndak jelas 🤭 ( diskotek emang remang²) author alias belum nemu cast yang cucok😁


2. Kirania (Ikutan pake topi biar kaya adit)🤭

🌷🌷🌷🌷

Wajah laki-laki itu memerah karena tak percaya dengan apa yang dilakukan perempuan itu. Selama ini tak ada yang berani mengalihkan topi yang terus melekat di kepalanya. Sahabat dan temannya saja enggan bahkan takut melakukan itu. Namun, Kiran-perempuan yang baru kenal dua hari ini sudah sangat berani pada dirinya.

Dengan gerakan cepat, tangan Adit langsung menyambar topi yang masih berada di tangan perempuan yang masih menganga.

Adit langsung bergegas berdiri dan berjalan cepat meninggalkan Kiran yang masih membisu.

"Adit!" pekik gadis itu baru menyadari jika Adit sudah berjalan jauh di depan.

Laki-laki itu tak mendengar panggilan Kiran, sampai akhirnya perempuan itu berteriak sangat kencang sehingga orang-orang di sekitar langsung melihat ke arah mereka.

"Ada apa?" tanya Adit sambil memutar tubuhnya dengan malas.

"Ak-aku minta maaf. Bukan bermaksud aku melakukan seperti itu. Aku cuma peduli sama luka sehabis berantem."

"Dari pertama aku sudah bilang jika kamu tidak usah peduli sama aku. Dunia kita itu berbeda, jauh. Aku cuma preman, kamu itu kalangan orang pinter. Jadi tidak baik kalau kamu dekat-dekat aku!" pekik Adit dengan sengit.

Mata Kiran berkaca-kaca, ia tidak menyangka jika Adit akan berbicara banyak seperti tadi.

"Oke. Aku minta maaf," sesal Kiran sambil membalikkan badannya menuju motor yang masih terparkir di trotoar depan foto kopi.

Hatinya hancur, rencana yang sudah ia pikirkan masak-masak hancur berantakan. Ia mengembuskan napas untuk menghilangkan beban di dalam dadanya.

Tangan Kiran meraih kunci motor yang ia simpan di dalam tas.

"Tunggu!"

Kiran menatap ke belakang bersamaan dengan angin yang menerpa ujung kerudungnya. Laki-laki bertopi hitam tengah berjalan kearahnya. Senyum tersungging di bibir Kiran, rencana akan kembali berhasil.

"Ada apa?" tanya Kiran lirih.

"Mau pulang?" tanya Adit dengan canggung.

Kiran mengangguk sambil mengernyitkan keningnya. Bukannya dari tadi dirinya bolak-balik di suruh pulang?

"Aku antarkan."

Tangan Adit dengan sisa darah mengering terulur hendak mengambil kunci yang sedang dipegang oleh Kiran.

"Ak-aku bisa pulang sendiri."

Kiran gugup setengah mati, ia tak bisa membayangkan jika harus satu motor dengan laki-laki itu.

"Tenang saja. Aku akan mengantarkan kamu sampai kontrakan," ucap Adit sambil merebut kunci motor Kiran.

Dengan terpaksa, perempuan itu beranjak dari jok motor membiarkan Adit duduk di depan.

"Cepat naik!" perintah Adit kepada Kiran yang masih memilih berdiri.

"Ak-aku-"

"Duduk menyamping saja. Aku masih bisa menjaga jarak kok."

Kiran mengangguk, sepertinya duduk menyamping lebih baik. Ia berdoa dalam hati agar laki-laki ini mengendarai motornya pelan tak seperti biasanya harus ugal-ugalan di jalan raya.

Kiran sangat lega, ia benar-benar menjalankan motornya pelan bahkan sangat pelan. Di ujung gang depan, mereka melihat mobil Haris terparkir di pinggir jalan.

Adit merasa lega, Kiran akan baik-baik saja sampai kontrakan karena tidak akan berurusan kembali dengan Haris.

"Kok berhenti di sini?" tanya Kiran mendapati motornya berhenti di depan warteg.

"Bentar di depan ada Sony."

"SONY!!" panggil Adit kepada laki-laki yang tengah makan di atas bangku kayu.

Laki-laki dengan baju kusut dan basah karena keringat terus menghampiri Adit yang masih di atas motor. Pandangan Sony tidak suka pada Kiran yang tengah menunduk.

"Gimana Anton?" tanya Adit kepada temannya. Sungguh ia menyesal karena menyerahkan Anton pada temannya sedangkan ia malah memilih menyelamatkan perempuan ini.

"Dia terpaksa di opname di puskesmas. Pak Mantri angkat tangan karena Anton pendarahan di bagian kaki."

Adit mendengkus kesal.

"Kapan-kapan kita balas preman yang membuat Anton seperti ini!" pekik Adit dengan geram.

"Jangan, Dit!" pekik Kiran menimpali ucapan Adit sehingga kedua pasang mata laki-laki menatap Kiran. Sony semakin tidak suka dengan perempuan yang dibonceng Adit.

"Gimana biaya berobat Anton?" tanya Sony memelas.

"Nanti kita pikirkan bareng-bareng."

"Terus hari ini setoran buat Bang Joni?" Sony menggaruk tengkuk yang gatal karena keringat.

Adit menyelipkan tangannya pada saku celananya. Ia menyerahkan selembar uang berwarna biru ke arah temannya.

"Bilang sama Bang Joni kalau baru segini dulu, besok kita setor lebih. Uangku sudah habis."

Sony mengangguk tanda paham. Tatapannya lagi-lagi tertuju pada perempuan itu.

"Motor lu?"

"Pakai saja dulu. Aku mau mengantar Kiran ke daerah Masjid depan, setelah itu aku kesini kita ke puskesmas bareng-bareng!"

"Jadi namanya Kiran," ucap Sony dalam hati.

Adit melajukan motornya lagi menuju gang depan. Seorang laki-laki keluar dari warteg sambil mengusap perutnya yang membuncit efek kelaparan sehabis pertarungan dengan preman depan.

"Siapa cewek itu? Pacarnya Adit?"

"Entahlah, aku mengira juga seperti itu."

"Jangan sampai Adit bertekuk lutut karena seorang perempuan. Bisa hancur pertahanan geng kita."

"Betul. Kalau perlu kita singkirkan perempuan itu tetapi jangan sampai Adit tahu."

Kedua laki-laki itu bertos ria. Rencana tidak baik sudah mereka atur untuk menjauhkan Adit bersama Kiran.


🌷🌷🌷🌷

Suasana rawat inap di puskesmas terasa sangat lengang karena kebanyakan pasien memilih untuk opname di rumah sakit. Padahal fasilitas dan pelayanan di puskesmas sekarang lebih baik.

"Gue mau pulang saja," paksa seseorang yang kaki dan wajahnya sudah terpasang perban warna putih.

"Lu masih sakit!" teriak Adit dengan kencang sehingga dua orang perawat yang sedang berjaga melihat kedua orang yang tengah bertikai.

"Uang buat bayar pengobatan di sini. Dari mana kita mendapatkannya?"

"Tenang saja," jawab Adit santai padahal otaknya sungguh pusing bagaimana memperoleh uang untuk pengobatan.

"Sudah istirahat saja. Nurut sama gue!" sambung Adit merebahkan tubuh sahabatnya untuk kembali berisitirahat.

"Oke, gue nurut sama lo tapi sekarang lo juga harus nurut sama gue?"

"Nurut apaan?" tanya Adit bingung.

"Jauhi perempuan itu!" perintah Anton.

Mulut Adit sedikit terbuka efek kaget.

"Gue tidak ada hubungan apa-apa sama Kiran," seloroh Adit sambil pura-pura menatap samping.

"Mata lo gak bisa bohong!" seru Anton tak mau kalah.

"Kita sebatas saling kenal saja, tak lebih."

"Pokoknya jauhi dia!"

"Kenapa?"

"Gue tidak mau lo kembali terpuruk seperti tahun lalu-"

"CUKUP, JANGAN LANJUTKAN LAGI!" pekik Adit dengan wajah yang memerah.

"Gue cuma mau mengingatkan saja."

Keduanya terdiam, lebih-lebih Adit dengan susah payah meredam emosi yang sudah di puncaknya.

"Gue tau lo sudah mulai suka sama dia kan? Sebelum terlanjur, jauhi dia. Gue peduli sama lo, Dit."

Adit hanya bergeming tak membalas ucapan Anton. Untuk masalah hati, ia selalu pasrah karena menghentikan cinta itu datang sangatlah sulit. Lebih gampang menghentikan musuh yang hendak menyakitinya.

"Nanti gue ke sini lagi," pamit Adit berdiri.

"Mau kemana?" tanya Anton penasaran.

"Mau setor dulu sama Bang Joni, takutnya lapak kita diambil paksa gara-gara telat setor," jawabnya berbohong, padahal ia mencari jalan keluar untuk membayar biaya administrasi di puskesmas.

"Uangnya?"
Anton sangat paham sedari tadi sahabatnya membantunya saat dirinya dihajar sama preman sebelah. Otomatis tidak ada pemasukan parkir.

"Tenang saja, gue ada dikit."

Adit berjalan dengan lunglai, bukannya bingung mau kemana ia melangkah pergi melainkan Anton mengorek kembali luka masa lalunya. Padahal, ia sudah mati-matian melupakan kekasihnya. Dan sekarang, harus diingatkan kembali peristiwa itu. Cukup luka di wajahnya ini yang akan menjadi saksi seumur hidup.

🌷🌷🌷🌷

Suatu pagi di tanah pemakaman yang basah, Adit berjongkok sambil membersihkan rumput di atas pemakaman. Dua tahun bukakanlah waktu yang singkat untuk melupakan semuanya.

"Adit?" panggil seseorang mengangetkan lamunannya barusan.

Adit menengadah ke atas melihat seseorang yang sedang tersenyum kepadanya.

"Ka-kamu ngapain di sini?" tanya Adit penasaran.

"Bantuin Bang Iqbal menemani anak-anak untuk ziarah kebetulan besok kan bulan Ramadhan."

Adit pura-pura mengangguk mengerti sambil menutupi nisan agar tak terbaca perempuan itu.

"Makam siapa?"

Benar saja Kiran sangat penasaran, kedua matanya berusaha mencari nama yang tertulis sayang tertutup oleh tubuh laki-laki itu.

"Bukan siapa-siapa," elak Adit sambil menyuruh Kiran untuk berjalan lagi keluar dari pemakaman ini.

"Apa kabar?" tanya Adit kaku. Pertanyaan paling bodoh yang pernah keluar dari mulutnya. Biasanya ia paling cuek terhadap perempuan tidak seperti saat ini. Entah mengapa hatinya yang beku tiba-tiba melunak padahal Anton sudah mengancam dirinya agar tak boleh berdekatan kembali dengan perempuan.

Kiran hanya menahan senyum, baru juga sore kemarin mereka bertemu dan sekarang Adit menanyakan kabar.

"Baik."

"Kenapa ketawa?" tanya Adit bingung.

"Baru juga kemarin sore kita ketemu."

"Eh, iya ya. Mau balik ke TPQ?"

"Iya masih ada acara lagi di sana, kebetulan kuliahku juga libur."

"Oke. Gue tinggal dulu ya?"

"Mau kemana? Gak berantem kan?"

"Enggak."

"Enggak bohong kan?"

Adit memasang wajah kesal kepada Kiran. Entah mengapa perempuan ini suka sekali mengatur masalah pribadinya. Namun, Adit suka, setidaknya ada yang perhatian.

"Enggak. Gue mau cari pinjaman uang," seloroh Adit tidak ada yang ditutup-tutupi agar Kiran percaya.

"Pinjam uang buat apa?"

"Buat tebus biaya administrasi dan pengobatan Anton di puskesmas."

Kiran terdiam, ia kembali ingat percakapan Adit dan Sony masalah biaya pengobatan sahabatnya. Kiran mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar untuk diserahkan pada Adit.

"Gue bisa pinjam sama orang lain," elak Adit merasa tidak enak.

"Gak apa-apa pakai saja."

"Kiran?"

"Ya, pakai saja. Aku masih ada kok buat kebutuhan aku sendiri."

"Nanti secepatnya aku kembalikan."

"Tidak perlu buru-buru. Yang penting temen kamu sembuh."

"Terima kasih."

"Sama-sama. Aku tinggal dulu ya? Kasihan temenku nungguin di depan."

Kiran menunjukkan temannya yang sedang menunggu di pinggir jalan. Adit mengangguk, entah kenapa hatinya berdesir halus ketika perempuan itu pamit untuk pergi.

"Pacaran kok di kuburan?" tanya Iffah dengan kesal karena menunggu Kiran yang lama mengobrol di depan makam sama laki-laki.

"Ih, siapa juga yang pacaran," elak Kiran sambil senyum.

"Lah itu?"

"Dia yang aku ceritakan kemarin," sahut Kiran memberi kode kepada sahabatnya.

"Dia cowok yang nantinya bakal jadi riset ceri-"

"Hussstttt. Jangan kencang-kencang nanti ada yang tahu!" bisik Kiran sambil menutup mulut sahabatnya.

"Parah kamu. Dia kan preman. Jangan bermain api sama orang seperti itu!" pekik Iffah memberi tahu sahabatnya.

Kiran hanya diam, sayang sudah terlanjur seperti ini. Sayang juga untuk disudahi walaupun sebenarnya pasrah saja jika rahasianya nanti terbongkar.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro