🌷Terjebak dalam Rasa🌷

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Seberapa keras membencimu, cinta ini tetap saja ada dalam hati~

****
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading, jangan lupa vote 🌟

Kiran melangkah ke belakang dengan wajah yang sudah pucat pasi, sialnya laki-laki itu semakin mendekati dirinya. Laki-laki sekaligus senior di kampus yang selalu mengejarnya mati-matian bahkan dengan cara apapun.

Ia terus berdoa agar kejadian dirinya dimasukkan dalam mobilnya tak terulang lagi hari ini.

"Ka-kamu mau ngapain!"

Suara Kiran terdengar sangat gugup, bahkan denyut jantungnya sudah berdetak di atas rata-rata.

"Aku cuma kamu menjadi milikku saja. Setelah itu aku tidak akan pernah mengejar kamu lagi."

"Aku tidak mau," tolak Kiran dengan lantang.

"Cuma orang bodoh yang menolak aku," seringai laki-laki tersebut membuat bulu kuduknya berdiri.

Haris, senior yang juga anak pemilik kampus  yang terkenal playboy dengan koleksi cewek hampir tiap fakultas. Sudah berapa kali mengejar Kiran tetapi perempuan itu selalu menolaknya.

"Kamu mau apa? Ponsel? Uang? Atau beasiswa nanti bisa aku ajuin ke pihak kampus?" tawar Haris dengan sifat sombongnya.

"Aku tidak butuh itu!" pekik Kiran.

"Apa aku harus memaksamu juga seperti kejadian waktu lalu?" ancam Haris sambil berusaha memegang tangan Kiran.

Perempuan itu menggeleng ketakutan, sepertinya jalan satu-satunya ia akan berteriak kencang meminta tolong.

"LEPASKAN CEWEK GUE!!!"

Suara lantang datang begitu saja mengagetkan dua orang di pinggir jalan. Keduanya menatap laki-laki bertopi yang mendekat ke arah mereka.

"Adit!" seloroh Haris dengan mata melotot karena hampir tak percaya apa yang ia dengar.

Lebih-lebih untuk Kiran karena sangat syok melihat Adit dengan wajah bengkak dan pipi kanan bersimbah darah.

"A-adit," panggil Kiran dengan khawatir.

"Pergi sana! Jangan ganggu cewek gue!" pekik Adit dengan suara sedikit merendah tetapi tatapan tajam masih tertuju pada sosok Haris.

Laki-laki itu sangat kesal karena laki-laki yang pernah dekat dengan dirinya datang  menggagalkan maksudnya untuk mendekati Kiran.

"AWAS KAMU!" ancam Haris sambil melangkah menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Ia mengemudikan mobilnya dengan menancap gas yang kencang sehingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga.

Sengaja Haris membuka jendela mobil sambil membalas tatapan tajam pada Adit.

"Ka-kamu berdarah," ucap Kiran terbata-bata sambil menunjuk pipi Adit.

Tangan yang berkeringat menyeka pipi dan sekarang darah menempel di jemari laki-laki itu.

"Pakai tisu saja. Kita duduk di sana!" perintah Kiran sambil menunjukkan bangku di pinggir jalan raya. Entah mengapa ucapan Kiran mampu menyihir Adit yang sekarang ikut berjalan di belakang perempuan itu.

Dengan gerakan cepat, tangan Kiran sudah mengambil selembar tisu untuk diserahkan pada laki-laki itu.

Adit menerima dengan ragu, ia tak pernah membersihkan lukanya dengan benda seperti ini. Biasanya di bawa mandi saja, luka itu lama-lama sembuh sendiri.

"Sudah sana pulang!" perintah Adit tanpa memandang wajah di samping. Entah kenapa sekarang suasana menjadi canggung seperti ini. Laki-laki itu merutuki bibirnya karena telah mengucapkan kata seperti tadi saat si sialan itu berusaha memaksa perempuan ini untuk pergi.

"Nan-nanti saja. Biasanya orang itu masih menungguku di depan gang," sahut Kiran sambil membayangkan wajah seniornya.

"Sudah lama dia mengejar kamu?"

Kiran mengangguk dengan kepala tertunduk. Adit bisa membayangkan jika perempuan ini sangat takut terhadap si brengsek tadi.

"Pernah memaksaku untuk pergi, untung saja ada yang menolongku."

Mata Adit memerah, harusnya ia tak membiarkan laki-laki itu pergi sebelum mencicipi bogem mentah darinya.

Kiran mencuri pandang Adit yang tengah menatap jalan raya, ia lalu mengambil tisu lagi.

"Luka kamu."

Untuk kedua kalinya Adit mengambil tisu, sayangnya mata mereka saling bertatapan sehingga buru-buru ia membuang wajahnya menghindari perhatian perempuan di samping.

"Kenapa kamu berantem?" selidik Kiran.

"Bukan urusanmu," jawab Adit kesal.

"Bukankah kamu tadi bilang jika aku cewek kamu? Wajar dong aku melarang kamu berantem."

Wajah Adit langsung memerah bukan karena emosi tetapi menahan malu. Ia merutuki kesalahannya karena telah mengucapkan kata seperti tadi. Adit mengira jika ia tak mendengar apa yang ia ucapkan.

Kiran menahan ketawa karena ia berhasil meledek Adit yang sedang diam membisu karena bingung. Tawa yang ia tahan tak kuasa di bendung sampai akhirnya tertawa terpingkal-pingkal.

"Sory, aku bercanda. Gak usah dimasukin hati. Aku paham ko maksud kamu."

Adit mengembuskan napas lega, ia menyangka jika ucapan tadi adalah beneran.

"Kamu?"

"Perkenalkan namaku Kirania. Panggil saja Kiran," ucap perempuan itu dengan semangat.

"Aku Adit," jawabnya lirih.

"Siapa? Aku tidak dengar?" tanya Kiran sambil pura-pura mendekatkan telinganya.

"Aditya!" pekiknya dengan suara agak keras.

Lagi-lagi Kiran tersenyum, entah mengapa ia suka mengerjai laki-laki di samping yang terlihat sangat kaku.

"Kenapa tadi berantem?" tanya Kiran sekali lagi, tetapi sekarang wajahnya terlihat sangat serius.

"Teman aku dikeroyok."

"Terus kamu gak terima gitu?"

"Anton sahabat aku."

"Kamu mengorbankan keselamatan kamu sendiri untuk menyelamatkan teman kamu?" tanya Kiran dengan suara meninggi.

"Bukan urusan kamu!" bentak Adit.

Kiran sudah mulai terbiasa dengan sikap Adit yang cuek, dingin dan suaranya meninggi jika emosi.

"Aku peduli sama kamu, Dit."

"Tidak perlu sok-sokan peduli sama gue."

"Kan aku pacar kamu," sahut Kiran sambil tersenyum.

"Kiran!"

"Maaf," sahut Kiran mengacungkan dua jarinya tepat di depan wajah laki-laki itu sehingga Adit sontak memundurkan tubuhnya dan buru-buru menarik topinya ke bawah.

"Pulang sana!"

"Nanti saja, aku masih takut."

"Tidak dijemput saja sama pacar kamu?"

"Pacar yang mana?" Kiran bingung setengah mati karena selama ini ia masih jomlo.

"Yang kemarin jemput kamu di halte?"

"Owlaah. Bang Iqbal, dia bukan pacar aku," sahut Kiran menahan senyum.

"Serius?" tanya Adit tak percaya. Gelengan lemah di kepala Kiran membuat hati Adit semakin lega.

"Kita sering ketemu di TPQ. Bulan besok Bang Iqbal akan menikah dengan teman aku sesama guru ngaji di TPQ."

Adit manggut-manggut.

"Kenapa? Cemburu?" kelakar Kiran sehingga membuat Adit wajahnya langsung menegang .

"Ti-tidak," sahutnya dengan gugup. Entah mengapa berdampingan dengan perempuan ini membuat dirinya takut dan canggung. Beda dengan menghadapi musuh-musuhnya barusan, ia tak gentar bahkan ia berdiri di barisan paling depan. Seandainya saja tadi tidak di datangi polisi mungkin pertempuran tadi masih berlanjut.

"Kamu kuliah?" tanya Adit melihat beberapa lembar foto kopi di bangku dekat mereka duduk.

"Iya, ambil sastra."

"Tinggal dimana?"

"Kontrakan dekat masjid seberang SPBU."

"Kamu bukan asli sini?" tanya Adit terkejut.

"Bukan, asli aku Solo. Di sini untuk kuliah saja."

Keduanya kembali terdiam, dalam hati Kiran sedikit lega karena Adit pelan-pelan mau terbuka bahkan komunikasi mereka sekarang sedikit membaik.

"Motor kamu kemana?" tanya Kiran melihat tempat parkir di depan karena ia baru sadar jika motor yang biasa memekikkan telinga tak terlihat.

"Dibawa Sony untuk mengantar Anton ke Pak Mantri."

"Kamu sendiri gak berobat? Bukankah kamu juga luka?" selidik Kiran merasa penasaran. Entah mengapa laki-laki ini menyimpan banyak misteri dan ia tertarik untuk mengetahuinya. Siapa tahu bisa jadi bahan cerita untuk tugas sastra dia.

"Aku tidak apa-apa."

"Tidak apa-apa bagaimana? Luka kamu itu masih berdarah!" pekik Kiran sambil menarik topi tersebut. Wajah Adit kalang kabut mengahadapi topi itu tak lagi menutup kepala terutama wajahnya.

Sedangkan Kiran lebih-lebih terkejut karena baru pernah menatap wajah Adit tanpa sebuah topi yang selalu menghalanginya. Bagi Kiran, wajah Adit tak seperti tukang parkir atau preman yang biasa ia temui.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro