Pertemuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Kedekatan kita seperti pelangi, memiliki warna yang berbeda tetapi terasa indah~

****
After the Rain by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Adit merajuk karena Kiran seperti mempermainkan dirinya. Ia bergegas melangkah dengan perasaan tercabik-cabik.

"Tunggu bentar? Aku kan belum selesai ngomong?"

Kiran mengamati sebagian wajah laki-laki itu yang terlihat berbeda karena tak ada lagi senyum di wajahnya.

"Jangan salah paham dulu? Aku cuma mau tahu siapa kamu? Orang tua  sama rumah kamu? Itu saja? Bukan malah ngomong  perasaan," sindir Kian sehingga wajah Adit kembali lagi memerah. Bukan emosi melainkan malu. Entah mengapa di hadapan Kiran ia tak bisa marah apalagi membenci perempuan itu.

"Untuk apa tanya-tanya tentang orang tua? Mau minta cepat-cepat dilamar gitu? Aku kan belum siap. Kuliah saja berhenti satu tahun? Nanti saja aku kenalkan sama Mamah kalau aku sudah kerja saja."

Adit menahan senyum karena sekarang gantian Kiran yang wajahnya sudah berubah panik.

"Bukan seperti itu tahu!" pekik Kiran sambil menarik topi Adit ke bawah. Laki-laki itu buru-buru merapikan topinya karena dia paling anti berurusan dengan penutup kepalanya.

"Nah maunya kamu apa? Mau ketemu sama Mamah aku sekarang?" tawar Adit sambil menyalakan mesin motornya.

"Aku cuma pengin penjelasan dari kamu bukan ketemu langsung?"

"Sudah ayok cepetan naik!" perintah Adit dan Kiran menuruti saja daripada terus berdebat tidak jelas.

Di perjalanan Kiran memikirkan kembali ucapan laki-laki itu barusan. Bagaimana tidak seorang Adit mengungkapkan perasaan kepada Kiran. Ada rasa tersendiri di hati dia mendapatkan ucapan seperti itu.

"Loh kita mau kemana?" tanya Kiran baru sadar jika motor melaju bukan ke arah jalan pulang.

"Nanti juga kamu tahu," jawab Adit sambil menahan senyum.

"Aku enggak diculik kan?"
Kiran sempat khawatir apalagi motor memasuki gang rumah padat penduduk yang tak pernah ia lewati. Maklum, Kiran  bukan asli sini sehingga ia jarang main ke tempat terpencil seperti sekarang.

"Culik orang kok orang cerewet seperti kamu. Sama preman saja enggak ada takut-takutnya."

Kiran hanya tersenyum, ia jadi teringat kejadian barusan saat berhadapan dengan Anton.

"Cepat turun." perintah Adit kepada Kiran karena motor sudah berhenti di depan sebuah rumah yang sangat sederhana.

"Rumah siapa?" tanya Kiran sambil mengamati halaman rumah dengan daun jambu yang berserakan di depan.

"Rumah Mamah aku," jawab Adit santai. Namun, tidak untuk Kiran yang sudah gugup dan menegang.

"Bercanda ah," elak Kiran berharap laki-laki itu berbohong.

"Beneran ini rumah kontrakan aku sama Mamah."

Tangan Kiran reflek memukul lengan Adit dengan kencang.

"Kenapa kita ke sini?" bisiknya dengan panik, semoga saja suaranya tak terdengar penghuni rumah.

"Tadi katanya mau ketemu sama orang tua aku?"

"Bukan sekarang tahu? Nanti kalau Mamah kamu salah paham gimana?"

"Salah paham gimana?" tanya Adit tak mengerti.

"Nanti kalau Mamah kamu mengira aku pacar atau calon tunangan kamu gimana? Aku kan enggak mau?"

"Bagus dong, aku gak perlu repot-repot menjelaskan," tantang Adit sehingga nyali Kiran menciut. Lagi-lagi Kiran memukul dengan kencang.

"Pulang yuk?"

"Jadi cewek galak amat main pukul-pukul saja. Gimana nanti kalau kita berumah tangga?" Adit terus mengusap lengannya yang sudah dua kali dipukul oleh Kiran. Coba saja yang memukul orang lain mungkin sudah kena pukul balik.

"Sebentar saja."

"Dit, please?"

"Kamu itu lucu, sama Anton, Sony saja berani masa ketemu sama Mamah aku tidak berani."

"Aku takut sama belum siap. Kalau kamu kabulkan permintaan aku nanti aku nurut deh sama kamu," tawar Kiran yang sudah pucat pasi. Adit sendiri merasa khawatir melihat perempuan ini yang sudah ketakutan.

"Tapi janji nurut ya?"

Kiran mengangguk sambil mengacungkan dua jarinya.

"Ya, sudah kita pulang sekarang."
Laki-laki itu mengambil helm untuk dipakaikan lagi.

"Adit? Kamu lagi ngobrol sama siapa?"

Kiran membisu, bagaimana tidak sekarang sudah muncul perempuan paruh baya berdiri di depan pintu.

Kiran dan Adit saling berpandangan satu sama lain.

"Sorry," ucap Adit lirih.

"Teman kamu, Dit? Kenapa tidak suruh masuk ke dalam?"

Perempuan paruh baya tersebut mengamati seseorang yang sedang bersama Adit. Ada kejanggalan tersendiri ketika Adit membawa teman perempuan pulang ke rumah.

Dengan langkah lunglai, Kiran terpaksa berjalan di belakang Adit.

"Mah, teman Adit namanya Kiran," ucap laki-laki itu salah tingkah.

Tidak ada niat sama sekali akan mengajak Kiran datang ke rumah dan mengenalkan pada Mamahnya. Adit takut pelan-pelan Kiran mengetahui tentang masa lalu keluarganya.

"Yakin cuma teman?" ledek Mamah sambil bersalaman dengan Kiran yang lebih suka menunduk.

"Saya cuman teman kok," ucap Kiran memperjelas hubungan mereka. Nyatanya juga mereka cuma teman dan tidak ada hubungan khusus walaupun Adit berterus terang tentang perasaannya.

"Ajak teman kamu masuk!" perintah Mamah.

"Dit, ini di dalam rumah, buka topi kamu? Apa tidak gerah dari tadi pakai topi terus?"

Pelan-pelan Adit membuka topinya, ia sadar jika sepasang mata di samping terus mengamatinya.

"Teman di mana? Kampus?" selidik Mamah bertanya pada Kiran yang sudah merah padam.

"Bukan, saya kuliah di Universitas Jenderal Sudirman. Ambil pendidikan sastra."

Mamah cukup kaget dan syok mendengar ucapan Kiran. Adit buru-buru mendekati Mamah sambil mengusap punggung Mamah.

"Sabar, Mah," bisik Adit namun sampai terdengar ke telinga Kiran.

Sedangkan Kiran memikirkan setiap kata yang barusan ia ucapkan karena sepertinya tidak ada yang salah.

"Mamah pamit ke belakang," ucap perempuan paruh baya yang wajahnya tampak sedih.

"A-apa aku salah mengucapkan sesuatu? Sepertinya Ma—"

"Kamu tidak salah," tukas Adit memberi ketenangan pada Kiran yang sudah hampir mau menangis.

"Kan sudah aku bilang kita enggak kesini?" ucap Kiran menghapus air matanya.

"Hey, kamu kenapa menangis?"

Adit langsung bersimpuh di depan Kiran.

"Oke, kita pergi sekarang. Nanti aku jelaskan di luar, jangan di sini."

Kiran mengangguk sambil ikut berdiri, tak sengaja ia melihat bayangan seseorang di balik korden tipis yang menjadi penghubung ruang tamu dan ruang dalam di rumah ini.

Sekarang mereka sudah di halaman depan rumah, Kiran duduk di atas motor sedangkan Adit memilih duduk di bawah pohon.

"Kenapa Mamah kaget setelah mendengar ucapan aku?"

Adit menghirup napas lega, ia harus memutar otaknya untuk membuka masa kelamnya tanpa harus semuanya untuk diungkap.

"Mamah punya kenangan pahit dengan tempat kuliah kamu."

Kiran hanya melongo, kirain Adit bakal cerita panjang kali lebar dibagi tinggi enggak tahunya cuma satu kalimat saja.

" Udah itu saja?" tanya Kiran penasaran.

"Ya, karena ini terlalu pribadi sekali dan aku juga tidak mau semuanya terungkap."

Kiran mengangguk pasrah. Teka-teki Adit anak orang kaya belum terjawab sudah.

"Aku pulang ya?" pamit Kiran sambil menatap arloji.

"Aku antarkan."

Tangan Adit terjulur meminta kunci motor tetapi Kiran menolak halus.

"Aku pulang sendiri saja," elaknya sambil bersiap-siap.

"Enggak pamitan sama Mamah?"

Kiran terpekur, pertemuan pertama saja sudah seperti tadi. Ia jadi ragu untuk bertemu kembali.

"Memang tidak apa-apa?" tanya Kiran hati-hati.

"Enggak. Ayuk kita ke dalam lagi?"

Dengan jantung yang sudah berdebar kencang, Kiran kembali masuk ke dalam. Di luar dugaan, perempuan itu sedang berdiri di ruang tamu.

"Saya pulang dulu, " pamit Kiran sambil mencium tangan.

Di luar dugaan, tangan perempuan itu mengusap lembut di kepala Kiran.

"Jangan sungkan main lagi ke sini."

Kiran menatap wajah yang sedang tersenyum kepadanya, anggukan lemah mungkin cukup menjawab pertanyaan itu karena sejujurnya Kiran sangat kaget dengan sikap Mamah barusan.

"Tuh kan, Mamah cuma syok saja dengar nama tempat kamu kuliah."

"Alhamdulillah, sedikit lega."

"Akhirnya kita dapat restu juga," ucap Adit sambil meledek.

"Restu apaan?"

"Tunangan dong?"

"Nah kan sudah aku bilang, aku pengin punya cowok polisi."

Lagi-lagi Adit patah hati, untuk apa coba Kiran mengucapkan itu lagi. Musuh Adit yang paling besar Polisi sama Satpol PP.

"Serius?"

Kiran mengangguk dengan semangat.

"Jadi hubungan kita selama ini—"

"Teman," jawab Kiran dengan semangat.

Adit kembali mengangguk pasrah. Suasana semakin canggung.

"Aku pulang."

"Tunggu sebentar!"

Adit merogoh saku tas dan menyerahkan sesuatu untuk Kiran. Mata perempuan itu terbelalak kaget karena sangat senang.

"Terima kasih."

Adit kembali lagi mengangguk sambil berucap, " Hati-hati."

Jika seandainya Kiran tidak mengucapkan laki-laki impiannya mungkin Adit akan mengantarkan sampai kontrakan. Lebih baik seperti ini dulu sambil menata kembali lagi hatinya yang patah.

🌷🌷🌷🌷

Sebuah mobil hitam mengikuti di belakang perempuan yang tengah mengendarai sepeda motornya.

"Yakin itu kak, orangnya?" tanya pengemudi mobil sambil menatap tajam ke arah depan.

"Ya, aku ingat betul motornya. Dia yang kemarin bersama Adit."

"Bukankah itu Kiran?"

"Loh kamu kenal?

"Dia kan kuliah di kampus kita?"

"Serius?"

"Iya, ayok kita tanya dia," ucap laki-laki itu dengan semangat. Kapan lagi ia bisa mendekati perempuan yang sudah lama ia incar.

Kiran terpaksa mengerem mendadak karena tiba-tiba mobil di belakang menyalip dan sekarang parkir seketika di depan motor Kiran. Jantung Kiran sudah berdetak kencang apalagi ia sangat mengenal mobil itu.

Di luar dugaan yang turun, bukan seperti yang ia bayangkan. Ada seorang perempuan yang pernah ia temui saat bersama Adit.

"Ka-kamu?"

Jangan lupa mampir ke Instagram author ya @galuchfema karena nantinya info pre order Novel Unperfect wedding akan diposting di sana. Terima kasih 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro