Bagian 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tidak mungkin. S-Sakura..."

1 hari sebelumnya

"Sakura, kau suka yang ini?" Tanya Sasuke sambil menunjukkan sebuah majalah tentang 'pesta pernikahan'.

"Oh, bagus kok. Yang ini bagaimana?" Sakura menunjuk halaman lain. Mereka terlihat sangat senang membicarakannya. Sangat jarang bisa melihat Sasuke tersenyum lepas. Hari ini mereka akan mengambil satu set pakaian pengatin. Dengan sopir yang menjalani mobil di depan, kedua tangan Sakura dan Sasuke jadi sangat 'bebas'.

Setelah kembali dari perbelanjaan, Sasuke dan Sakura segera pulang ke rumah Sasuke. Sebenarnya Sakura juga sedang ikut beres-beres di sana. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Di layar ponsel itu hanya ada kode. Sakura tak langsung mengangkatnya. Dia mendekat ke arah Sasuke dan berbisik.

"Sasuke-kun, aku ada janji dengan temanku. Aku ingin keluar sebentar." Tanpa berbelit-belit, Sasuke segera mengangguk menyetujui permintaan calon istrinya.

Di tempat yang sepi, seseorang bertopeng sudah menunggunya. Dia memberikan sebuah gulungan kecil pada Sakura, kemudian pergi. Sakura membuka gulungan itu. Mata Sakura membelalak membaca isi gulungan itu.

"A-aku yang harus melakukannya?" Sakura terlihat tertekan sejenak. Dia mengambil ponsel dan menelpon seseorang.

"Halo?"

"H-halo, Sasuke-kun. Aku sedikit tak enak badan. Mungkin aku akan pulang."

"Kau baik-baik saja?"

"Yah, aku rasa begitu."

"Mau kuantar?"

"Tidak perlu, Sasuke-kun. Maaf aku tak bisa membantu."

"Tidak papa. Kau istirahat saja. Besok aku akan menjeputmu."

"Baik. Terima kasih." Kemudian panggilan terputus. Sakura mengantongi gulungan kecil itu. Dia segera pergi dari sana. Tapi tak langsung pulang, melainkan menuju markas Ne. Tak ada penjaga yang menghentikannya karena mereka sudah mengenal Sakura. Dia terus berjalan dan menuju ruang pribadi milik Danzo.

Tok... tok... Sakura mengetuk pintu, dan membukanya setelah mendapat izin. Di sana sudah ada Danzo yang duduk dengan rapi di bantalannya.

"Tuan Danzo, aku..."

"Tenang saja. Aku tahu apa maksudmu. Duduklah." Sakura duduk di depan Danzo. Secangkir teh disiapkan Danzo untuk Sakura.

"Jadi, bisa kau ceritakan lebih pelan?"

"Begini Tuan Danzo. Tentanv misi yang kau berikan..."

"Kau menolak?"

"Tidak--, iya, aku... aku tidak tahu. Hanya saja, ini seperti menusuk dari belakang."

"Kau akan menolak misi ini dan bergabung dengan Akatsuki."

"Apa?"

"Kau tak bisa membohongiku Sakura. Bukankah pemimpin mereka terus mengikutimu?"

"Tapi bukan berarti aku akan bergabung dengan mereka." Sakura berusaha mengelak dengan halus.

"Begini saja. Ne, Akatsuki, dan Konoha. Mana yang lebih berarti bagimu?" Sakura hanya diam. Dia tak tahu harus menjawab apa. "Sulit bukan?"

Sakura sedikit mendongak ke arah Danzo. Danzo hanya menyeruput teh yang jadi bagiannya, kemudian Sakura kembali menunduk.

"Orang tuamu mati sebagai pahlawan. Kau bangga dengan itu. Tapi kenapa rasanya agak kesal ya? Padahal kedua orang tuamu mati. Lalu kenapa yang lain masih hidup? Apa itu yang namanya keadilan? Begitu kan kata hatimu?" Lagi-lagi Sakura hanya bisa diam. Sebenarnya, memang begitu kenyataannya. Sakura memendam dendam pada para shinobi Konoha yang tak bisa menyelamatkan nyawa kedua orang tua Sakura.

"Jika kau memilih Ne, kau bisa menumbangkan Konoha dari bawah. Jika kau memilih Akatsuki, kau bisa mencabut pohon bernama Konoha itu dari atas. Jika kau memilih Konoha itu sendiri, kau takkan pernah bisa balas dendam." Mata Danzo menatap Sakura tajam.

"Tapi, jika kau memilih Ne, kau akan punya banyak keuntungan. Seperti rayap yang memakan kayu dari dalam. Kau bisa membuah Konoha rapuh. Lalu bergerak seolah memberi harapan, dan menghancurkannya dengan sekali pukul. Bagaimana?" Cukup lama bagi Sakura untuk memutuskan. Tapi akhirnya, inilah yang diambil Sakura.

"Aku akan menerima misinya. Maaf sudah meragukan Anda, Tuan Danzo. Permisi." Sakura keluar dari ruangan itu. Di perjalanan, dia terus menghela napas. Karena kurang kerjaan, dan Sakura juga sudah bilang sedang tak enak badan, Sakura memutuskan untuk berdiam diri di tepi sungai.

Sakura mengambil beberapa batu dan melemparnya ke sungai. Riak air sungai itu terlihat indah dengan cahaya temaram milik senja.

"Hhaaaaaaah... kepalaku jadi sakit sungguhan." Sakura mengeluh sendiri di sana. Dia berjongkok dengan wajah disembunyikan di balik kedua tangan yang terlipat di atas lutut.

"Sakura-chan." Panggil seseorang lirih dengan suara beratnya.

"Hm?"

"Sakura-chan. Apa kau sakit?" Tanya orang yang sama.

"Hm. Sedikit." Sakura masih belum mengangkat kepalanya. Dia masih berkelana dengan pikirannya.

"Jadi, kau sudah memutuskan?"

"Memutuskan apa?"

"Pihak mana yang akan kau khianati?" Sakura mendongak keras. Di hadapannya, seorang pria yang wajahnya tak asing bagi Sakura. Mengenakan jubah kebesaran milik Akatsuki.

"Pein?" Sakura terkejut. "A-apa yang kau lakukan di sini?"

"Sakura-chan, apa kau benar-benar akan mengkhianati kami hanya karena dendam pribadi?"

"Apa?"

"Dan kau lebih memilih Danzo yang bahkan tak bisa membuktikan perkataannya." Sakura berdiri mendengar pernyataan Pein.

"Jangan menghina tuan Danzo! Tuan Danzo tidak akan membual!" Bantah Sakura sedikit keras.

"Benarkah? Apa kau lupa ujian yang kau ikuti waktu itu? Membunuh teman sendiri. Apa kau pikir hal seperti itu bisa membuatmu puas?" Sakura kembali bergeming. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan.

"Jika kau bergabung dengan Akatsuki, tidak perlu lagi ada yang terluka. Kami juga tak pernah menyuruh anggota kami untuk melukai satu sama lain. Setelah kejadian waktu itu, aku pikir kita bisa melakukan rencana yang sudah kita buat bersama. Lalu kenapa sekarang kau mengkhianati kami?"

"Bukan begitu, Pein. Aku pikir, ikatan kita hanyalah kebetulan. Lagi pula, waktu itu kita masih kecil. Anak mana pun bisa membuat rencana yang lebih besar dari itu. Maksudku..."

"Nagato sedang sakit."

"Hah?"

"Saat ini, Konan sedang merawatnya. Nagato sangat ingin kita berkumpul lagi seperti dulu." Pein mengatakannya dengan serius. Wajah Sakura semakin pucat mendengar semua penjelasan Pein.

"Tunggu dulu. Aku tidak mengerti. Akatsuki adalah organisasi yang berencana untuk menghancurkan dunia."

"Bukan. Tapi menata ulang dunia. Kami akan membuat ulang dunia ini. Kedua orang tuamu, bahkan bisa hidup." Sakura tahu betul apa yang akan dikatakan Pein. Meski begitu, Sakura masih ragu. Janji manis yang juga ditawarkan Danzo cukup menggiurkan.

"Tapi, jika hanya seperti itu, aku tak bisa balas dendam kan?" Sakura sedikit menunduk hingga setengah wajahnya tak terlihat.

"Dunia bukan hanya tentang dendam, Sakura-chan."

"Lalu apa?!! Kalau bukan tentang dendam, lalu tentang apa?!!" Beberapa tetes air mata mengalir di kedua pipi Sakura. Suaranya juga tersendat-sendat menahan luapan emosi.

"Bukankah kau juga punya dendam atas kematian keluargamu? Kenapa kau pikir dunia ini bukan tentan dendam?!! Dunia ini terbentuk karena dendam, dan akan berakhir juga dengan dendam." Genggaman tangan Sakura sangat keras hingga menumbulkan bunyi samar.

"Sakura-chan...."

"Sakura-chan!!!" Suara khas Naruto tiba-tiba menyela perbincangan Sakura dan Pein. Sakura berhenti menangis dan mengangkat kepalanya. Keberadaan Pein sudah hilang dari pandangan Sakura.

"Sakura-chan!! Apa yang kau lakukan?" Dari atas jembatan, Naruto berteriak sangat kencang. Sakura menoleh dan mengusap air matanya.

"Bukan urusanmu!!" Balas Sakura yang juga berteriak.

"Eh? Apa Sakura-chan menangis?" Tanya Naruto pada diri sendiri dengan lirih.

Setelah kejadian sore tadi, dan Naruto dipanggil oleh guru Kakashi, Sakura segera pergi untuk pulang. Di rumah, Sakura tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kalimat-kalimat ajaib milik Pein dan Danzo terus berputar di kepalanya. Dia terus memikirkannya semalaman hingga tertidur dengan pulas.

~~~

Hai!

Bagi kalian yang sudah mau baca dan tinggalkan jejak sampai sekarang, author sangat berterima kasih *nangis terharu

Sampai jumpa ! :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro