[Mayat Tanpa Nama] - 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rumah Sakit Rancabadak. Sabtu itu Abay datang ke sana untuk konsultasi rutin dengan Profesor Rachmat.

"Pagi, Dok!" sapa Ayah.

"Pagi, Pak Wira. Bagaimana keadaan Bayu? Apa kakinya sudah pulih?"

"Sebenarnya kami ke sini sekaligus periksa kondisi kakinya. Sayangnya hari ini bukan jadwalnya Dokter Jehan."

"Pasiennya Jehan ya. Coba datang lagi hari Selasa. Dia selalu ada di sini setiap hari Selasa-Jum'at."

Ayah duduk di sofa selagi Profesor Rachmat periksa keadaan Abay.

"Apa belakangan ini kau merasa tertekan?"

"Iya."

"Apa halusinasimu sering muncul selama dirawat?'

"Kurasa tidak."

Profesor Rachmat mencatat hasil pemeriksaan dari si pincang itu. Pemeriksaan pun berakhir. Ayah mengantar Abay dari dalam ruangan. Mereka berpapasan dengan Dokter Angga di lorong.

"Abay! Syukurlah. Bisa bantu aku sebentar?"

"Dokter ada perlu apa dengan anak saya?" tanya Ayah.

Dokter Angga mengantar mereka menuju suatu tempat. Sebuah kamar kelas I di Paviliun Kenanga kamar nomor 24. Pasien tanpa nama. Tulisan yang berada di dinding.

"Kenapa dokter ingin aku ke sini?"

Dokter Angga membawa mereka masuk. Seorang pasien wanita terbaring lemah dengan bantuan alat penyangga hidup. Dokter itu juga menambahkan kalau itu pasien Dokter Mirna, salah satu dokter residen Rancabadak.

Hampir dua bulan lamanya pasien koma di rumah sakit. Dokter Mirna menemukannya di tepi jalan tanpa identitas apapun. Dokter Angga pun menambahkan kemungkinan besar wanita itu korban begal atau bahkan pemerkosaan. Terdapat banyak bekas luka di sekujur tubuh termasuk wajahnya. Apa mungkin itu Anita?

"Apa beliau sudah menghubungi polisi untuk mencari tahu identitasnya?" tanya Abay.

"Aku juga kurang tahu. Kudengar dari cerita dokter lain, rumah sakit tidak punya riwayat pemeriksaan atau catatan gigi persis pasien ini. Selama ini, pasien ini dirawat dengan biaya dari Dokter Mirna."

Dokter Angga lalu meminta tolong Abay mencari tahu identitasnya. Ia lalu menyentuh tangan wanita dengan denyut nadi lemah itu.

"Apa kamu lihat sesuatu, Bay?"

"Namanya Anita. Usianya sekitar 26 tahun. Namanya muncul dalam daftar orang hilang kepolisian sekitar dua atau tiga bulan lalu."

Berita mengenai identitas si pasien tanpa nama pun menyebar hingga seluruh rumah sakit. Bahkan pihak rumah sakit pun menghubungi Kepolisian untuk mengabari keluarganya. Keberadaan Abay benar-benar membantu rumah sakit untuk menemukan identitasnya.

Berita itu pula sampai ke telinga Asosiasi Sektor Kopo. Malam itu, Lenny pun menelepon Abay di rumah.

"Aku sudah dengar ceritanya dari Edward. Anak buahnya bercerita kau membantu polisi menemukan orang hilang. Apa kau melanggar wewenang lagi di rumah sakit?"

"Gak, Nyonya. Kebetulan Dokter Angga minta tolong buat bantuin atasannya."

"Kenapa kau bersikeras ingin menangani kasus ini?"

Abay terdiam. Bisa saja ia akan kena omel sang atasan atau potong gaji lagi.

"Bayu, jangan sekali-kali seenaknya menangani kasus tanpa izin. Semua ada aturannya. Paham?"

Abay tidak membalas.

"Jangan terbebani soal itu. Namanya juga masih belajar. Cepatlah sembuh."

Kasus Anita tidak selesai. Meskipun raganya sudah ditemukan, wanita itu masih tak sadarkan diri. Begitulah kabar yang Abay dapatkan dari Dokter Angga sewaktu menyerahkan tugas pengganti di sekolah.

"Terus gimana, Dok?"

"Dokter Mirna masih memantau kondisinya. Jika kondisinya terus memburuk, bisa saja Dokter Mirna akan melepaskan peralatan medis di tubuhnya."

Bel berbunyi nyaring pertanda jam istirahat sudah tiba. Satu persatu murid-murid berhamburan dari luar kelas. Saras saat itu hendak ke kantin bersama Aghnia dan Nadine. Dia lalu menepi sejenak di depan ruang UKS.

"Bay, ngapain ke sekolah? Emang lo udah mendingan?"

"Gue ke sini ngasihin tugas makalah Ekonomi. Ras, besok sibuk gak?"

"Gak. Emang mo ke mana?"

"Rancabadak. Bisa temenin gue ke sana? Kalem aja. Ada Dokter Angga kok."

Sabtu pagi, mereka pergi ke rumah sakit. Mereka sampai di sana sekitar pukul 11 pagi. Saras mendorong kursi roda sampai ke ruang gawat darurat. Mereka berpapasan dengan Dokter Angga yang baru saja datang. Dokter Angga langsung mengantarnya menuju kamar Anita.

Lorong Paviliun Kenanga rumah sakit, kamar nomor 24. Saat itu Dokter Mirna sedang ada di dalam untuk pemeriksaan rutin. Dokter Angga memperkenalkan Abay pada dokter Mirna. Dokter bermata sipit itu tersenyum dengan keadaan mereka.

"Dokter, ini Abay yang saya ceritakan."

"Terima kasih sudah menolong kami. Berkatmu, mungkin pasien ini tidak akan bertemu lagi dengan keluarganya."

Anita masih belum siuman. Seorang wanita paruh baya terus duduk di dalam sana. Itu ibu Anita. Wajahnya kusut sambil menunggu kondisi putirnya yang tak kunjung siuman.

"Dokter. Sampai kapan putri saya akan seperti ini?"

"Ibu berdoa saja semoga ada keajaiban bagi putri Ibu," balas Dokter Mirna.

Wanita tua itu menunduk. Tangan keriputnya masih membelai diri Anita dalam pertolongan alat-alat medis. Jantungnya masih berdetak, itulah yang mesin pacu jantung di sampingnya tampilkan. Dokter Mirna kembali memeriksa kondisi fisik Anita. Seorang perawat di dekatnya mengganti kantung infus yang mulai menipis.

Wanita paruh baya itu menoleh ke arah mereka.

"Kalian siapa? Apa kalian teman-temannya Anita?" tanya wanita tua itu.

"Namaku Bayu. Gadis di sana adalah rekanku, Saras. Kami berdua cenayang Asosiasi."

"Kenapa cenayang seperti kalian mau datang ke sini?"

"Beberapa waktu lalu, aku mengalami kecelakaan yang membuatku harus diopname. Saat itu aku bertemu dengan ... hantu Mbak Anita."

"Mustahil. Anita masih di sini. Anita belum mati!" ucap wanita tua terisak.

Hal itu membuat Dokter Mirna terpaksa mengusir mereka.

"Mohon maaf. Ini permintaan keluarganya."

Mereka duduk di lorong. Bagaimana caranya untuk menyelamatkan nyawa Anita?

"Apa bisa kita narik hantu biar masuk ke badan seseorang?"

"Maksud lo mediumisasi? Masalahnya gini, Bay. Gimana kita bisa tahu itu hantu Teh Anita? Lo lupa kalo siluman juga bisa berubah wujud jadi hantu?"

"Ras, boleh pinjem HP gak? Batre gue low bat."

"Bay. Bay. Kenapa gak nge-charge dulu ato bawa power bank?"

"Lupa, Ras."

Tampilan layar ponsel Saras memperlihatkan gambar sepeda motor di lintasan balap. Keinginan Saras menjadi seorang pembalap masih tidak berubah. Abay mencari tahu soal hantu di internet. Bagaimana cara menolong kondisi Anita yang koma dan memecahkan kasus ini?

"Ras, liat deh! Maksudnya apa?"

Abay menemukan informasi pada sebuah situs mengenai fenomena supranatural. Out-of-body experience. Gadis bongsor itu raih ponselnya.

"Singkatnya kita bisa mengeluarkan roh dari tubuh kita sesuka hati."

"Kok mirip sama pendekar di film silat?"

"Di sini juga dibilang kalo fenomena ini bisa terjadi juga akibat koma atau mati suri. Apa mungkin hantu yang selama ini lo liat itu sebenarnya roh Teh Anita?"

"Mending kita cari hantu Mbak Anita sekarang."

Hari itu Saras mendorong kursi roda menyusuri lorong. Paviliun Aster rumah sakit. Anita tidak berada di sana.

"Bay, rumah sakit ini luas. Gimana caranya buat menyisir seisi rumah sakit?"

"Kita gak perlu sisir semua bagian rumah sakit. Andai saja ada pola atau sesuatu yang berguna untuk menemukan keberadaannya."

Mata Abay mendelik ke arah sebuah denah rumah sakit di dekat pintu masuk. Ia memotret denah dengan kamera ponsel Saras.

"Bay, gue laper. Gimana kalo kita ke kantin dulu aja?"

Abay tidak memesan makanan apapun. Berbeda dengan Saras yang memesan kupat tahu di kantin rumah sakit.

"Bay, lo gak laper?"

"Gak. Sok wé makan dulu."

Abay perbesar foto denah pada layar ponsel. Ia perhatikan setiap bagian denah termasuk letak Paviliun Kenanga. Ia amati kembali legenda di sudut bawah denah rumah sakit.

"Ras, liat sini!"

Abay geser foto denah ke lokasi paviliun Kenanga. "Tubuh Anita berada di sini. Rohnya ada di sekitar sini. Pertanyaannya, apa yang membuat rohnya sering berada di sekitar Paviliun Aster?"

"Seinget gue, hantu gak bakal keliaran di tempat yang sama selama masih ada benda kesayangannya ato penyebab kematiannya. Itu sih selain penunggu yang ada di sana."

Ada delapan paviliun di rumah sakit tersebut. Paviliun Aster merupakan tempat terdekat dari UGD. Paviliun Aster berada dekat dari kamar mayat rumah sakit. Hanya terpisahkan dari instalasi rawat jalan yang berada di seberang UGD. Semua masih berkaitan dalam sebuah lorong panjang. Lorong yang panjang. Abay guratkan ujung jari di atas layar ponsel.

"Ras, gue tahu posisi Anita sekarang."

Anggaplah lorong menuju Paviliun Aster dan Paviliun Kenanga adalah dua himpunan dalam diagram bersemesta rumah sakit. Ketika keduanya saling mengiris, ada sebuah tempat yang tidak berada dalam posisi keduanya.

Taman di seberang paviliun Aster. Taman itu berada di area instalasi rawat jalan. Tidak usah bersusah payah untuk berjalan 'kan? Berbekal penglihatan Saras dan petunjuk dari denah, mereka mencari keberadaan roh Anita.

"Bay. Ada tiga hantu yang muncul di sekitar sini. Satu bapak-bapak pakai baju rumah sakit dan dua wanita. Dia yang mana?"

"Dia pake rompi panjang warna nila. Persis kayak seragam Toserba Mataram. Rambutnya panjang dengan wajah setengah hancur."

Saras dekati hantu wanita yang sedang melayang di sekitar semak-semak. Ia merunduk seakan mencari sesuatu di sekitar taman.

"Perlu gue bantu?"

Hantu itu terkesiap.

"Ya ampun. Kau bisa melihatku?" tanya Anita.

"Jelas. Ini Teh Anita 'kan?"

"Kau tahu namaku?"

Ia tidak sengaja melihat keberadaan Abay di kursi roda.

"Kau bersama cenayang pincang itu? Apa kau itu pacarnya?"

"Bukan!" wajah Saras memerah. "Ka-Ka-Kami itu sama-sama cenayang. Mending Teteh ikut kita aja."

"Tapi aku—"

Sebuah tali mengikat tangan roh Anita. Tali itu seperti borgol di tangan manusia.

"Ras, itu tali apaan?"

"Itu asalnya dari sini."

Saras menunjuk pada benda persis penunjuk laser di tangannya. Kenapa alat-alat bantu buatan Asosiasi memiliki bentuk yang familiar? Saras juga menjelaskan itu purwarupa alat terbaru yang diujicobakan pada unit Reserse selama sebulan. Alat itu berfungsi layaknya borgol yang bisa menarik makhluk halus bahkan hantu.

Mereka lalu membawa roh Anita yang kebingungan. Paviliun Kenanga rumah sakit. Kamar nomor 24 di lantai dua paviliun Kenanga. Baru saja mereka sampai, ibu Anita kembali berusaha mengusir mereka.

"Kalian lagi. Apa mau kalian datang kemari?"

"Kami tahu cara untuk menyadarkan anak nyonya," jawab Abay.

Matanya berkaca-kaca. Wanita itu mempersilakan mereka untuk masuk. Saat itulah roh Anita tersudut di tepi ranjang.

"Jadi selama ini aku-l—"

Anita pandangi wajah sedih sang ibu yang membelai tubuhnya.

"Nak, ini Ibu. Sadarlah, Nak!"

Detak jantung pada alat masih berada di kisaran angka 70. Roh Anita mulai tembus pandang seiring dengan tangisan seorang ibu di sampingnya.

"Kalian berdua. Terima kasih."

Saras mematikan alat sebesar spidol papan tulis di tangannya. Ia menghilang dalam mata berlinang air mata.

Mereka tinggalkan kamar. Ibu Anita masih berada di dalam. Abay tak sengaja mendengar perkataan Dokter Mirna yang baru saja masuk dari dalam kamar.

"Ibu. Apa Ibu yakin dengan kondisi anak Ibu? Kondisinya memburuk akhir-akhir ini. Kecil kemungkinan anak Ibu bisa siuman," ucap Dokter Mirna.

"Tapi, Dok. Anak saya masih hidup. Ia masih hidup!"

Dokter Mirna pun pasrah. Segala upayanya untuk mempertahankan kondisi Anita tidak membuahkan hasil. Ia lepas satu persatu alat penyokong hidup di dekat Anita. Saat itu sebuah keajaiban pun terjadi.

"Dokter! Dokter!"

Kelopak matanya mulai mengerut. Akhirnya Anita pun membuka kedua matanya. Abay tersenyum seiring dirinya memutar kursi roda menuju lift rumah sakit.

"Bay, gak nyangka ya kalo masalah ini berakhir happy ending."

Abay tercenung sesaat di dalam lift. Pertanyaan demi pertanyaan soal Anita masih membayang-bayanginya.

"Ras, emangnya kita bisa ninggalin tubuh seperti halnya Mbak Anita?"

"Gue gak pernah coba sih. Kenapa lo tiba-tiba nanyain soal itu?"

Jika saja Abay bisa meninggalkan tubuh lumpuh seperti roh Anita, akankah dirinya bisa jauh lebih berguna bagi orang lain?

"Apa kau yakin ingin meninggalkan tubuh fana itu?"

Lagi, suara misterius membuyarkan lamunannya. Sejak tadi tidak ada orang lain di lift selain Abay dan Saras.

"Bay, kenapa? Kok muka lo pucet banget?"

"Kayaknya gue kurang istirahat gara-gara nugas mulu deh."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro