Pembunuh Bayaran dan Bunga Tasbih - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semakin hari hubungan kami semakin dekat. Di balik sifat malu-malunya, Kana baik juga menyenangkan. Ia benar-benar polos. Ia antusias kala mendengar ceritaku mengenai dunia luar. Ia selalu menghiburku agar tidak terus bersedih karena Soh.

Aku baru tahu ia adalah seseorang yang kesepian.

Ayahnya adalah kepala suku di desa itu. Tak ada seorang pun yang berani mendekatinya. Anak-anak remaja sebayanya pun menjaga jarak. Ia tak pernah sekali pun jatuh cinta meski banyak lelaki yang tertarik mempersuntingnya.

Ia memiliki keinginan yang sangat mulia: menjadi seorang dokter seperti pamannya. Lokasi desanya yang terisolasi menghambat mimpinya untuk belajar. Jarak kota terdekat pun setengah hari perjalanan jika berjalan kaki. Selain itu ia tak memiliki cukup uang untuk melanjutkan sekolah.

Ia memiliki minat dan bakat yang besar sebagai seorang dokter. Ia telaten membantu keluarga pamannya mengurusi setiap pasien di desa. Sesekali ia hibur anak-anak yang takut saat diobati. Ia juga membantu bibinya-yang juga seorang bidan-menangani persalinan di desa. Cita-cita itu memang sederhana namun sangat berarti bagi dirinya.

Desa ini perlahan mengalihkanku. Lokasinya boleh terpencil. Penduduknya selalu tersenyum dan tertawa riang di balik hutan lebat yang mengasingkannya. Selama dua minggu tinggal di desa, aku mulai jatuh cinta dengan tempat ini. Kurasa aku harus pergi secepatnya. Aku tak ingin merepotkan warga desa jauh lebih lama lagi.

Sore itu Kana mengajakku ke suatu tempat di tepi desa. Padang rumput berselang ilalang tempat para warga menggembalakan hewannya di kala pagi dan anak-anak muda untuk berkumpul juga bermain pada sore harinya. Angin saat itu sedang bagus dan berhembus kencang. Beberapa anak muda dengan lihainya memainkan layang-layang. Aku merebahkan diri di atas rumput seraya memandangi layang-layang beraneka bentuk beradu menembus awan

"Aku ingin sekali seperti mereka. Bermain dengan bebas tak peduli siapa mereka. Melihat mereka bermain membuatku iri."

Aku meminta Kana agar tetap di sana lalu pergi mencari bahan-bahan untuk membuat layang-layang. Sebelumnya aku pernah membuat ini bersama Ayah. Meski hasilnya berantakan dan tak sebagus layang-layang lain, hal itu bisa membuat Kana tersenyum. Ia sangat senang kala bermain dan berbaur dengan anak-anak lainnya. Canda tawa riang mengiringi desau angin di padang rumput sore itu.

Aku rebahkan diriku di hamparan rumput dalam belaian sang angin. Rasanya senang sekali kala ia tertawa lepas. Hal itu semakin membuatku berat hati meninggalkan desa.

Kana duduk di dekatku sambil terengah-engah. Peluh menetes di sekujur tubuhnya.

"Apa kau sudah selesai bermain?"

"Layang-layangku lepas. Lelah juga mengejarnya. Tapi itu asyik. Mereka menyenangkan. Aku tak sabar menanti hari esok."

"Kana. Terima kasih telah menemaniku selama ini."

"Sama-sama. Kita ini 'kan teman. Kenapa kau berbicara seperti itu?"

"Aku akan pergi dari desa ini secepatnya. Sampaikan rasa terima kasihku pada Pamanmu juga."

Gadis berkepang itu terdiam. Kami kembali ke desa. Tak sengaja kudengar percakapan para warga yang berkumpul di lapangan tengah. Aku bersembunyi di balik rumah seorang penduduk.

"Orang asing itu terlihat sudah meracuni anakku. Kini ia bersikeras untuk meninggalkan desa ini. Ia pun banyak berubah saat bertemu dengannya."

Sepertinya itulah sang Ayah yang sering ia bicarakan. Aku terus menguping pembicaraan mereka dan nampaknya mereka berang. Mereka pun berniat untuk mengusirku dari desa. Apa salahku? Aku tak mengerti. Tiba-tiba saja Kana muncul beserta para anak muda dari arah lapangan.

"Kau ini. Dari mana saja kau?"

"Aku bermain dengan anak-anak ini di lapangan. Kami bermain layang-layang dan itu menyenangkan."

"Kana! Masuk ke rumah!" sepertinya pertengkaran mulai terjadi di tengah desa. "Kenapa kau melanggar perintah ayah?"

"Ayah. Aku hanya ingin hidup seperti anak-anak yang lain. Aku ingin punya teman, bermain, dan menikmati saat-saat bersama teman-teman. Ayah selalu membuat mereka takut."

"Masuk!"

"Ayah!"

Aku mendengar isak tangis dari arah lapangan.

"Ayah. Jelaskan padaku. Kenapa Ayah melakukan semua ini?"

"Kau sudah dijodohkan dengan anak dari kepala suku lain."

Aku terkejut mendengarnya. Rasanya terlalu berlebihan jika seseorang yang dijodohkan tak boleh berteman dengan siapa saja.

"Ayah tak mau hal buruk menimpamu. Ayah hanya ingin yang terbaik bagimu."

"Tapi itu sungguh berlebihan, Ayah!"

"Ayah tak mau kau terpengaruh oleh orang lain terutama orang asing itu. Sejak ia ada di sini, kau banyak berubah. Kau lebih sering menentang Ayah dan pergi bersamanya."

Masalah semakin pelik. Aku kembali ke tempatku lalu mengunci rapat pintu. Ini semua salahku. Aku bertanggung jawab atas semuanya. Lebih baik aku tidur.

Keesokan harinya seseorang menggebuk pintu. Saat itu aku sedang berganti pakaian. Kala kubuka pintunya, sebuah tinju keras mendarat di pipiku.

"Dasar anak tak tahu diri! Diberi kesempatan malah membuat masalah."

"Apa-apaan ini? Apakah Tuan tak tahu sopan santun mengetuk pintu keras-keras lalu memukul orang seenaknya?" kali ini tinju kembali bersarang pada tubuhku.

"Bocah tengik sepertimu bicara sopan santun? Apa kau tahu apa yang kau perbuat pada anakku? Beraninya kau menggoda anakku hingga berniat membatalkan perjodohannya."

"Aku tak mengerti apa maksud Tuan."

Pria itu benar-benar menutup telinganya. Aku tak bisa mengayunkan pedang atau melawannya dalam kondisi seperti ini. Jika aku melawan, situasi akan semakin pelik. Tiba-tiba saja Kana melindungiku.

"Ayah, hentikan!" tinju itu nyaris mengenai wajahnya. "Ia tidak menggoda atau mempengaruhiku. Ini adalah keputusanku sendiri. Aku akan pergi ke kota. Aku ingin menjadi seorang tabib seperti Paman. Aku ingin bergaul seperti halnya anak-anak lain. Aku juga menentang perjodohan ini!"

"Kana!"

"Cukup! Kana, kumohon hentikan. Lebih baik aku pergi saja jika hal itu memang terbaik."

"Baguslah kau sadar juga."

Aku pun pergi. Kana menangis dan merajuk di depanku.

"Jangan pergi. Aku mohon kau jangan pergi. Aku tak punya lagi seseorang yang bisa mendengar segala keluh kesahku. Aku tak punya lagi seseorang yang bisa menghiburku lagi."

"Bukankah kau memiliki teman-teman yang baik di luar sana? Teman-teman yang pengertian dan bisa menghiburmu."

"Bagiku kau lebih dari sekedar teman. Aku mohon jangan pergi. Jika kau tetap bersikeras untuk pergi, aku ikut."

"Kana."

"Aku tak peduli apa yang orang katakan. Aku benar-benar menyukaimu. Kumohon jangan pergi."

"Kana, maafkan aku. Aku tak bisa."

Dengan berat hati aku meninggalkannya. Aku tak ingin hubungan ayah dan anak itu semakin keruh karena diriku. Aku sendiri meninggalkan desa. Baru kali ini aku melihat seseorang seperti itu.

Apakah aku sama kejamnya dengan Soh yang mencampakkan orang yang mencintainya begitu saja?

Perjalanan semakin jauh dan hatiku bimbang. Tiba-tiba saja derap langkah kuda yang berlari kencang dari arah berlawanan. Aku melihat orang-orang berpakaian preman mengarah menuju desa. Jumlahnya sekitar 6 atau 7 orang. Kuda-kuda itu semakin jauh dan aku berbalik menuju desa.

Aku berlari sekuat tenaga meski tak akan bisa menyusul kuda-kuda itu. Dugaanku benar. Mereka adalah preman yang ingin mengacaukan desa. Para penduduk pontang-panting kala para preman itu mengayunkan senjata seraya memacu kudanya. Kekacauan tak terelakkan terjadi.

Bagian depan desa kacau. Mereka benar-benar merusak dan menjarah rumah para penduduk. Pintu rumah terlihat terbuka. Para penduduk terlihat bersembunyi di setiap sudut desa. Kuda-kuda terikat pada pohon-pohon di dekatnya. Para preman bertubuh besar dan berparas mengerikan memeras warga desa yang tersisa. Salah satu di antara mereka ada Kana yang hendak melarikan diri. Entah kenapa tiba-tiba saja aku menghunuskan pedang lalu menyerang mereka layaknya babi hutan yang mengamuk masuk desa. Aku amankan Kana di balik punggungku.

"Kau kembali," ucap Kana.

"Pergilah. Sebisa mungkin cari bantuan," gadis itu mengangguk lalu pergi. Aku terus menghadang para preman agar tak menembus bagian desa terujung.

"Pria tua sepertimu mencari mati melawan kami," ucap mereka selagi terkekeh.

Mereka pikir aku itu lelucon. Hanya karena tubuhku kecil dan rambutku putih mereka seenaknya saja memanggilku dengan sebutan "pria tua".

"Jika kau berani menyentuh gadisku sekali lagi, aku tak segan-segan mencincangmu."

Tiba-tiba saja perkataan itu terlontar dari bibirku. Mereka menyerangku begitu saja. Aku tak peduli. Aku terus saja mengayunkan pedangku seperti halnya orang gila. Lawan-lawan itu tak sepadan karena jumlahnya yang banyak. Saat aku memikirkannya kekuatanku semakin bertambah. Satu ayunan terakhir dan para preman itu terkapar. Nyali mereka tak sebesar tubuhnya. Aku mengelap cipratan darah di tubuh dan pedangku sebelum menyarungkannya. Saat aku berbalik para penduduk pria menatapku heran. Preman yang tersisa pun memacu kudanya ke luar desa.

Aku lanjutkan perjalananku. Namun tiba-tiba saja kepala suku menghadangku.

"Kudengar kau melawan semua preman ini sendiri, benarkah itu?"

"Aku tak ingin melihat seorang gadis yang begitu berharga ternodai oleh kekejaman mereka. Ia lebih berharga dari apa pun di dunia ini."

Kenapa mulutku dengan tenangnya melontarkan perkataan tersebut? Apakah aku benar-benar berpaling dari Soh dan membalas cintanya?

"Kudengar kau yang memintanya untuk bersekolah di kota.

Kenapa kau lakukan itu?"

"Aku ingin ia menjadi apa yang diimpikannya selama ini, menjadi seorang tabib. Jika Tuan benar-benar menyayanginya, Tuan harus belajar mendengar keinginannya.

Jangan paksakan kehendak Tuan karena Kana bukanlah boneka!"

"Kau benar-benar lancang. Berani pula kau menasihatiku!"

"Hal yang terbaik menurut Tuan belum tentu terbaik baginya. Seharusnya Tuan membicarakan hal itu dengan Kana sebelum tuan mengambil keputusan.

Tuan, aku pamit dulu. Ada urusan yang harus kuselesaikan."

"Tunggu," pria itu menghentikan langkahku. "Aku ingin tanya apakah kau benar-benar serius?"

"Aku paham maksud Tuan. Berikan aku waktu untuk memutuskannya. Aku pergi."

Apa yang kukatakan tadi?

Kurasa aku harus mendinginkan kepalaku sejenak dan membicarakan hal ini pada Ayah di rumah.

******

Tak terasa sudah 27 tahun berlalu. Kini aku menikmati masa-masa indah sebagai seorang ayah dan suami. Namun ....

"Rad, apa aku tak salah dengar jika kau mengatakan hal itu kepada anak-anak? Jelaskan semuanya!"

Aku pun berlari menuju halaman rumah. Anak-anak pasti menertawai tingkahku yang konyol ini. Gadis pemalu yang dulu kukenal kini berubah menjadi istri yang mengerikan. Ia mengejarku dengan sapu di tangannya. Meskipun begitu rasa cintaku padanya takkan pudar. Malah semakin bertambah kala aku menjahilinya. Sesekali usil tidak apa-apa 'kan?

Jangan bilang-bilang istriku soal ini ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro