Peraturan yang Tak Boleh dilanggar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah beberapa bulan ini, Lithe telah menjadi Servant-ku(baca bagian kesalahan pagi hari) Aku pergi ke sekolah seperti biasa.  Lithe kujadikan gantungan bintang pada tasku. Ya, dia bisa kurubah seenaknya. Kuperintah seenaknya dan lain-lain. Enak bukan menjadi penyihir?

Namun, ada satu hal yang pasti. Peraturan yang mengekang para penyihir seperti kami.

Keberadaan kami tak boleh diketahui. Jika ada yang tahu, kami akan dihapus dari dunia ini. Eksistensi, ingatan bahkan jasad sekali pun. Seperti yang terjadi pada orangtuaku. Untungnya, keturunan penyihir masih diperbolehkan mengingatnya.

Teman-temanku yang manusia biasa hanya tahu kalau orang tuaku meninggal karena kecelakaan yang sebenarnya adalah salah besar. Orangtuaku lenyap karena Servant-nya keceplosan membetulkan gosip yang beredar di tetangga mengenai identitas asli tuannya.

Hanya karena gosip dan Servantnya yang berusaha membetulkan itu, malah membuat tuan dan nyonyanya tiada. Niat baik yang berujung kefatalan.

Nenek memberitahuku untuk mengawasi dan mengobservasi sifat servant-ku. Namun, boro-boro aku mengawasinya. Melihatnya saja membuatku muak. Aku benar-benar tidak menyangka bagaimana mungkin wajahnya bisa mirip dengan mantan sialanku itu.

Kata nenek, kelamin servant ditentukan oleh kebutuhanku, sedangkan wajah adalah dari orang yang gendernya sama dan lumayan penting di ingatanku. Padahal, masih ada ayahku. Hanya karena ayahku yang tidak ada eksistensinya itu menjadikan wajah mantan sialanku yang dipilih--oke, aku akan berhenti menyebutnya mantan sialanku.

Jadi, untuk memastikan agar kesalahan orangtuaku tak terulang kembali. Aku lebih sering mengubahnya menjadi boneka bintang yang aku gantungkan di tas.

"Kouwi!"

Dia membuyarkan pikiranku yang tengah berkecamuk memroses ini dan itu.

"Ya?" Ujarku sembari menoleh padanya. Dia teman sebangkuku, Vierrie.

"Kau beli di mana gantungan ini? Manis sekali!" Serunya sembari memegangi bahkan menekan-nekan gantungan berbentuk bintang yang tak lain adalah Litheku.

Refleks, segera kupegang tangannya, menghentikan acara menekan-nekan Lithe layaknya mainan squishy. "Jangan, itu milikku."

Vierrie terdiam seaat, kulihat kekikukannya ketika menarik tangan dariku. Aku tahu, tidak biasanya aku seperti ini. Biasanya aku akan mempersilakan dirinya untuk apa pun--meminjamba barangku, memainkannya dll. Namun, kali ini tidak. Masalahnya itu adalah Lithe.

Lithe pelayanku.

***

"Nona, apa benar aku manis?"

Aku mengernyit mendengar pertanyaan Lithe yang tengah tidur di kasur dan aku yang sedang mengerjakan pr di meja belajar kamar.

"Teman sebangku nona, kalau tidak salah namanya Vierrie itu. Mengatakan kalau saya manis, bukan?" Dia mengulang pertanyaan lagi. Aku memutuskan untuk mengabaikannya. Kupikir ini sangat menyebalkan.

"Nonaa...."
Dia merengek sembari mendatangi dan menggoyang-goyangkan bahuku. Awalnya aku hanya mengabaikannya. Namun, semakin lama aku semakin risih.

"Diam!!"
Kini dia terdiam, menatapku entah dengan tatapan apa. Aku hanya bisa kembali mengerjakan prku dan dia kembali menaiki kasurku, bermain entah bermain apa. Sempat terbesit rasa bersalah di benakku. Seharusnya, aku juga tidak perlu berteriak seperti itu hanya karena aku sebal ia merasa senang dengan pujian seperti itu. Iri? Bukan, aku tidak merasakan seperti itu. Ini seperti ada yang terasa dikhianati lagi.

"Lithe! Tolong belikan hati ayam untuk ramuanku!"teriakan Nenek sihirku sukses membuatku terkejut sesaat. Lithe menatapku. Aku pun mengangguk, memutuskan untuk menyuruhnya mengikuti perintah nenek. Lagipula, jika dia berada di sini lebih lama lagi. Ada sesuatu yang benar-benar membuatku terluka.

Aku teringat kuncir rambut merah mudaku yang kusimpan di laci meja belajar. Perasaan benciku pada mantan pacarku itu, entah kenapa juga terasa pada Lithe. Aku takut. Aku takut dengan kekuatan dan kekuasaan atas Lithe yang kumiliki ini, aku dapat menyakitinya.

Akhirnya, aku menghempaskan diri ke kasur, ingin terlelap sejenak.

***

Jam dinding kamar dengan samar mulai terlihat jelas ketika aku mengerjapkan mata berulangkali karena tersadar dari kelelapan tidur. Jam itu menunjukkan pukul lima sore, sinar-sinar oranye yang menembus jendela kamarku yang membuktikannya juga. Aku mengamati kamarku ini, kupikir baru dua jam aku tertidur dan aku tidak menemukan tanda-tanda Lithe. Lelaki itu kemana?

Dasar pelayan yang merepotkan.

Segera saja, kugunakan sihir untuk mencari dirinya. Aku menemukannya sedang berada di taman dengan seseorang. Bahkan, sepertinya pesanan nenek belum dibawa pulang. Aku sangat heran ketika melihatnya mengobrol dengan Vierrie. Sepertinya, perasaanku yakin kalau aku sedang dikhianati.

Dengan segera aku berlari keluar rumah, menaiki sepeda dan mengayuhnya. Untungnya ini desa kecil, taman itu tak begitu jauh dari sini. Namun, ketika aku berniat menarik dan mengajak Lithe begitu saja. Aku terhenti.

"Jadi, kau seperti itu? Lalu bagaimana dengan Kouwi?"

Napasku tercekat, jangan-jangan Lithe akan membocorkan identitasku karena kelakuanku tadi. Namun, jika aku hilang dirinya juga hilang. Apa untungnya?

"Haha, kau tidak akan percaya jika kuberitahu!"

Dulu, saat pertama kali Lithe datang, ia berjanji padaku untuk selalu membuatku bahagia. Namun, kini ...

Ia bersama wanita lain, mengobrol dengan bahagia dan sedangkan aku yang mencemaskan dirinya. Mencemaskan dirinya yang akan membocorkan identitasku ini, padahal aku dengan susah payah ini mendapatkannya.... Aku masih ingat betul bagaimana nenek tidak setuju aku meneruskan darah penyihirnya.

Dengan tekad bulat, kupikir aku akan memutuskan kontrakku dengannya. Tidak ada pilihan lain, mungkin kedepannya aku akan menjadi penyihir lemah karena tak memiliki servant. Namun, itu lebih baik daripada ia membocorkan identitasku dan aku yang merasa terus tersakiti ketika melihatnya.

"Lithe." Aku keluar dari tempat persembunyian alias dari balik pagar pembatas ini. Lithe tersentak lalu menghampiriku.

"Ma-maafkan aku nona. Aku terlalu larut. Aku yakin nenek marah, aku akan segera pulang," ujarnya. Namun, aku menghentikan dirinya.

Dengan senyuman, entah senyuman seperti apa ini, aku berujar,"mari kita kembali bersama saja. Kau bisa tunggu di sana, aku ingin mengobrol dengan temanku."

Lithe mengangguk, lantas ia kemudian melangkah menjauh dariku. Memastikan dia tak bisa menguping. Segera kuhampiri Vierrie, ia menatapku bingung.

"Mengapa ia memanggilmu nona? Bukankah itu pacarmu? Dan kalian bilang pulang bersama? Ada apa ini?" Vierrie bertanya sambil semringah. Kupikir ia salah paham dan lagi sepertinya Lithe belum mengatakan identitasku. Namun, tentunya aku tidak percaya padanya. Dia berbahaya, dia telah menyakitiku dan akan kumusnahkan saja dia.

"Vierrie, apa yang kau lakukan di sini bersama siapa, bertemu siapa hari ini kau akan lupa semua. Biarkan angin bertiup, meniupkan ingatanmu sekaligus membawa sihir ini merasuki dirimu...."

Usai mengucapkan mantera itu, Vierrie terpejak dan jatuh cukup keras. Aku yakin, akan ada nyeri di belakang kepalanya nanti. Namun, kubiarkan saja. Kubiarkan ia berspekulasi apa pun itu.

"Lithe." Kini aku menatap tajam dirinya. Aku sangat marah dan muak padanya saat ini.

"Lithe, kau pelayanku satu-satunya, pengumpul kekuatan sihirku satu-satunya. Namun, kau tidak memuaskan nonamu ini. Dengan berbagai pertimbangan kuputuskan untuk mengembalikanmu seperti semula. Sesuatu yang sebenarnya tidak hidup akan kembali ke aslinya, biarkan sihir ini dibawa tenggelamnya matahari ini. Waktumu habis dan kau akan kembali seperti semula."

Mantera itu mengakibatkan angin menderu kasar dan keras. Lithe menatapku dalam keheningan. Aku tak bisa membaca raut mukanya.

"Baiklah nona, saya tahu apa yang terjadi pada orang tua Anda yang mana membuat Anda tak mau mengambil banyak resiko dengan keberadaan saya. Semoga dengan tiadanya saya. Membuat Anda bahagia seperti yang pertama kali saya ucapkan."

Ia tersenyum, di belakangnya matahari juga tinggal semburat-semburatnya. Aku tak menangis ketika melihat tubuhnya perlahan menghilang. Aku tahu, dirinya akan segera kembali menjadi boneka bintang tanpa bisa diberi sihir lagi suatu hari.

"Saya mencintai Anda sepenuh hati, nona."

Ucapan terakhirnya sukses membuatku bergetar. Boneka bintang itu kemudian jatuh dari tindakan melayangnya. Aku hanya terpaku, tidak mengambilnya.

Dia bilang apa?

Aku salah dengar kan?

End~

A/N
Rada gj. Wkwkwk, tapi kayanya saya jatuh hati pada dua karakter ini. Saya tidak yakin apa akan ada lanjutannya lagi atau tidak. Jadi, jangan berharap. Wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro