5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Angin sore menerpa wajah Arin dan membuat rambut panjangnya berterbangan. Untuk pertama kalinya, perempuan itu mengendarai motor walaupun hanya sebagai penumpang. Rasa bahagia kini mengitarinya karena bisa merasa cukup bebas.

"Max, makasih ya udah ajak aku jalan-jalan," ucap Arin dengan sedikit berteriak.

Max yang tengah berkendara tidak terlalu mendengar jelas apa yang Arin ucapkan karena terpaan angin yang cukup kencang juga suara kendaraan di jalan. "Hah, apa? Lo bilang apa?"

Mengetahui jika Max tidak mendengar apa yang dia sampaikan, Arin memutuskan untuk mendekati pria tersebut dengan memajukan kepalanya. "Makasih ya udah mau ajak aku jalan-jalan."

Max tersenyum kecil dan mengangguk pelan. Kini, dia mendengar jelas apa yang Arin sampaikan. "Iya sama-sama. Sorry, ya. Gue cuman ajak jalan-jalan di motor. Lain kali gue ajak ke tempat-tempat bagus."

"Oke, aku tunggu. Makasih ya."

Setelah puas jalan-jalan, Max akhirnya mengantar Arin pulang sampai di depan rumahnya pada sore hari. Perempuan itu kemudian turun dari motor dengan agak susah payah karena terlalu tinggi.

Max yang melihat hal itu tentu ikut membantu Arin untuk turun dengan menyodorkan tangan kuat miliknya.

"Hati-hati," ucap pria tersebut dan Arin bisa turun dengan selamat.

Sembari memperbaiki rok yang dia gunakan, Arin berkata, "makasih ya Max, sudah anter aku pulang."

"Makasih mulu perasaan, capek gue dengernya," omel Max dengan nada bercanda. Arin pun tertawa kecil menanggapi gerutuan teman Rian tersebut.

"Hehe, iya maaf."

"Ya udah, gue balik ya. Kapan-kapan kita jalan lagi."

"Oke deh, hati-hati ya."

Mengiringi kepergian Max, Arin melambaikan tangan ke arah pria tersebut dan saat berbalik, tiba-tiba saja ada seseorang yang berdiri di hadapannya dan membuat perempuan itu terkejut. "Astaga, Mas Rian. Bikin kaget aja!"

"Lo darimana?" tanya Rian tanpa basa basi. Wajah pria itu sedikit menyeramkan dan berhasil membuat Arin ketakutan.

"Hmm, aku nggak kemana-mana kok. Max cuman ngajak muter-muter doang," jawab Arin dengan gugup. Perempuan itu terlihat memainkan sisi kukunya sebagai pengalihan dari rasa takutnya pada Rian.

"Nggak usah boong! Lo pasti pergi ke suatu tempat kan sama Max!" tuduh Rian yang membuat Arin mengangkat wajahnya.

"Boong? Aku nggak boong, Mas. Aku beneran cuman muter-muter sama Max."

Rian terdiam sesaat setelah mendengar ucapan Arin yang begitu meyakinkan. Dia jelas tau bagaimana perempuan itu berbohong dan kali ini, dia berkata jujur. "Ya udah, gue percaya sama lo kali ini. Tapi, ini pertama dan terakhir kalinya lo pergi sama Max!"

Setelah berucap, Rian berjalan ke arah motornya yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. Arin yang melihat hal itu langsung berlari ke arah Rian dan menahan kepergiannya.

"Mas cemburu ya sama Max?" tanya Arin dengan sedikit menggoda, mata perempuan itu membulat sempurna yang membuatnya semakin menggemaskan.

"Nggak, gue nggak cemburu."

"Terus, kenapa Mas ngelarang aku pergi sama Max?" tanya Arin lagi setelah melepas cengkeraman tangannya. Kepala perempuan itu sedikit miring dengan wajah menggoda sembari menunggu Rian mengeluarkan suaranya.

"Max itu playboy. Nanti lo dimainin sama dia," jelas Rian singkat sembari naik ke atas motornya dan bersiap untuk pergi. Namun, tiba-tiba ucapan Arin membuat gerak tubuhnya berhenti.

"Aku udah biasa kok dimainin, jadi nggak masalah."

Perasaan bersalah kini kian menghantui Rian sejak pulang dari rumah Arin, memang saat pergi tadi dia tidak mengatakan apapun pada perempuan cantik itu karena bingung harus mengatakan apa dan sekarang pikirannya tiba-tiba kosong. Apa gue keterlaluan ya sama Arin?

Arin memang perempuan yang pantang menyerah untuk mendapatkannya. Namun, Rian sendiri tidak yakin jika perempuan itu akan terus bertahan padanya.

"Akh! Kepala gue pusing!" pekik Rian karena tak kunjung mendapat jalan keluar.

Di tengah kebingungannya, tiba-tiba ponsel yang sejak tadi dia hiraukan berbunyi dan sebuah nama tertulis di layar depannya.

Panggilan Masuk
Vania

Sebelum mengangkat panggilan dari teman sekelasnya itu, Rian terlihat diam sembari memikirkan sesuatu dan beberapa menit kemudian, pria tersebut tanpa ragu mengangkat panggilan itu.

"Iya, halo."

"Hai Rian, lo dimana?"

"Gue? Gue di rumah."

"Di rumah doang? Nggak bosen lo? Mending gabung sama gue, gue lagi di kafe antara nih."

"Kafe antara?"

"Iya, kafe yang deket sekolah. Ada temen-temen yang lain juga kok."

"Hmm, gimana ya." Rian terlihat ragu menjawab ajakan Vania, apalagi sekarang sudah pukul delapan malam.

"Ayolah, gue pastiin lo bahagia malem ini."

Mendengar tawaran Vania membuat Rian merasa punya peluang untuk sedikit tenang menghadapi masalah yang ada. Dengan cepat, pria itu meng-ia-kan ajakan Vania. "Ya udah, gue siap-siap dulu."

"Nah, gitu dong. Gue tunggu ya."

Setelah panggilan telepon tersebut mati, Rian segera berganti baju dan berniat untuk pergi. Namun, ternyata kedua orang tuanya tengah berada di ruang tamu dan menahan kepergian pria tersebut. "Loh, kamu mau kemana?" tanya sang ibu yang membuat suaminya ikut menatap Rian yang baru saja turun dari lantai dua rumah mereka.

"Rapi banget pakaiannya," sahut sang ayah dengan nada menggoda yang membuat Rian tersenyum kikuk.

"Iya, Bu, Yah. Aku mau jalan bentar."

"Jalan? Kemana?" tanya Ibu Rian yang bernama Bela. Sangking penasarannya dengan apa yang anak laki-lakinya itu akan lakukan, Bela sampai berdiri dan mendekati Rian. "Kamu nggak mau kabur kan?"

"Apaan sih, Bu. Aku cuman mau ke kafe doang kok," bantah Rian dengan cepat.

"Udah, Dek. Biarin aja dia pergi, palingan dia mau pergi sama Arin," sahut sang ayah yang bernama Seno dengan santai dari belakang yang membuat Bela menoleh ke arahnya.

"Tapi, Mas ... ."

"Rian udah dewasa, Dek. Dia juga tau apa yang baik dan buruk buat dia, apalagi sekarang dia sudah SMA."

Mendengar apa yang suaminya sampaikan, Bela terdiam sembari membasahi bibirnya yang terasa kering begitu juga tenggorokannya. Ingin rasanya dia melarang anak laki-lakinya itu untuk pergi. Namun, dia juga ingin Rian bebas melakukan apa yang dia sukai.

"Ya udah, kamu pulangnya jangan malem-malem ya. Kasian Arin kalau pulang malem," nasihat Bela sembari mengusap lengan atas anaknya.

Rian yang mendapat lampu hijau kemudian mengangguk pelan dengan senyum kecil di wajahnya. "Iya, Bu. Aku nggak bakal pulang terlalu malam kok."

"Ya udah, hati-hati ya."

"Iya, Bu."

Di depan rumah, Rian terlihat begitu merasa bersalah karena sudah membohongi kedua orang tuanya. Maafin aku ya, Bu, Yah.

Rian yang tak sabar untuk pergi langsung naik ke atas motornya dan menemui Vania juga teman-temannya di Kafe Antara.

Kedatangan Rian berhasil membuat kehebohan Kafe tersebut, ternyata di sana sudah ada teman-teman prianya seperti Max dan David.

Untuk pertama kalinya, mereka nongkrong di luar sekolah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro