sebelas.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sama seperti ketika Regina hadir di pelelangan saat itu, ia merasakan sensasi yang sama. Ia merasakan tenang, namun ia juga merasakan hal yang mengganjal.

Tidak dapat dipungkiri, sosok yang ada di balik topeng itu—entah manusia atau bukan—adalah sosok yang menyatu dengan bayangan. Hampir tidak bisa disentuh, baik fisik maupun mental, bukan karena Regina tidak dapat menyentuhnya karena patah tulang atau karena ia tidak ingin menunjukkan kekuatan Arkana-nya, tetapi itulah hal yang dirasakan Regina sekarang. Anne, pemegang Arkana Lovers yang sepantasnya bisa melakukan deteksi emosi, sama sekali tidak merasakan keberadaan Sang Pelelang. Entah sejak kapan dia ada di sana. Entah seberapa banyak pembicaraan yang sudah ia dengar.

Regina tentu tidak punya kekuatan untuk menginterogasinya, tidak saat ini.

Mengenai pertanyaannya barusan: Regina paham bahwa itu adalah jebakan. Tidak ada orang di Medea yang mengetahui apa yang terjadi di sana terkecuali dirinya si Yang Tersisa. Para pelaku kejadian masif tersebut telah tiada; kejadian yang sebentar namun menghancurkan segalanya itu berakhir dengan Henrietta membunuh 'sang pemicu'. Kemudian, Selena mengakui dirinya telah membunuh Henrietta, Regina memercayai pengakuan bosnya tersebut mengingat hubungan antara Henrietta dan Selena di masa lalu.

Lalu, siapa sebenarnya Sang Pelelang ini? Mengapa ia menjanjikan pepesan kosong?

.

Walau sisi logis dirinya berkata demikian, pada akhirnya Regina memutuskan untuk memenuhi rasa keingintahuannya: "Kebenaran?"

Regina bisa merasakan senyum di balik topeng itu terlanjur melengking puas, lebih senang dibandingkan topengnya itu. Tangannya tertumpu santai di atas tralis tempat tidur, ia tidak mendekat. "Saya paham anda akan mengerti dengan tawaran ini, Nona Acedia."

Ia menyipit mendengar nama itu, Acedia. Regina Rhadamanthus Acedia, tidak ada yang mengetahui nama panjangnya kecuali Selena saat ini. Itupun Selena tahu karena surat rekomendasi yang pernah dibuatkan Henrietta tanpa sengaja untuknya saat Regina sudah membulatkan tekad untuk menjadi peneliti sihir. Bahkan, para polisi yang menginterogasinya, juga terapis-terapis yang membantunya di saat-saat itu, tidak ada yang pernah mengutip nama aslinya. Anggota keluarganya tidak ada yang hidup untuk mengaungkan nama tersebut. Regina hanyalah salah satu dari sekian banyak bangsawan yang sudah kehilangan nama, aset dan wilayah.

Namanya mungkin akan ada di daftar panjang ningrat Medea, tetapi siapa juga yang ingin bersibuk diri mencari sebuah nama lama?

Sebelum Si Pelelang sempat angkat bicara, Regina segera bertanya, "Jadi, apa maumu?"

"Seperti yang anda pernah saksikan di acara lelang itu, bayaran dari informasi tidaklah murah," jemarinya mengetuk-ngetuk tralis secara berirama.

Regina mengingat bayaran yang ia minta ke pria yang tidak beruntung saat itu adalah lima ratus ribu Gold. Uang itu setara dengan gajinya di SPADE selama enam bulan. Tetapi, gelagat sosok ini tidak tampak menginginkan uang. Keluarga Acedia telah lama mati - dan ia membawa nama Acedia di atas papan catur bukan semata karena harta.

Seberapa banyak informasi yang ia ketahui? / Tawaran ini mungkin bukan jebakan. / Tidak, tawaran ini adalah jebakan. Jebakan yang sempurna. / Regina tidak bisa kabur. / Ia sudah ada terlalu dalam di permainan.

Peraduan batinnya terganggu sesaat bunga api muncul menghardik keberadaan Si Pelelang, membuat sisi tempat tidur tersebut hitam menghitam. Regina terkesiap, menjauhi tempat tidur ketika Eir segera memperbesar jarak antara Regina dan Si Pelelang, yang dengan santai melangkah mundur teratur dengan kedua tangan terangkat. Eir menghunuskan salah satu tongkat besi yang ia gunakan, mengisi bilah tersebut dengan api.

"Wah, wah. Tampak negosiasi kita terganggu, Nona Acedia." Si Pelelang menaikkan bahu.

Eir melirik ke arahnya. Alur matanya tajam, dingin, tidak bersahabat. Ia - mereka tahu apa yang tengah tersurat dan tersirat. "Kamu kenal dengan orang ini, IX?"

Regina segera menggelengkan kepala.

"Sebentar lagi apimu bisa mengaktifkan alarm kebakaran rumah sakit, lho?" ujar Si Pelelang ringan, tampak seperti bukan di sisi yang tertekan.

Si Pelelang bisa saja kabur kapan saja melihat Eir, yang merupakan orang luar dalam pembicaraan, dan datang di lain waktu. Walau begitu, Si Pelelang tampak mengulur waktu - ia tampak menunggu sesuatu akan terjadi.

Eir tentu paham rumah sakit bukanlah tempat untuk bertukar tinju, tetapi ia bisa saja bereaksi cepat ketika Si Pelelang hendak melakukan sesuatu.

Ia mengincar Regina.

Si Pelelang berusaha berlari menuju ke arah belakang Eir, entah untuk mengambil Regina dan pergi atau menuju pintu. Eir segera menjegalnya dengan kaki, juga ia menggunakan tongkatnya untuk membuat pedang api agar Si Pelelang tidak segera mengincar sisi kiri tubuhnya.

Ketika Eir melayangkan pedang apinya, sayangnya ia hanya mendapati dirinya menyabet udara kosong.

"Maaf untuk memberitahu kalau ini bukan wujudku yang asli," suara itu menggema di ruangan sejenak, sebelum akhirnya ia muncul di kursi tunggu yang tadi digunakan Anne. Ia datang mengambil sebatang bunga Pikok di sana, mengayun-ayunkan bunga tersebut layaknya sebuah tongkat kayu. "Toh, aku tinggal mengajak Nona Acedia keluar kalau aku ingin berbicara soal tawaranku."

Alis Regina bertaut, Eir mendecih keras. Pemilik surai biru itu tetap di posisi bertahan, kini dengan kedua tongkatnya bersilang di depan dada. Sinar senja sudah lenyap sempurna dimakan oleh gelap malam. Seakan-akan dirinya adalah malam, Si Pelelang perlahan termakan oleh bayang. Ia menjentikkan jari sekali, dan perlahan Regina dan Eir merasakan ruangan di bawah kaki mereka tersebut bergerak.

Regina mencoba berdiri lebih tegak. Ilusi itu terlihat sangat nyata. Sulit untuk mematahkan ilusi tanpa menyentuh sang pencipta ilusi. Yang terpenting adalah untuk tenang, memusatkan konsentrasi ke satu titik indera dan berusaha mencari sumber sihir.

Sementara, Eir di depannya tidak gentar. Ia melempar kedua tongkatnya ke sosok Si Pelelang yang berjalan mendekat, melayang di antara distorsi visual dan tempat. Salah satu tongkat itu mengenai topeng Si Pelelang, sukses melucuti wajah palsu yang selalu ia umbar ke hadapan publik. Tongkat tersebut mendarat tanpa dentuman, mungkin tertelan oleh ilusi sehingga Eir tidak bisa meraihnya lagi. Sang pemilik Arkana Hanged Man hendak melayangkan sihir api ke arah sang penyerang bertopeng, namun distorsi tersebut berkembang membuat ruangan berputar. Bentukan ruangan semakin tidak berbentuk sebagai benda yang ia ingat ada di ruangan; sejenak hitam, sejenak putih, beberapa terpecah seperti mozaik, beberapa beriak seperti tanda air. Ilusi tersebut mulai mengacaukan indra penglihatannya.

Regina dan Eir sudah mengetahui wujud tersebut. Eir tidak akan luput di kesempatan kedua. Akan tetapi—

Sosok di balik topeng itu memilik surai hijau, dengan mata amber yang biasa tersembunyi tegas di balik bingkai kacamata miliknya.

"Henri ...?"

Spiral tersebut menguat. Si Pelelang kembali hadir di antara mereka, kedua tangannya terbuka dengan satu ledakan energi yang membuat segalanya berpijar putih. Menelan desis kaget Regina ke sebuah ruang cahaya.



"Henri, ada surat untukmu dari pos."

Hari itu adalah seminggu sebelum kejadian yang diberi nama oleh masyarakat Medea saat ini sebagai Perang Arkana Terakhir. Seperti di hari-hari sebelumnya, Perpustakaan 7B selalu sepi pengunjung. Hari itu memang adalah hari pos dan hari pendataan buku oleh Komite Sihir setempat, tapi biasanya itu hanya sambil lalu.

Regina saat itu menyortir surat yang masuk dan menemukan surat yang ditunjukkan untuk Henrietta.

Di zaman yang telah maju dengan perkembangan teknologi yang berjalan bersama dengan sihir, umumnya surat-surat yang masuk untuk pribadi (bukan ditunjukkan untuk instansi perpustakaan), datang sebagai bentuk surat elektronik.

Ini baru pertama kali Regina melihat surat - yang berbentuk seperti surat seperti buku-buku mendeskripsikan mengenai surat - secara fisik. Surat itu ada dalam amplop berwarna cokelat. Amplop tersebut terbuat dari bahan kertas yang kasar, mungkin salah satu 'bahan daur ulang' ramah lingkungan yang sering Henrietta bilang. Di bagian depan amplop, tertera alamat perpustakaan dan nama Henrietta Lazward. Di bagian belakang amplop, yang seperti berbentuk segitiga tumpul ke bawah, ada tulisan nama kecil di kaki amplop, Selena Hartwig.

"Surat untukku? Apakah dari Selena?"

Regina memerhatikan senyum Henrietta tampak tak biasa: lebih kecil dari biasa ia menjelaskan hal-hal sihir ke Regina, tapi pipinya merona merah. Henrietta menaruh beberapa buku yang ia baru ambil dari beberapa rak dan mengambil surat yang Regina taruh di atas konter.

"Kamu tahu kalau surat ini akan memunculkan gambar si penulis seperti kita menonton video?"

Manik Regina membulat, "Sepertinya menarik!"

Henrietta segera membuka amplop tersebut dengan hati-hati, "Oke, kamu boleh lihat sebentar ya."

Henrietta membuka surat tersebut di atas konter. Regina memerhatikan lamat-lamat kartu berukuran persegi panjang itu memunculkan hologram berbentuk seorang wanita dari kepala hingga pinggang. Wanita tersebut tampak lebih muda dari Henrietta, dengan rambut cokelat madu yang ia kepang sempurna. Manik hijaunya menajam memberikan kesan seorang yang disiplin, dipadu dengan posturnya yang tegap walau ia seperti merekam pesan ini dalam keadaan santai. Ada latar putih di belakangnya, mungkin ia ada di dalam sebuah ruangan.

Henrietta menekan sisi kertas sekali, dan surat tersebut mulai bercerita.

'Hai Riet. Sudah lama ya aku nggak ke sana? Apa kabar? Kita udah lama nggak ketemu, ya. Semoga dalam waktu dekat aku bisa pesan tiket kereta ke daerah sana.'


"Riet?"

"Ah, dia partnerku. Dia memanggilku dengan sebutan Riet."

"Partner?" Regina terhenti sejenak. "Kamu masih aktif sebagai agen Arkana, Henri?"

Henrietta menaruh satu telunjuk di depan bibirnya, sebelah matanya mengedip, "Ini rahasia, ya, Regi."


'Katanya kamu punya murid ya sekarang? Wah, Riet yang biasa penyendiri bisa mengajari orang ya,' orang itu tertawa. Regina mencuri pandang ke arah Henrietta yang hanya bisa menggeleng-geleng dengan wajah merona. 'Kapan-kapan, kamu dong yang cuti tugas dari sana, biar aku nggak usah repot-repot sekali-sekali.'


Kalimat itu seperti mengacu bahwa Selena pernah datang ke Perpustakaan 7B, walau Regina tidak pernah melihat ada orang datang berkunjung dalam waktu lama, apalagi kalau itu adalah tamu Henrietta.


'Hari ini cuaca cukup panas di Severa. Aku baru saja selesai mengunjungi konferensi Arkana. Seperti katamu, cuma sedikit nama yang hadir,' sosok pengirim surat tersebut, 'Selena', kemudian menyalakan rokok sebelum melanjutkan. 'Pembicaraan tentang regenerasi Arkana tahap berikutnya sedang hangat-hangatnya. Harusnya semua Arkana yang tidak bisa diturunkan bisa datang.'


"Oh, Regi? Bisa kamu buatkan kopi untukku? Pembicaraan di bagian ini akan cukup sulit untukmu mencerna."

Regina memutar bola matanya sejenak, namun ia mengiyakan. Tidak sepantasnya ia terlalu banyak mendengar, mungkin.

Ketika Regina berjalan menuju arah dapur, gadis kecil itu masih menangkap beberapa bagian pembicaraan dengan cukup jelas.


'Orang itu ... belum ditemukan. Kemungkinan dia ... Komite Utama juga khawatir ... Mungkin dia mencari seseorang di ...'


Regina menatap arah punggungnya sejenak, mendengar pembicaraan itu sambil lalu, berkutat di berbagai istilah dan kata-kata yang dirasanya asing dan sulit diingat.

Tetapi,
Kenapa ia baru teringat tentang hal ini
sekarang?




Eir tersadar pada ruangan rumah sakit yang sama, yang kini telah gelap sempurna karena cahaya belum menyambar masuk ke ruangan. Ia mencoba berdiri, melihat perlahan langit malam berpendar dengan kemerlap bintang dan bauran kota di bawah sana mulai memancarkan sinar-sinar penanda malam telah datang. Kegelapan yang semula telah membuatnya terbiasa kini dibanjiri oleh terang, ruangan tersebut sekilas tidak memerlukan penerangan tambahan.

Pintu di belakangnya masih tertutup, ia ingat untuk menguncinya segera untuk menutup kemungkinan Si Pelelang akan kabur melalui pintu. Kalaupun ia tadi pergi melalui pintu, tidak mungkin pintu tersebut tetap terkunci dari dalam. Jendela kamar tersebut juga tidak terbuka. Tidak ada kaca pecah. Tidak ada barang yang rusak. Bahkan, bekas bagian kasur yang ia tidak sengaja buat menghitam telah hilang, tidak ada cacat yang dapat ditemukan.

Si Pelelang telah pergi selayak embus angin.

Ruangan tersebut, sejatinya terisi oleh sang pasien, hanya tergolek dalam sunyi dengan dirinya sendiri berdiri di tengah ruangan. Kedua tongkat yang ia lempar tergeletak percuma di atas tempat tidur, bersama dengan jaket yang belum sempat ia berikan kembali ke pemiliknya.

Eir menghela nafas panjang, tangannya mengepal erat, sangat erat, sebelum akhirnya ia memukul dinding.

"... Regina."

Lolongan Eir, penuh dengan perasaan geram dan sedih, turut mengisi ruangan. Sayang, pemilik nama itu tidak akan menjawab panggilannya.

[ Regina telah pergi. Kini ia tertinggal sendiri, merutuk segala nama takdir. ]


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro