sepuluh.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eir menghela nafas panjang sesaat ia mengambil salah satu pojokan sepi di belantara ruang tunggu. Tidak banyak orang berkunjung ke rumah sakit di jam-jam tanggung seperti pukul empat dan lima, sehingga banyak kursi-kursi yang menganggur tanpa penumpang hampir di setiap penghujung poli rawat jalan.

Suster-suster yang tengah sibuk di bangsal umum, entah mengangkat telepon, merapikan map-map tertentu, atau berbicara dengan suster lain, tidak menghardik kehadiran Eir di sana, tampak seperti orang kebingungan yang tengah mencari udara segar, namun tidak bisa keluar dari wilayah rumah sakit karena ia menunggui pasien (gawat kalau dia melengos ke luar dan interkom berkumandang memanggilnya).

Eir bersyukur, karena memang dia sedang sedikit linglung, dan mungkin akan kurang mengindahkan apabila tiba-tiba ada suster bertanya kepadanya.

Tangannya mencari jaket yang semula ia taruh di paha, sehentak kemudian dia ingat bahwa jaket tersebut telah ia tinggalkan di ruangan pasien saat Anne datang dengan sebuket bunga sementara si penghuni kamar yang tertera namanya di depan pintu belum kunjung siuman. Eir mengangkat kepalanya, matanya mengedar mendapati senyum Anne yang lembut, seakan menghangatkan ruangan yang semula kosong dan statis. Tanpa sadar, Eir menyembunyikan tangannya dan jarum jahit yang masih ada di telapak tangan, Anne segera angkat bicara.

"Tidak apa-apa, kamu masih sibuk?"

Eir menelan ludah. Sepintas, Anne memang tidak terganggu—ralat, Anne tidak pernah terlihat terganggu, atau hendak mengomentari bagaimana Eir tengah menjahit, mungkin sebuah kegiatan yang sangat tidak Eir. Atau, itu hanya suara benaknya saja. Seorang anggun dan ramah (terkecuali jika dia sedang kesal) seperti Anne tidak akan berkata aneh-aneh tentangnya.

"A-aku baru saja selesai."

Pemilik surai abu-abu itu menatap ke arahnya cukup lama, seperti memindai. Eir tahu Anne tidak memiliki kemampuan seperti Regina, tetapi mungkin Anne sudah bisa membaca bahwa gelagatnya sejak awal ketika memasuki ruangan tampak kalut, ragu. Ada jeda sebelum Anne berusaha memanggilnya, terutama saat Anne sepertinya menemukan bahwa Eir telah menjahit sesuatu.

"Bagaimana keadaan Regina?"

Eir tertegun, baru ia mulai mencoba menarik kesimpulan yang tadi suster beritahukan kepadanya. "Katanya satu kantong darah lagi dan dia boleh pulang."

Anne mengangguk, ia tampak lega. "Bagus kalau begitu."

Eir tidak tahu jenis bunga yang Anne bawa, tapi bunga itu terlihat segar dan indah. Ruangan rumah sakit terlalu monoton, gestur itu sangat baik dilakukan oleh Anne.

Ada rasa di benak Eir yang ingin bertanya apa yang terjadi di luar sana setelah Anne dan Kellan menangani kasus itu karena Eir dan Regina belum bisa kembali bekerja. Dari pemberitahuan grup yang dikirim oleh Selena setiap paginya untuk memberitahukan pembaharuan tentang Tower dan bagaimana Guild dibangun kembali. Proses pengembalian data dan pembangunan kembali berjalan cukup cepat, mungkin ini dikarenakan Distrik 18 masih dalam tahap pengembangan intensif. Namun, identitas dan keberadaan Tower belum juga dapat diketahui.

Entah kenapa, Eir hanya ingin diam, sementara ia melihat Anne mulai memisahkan bunga dari bungkusnya, satu-persatu, tidak membiarkan satu tangkai tersangkut atau satu helai mahkota bunga gugur percuma, pemilik surai abu-abu keperakan itu menuju vas yang ada di sebelah kanan tempat tidur pasien.

"Bagaimana kalau aku di sini sebentar, kamu sepertinya butuh sedikit jalan-jalan," tukas Anne mendadak. "Kamu sudah disini tiap hari 'kan, setelah interogasi selesai?"

Eir menarik pandangannya dari Anne, menatap ke arah lantai, dan ke arah jaket di pangkuannya. Jaket taslan hitam itu bisa saja robek lebih dari yang bisa Eir perbaiki. Memang, kalaupun jaket tersebut rusak, Regina pasti akan dengan santai mengusulkan bahwa mereka membeli jaket baru yang mirip.

Jaket ini juga bukan jaket yang sama dengan apa yang pertama kali Eir kenakan saat datang ke cabang SPADE untuk pertama kalinya. Saat itu, Regina bilang bahwa jaket yang ia kenakan terlihat keren, lalu ia bertanya pada Selena apabila mereka boleh memiliki barang serupa sebagai bukti kepartneran. Sang bos seperti biasa tidak berkomentar banyak, dan Regina segera membawanya untuk mencari jaket baru yang mirip ... juga baju untuk Eir kenakan, karena Eir tanpa sengaja bilang bahwa ia tidak punya baju lain saat mereka menyisir beberapa butik lokal.

Cheongsam yang ia kenakan, misalnya, semua adalah hasil pilihan Regina. Mungkin Eir ingin kembali ke enam bulan lalu dan mengutuk dirinya sendiri untuk memilih pakaian 'tradisional' yang 'mudah untuk dikenakan' dan 'dipakai untuk bertarung'. Ia juga ingin mengutuk dirinya untuk mengiyakan segala cheongsam yang dibeli Regina untuknya.

Seniornya itu memang aneh.

"... Eir? Kenapa kamu duduk disitu?"

Nafasnya tercekat mendengar suara familiar memanggil namanya. Tegas dan jelas, disertai dengan kerit teratur suara roda kursi yang menyeret di atas lantai kemerlap rumah sakit. Kellan mengenakan blus putih lengan panjang semi formal, dipadu dengan rok panjang beludru dengan aksen kotak-kotak merah hitam. Kacamata berbingkai hitam persegi itu mengilat seperti biasa, sama seperti dengan manik amber di dalamnya.

Rumah sakit ini terletak bukan di Distrik 18, melainkan distrik tetangga, Tangen. Tangen berlokasi cukup jauh dari kantor cabang SPADE, walau mungkin bisa diatasi asal seseorang membawa mobil. Terlalu capek bila menunggu bis, terlalu lama.

Mungkin Kellan ada di sana karena ia bersama Anne, tetapi mengapa Kellan ada di lobi dan bukan langsung menuju ke kamar Regina?

Eir menjawab pertanyaan Kellan dengan anggukan kecil, sebelum kepalanya menunduk lagi. Jemarinya bersilangan bergantian, resahnya ia perlihatkan. Ia mengulum bibir, separuh memorinya masih menjangkau masa lampau. Eir sejenak mengingat saat Kellan menolak uluran tangan Eir untuk membantu mendorong kursi rodanya. Sama dengan sekarang, Kellan mendorong kursi rodanya dengan tanpa campur tangan sihir, Eir ingin sekali berdiri dan segera membantu, tetapi lagi-lagi ia memilih untuk diam.

Tidak, ia tidak boleh menyentuh apapun, walau tabung miliknya sudah ia perbaiki dan ia sudah mengenakan sarung tangan lagi.

"Eir."

Kerit itu berhenti tepat di hadapannya. Kellan menarik kursinya mundur untuk memposisikan diri di samping Eir, tidak menghalangi jalan dan pintu. Baru saat itu, Eir melihat ada tas kain di pangkuan Kellan, di sana ia mengeluarkan dua kaleng minuman, satu kopi dan satu tampak seperti teh dari gambar cangkir dan nuansa perkebunan. Di saat yang sama, Eir melirik ada kantung kertas dengan nama Kellan di sana, beserta logo rumah sakit, tapi dia tidak mengeluarkannya.

"Nih, kopi hitam nggak masalah, 'kan?"

Eir mengangguk. Tidak baik menolak kebaikan orang lain, pungkasnya dalam hati. Walau begitu, ia gentar mengambil kaleng yang diberikan Kellan, menjaga jarak jauh agar jarinya tidak bersentuhan.

"Itu, err," Eir mencoba memulai. "Penghilang rasa sakit?"

"Ohh, kamu jeli juga." Kellan terkekeh. "Jujur, akhir-akhir ini jadwalku penuh dan lama tidak bertemu dengan Anne, hampir saja aku lupa resep bulananku."

Eir menelengkan kepala, alisnya bertaut. Ia menunggu Kellan melanjutkan. "Kalau ada Anne juga sih mungkin aku juga akan lupa menebus resep, dia akan terus membuatku sibuk."

Kalau tidak salah, salah satu 'efek' dari kedahsyatan Arkana Magician dan bagaimana Kellan memiliki sumber kekuatan sihir yang sangat melimpah ada di sekujur tubuhnya. Seperti tato. Selayaknya pengguna sihir hitam pada sejarah. Alasan utama mengapa Kellan selalu memakai baju dan rok panjang.

Itu hanya analisis Eir pada suatu hari, ia tidak mungkin bertanya-tanya soal itu langsung kepada Kellan. Tidak sopan.

Sang pemilik surai biru kuncir dua itu membiarkan implikasi di pernyataan tersebut dan mencoba mengalihkan pembicaraan, "Jadi, Nona Kellan kesini dengan Nona Anne?"

"Ya, tapi aku yang bawa mobilnya Ann."

Bibirnya membentuk huruf 'o', sirat wajah Eir terkagum-kagum. Ia membuka kaleng kopinya, melihat Kellan tampak santai menikmati teh yang ia pegang. Sebelah tangannya mengepal, menahan pipinya yang merunduk ke sisi kanan tempat Eir duduk.

Sunyi terkembang, Eir melihat permukaan kaleng dengan ekspresi nanar. Bukan berarti ia benci kopi hitam, hanya, ia tidak ingin minum sekarang.

"Sampai kapan kamu mau diam, Eir?"

Tanpa melihat ke arah Kellan, Eir sudah bisa menebak bahwa bibir yang semula tersenyum tipis itu mengerucut sedikit ke atas.

"Apa ini soal Regina?" Eir menggeleng. "Atau soal Arkana-mu?"

Eir menaikkan kepala akhirnya, menemui tatapan tajam di balik kacamata hitam itu. Kellan menurunkan kalengnya di sisi bawah kursi roda, jauh dari tangan-tangan yang dapat mengusik. Berbeda dengan Anne yang mungkin terlihat tegas tapi piawainya lembut, Kellan terlihat pasif namun ia tidak akan membiarkan satu kejanggalan tertinggal tak tertangani.

"Aku tidak tahu harus menjelaskan dari mana, tapi ya, ini tentang Arkana-ku."

"Kamu membenci kekuatan Hanged Man?" imbuhnya.

Eir berpikir sejenak, sebelum akhirnya menggeleng, "Aku sudah berusaha menyesuaikan diri, lagi aku masih merasa takut."

"Lalu, kenapa kamu memilih menjadi pemegang Arkana kalau kamu takut?"

Eir mengedip beberapa kali, meratap. Ia tahu Kellan tidak marah. Kellan sekedar mencoba memberikannya bantuan. Eir bisa saja menolak untuk bicara dan Kellan tidak akan memberikan kesempatan berikutnya.

"Aku tidak menyangka kalau kekuatan Hanged Man bermutasi seperti itu. Saat penjelasan oleh instruktur, kukira orang sepertiku--anak Slums sepertiku--tidak akan bisa menjadi pemegang Arkana."

"Oh?" Kellan menaikkan kedua alis, tetapi tidak ada raut kaget di sana. "Bukannya kamu sendiri saat datang ke SPADE yakin bahwa kamu pantas?"

Pengguna sihir dari Slum-A. Seperti cerita novel kelas B saja.

Kamu bisa sihir dengan otodidak? Tapi di data historismu tidak ada darah bangsawan, kamu juga bukan anak buangan ningrat.

Siapa anak kecil ini? Dia mau kesini untuk menyandang kekuatan Arkana?

Pulang sana ke tempat sampah. Apapun kemampuanmu, kamu tidak akan bisa menandingi kami yang memiliki sihir lebih kuat!

Kamu takkan bisa melawanku, bocah. Aku adalah penguasa sihir dengan predikat tertinggi di akademi tentara!

Kellan memegang pundaknya, seakan menariknya dari spiral dan suara-suara masa lalunya. Dari kalimat-kalimat merendahkan yang ia lewati. Dari orang-orang yang tidak menghargai. Kellan ada di sana, dan yang Eir tahu, Kellan adalah pengguna sihir yang jauh lebih kuat, walau ia bukan berasal dari turunan kelas atas Medea.

"Kalau kamu takut melukai orang lain karena sihir, aku juga merasakan hal yang sama, Eir." Kellan menukas, nadanya pelan namun lugas. "Kamu tahu seberapa destruktif kekuatanku, 'kan? Akupun juga takut kalau aku melukai orang-orang disekitarku."

'Kita sama', bukan dari soal kekuatan, tetapi soal ketakutan. Kellan ingin menyampaikan hal itu padanya.

(Orang-orang disekitarnya akan membantunya; mereka bukan orang-orang yang akan membuangnya, mengapa ia harus takut?)

"Nona Kellan, boleh aku bercerita tentang sesuatu?"

Kellan menarik tangannya, kembali setia dengan pegangan kursi rodanya, "Boleh saja, kalau memang kamu tidak keberatan."

Mendapati Kellan yang mendengarkannya tanpa mengedip, dengan atensi sempurna, Eir merasa sedikit gugup. Walau begitu, ia sudah bersiap untuk membagikan hal tersebut.

Eir tahu, mereka akan membantunya.

Dan mungkin dengan ini, ia akan bisa menghadap ke Regina, mungkin.

Seusai bercerita singkat di hadapan Kellan, sang pemilik Arkana Magician itu menyuruh Eir untuk kembali ke ruang tempat Regina dirawat. Sebentar lagi jam menunjukkan pukul 1730, ada jeda tiga puluh menit sebelum jam besuk malam diberlakukan. Kellan berkata Selena kemungkinan akan datang, jadi Eir diharap ada bersama Regina.

Dengan senyum runcing, wanita muda di atas kursi roda itu mendorong Eir pergi, juga mengingatkan bahwa sekarang raut wajahnya sudah lebih rileks.

Ketika Eir kembali ke ruangan, tidak ada tanda keberadaan Anne, hanya Regina yang tengah berjalan ke arah kasur dari arah toilet. Dahi Eir mengkerut sejenak, memerhatikan sampai akhirnya Regina duduk dan melambai ke arah pintu. Langkahnya tertatih-tatih sedikit, mungkin karena sulit menyamakan langkah ketika ia mengangkat palang penyangga infus dan berjalan. Seingat Eir, selain tangannya yang patah dan kebutuhan transfusi, Regina tidak menderita luka-luka serius lain.

"Memangnya aku nggak boleh ke WC?" ia nyengir, khas Regina.

Eir menepis. "Bukan, bukan itu maksudku." ia melirik ke arah vas yang sudah berisi bunga segar barusan, tidak ada tanda-tanda keberadaan Anne.

Regina tergelak, gelagatnya seperti bukan orang yang tengah dihujam dua jarum infus ditambah dengan tangan patah. Pemilik surai merah itu menelengkan kepala ke sampingnya, "Sini."

Eir mengurai nafas dan menurunkan bahu. Ia tidak bisa menolak.

"Di mana Nona Anne?" ia bertanya.

"Dia tadi mengangkat telepon, mungkin ke arah ruang tunggu." jawabnya ringan.

Jaket taslan yang semula ia ingat ada di kursi telah berpindah tempat ke sisi bawah tempat tidur. Kemungkinan besar, karena Eir tidak ingat memindahkan jaket itu, Anne yang memindahkannya karena Regina tidak bisa menggerakkan tangannya banyak-banyak.

"Kamu menjahitkan jaketku lagi ya? Makasih banyak."

Eir terkesiap sejenak ia duduk di samping Regina. Ia hanya bisa melongo, di dalam hati bertanya-tanya bagaimana si senior bisa tahu.

"Jangan menatapku begitu, ah. Kita kayak nggak pernah kenal satu sama lain."

Kalau tangannya tidak patah atau diinfus, Regina akan menepuk-nepuk pundaknya, SKSD.

"Kita memang baru kenal enam bulan, IX."

"Ya, ya emang sih, tapi kan."

Eir melipat kedua tangan di dada, ia bersungut. "Terus? Kamu bukannya istirahat malah ngajak ngobrol."

"Hei, aku mau bawa topik yang agak serius lho?"

Maniknya membulat, memperhatikan senyum Regina perlahan memudar. Regina memainkan jari-jemarinya di sekitar palang, sebelum akhirnya terdiam. Tidak pernah sekalipun Eir melihat Regina begitu kaku, ia selalu tampak melihat sesuatu dengan santai - entah dia sedang dalam masalah atau tidak. Senyumnya mungkin tidak secerah biasa, namun Regina akan tetap tersenyum.

"Ketika kamu membawaku dari reruntuhan Guild, kamu merasa tidak enakan, ya?" pandangan Regina melipir ke arah lantai, sebelum kembali ke arah Eir. Duduk mereka berdekatan, jarak nafas mereka nyaris bersentuhan. "Tidak, aku bukan tahu ini dari Anne maupun Kellan, aku hanya merasakannya samar-samar. Dan saat melihat Anne barusan membuatku paham."

Eir membuka mulut, lagi Regina melanjutkan, "Tapi, aku paham kok kalau kamu tidak ingin memberitahukannya padaku, soal kegundahanmu," pungkasnya, dengan sedikit tawa kering. "Aku tahu kamu pasti juga kesal bagaimana aku memperlakukanmu seperti partner yang tidak bisa dipercaya."

Perang Arkana Terakhir. Topik itu selalu ada di udara kemanapun mereka pergi. Menyesuaikan ritme dengan Regina dan mendapati bahwa itu adalah topik yang tidak enak dibicarakan, Eir hanya bisa diam. Tapi, jelas adanya bahwa bukan hanya Eir yang memikirkan soal kebenaran itu, melainkan juga Regina, yang menyimpan segalanya untuk dirinya sendiri.

Itu hanya pandangan subjektif Eir, Regina bisa saja berdalih lain.

"Jadi," Regina menggeser tubuhnya sedikit sehingga ia bisa menghadap lebih benar ke arah Eir, pandangannya lurus. "Aku berjanji akan memberitahukan apa yang aku tahu. Mungkin tidak sekarang, karena aku merasa masih berat tentang ini, tapi tidak akan lama lagi."

Eir merasa siratan mata itu berujar, 'pasti'. Tak kuasa, relung hatinya menghangat.

Sama seperti bagaimana Kellan mengulurkan tangan, Regina mencoba untuk berada lebih dekat.

Tidak ada yang menjauh.

Tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan 'monster'.

"Kamu tidak perlu memaksakan diri, IX. Aku paham kalau kamu punya alasan untuk menyembunyikan sesuatu. Dan alasan itu adalah benar--untukmu," pemilik surai biru itu mengurai nafas. Sebelum Regina berusaha berargumen, Eir berujar. "Kalau begitu aku akan mengingatkanmu soal itu nanti. Di saat yang tepat. Aku akan memegang janjimu."

Perlahan, Regina mengangguk. Kini, sinar rileks yang biasa ada di wajah Regina telah meluruh sempurna. Eir seperti melihat orang yang berbeda, namun ia tahu bahwa ini adalah senior yang biasa selalu berseru dalam canda. Mungkin, mungkin bila Eir tidak ragu dalam mengambil aksi, ia sudah melakukan gestur yang sama dengan apa yang Kellan atau Anne sering lakukan.

Tidak. Gerutunya. Keraguan itu berakhir hari ini.

"IX. Untuk membalas keberanianmu, biarkan aku bercerita tentang sesuatu."

Regina memerhatikannya sesaat Eir memanjat tempat tidur itu untuk mengambil satu batang bunga yang ada di vas. Bunga yang Eir tidak ketahui namanya. Bunga yang tentu saja tidak ada di segala dokumen yang ia koleksi mengenai sains, alkemi dan sihir. Ia tidak pernah tahu bahasa bunga dan ia tidak ingin tahu, tetapi ia merasa sedikit sedih akan nasib bunga itu ketika ia mencoba melepas sarung tangannya.

"Dua tahun yang lalu mungkin, aku ikut seleksi untuk pemegang Arkana Hanged Man," Eir mengingat ruangan kosong yang dijadikan tempat ujian terakhir itu lamat-lamat di benaknya. Juga orang-orang di sana yang ikut memperebutkan hak menjadi pemegang Arkana.

Ia membayangkan masa lalunya sambil jemarinya memainkan bunga segar di tangannya, sambil memandang antara kelopak bunga dan Regina dengan segala keseriusannya.

"Awalnya, aku tidak merasa hasil tesku akan cukup untuk menyandang Arkana mayor, tetapi aku ada di sana, bersama enam peserta lain. Di sebuah ruangan entah di mana."

Bahkan dia yang paling pendek dan muda di sana, kalau ia beritahu itu, mungkin Regina akan tertawa. Eir membalas pandang Regina sejenak, melihat pantulan dirinya yang berbalut senja di sana, temaram.

Ia tidak ingin menafikan nuansa ini. Tidak sekarang.

"Format seleksi itu hampir seperti duel. Duel itu dilaksanakan di tempat yang sama dengan satu mata pengamat," ia menghela nafas. "Lawanku saat itu adalah lulusan akademi militer, kalau tidak salah laki-laki itu menyebut namanya sebagai Cranesbill."

"Dia dua kali lebih tinggi darimu?"

Eir tersenyum, sedikit banyak pahit. "Ironisnya, ya. Seperti, mungkin kamu ingat ketika kita melawan Borscht, tapi tentara itu lebih rapi dan langsing. Dia membawa pedang tipis, rapier mungkin, dari batu turmalin seperti kalung yang kamu kenakan. Juga pistol."

Pistol, bilah pedang, melawan gadis dengan dua tongkat besi murah minim guna, tuturnya pelan. Regina tidak pernah mengalihkan apapun menjadi candaan, tidak bila itu berkaitan erat dengan bagaimana Eir mendefinisikan dirinya. Regina bahkan tidak pernah bertanya soal tabung yang biasa ia bawa-bawa.

"Di ruangan itu, potensi sihir kami diamplifikasi oleh basis kekuatan Hanged Man. Intinya, kami bertarung dengan moda kekuatan yang sama, walau dengan eksekusi berbeda."

Sejenak, Eir memerhatikan bagaimana Regina mencerna penjelasannya. Hampir mirip dengan bagaimana Kellan menelaah sesuatu, seperti seorang peneliti sihir, bukan sembarang pendengar yang hanya akan mengangguk atau menggeleng. Ia seperti menangkap sesuatu dari kalimat barusan, dan bola matanya berputar sejenak, seperti tengah mengakses memori di masa lampau dan mencocokannya.

"Tentara itu, dia berhasil mengeluarkan kekuatan Hanged untuk mempertajam sihir ilusi yang dia buat, sehingga aku tidak bisa membaca peluru yang ia tembakkan," Eir bergidik, ingatan tentang peluru yang melesak melukai lengannya sukar untuk dilupakan. "Tetapi, aku berhasil mematahkan ilusinya karena aku mempunyai eksekusi kekuatan Hanged yang lain."

Eir membuka sarung tangan kanannya dengan bantuan giginya, kemudian mengembalikan bunga yang semula ada di sana ke jemarinya. Ia menaikkan tangkai bunga tersebut, melihat Regina membelalakkan mata ketika bunga segar tersebut layu dalam hitungan detik; kehilangan warna hijau terang daun dan menjadi cokelat gersang.

"Kamu menghisap energi sihir pria itu?"

"Aku tidak pernah melakukannya lagi sejak saat itu, menghisap energi," Eir menaruh bunga tersebut di tempat sampah terdekat yang ada di sisi kiri tempat tidur pasien. "Bukan berarti aku tidak bisa mengontrol ini, aku hanya bersikeras tidak ingin menggunakannya lagi, bagian kekuatan Hanged Man yang ini."

Eir merasakan pahit di selasar lidahnya. Sejenak ia mual. Kellan tidak berkata apa-apa ketika Eir selesai menceritakan hal tersebut, mungkin merupakan hal baik yang bisa sang pemegang Arkana Magician lakukan untuknya.

"Kamu hebat, Eir."

Ia pun tidak menyangka akan mendapatkan kata-kata itu dari bibir Regina.

"Itu artinya kamu berhasil menggunakan potensi kekuatan Hanged Man dengan baik," senyum Regina merekah. "Memang, berat untuk terbiasa, tapi kamu punya segala potensinya."

Ia bukan lagi monster. 'Eir' bukanlah monster. 'Eir' bukanlah seorang yang boleh tinggal di tempat sampah.

Ia adalah 'Eir'.

Saat ini, sedu-sedahnya mengenai kekuatan dan bagaimana kekuatan itu melukai orang-orang sekitarnya sekejap seperti angin lalu. Sama seperti saat itu, perasaan yang sama terkembang ketika ia diterima sebagai salah satu anggota di cabang SPADE setelah beberapa lama terombang-ambing.

Dan Regina,

Regina memang aneh, urakan, santai, tetapi bukan berarti dia tidak menganggap Eir serius sebagai seorang partner.

Butuh waktu bagi mereka untuk mempelajari satu sama lain, namun untuk saat ini, keinginan untuk menjadi lebih baik adalah sesuatu yang lebih dari cukup.

"Aku senang bila kamu menganggapnya seperti itu, IX." ungkapnya jujur. Ia beruntung rinai senja menyembunyikan wajahnya yang mungkin memerah karena luapan emosinya yang bergolak.

"Regina."

"Eh?"

"Kamu nggak pernah sekalipun memanggil namaku, walaupun kita sedang tidak dalam misi. Aku sudah sering bilang, 'kan, panggilan itu hanya untuk saat misi," tukas Regina. Entah bercanda atau tidak. Eir ingat berulang kali Regina bilang kalau dirinya itu kaku, tapi untuk memanggil seniornya dengan nama depan- "Oke? Panggil aku Regina. Regina saja. Aku hanya empat tahun lebih tua darimu. Tenang saja."

"Se-Senior?"

"Eir."

"Re," lidahnya kelu. "Re-Regi--"

Pintu geser terbuka mendadak dengan kehadiran seorang bersurai abu-abu menurunkan ponsel dari telinganya dengan sedikit tergesa. Ekspresi Anne sangat, sangat muram, dan Eir merasa ada sesuatu yang tidak ia inginkan akan ia dengar.

"Bajingan para korporat itu." tutur Anne lembut.

Regina menurunkan kedua bahunya. Sementara, Eir memang tidak terbiasa dengan umpatan Anne, namun ia lega karena terbebas dari maut.

Tunggu. Apakah itu sebenarnya bisa dibilang sebagai maut?

"Oh, Ann, kamu datang di saat yang terlalu tepat."

"Ada apa, Regina? Apa aku mengganggu sesuatu?"

"Tidak, tidak. Abaikan saja."

"Aku antar Nona Anne ke lantai bawah dulu ya, IX."

Andai ada cara untuk menyembunyikan rona merah yang menjalar dari pipi hingga telinganya, Eir berujar dalam hati seketika ia melompat dari kasur, menghampiri Anne yang masih menatap ke arah Regina dengan penuh tanya. Eir mendorong Anne ke luar ruangan, tidak menjawab Anne yang berujar bingung.

"Hei, jangan kabur~"

"Aku akan kembali nanti," Eir mendecak. "... Regina."

Eir mengambil langkah seribu, setelah beberapa saat ia membuat Regina melongo - mungkin itu satu-satunya saat di mana Eir benar-benar melihat Regina kaget.

Andai ada cara untuk menyembunyikan rona merah yang menjalar dari pipi hingga telinganya.

Ah, seniornya itu memang aneh--sebuah enigma.

Senja mulai menghilang perlahan dari langit, tergantikan oleh biru dan gelap malam. Petang berjalan dengan pelan, sementara Regina masih menggeleng-geleng dengan kelakuan partnernya barusan.

"Junior yang lucu."

"Dan, sampai kapan kamu masih mau bersembunyi di bayangan ruangan, hm?"

Langkah kaki terdengar nyata mengisi ruangan, sesosok manusia datang dari sisi tiada, menghampiri tralis tempat tidur dengan ekspresi terselubung di balik topeng yang tidak berhenti tersenyum.

Si Pelelang, begitu Regina dan Eir mendefinisikan sosok tersebut; sosok yang sampai saat ini belum bernama atau lebih parah lagi, belum berwujud. Si Pelelang menatap arah pintu, sebelum melihat Regina yang tidak terkejut melihat keberadaannya di sana.

"Selamat petang - atau, selamat sore? Atau selamat malam? Aneh di bahasa kita tidak ada ungkapan jelas mengenai bagaimana menyapa pada waktu petang," pembawaannya santai, sama seperti saat lelang artefak sihir itu berjalan. Muka tembok. "Bagaimana keadaan anda saat ini, Nona Regina Rhadamanthus Acedia?"

Matanya berkedut mendengar nama panjangnya dilantunkan oleh seorang tak berwujud, tak bernama. Seakan, di balik topeng itu, orang di sana juga mengejeknya.

"Aku tidak ingat memberikan namaku kepada orang sepertimu." balasnya dengan netral.

Sudah berapa lama orang tidak memanggilnya dengan nama itu? Bahkan Selena sendiri tidak bertanya apapun perihal keinginannya menyembunyikan namanya. Tiga kata, mirip dengan struktur nama Anne. Terlalu panjang. Terlalu ribet.

"Aku selalu mencari tahu nama klienku agar aku tidak salah alamat," pungkasnya penuh percaya diri. "Aku kesini untuk menawarkan jasaku - yang aku tahu akan sangat menarik untukmu, Nona Acedia."

Si Pelelang membungkuk dalam, seperti para pelakon di sebuah teater koma, seperti pesulap yang hendak menarik tirai penutup acara namun ia masih menyembunyikan trik di dalam topi tingginya. Andai Regina adalah sekedar penonton, mungkin ia sudah antusias dengan tinggi rasa antisipasi yang membuncah.

Sayang, ini bukanlah sebuah panggung biasa.

Dan tidak dapat dipungkiri, Regina hanyalah satu di antara banyak bidak di atas papan catur.

"Saya hendak menawarkan anda tentang kebenaran atas Perang Arkana Terakhir. Bagaimana menurut anda: apakah kita bisa langsung membicarakan harga?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro