sembilan.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sihir.

Konsep yang abstrak lagi menyita perhatian, bukan?

Bagaimana kekuatan itu ada? Mengapa kekuatan itu bisa diberikan kepada manusia? Sebenarnya apa fungsi sihir? Dari mana sihir berasal? Sejak kapan sihir dianugerahkan untuk manusia? Bagaimana? Apa? Mengapa?

Mungkin, mungkin itu bukan hal-hal dasar yang mestinya ditanyakan oleh seseorang seperti Regina. Tapi, ia ingat bahwa Henrietta—mentor sekaligus pengasuhnya itu—sampai menutup bukunya dari mengeja kata demi kata sebuah buku sihir.

Ningrat sekalipun, tidak semua anak-anak itu dikaruniai kesempatan untuk bersekolah, atau bahkan diberikan waktu untuk belajar membaca. Regina adalah salah satunya. Menghabiskan waktu dikelilingi buku tetapi tidak bisa membaca buku, ia adalah anak yang aneh, bukan? Lagi, pertanyaan itu muncul dari anak yang awalnya sama sekali tidak mengetahui apa itu huruf.

Tunggu, jadi sebenarnya Regina ini ningrat atau bukan? Tidakkah ningrat itu semua berpendidikan tinggi dan terpandang? Sayang, premis itu hanyalah ada pada mereka yang memandang hierarki kependudukan sebagai kasta.

1) Yang ningrat pasti berpendidikan

2) Yang ningrat pasti mewarisi keluarga

Kedua premis itu semuanya tidak berkaitan dengan Regina, maupun Henrietta. Keberadaan mereka melanggar dua kalimat tersebut secara pasti. Regina bahkan tidak ingat ia punya keluarga. Ia sudah lama ada di perpustakaan itu dan kebetulan saja, Henrietta ada juga di sana. Tidak aneh bukan, kalau dua orang ningrat bermasalah disatukan dan hidup bersama satu-sama-lain? Tentu, mereka tidak akan diganggu siapapun asal mereka tidak mengganggu siapapun.

Regina juga tahu, Henrietta pernah hampir keceplosan bilang kalau keluarga utamanya yang mengasingkan Regina kesana setelah satu atau dua hal. Toh, Regina tidak memerdulikan apa alasan mereka. Dikelilingi buku yang menarik dan punya satu orang untuk diajak bicara sudah cukup. Sampai-sampai, perpustakaan 7B ini adalah penjara abadi baginya dan juga Henrietta Lazward; Regina menyimpulkan demikian.

Oke, usah dengan semua kekeliruan historis itu. Kembali ke sihir.

Setelah akhirnya memohon, membaca buku, menambah umur, menambah pengalaman menjadi babu perpustakaan, kembali memohon, membaca buku lagi, memohon lagi, Henrietta akhirnya memperbolehkannya merambah keilmuan sihir.

Sihir itu sangat berbeda, Henrietta selalu menjauhkan Regina dari buku-buku sihir. Perlakuan gurunya itu sangat berbeda dengan buku-buku sains yang penuh teori dan intrik dengan rinai angka dan probabilita; Henrietta tidak melarang Regina menyambar buku-buku itu setelah Regina sudah bisa membaca dan menulis. Untuk buku sihir, Henrietta bahkan menyembunyikan keberadaannya dengan sihir – Regina baru tahu kalau selama ini dirinya tertipu sesaat setelah di hari Henrietta memberikannya izin murni, sang guru menjentikkan jari, membuat membran kaca yang tidak terlihat di antara rak-rak yang ada runtuh.

Henrietta memang terlihat lembut, keibuan, mungkin mudah tertebak kelemahannya terutama ketika sibuk dengan risetnya, tapi ia selalu selangkah di depan.

Dan, Regina pun akhirnya memahami bahwa selangkah di depan Henrietta itu bukan hanya dalam arti simbolis.

Regina ingat hari itu, akhir musim panas yang rasanya panjang dan lama, Henrietta menutup perpustakaan lebih awal dan mereka berdua berbincang soal sihir, ditemani berbagai jenis sandwich (Henrietta suka roti manis, sementara Regina di kubu asin), dan tentu saja, kopi dingin.

Henrietta melipat kedua tangannya, sejenak tertegun. Ia menaikkan satu kepalan untuk menyandarkan dagunya. Regina baru saja selesai melayangkan beberapa pertanyaan, Henrietta menunggu kalau-kalau Regina punya pertanyaan lain.

"Biasanya, murid-muridku langsung saja ingin praktik sihir, dan ini kamu bertanya banyak-banyak, Regi."

Regina menaikkan kepalanya dari merunut huruf demi huruf di halaman buku yang ia buka. "Apa aku aneh?"

"Ya, kamu aneh." Tanpa jeda, sang guru berkomentar. Kekehannya lembut tapi puas. "Tapi ya, bukan masalah. Kalau kamu nggak aneh, aku juga nggak mau mengajarimu soal sihir."

Jujur, Regina tidak paham apa maksud kata-kata itu hingga kini. Henrietta segera mengalihkan konsentrasinya kembali ke pertanyaan-pertanyaan tadi.

Q1. Mengapa sihir berbeda?

"Sihir itu bukan sembarang kekuatan yang ada seperti sains. Sihir tidak bisa dihitung."

Henrietta memulai, tangannya mengayun di udara untuk memunculkan sebuah batu es. Ya, batu es. Dia melayangkannya ke dalam cangkir kopi miliknya, mengamati mata Regina yang mengikuti.

"Tapi, mereka bilang semua ningrat bisa sihir sejak lahir?"

Henrietta tertawa, "Oh, kata siapa?" dua alisnya naik bertaut, Regina memerhatikan lamat-lamat saat Henrietta berusaha menahan tawanya dari kalimat awam tersebut. "Semua bisa memiliki sihir, hanya kebetulan para ningrat itu menyembunyikan kuncinya."

Membayangkan kunci perpustakaan yang biasa Henrietta kalungkan di lehernya, Regina menelengkan kepala. "Kunci?"

"Coba: saat pertama kamu belajar matematika, yang diajarkan pasti angka, kan? Setelah bisa membaca angka satu sampai sepuluh, baru mereka akan memperkenalkan apa yang disebut dengan operasi matematika."

Sang guru menerangkan tentang operasi sederhana: tambah, kurang, bagi, kali. Hal tersebut, Regina sudah cukup paham. Orang menyebutnya sebagai dasar matematika.

"Lalu, setelah mengenal itu semua, kamu akan diajarkan hal-hal lanjut yang akan berkaitan dengan mata pelajaran lain. Bisa juga berupa rumus yang sudah ditentukan, atau improvisasi dari rumus yang disebut dengan turunan--derivatif." Henrietta menghela nafas. "Sihir ada seperti itu: pertama, kamu akan belajar untuk membaca sihir."

Saat Henrietta mengambil kopinya dari sisi meja, Regina perlahan mengikuti. Cuaca masih cukup panas, walau musim panas sebentar lagi berakhir. Sudah sekitar setengah jam Henrietta bicara, wajar saja dia haus. Regina hanya senang mengikuti mimik sang guru, untungnya Henrietta tidak keberatan.

Pertanyaan kedua bersinambungan dengan pertanyaan pertama, jadi Henrietta berucap ia akan menyambungkannya.

Q2. Bagaimana sihir tercipta?

"Bisa dibilang: tidak ada yang tahu. Sihir itu ada alamiah, mirip dengan bencana alam," Henrietta sejenak mengernyitkan dahinya. Bencana alam - ulang Regina dalam hati. "Kita tidak dapat mengontrol dari mana sihir berasal, tetapi kita dapat mencegah penyalahgunaan terjadi, juga kita dapat belajar dari sihir-sihir yang diceritakan di masa-masa silam."

Henrietta mengangkat tangannya untuk mengambil salah satu buku tipis yang ada di rak buku sihir (yang Regina baru sadar bahwa selama ini ia ditipu). Tapi, Regina hanya tahu Henrietta mengambil satu, bukan tiga buku, dan itu bahkan berasal dari nomor rak yang berbeda.

"Kunci penggerak sihir yang diturunkan dari masa ke masa adalah cara mengontrol energi batin," pungkasnya. "Dengan mengetahui seberapa besar energi yang dapat kamu kendalikan, kemudian kamu dapat mengeja kekuatan yang ada di alam - karena kita juga adalah makhluk alam--"

"Tunggu, Henri, gimana caranya kamu ambil buku barusan?"

Henrietta tersenyum lengking, "Oh, bukannya kamu sudah hafal mengenai Arkana?"

Q3. Mengapa sihir (selalu) dikaitkan dengan Arkana?

Arkana. Konsep lain sihir.

Seperti yang Henrietta ucap barusan mengenai rumus dan turunan rumus, Arkana adalah derivatif dari sihir.

Sihir, seperti yang diketahui orang kebanyakan dari cerita-cerita dongeng yang telah diubah-ubah, adalah kekuatan untuk mengendalikan elemen-elemen dasar yang ada di alam. Air, tanah, api, udara; begitulah paham orang awam berkata, sama dengan tambah, kurang, bagi, kali.

Arkana adalah bagaimana seorang penyihir dapat mengontrol alam lebih dalam dengan 'rumus' tertentu di sana, yaitu media Tarot.

Bila Henrietta menyebutkan soal kunci penggerak dibutuhkan sihir, Arkana adalah kunci yang lebih kecil untuk membuka ruangan-ruangan khusus di dalam lingkup dunia sihir. Akan tetapi, berbeda dengan sekedar menggunakan peralatan sihir, kekuatan dari Arkana seperti sebuah pakaian yang dikenakan di badan - tidak ada yang dapat mengeja kekuatan Arkana dengan sekedar telanjang bulat, tidak ada yang dapat menyelesaikan trigonometri tanpa sin, cos, dan tan.

"Kamu adalah pemegang Arkana nomor dua puluh, Henri."

Henrietta kembali tersenyum simpul, "Lalu?"

"Kamu bisa mengendalikan waktu."

Sang guru mengetuk meja sekali, si gadis kecil bersurai merah di sampingnya pun terperangah. "Salah."

"E-Eh?"

Henrietta memang memiliki perangai yang lembut. Ia berbicara seadanya, ia melakukan pekerjaannya dengan sebaiknya. Tetapi, itu akan berbeda ketika ia datang ke topik kesukaannya, atau membaca buku favoritnya, atau nyerocos mengenai perkopian. Ia juga tidak akan diam bila seseorang salah paham dengan apa yang ia ajarkan.

"Rumus utama Arkana dua puluh tidak berkaitan dengan waktu," ucapnya. "Aku menurunkan rumus itu sehingga aku memiliki kekuatan waktu."

"Henri menurunkan rumusnya?" manik Regina berkilat senang.

"Karena itulah, semua pemegang Arkana itu berbeda, Regi. Tidak ada generasi yang sama karena mereka akan menurunkan dasar kekuatannya menjadi yang lain - sama seperti sidik jari."

Regina menyambar buku dari tumpukan. Ia sudah tahu kalau buku dasar tentang Arkana itu memiliki sampul berwarna cokelat, kaver bernada beludru. Ia membuka halaman sembarangan, ada arkana mayor nomor lima di sana.

"Jadi kalau Hierophant, penggunanya bahkan bisa mengontrol sepasukan tentara seperti Arkana Emperor?"

"Tentu."

"Aku mau bisa sihir!"

"Oh? Kamu mau jadi peneliti yang pegang Arkana juga, hm? Kamu serakah ya."

"Tapi Henri 'kan juga begitu."

Henrietta menaikkan kacamatanya, "Aku ini lain soal!"

"Tapi aku tetap ingin jadi seperti Henri!"

Wanita bersurai hijau itu segera memeluk Regina yang lebih kecil. Rambut merah Regina ia acak-acak sedemikian rupa, mengundang gelak tawanya. Kacamata Henrietta nyaris jatuh dari hidungnya, saking semangatnya mereka tertawa.

"Kamu nggak bisa ambil Arkana dua puluh, lho?"

"Nggak apa-apa! Yang penting kita sama-sama pemegang Arkana!"

.

Ingin rasanya ia tertawa mendapati semua itu hanya sekedar mimpi, tetapi kedua tangannya dikekang sempurna, satu karena patah dan satu karena ditusuk infus dan kabel transfusi.

Regina tidak tahu kenapa ia selalu merasakan kehangatan yang mirip ketika ia mencoba membuka mata dari hampir semua lelapnya. Melihat suasana putih rumah sakit di sekelilingnya segera membuatnya merasa dingin, sayangnya.

Kadang, terbersit di pikirannya mengapa rumah sakit itu harus putih, dan hampir tidak ada warna lain yang dapat menggantikan posisinya sebagai si netral dan si penenang. Bahkan putih saja bukanlah warna, Regina mengutuk sisi piciknya sejenak.

Mengedarkan pandangan ke sisi kanan di mana tirai berembus disapa semilir angin sore di akhir musim panas, seorang tinggi tengah menata bunga di vas yang tersedia. Regina memfokuskan mata untuk melihat surai tersebut sejenak kabur ditampar jingga dari jendela. Anne melirik ke arahnya dengan malu-malu, menarik pandangannya segera ketika mereka bertemu mata, kembali ke arah vas bunga.

Pikok, sepertinya, Aster tataricus. Mungkin bukan bunga segar karena belum pas dengan musimnya, tetapi sentimennya sudah lebih dari cukup.

"Kalau kamu mau bertanya soal Eir, dia sedang keluar sebentar untuk beli minum." suaranya terlampau kecil, rona merah di wajahnya tertutup oleh seringai senja.

Regina terkekeh, "Kalau begitu, aku akan bertanya hal lain," ia mencoba menaikkan kepalanya sedikit, bantal di sana terasa begitu penuh dan empuk. "Apa ada hal-hal aneh setelah aku dan Eir melawan Tower?"

Anne menarik kursi dari sisi selatan ruangan. Di sana, ada jaket taslan hitam yang familiar, Anne melipat jaket tersebut sebelum menaruhnya di atas tempat tidur. Mungkin, Eir sudah menjahitkan kembali jaket milik Regina, atau ia melakukannya barusan, karena Regina tahu jaket itu terlihat terlalu besar untuk Eir. Ia tidak pernah bisa melarang Eir untuk menjahitkan jaket tersebut, terutama setelah memilih jaket tersebut sebagai barang yang menandakan kerjasama mereka.

"Tiga hari ini, kami melakukan banyak pengumpulan data dan penyisiran lokasi perkara," Anne duduk dengan kedua tangan merapat tertutup di atas paha. Hari ini, Anne mengenakan gaun terusan berwarna krem, agak aneh melihat ia yang selalu lembut itu tampak semakin halus, nyaris seperti hantu. "Bos sedang sibuk mengawal backup data Guild setelah kejadian tersebut."

Sebagai area yang sedang dalam masa pembangunan masif, kejadian-kejadian di Distrik 18 akan menuai banyak perhatian dari pemerintah pusat. Pihak pusat pasti telah mengetahui bagaimana seseorang dengan sihir Arkana Tower menghancurkan gedung Guild, walau tetap tidak akan cepat proses untuk mencari si gadis putih tersebut.

Anne menjelaskan bahwa baik SPADE maupun kepolisian pusat dan Departemen Sihir belum menemukan petunjuk-petunjuk tertentu mengenai si Tower. Mengingat pemilik asli Tower sudah tiada dan Arkana itu belum sempat diturunkan, Departemen Sihir sudah melancarkan perintah khusus untuk pencarian jejak akan barang ilegal sihir tersebut.

Barang sihir seharusnya tidak dapat memberikan kekuatan Arkana secara stabil; ada sesuatu yang mengamplifikasi artifak-artifak tersebut, dan pelakunya masih buron di luar sana bersama dengan Arkana berbahaya seperti Tower.

"Oh, sepertinya besok kamu sudah bisa pulang, Regina. Kata Eir cuma butuh transfusi sekitar satu kantong darah lagi." Regina segera melirik ke arah kantong yang berisi cairan merah kental, sudah setengah jalan. Ia tak pelak menghela nafas panjang, kembali ke Anne yang hanya bisa mengulas senyum kecil penuh makna.

"Bagus, karena aku baru membuka mata beberapa saat saja dan aku sudah mulai bosan," Regina melirik ke arah kedua tangannya yang terkunci dari gerak. Ia tersenyum, walau sedikit sinis. Anne menyingkap surai abu-abunya dari menutup jarak pandangnya ke arah Regina, matanya melipir sejenak dari arah kasur, menuju ke bunga Pikok yang ia taruh barusan.

"Eir, dia baik-baik saja 'kan?"

Anne membuka mulut, tetapi segera menutupnya, seakan ia tidak ingin memberitahukan sesuatu secara langsung. "Iya, dia baik-baik saja. Cuma lecet dan kotor."

"Tapi?"

Anne menaikkan bahu. Regina tahu kalau Anne hampir tidak pernah berbohong, tetapi kekuatan Hermit-nya menangkap sesuatu yang ia sembunyikan--dan Anne seperti membuatnya jelas tampak, terutama dari bagaimana ia semula ragu-ragu untuk menjawab.

"Dia mengkhawatirkanmu, sampai Kellan harus membujuknya untuk mengobati luka-lukanya."

"Klasik Eir," tukas Regina ringan. Anne mengerucutkan bibir ke atas, tidak puas.

"Tabung yang ia biasa pakai tidak ada ketika dia ke titik kumpul." di penjelasan itu, manik Regina membulat sejenak. "Ia juga tidak mau berada dekat denganku atau Kellan."

Tabung itu bisa saja hancur saat pertarungan, tetapi Eir tidak terluka atau menyembunyikan luka - begitu benak logisnya berpikir. Di antara banyak rahasia yang ada di sekitar mereka mengenai kepartneran mereka yang tertutup, tabung itu selalu ada di luar pertanyaan Regina. Selama enam bulan ini, Regina tidak mendapat kesulitan untuk membiarkan rahasia masing-masing tetap menjadi rahasia.

Pembicaraan Regina dan Selena beberapa waktu silam segera muncul ke permukaan. Ia tidak akan bisa memaksa Eir untuk memberitahukan apa yang membuatnya gundah ketika ia masih mendapati Eir dalam posisi 'tidak tahu' akan masalah yang sedang ia hadapi.

"Regina?"

"Oh, ya. Tidak apa-apa. Dia sudah membetulkan tabungnya lagi, kan?"

Anne mengangguk. "Aku masih terkesima melihat dia bekerja. Kadang aku sampai lupa kalau dia bukan seorang insinyur atau alkemis dengan gelar."

Partnernya itu berasal dari Slum-A, samasekali bukan ningrat maupun buangan konglomerat. Murni terlantar tanpa ingat orang tua maupun asal-usulnya, Eir membuat namanya sendiri di belantara terkumuh di Medea, hingga kemudian dia menjadi salah satu kandidat yang mengikuti eliminasi pemegang Arkana nomor dua belas. Segalanya itu dia dapat dari catatan milik bos Selena. Setelah itu, ia tidak pernah bertanya, segalanya ia jalani dengan sekedar percaya.

Tidak.

Tidak seharusnya segalanya seperti ini; mereka adalah partner, bukan?

"Apa ... kamu merasa ada kesulitan?" Regina tersadar bahwa masih ada Anne di sampingnya, raut wajahnya penuh kekhawatiran. Gelagatnya pasti terlihat cukup aneh, sampai Anne yang biasanya diam mulai angkat bicara. "Mungkin kamu bisa cerita padaku?"

Pemilik surai merah itu menggeleng pelan, "Maafkan aku, Anne, mungkin lain kali."

"Kalau begitu," Anne bertumpu dengan kasur untuk berdiri, merapikan terusannya sesempurna mungkin sebelum berjalan menuju pintu keluar. "Sebentar lagi, Eir akan kembali. Paling tidak, kamu harus bicara dengannya, ya?"

Memerhatikan manik itu berkilat lugas, saran dari Anne tersebut hampir menyeru keras selayaknya perintah dari seorang atasan kepada bawahan. Serahkan saja pada Lovers untuk mengetahui kesenjangan pada emosi; Regina tidak bisa berkutat pada kebohongannya untuk kali ini.

"Kuusahakan."

Anne pun tersenyum lega. Ia membungkuk dan memohon permisi, meninggalkan ruangan dalam keadaan sunyi temaram dengan senja menggaung dari balik jendela.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro