20. BAHAYA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kia baru ingat harus menanyakan perihal dua pengawal yang dia curigai. Sebelumnya sungguh tak ada waktu untuk membahas dengan Ryan. Jadi sebelum memutuskan kembali ke kamarnya, Kia menuju kamar orang tuanya.

Sudah jadi kebiasaan, keluarga Sudirja menginap di satu hotel yang sama setelah acara. 

Bel berbunyi tepat setelah Ryan selesai berpakaian. "Biar aku yang buka." Ryan bergegas membuka pintu setelah tahu Kia yang datang. 

"Boleh Kia masuk, Pa?" 

Ratih yang mendengar suara Kia menyusul ke depan. "Ada apa? Terjadi sesuatu?" Pertanyaan Ratih sudah mewakilkan apa yang dia rasakan. 

"Hmm, itu Ma, …." 

"Masuk, Kia. Kita bicara di dalam." Ryan memastikan tidak ada yang mencurigakan di luar kamar mereka. 

"Mama sudah atur orang di setiap sudut hotel, Pa. Sejauh ini aman, hanya Mas Bian saja yang tadi korek info soal Satya." Penjabaran Ratih ini menambah kekaguman yang sudah lama Ryan simpan. Istrinya bukan orang sembarangan. 

"Papa kira kamu ke sini bukan mau makan atau hanya mengucapkan selamat malam. Ada apa?" Ryan duduk lebih dulu di sofa tunggal dekat jendela kaca. Sedangkan Ratih dan Kia menyusul duduk di sofa panjang, berhadapan dengan Ryan. 

"Apa Papa mengirim dua pengawal untuk jaga Kia?" 

"Pengawal?" Ryan beralih menatap Ratih. Dan Ratih menggeleng. 

"Kami tidak melakukannya." Ratih yang menjawab. 

"Kia sudah duga mereka bukan pengawal Papa. Tapi mereka suruhan siapa, Pa?" 

"Papa duga mungkin Satya yang lakuin itu. Kamu lihat kejadian hari ini, dia melamar kamu. Papa rasa itu alasan yang masuk akal kalau Satya yang lakukan itu." 

"Untuk soal ini biar Mama yang bertindak."

Kia sudah lega sekarang. Tidak ada yang harus dia bahas lagi, setelah semua sudah dibereskan Ratih, Kia kembali ke  kamarnya. 

Tak disangka begitu sampai di lorong area kamarnya, ada seseorang yang tengah menunggu dengan buket bunga mawar putih. 

"Aku hampir hilang akal karena lo nggak ada kabar, Mbak?" Magara datang dengan penampilan yang keren seperti biasanya. Tetapi wajahnya, sulit digambarkan. Antara marah, takut, bingung, dan merindukan seseorang. 

"Masuk, yuk!" Kia akan membuka pintu saat kuncinya sudah terbuka, tapi lengan kukuh Magara menahannya. 

"Lo nggak kenapa-napa kan, Mbak? Gue  ketakutan setelah lo telepon tadi. Om Ryan marah?" Magara benar-benar cemas. Ketulusannya terlihat begitu saja tanpa dipaksakan. 

"Ga, kita bicara di dalam. Santai saja, lagian lo nggak bakal apa-apain gue." 

"Seyakin itu lo, Mbak? Jangan coba-coba nantangin gue buat lakuin itu." 

Kia meninju lengan Magara lumayan kencang. Yang benar saja, mereka bahkan belum meresmikan apa pun. Tetapi memang Kia seyakin itu dengan Magara. Kekasihnya tidak akan bertindak karena nafsu belaka. 

Kia mengambil dua botol air mineral dingin. 

"Semua berjalan lancar, Ga. Kafe, soal lamarannya Satya, termasuk pengawal gadungan itu, sudah diberesin Mama." Kia meneguk air minumnya  hingga setengah. 

"Tunggu! Lamaran Satya? Maksudnya apa, Mbak?" Magara menaruh kembali botol air mineral yang tadinya ingin dia minum. 

Kia menghampiri Magara supaya lebih nyaman untuk menjelaskan. Diraihnya jemari pria yang begitu dicintainya itu. 

"Dengerin gue dulu sampai selesai, Ga. Tadi Satya mendadak melamar di depan banyak orang, tapi Papa bisa menerima saat gue menolak. Mama juga nggak setuju kalau Satya jadi pasangan gue." 

"Syukurlah! Gue baru saja mau lakuin hal bodoh, kalo lo terima lamaran Satya." 

"Hal bodoh apa? Jangan bilang …." Kalimat Kia terhenti tiba-tiba karena ulah Magara yang mendadak mengecup bibirnya. Hanya dua detik, tetapi membuat suasana menghangat. 

"Gue khawatir harus nekat ketemu Om Ryan dan meminta anaknya untuk gue nikahin." 

Kia menghela napas lega, hari ini hidupnya penuh kejutan. Untung jantungnya tidak ada masalah, dan semua bisa terlewat dengan aman. Kia menceritakan sisa dari semua kejadian pesta. Hingga tak berasa waktu terus berjalan hampir lewat tengah malam. 

"Lo nggak mau nginep di sini, aja?" 

"Tawaran yang sangat menggiurkan. Tapi gue nggak siap kalau harus babak belur digebukin Om Ryan." 

Kia tertawa, dia tahu Magara tidak akan menerima tawarannya. Jadi malam itu Magara pulang ke apartemen dan bersiap menjalani rutinitas kafe esok hari. . 

***

Keesokan pagi, Kia menerima pesan dari Ratih soal pengawal yang dikirim oleh Satya. Mamanya minta untuk sementara waktu Kia pindah ke rumah saja. Apartemen biar kosong dan akan ada orang yang bakal beresin. 

Kia merasa aneh dengan saran mamanya. Kenapa harus pindah? Apa hidupnya dalam bahaya sekarang? Astaga! Banyak pertanyaan berkecamuk di otak Kia. Bagaimana tidak, sejak bertemu dengan Satya memang ada saja kejdian yang membuat takut dan tidak tenang. 

Lalu apa? Dia pindah begitu saja tanpa minta pendapat Magara lebih dulu? 

"Bagi gue nggak masalah, Mbak. Cuma gue penasaran, kenapa lo disuruh balik ke rumah." 

"Gue juga belum tahu pasti kenapa. Mungkin karena Satya, dia baru saja ditugaskan Papa ke Kalimantan. Karena dia nggak bersedia, jadi jalan keluarnya dia resign." 

Magara mulai paham alur kisah dari Satya ini. Entahlah, baru dugaan yang asal dia ambil. 

"Gue setuju dengan saran Tante Ratih, Mbak. Mungkin ada hubungannya dengan Satya, entah dia tipe orang seperti apa, tapi gue mencium ada bahaya mengintai lo." 

Kia bergidik mendengar kemungkinan yang Magara kemukakan barusan. Setelah dipikir lagi semua masuk akal. Penolakannya tempo hari sangat memalukan baginya. Tetapi apa hanya itu? Lalu alasan dia mengirim dua pengawal itu apa? 

"Lo bikin gue takut, Ga." Kia tidak bisa sok berani di depan kekasihnya. Percuma juga dia bkalan tahu kalau dia sok kuat. Padahal ketakutan setengah mati. 

"Gue yakin bisa lindungin lo, Mbak. Apalagi orang tua lo sudah tahu soal ini, mereka nggak akan tinggal diam, kan." 

Kia tidak tahu apa dia bisa sesantai itu sekarang. Dan kalau dia diawasi, mungkinkah orang-orang terdekatnya juga akan kena sasaran? 

"Ga, gue takut kalo lo jadi target Satya juga. Gimana kalau lo pindah ke tempat lain dulu, biar lebih aman." Magara tersenyum. 

"Banyak banget yang lo takutin sih, Mbak. Tapi gue ngerti, apa yang lo rasain normal. Jangan terlalu takut dan jangan khawatirin gue. Gue bisa bela diri, ingat?" 

Kia mengangguk dengan wajah masih penuh kecemasan.

"Sini." Magara merentangkan kedua lengan kokohnya, memberikan tempat ternyaman untuk Kia. 

"Kita di kantor kafe, Ga." 

"Terus apa? Mungkin sudah waktunya kita publish hubungan kita." 

"Lo yakin?" 

Magara mengangkat bahunya. "Kenapa enggak?" 

Kia mendekat dan memeluk Magara erat. Satu rengkuhan yang benar-benar dia butuhkan, begitu nyaman dan meluruhkan semua sesak di dada. 

"Jangan takut, Mbak. Kita hadapi sama-sama, lo nggak sendirian." 

Baiklah, Kia, berpikir dengan tenang. Lo akan baik-baik saja. 

Bersambung

Bahaya mulai datang, nih. Satya jadi terduga dalangnya. Apa iya?

Thank you for reading. See you next, ya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro