Bab 22: Strategi Peradaban

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cerita ini hanya tersedia di platform W A T T P A D

...

Sejujurnya, aku benci kalah. Namun, harus kuakui kalau kami memang tertinggal satu banding dua dari Magna Prudentia. Kalah dari Prima Sophia aku masih bisa terima, tapi dari tim Canidae? Tidak. Oleh sebab itu juga, perasaanku dari kemarin sama sekali tidak nyaman, sampai roti isi yang kumakan saat sarapan kini pun terasa hambar. Rasanya ingin segera kuhabiskan bersama kekesalan yang sedang kurasakan ini.

"Oi, Kesatria, bisakah kau tenang sedikit? Mulutmu terdengar seperti truk yang berjalan di jalanan berbatu." Chloe menatapku intens sambil meremas roti isinya. "Kening mengerut, hidung mendengkus. Wajahmu bahkan seperti predator yang ingin melahap mangsa. Kau ini ada masalah apa, sih?"

Aku berhenti mengunyah sejenak. Tak kujawab pertanyaan gadis itu karena aku sedang malas berdebat.

"Biarkan saja," jawab Chrys. "Dia sudah seperti itu dari semalam. Bahkan kalau aku ingat dari sejak sepulang latihan malah."

Alis Chloe terangkat satu. Mulutnya yang terbuka untuk melahap roti lapis yang sekarang sudah setengah, mematung. "Hah?" Gadis itu meletakkan makanannya di meja. "Biar kutebak. Apa ini ada kaitannya dengan kita yang 'kalah' kemarin?"

Aku hanya menatapnya sebagai respons.

"Sudah kuduga." Ia mengerling. "Dengar, ya. Kau itu seperti anak kecil yang kalah dalam hal dibanding-bandingkan, tahu?" cibir Chloe. Sekuat tenaga aku bersabar sebelum sesuatu yang buruk terjadi. "Magna Prudentia"—si Badut Konyol berbisik—"belum tentu juga bisa memenangkan fase kedua hanya karena presentasi mereka banyak. Penjelasannya kebanyakan terlihat lemah. Mereka menang di kuantitas bukan kualitas. Kita juga tidak tahu bagaimana penilaian dalam latihan. Jadi, tenangkanlah dirimu! Ini bukan akhir dunia."

Tanganku mengepal menahan kesal. Chloe ada benarnya, tetapi aku masih saja tidak terima.

Chrys memegang bahuku. "Sudahlah, kalian berdua," pintanya. "Ini masih pagi. Masa sudah mau bertengkar?"

"Jadi kalau sudah siang kami boleh ribut?" sambar Chloe.

"Ya, bukan begitu juga, lah."

Oke, cukup. Aku tidak ingin ada permasalahan di pagi hari seperti kata Chrys. Oleh karena itu, aku langsung meninggalkan meja setelah selesai makan.

"Hei, Kesatria, kau mau ke mana?!"

"Kamar!" jawabku, tak menghiraukan tatapan dari para penghuni hotel yang lain. Terserah mereka mau berpikir apa. Aku tidak peduli.

"Kapan kita mau merencanakan untuk besok?"

"Secepatnya!" jawabku asal.

Chrys di belakangku menyahut, "Tenang saja, aku akan menemaninya. Nanti kuberitahukan kabar selanjutnya." Anak itu menyusulku kemudian. "Hei, Ren, tunggu!"

Si Anak Pirang kemudian menemaniku sampai ke kamar. Dia berakhir di sofa dengan kaki selonjoran, sedangkan aku terus berjalan tanpa henti dalam lingkaran. Berpikir.

Itu hanyalah latihan. Seharusnya aku tidak perlu mempermasalahkannya seperti kata Chloe. Namun, tetap saja aku khawatir bila semua itu akan memengaruhi hasil akhir. Latihan itu mungkin tidak akan berdampak langsung pada jalannya pertandingan besok, tetapi Pak Ben dan Pak Oxa terus mengingatkan untuk tetap serius dalam hal apa pun. Siapa yang tahu kalau latihan tesebut yang malah berperan besar?

"Sudahlah, Ren. Jujur aku lelah melihatmu mondar-mandir seperti setrika. Kau harus ingat kalau ini adalah pertandingan. Menang kalah itu biasa. Tinggal bagaimana kau menyikapinya." Perkataan Chrys membuatku berhenti seketika. "Yang lalu biarlah berlalu. Tidak ada gunanya merutuk masa lalu karena tidak akan berubah. Lagi pula, asumsimu apa pun itu belum tentu benar. Lebih baik mempersiapkan untuk masa depan saja," lanjutnya.

Aku mendesah, mencoba menenangkan diri. Lagi-lagi, temanku berusaha untuk menenangkanku. Mungkin aku memang terlalu berpikir berlebihan.

Kuambil tempat di sisi Chrys, lantas kusandarkan punggung di sofa untuk merelakskan diri.

"Sekarang aku heran, kenapa kau terkadang bisa bijak dalam sesuatu hal sekaligus sangat konyol di hal lain?" tanyaku sambil melipat tangan di depan dada. Kutatap Chrys penuh keingintahuan.

Orang di sebelahku malah memberikan senyum bodoh. Dia mengedikkan bahu, lalu bicara lebih serius. "Kau tahu 'kan, setiap orang mempunyai kemampuan dan keterampilannya masing-masing yang dia simpan sampai dikeluarkan di saat yang dibutuhkan," ujar Chrys dengan nada jemawa sambil membusungkan dada.

Aku hanya mengerling sebagai respons.

Namun, hal itu malah membuatku teringat sebuah peribahasa. Jangan menilai buku dari sampulnya. Chrys memiliki hal yang dia simpan, begitu pun dengan yang lain. Termasuk tim Magna Prudentia yang dapat mengalahkan kami, juga Prima Sophia. Khususnya Olivia dan Alva. Para Alafathe dengan kekuatan super.

"Nah, Ren, karena kau sudah agak baik, bagaimana kalau kita bahas strategi untuk besok?"

Aku melihat Chrys yang tengah memberikan tatapan binar penuh harap. "Baiklah," balasku sambil menghela napas. "Beri tahu juga Chloe dan Mischa."

"Oke!" timpalnya seraya membulatkan jempol dan telunjuk.

Aku dan Chrys kemudian pergi ke ruang pertemuan. Belum ada siapa-siapa saat kami tiba. Chloe dan Mischa datang tak lama kemudian, dan si Badut Konyol langsung menghadiahiku pertanyaan yang membuat mood-ku anjlok seketika.

"Jadi, bagaimana kabar kesatria kita ini? Aku harap keadaannya sudah membaik dibanding pagi tadi yang sudah mau mengajakku ribut," katanya dengan nada mengejek. "Kau tahu, Kesatria, hal kecil seperti itu tidak perlu dipikirkan. Nanti kau cepat botak dan beruban. Lebih baik fokus pada hal besar yang menanti."

Mataku berkedut menahan kesal.

"Sabar, Kawan, simpan tenagamu. Kita perlu lebih banyak energi untuk sesi pembakaran otak nanti," ucap Chrys sambil mencengkeram pundakku.

Aku tidak berkomentar. Chloe pun hanya tersenyum miring seperti orang yang telah memenangkan perdebatan besar. Alhasil, kami hanya saling bertatapan penuh ketidaksukaan.

Aku terpaksa memutus tatapan karena harus mengabari Pak Ben. Sebenarnya siapa pun bisa, tetapi rasanya sudah tanggung jawabku sebagai ketua untuk menghubungi guru pembimbing.

"Siapkan dulu papan presentasinya. Bapak ada urusan sebentar," pesan Pak Ben di grup obrolan. Aku pun menyuruh Chrys untuk membantu.

"Kira-kira, pertandingan nanti seperti apa, ya?" tanya Chrys seraya duduk di kursi bagian kanan setelah selesai dia sampingku, sedangkan para gadis di kursi-kursi sebelah kiri.

"Paling harus menjawab teka-teki seperti biasa," jawab Chloe sambil "menggali emas".

Pak Ben datang tak lama kemudian membuyarkan apa pun yang sedang kami obrolkan. Dia meminta maaf karena telat seperti yang disebutkan di grup. Tanpa membuang waktu lagi, guru pembimbing kami itu langsung menjelaskan mekanisme pertandingan untuk besok.

"Pada pertandingan fase kedua ini, kalian akan mengerjakan soal berupa teka-teki di dalam berbagai ekosistem dan bangunan ikonik. Ya, sebenarnya lebih ditekankan pada bangunan ikonik dan teknologi yang menyertainya." Pak Ben menggambar tiga lapis lingkaran di papan digital menggunakan stylus.

"Akan ada tiga area," lanjut Pak Ben. "Area pertama akan dibagi lagi menjadi tiga tempat, dengan setiap tempat memiliki ekosistem dan bangunan ikoniknya sendiri. Misal ekosistem gurun pasir, akan ada bangunan ikonik dari peradaban Al-Masr atau Sumr. Hutan hujan dengan Inka, atau tundra dengan Nord. Sekali lagi, itu hanya contoh. Bisa jadi peradaban yang ada akan berbeda dengan saat pertandingan." Dia menuliskan angka secara berurutan dari atas searah jarum jam. "Akan ada sembilan peradaban di area pertama yang harus ditaklukkan, tapi tenang, setiap tim memiliki area dan tiga peradaban mereka sendiri. Tugas kalian hanyalah menaklukkan bangunan tersebut lalu mengambil kunci untuk ke area kedua sebelum tim lain berhasil."

"Menaklukkannya seperti apa?" celetuk Chrys. "Lalu kalau telat memang bakal terjadi apa?" Anak pirang itu menggaruk kepala yang kuyakin tidak gatal.

Pak Ben tersenyum. "Memang itu yang akan Bapak jelaskan, Chrys."

Orang yang bertanya hanya tertawa canggung.

"Setiap bangunan memiliki bangunan yang di dalamnya terdapat teka-teki yang harus dipecahkan berupa teknologi kuno atau yang serupa dengan itu. Nanti kalian harus mengerjakannya sesuai petunjuk. Jika berhasil, akan ada potongan kunci yang muncul dan kalian harus mengumpulkan ketiganya untuk lanjut ke area kedua. Jika kalian gagal, seekor monster akan muncul dan kalian hanya harus mengalahkannya seperti biasa."

"Kalau kami gagal mengalahkan monsternya?" tanya Chloe.

Aku bergantian melihatnya dan Pak Ben.

Guru pembimbing kami tidak langsung menjawab. Wajahnya seperti orang yang menimbang kata-kata yang cocok untuk dikeluarkan.

"Avatar yang kalah akan otomatis menghilang, lalu kembali muncul 5 menit kemudian. Akan tetapi, bangunan yang gagal ditaklukkan akan terkunci selama 15 menit. Menunggu cooldown bangunan berlalu tidak ada gunanya karena tim lain sudah lebih dahulu mencapai area kedua. Area kedua gagal, kalian otomatis akan kalah. Jadi, kalian bisa simpulkan sendiri. Mengerti, ya?"

Kami semua mengangguk.

"Area kedua." Pak Ben menunjuk lapis lingkaran di tengah dengan laser mainan kucing berwarna merah. "Sekat antar tim ditiadakan. Hanya ada lima bangunan yang diperebutkan, tetapi tiga kunci tetap harus didapatkan. Itulah kenapa Bapak bilang kalau gagal di area pertama, kemungkinan area kedua gagal juga lebih besar. Kalian telat, seluruh bangunan sudah dikuasai tim lawan.

"Tiga kunci bisa didapat dari tiga bangunan," lanjut Pak Ben sambil menggambar lima bidang datar yang berbeda; persegi, segitiga, lingkaran, trapesium, dan jajar genjang. Dia lalu menandai tiga bangun datar yang ada di tengah. "Namun, Bapak ragu hal itu bisa dilakukan karena semua pasti akan berebut. Kalian harus lebih cepat dari tim lawan yang Bapak tidak yakin kalian bisa lakukan karena waktu dan jarak dari setiap bangunan. Oleh karena itu, ada alternatif lain yaitu, dengan mengalahkan tim lawan." Pak Ben mengetuk layar cukup keras. "Dari sini, strategi yang sebenarnya akan diuji."

Pak Ben kemudian menjelaskan kalau ketiga kunci bisa didapatkan dari satu bangunan dan dua dari mengalahkan tim lawan, atau dari dua bangunan dan satu dari tim lawan. Dia menambahkan gambar-gambar lain di bawah bidang datar sebelumnya.

"Ada yang mau ditanyakan dulu sampai sini?"

Chrys mengangkat tangan. "Apa kita bisa mengambil dua sampai tiga kunci sekaligus saat mengalahkan lawan?" tanyanya.

"Itu tergantung kesepakatan kedua belah pihak, tetapi Bapak sarankan untuk tidak mengambil risiko itu. Bukannya Bapak tidak percaya kalian bisa menang, hanya saja setiap kemungkinan itu tetap ada, sekecil apa pun. Jadi, Bapak harap kalian bisa mengatur strategi yang matang."

Aku jadi penasaran dengan sesuatu. "Kalau kami bertemu dengan tim lawan di bangunan yang sama, apa yang harus kami lakukan?"

"Duel," jawab Pak Ben. "Sayangnya duel untuk memenangkan kunci dari tim lawan hanya bisa dilakukan setelah semua bangunan ditaklukkan. Tim yang menang bisa masuk bangunan dan mendapat kunci, sementara tim yang kalah harus menyingkir."

Aku mengangguk, lumayan mengerti dengan teknis yang diberikan.

"Terakhir, setelah kalian mendapat seluruh bagian kunci, tinggal dimasukkan ke tempatnya di setiap perbatasan area lalu kalian bisa lanjut ke area selanjutnya. Area ketiga adalah area terakhir yang hanya memiliki satu bangunan ikonik.

Setelah penjelasan panjang lebar, Pak Ben kemudian menyuruh kami untuk mulai mengatur strategi sementara dia sendiri menyeduh kopi.

Aku berdiri dan menggantikan posisi Pak Ben sebelumnya.

"Oke, ada yang mau beri usul dulu strategi seperti apa yang akan kita pakai?" mulaiku sambil melihat mereka satu per satu. "Area satu sudah jelas kalau kita harus menaklukkan setiap bangunan dengan cepat sebelum tim lain. Area kedua?"

"Bagaimana kalau dari kau duluan saja?" balas Chrys.

"Ya, kau sering berkata seperti itu yang ujung-ujungnya kautolak juga," Chloe menambahi.

Aku mendesah sambil mengerling. "Aku akan mulai dari menganalisis sifat-sifat dari lawan agar bisa memprediksi pergerakan macam apa yang akan dipakai mereka," jawabku.

"Analisis sifat? Memangnya kau psikolog?" Chloe menggerung. "Kita memang sudah bertemu mereka beberapa kali, tapi bukan berarti bisa dijadikan dasar untuk menilai jalan pikiran lawan," sanggahnya.

"Itu benar, Ren. Bahkan orang terdekat saja bisa menunjukkan sikap tak terduga, apalagi mereka yang notabene lawan kita," timpal Chrys menyetujui.

"Lalu, apa kalian ada ide lain?" tanyaku sebal.

Chrys yang memegang dagu mengeluarkan isi pikirannya dengan jentikan jari. "Bagaimana kalau kita membagi jadi dua kelompok, kau dan Chloe—"

Aku dan Chloe refleks saling tatap tidak suka.

"—Aku dan Mischa. Masing-masing dari kita menaklukkan bangunan secara simultan. Dengan begitu, kita punya waktu lebih banyak dari yang lain."

Aku menggeleng. 'Tidak, jangan. Hal itu malah akan membuat kita jadi sasaran empuk. Kalau kita tidak sengaja berpapasan dengan tim lain, duel akan dimulai satu banding dua, kecuali—" Aku berpaling pada Pak Ben. "Apa yang terjadi kalau kami menolak duel, Pak?"

Pak Ben yang sedang khidmat meminum kopi di kursi ujung ruangan menyimpan cangkirnya. "Kalian harus mencari bangunan lain."

"Maaf, Chrys, tapi yang kulihat lebih banyak kerugiannya daripada untungnya," tolakku yang hanya dijawab dengan mengangkat bahu oleh anak itu. Aku lantas beralih pada kedua gadis yang belum menyuarakan isi pikiran mereka. "Mischa, Chloe, kalian punya ide? Strategi yang efektif tanpa harus membuang tenaga berlebih."

Si Gadis Pemalu memegang dagu, sedangkan badut di sebelahnya bersuara.

"Kita pakai saja strategi yang Pak Ben bilang. Untuk area kedua, dapatkan kunci dari satu bangunan dan dua dari lawan. Kita jadi tidak perlu lelah-lelah memutar otak untuk menyelesaikan teka-teki."

Tidak perlu lelah memutar otak, ya? Kupertimbangkan jawaban Chloe. "Aku pikir lebih baik kita gunakan yang dua dari bangunan dan satu dari lawan. Di area kedua akan ada lima bangunan dan tiga di antaranya akan lebih dulu ditaklukkan. Kita bisa dapat satu bangunan lagi bila bisa cepat menyelesaikan yang pertama."

"Tapi, Ren, kalau saat kita menuju bangunan kedua bertemu dengan tim lain bagaimana? Ya, Pak Ben sudah bilang kita akan melawannya untuk mendapatkan bangunan tersebut, maksudku, apa yang akan kita lakukan kalau kita kalah? Menunggu tim lain keluar untuk merebutnya atau bagaimana?"

"Pertanyaan bagus," komentar Chloe. Hanya itu, tidak ada sanggahan atau saran. Membuatku harus berpikir sendiri karena Mischa sepertinya terlalu malu untuk sekadar bicara di dekatku.

Aku tidak langsung menjawab. Sebenarnya ada beberapa kemungkinan.

"Menurutku, kalau kita menunggu sampai tim yang mengalahkan kita keluar—sebut saja tim A, akan sama saja hasilnya bila kita mencegat mereka setelah keluar. Jika bersikeras untuk melawan tim lain—sebut saja tim B, waktu yang diperlukan untuk ke tempat mereka akan sia-sia. Tidak ada yang lebih menguntungkan."

"Kalau begitu pilih satu," tegas Chloe. "Aku akan memilih menunggu untuk merebut kembali dari tim yang berhasil mengalahkan kita."

"Pak Ben," panggilku, membuat orang yang kumaksud berpaling dari ponselnya. "Apa ada batas maksimal duel untuk memperebutkan kunci secara terus menerus sampai memiliki tiga potongan?"

"Duel bisa dilakukan sesuai kesepakatan sampai salah satu tim memiliki semua potongan. Bila salah satu tim sudah mendapat semua potongan, mereka bisa menolak untuk duel lagi dan melanjutkan ke area berikutnya. Jika salah satu tim memaksa, bisa didiskualifikasi."

Dirasa masih ada pertanyaan-pertanyaan yang menggantung, Pak Ben kemudian membagikan aturan dan mekanisme untuk pertandingan ke ponsel kami masing-masing. "Kalian bacalah sampai paham, kalau ada yang tidak mengerti tanyakan," titahnya.

Kami membaca kurang lebih sepuluh menit saking panjangnya isi panduan itu, padahal mekanisme pertarungannya hanya bisa dibaca beberapa menit. Lebih banyak pendahuluan dan tetek-bengek yang tak penting. Chrys bahkan sudah lelah di menit-menit pertama. Wajahnya seperti orang yang telah mengerjakan seratus soal Fisika.

"Oke, kita akan rangkum apa saja yang akan kita lakukan besok. Pertama, menaklukkan tiga bangunan di area pertama dengan secepat mungkin sehingga kita tidak ketinggalan dengan tim lain. Kedua, menaklukkan dua bangunan dengan kemungkinan duel terlebih dahulu dengan tim lain jika tidak beruntung sebelum ke bangunan kedua, lalu duel untuk mendapat kunci ketiga. Atau jika kalah, kita akan merebut dua sekaligus dari tim yang mengalahkan kita."

Aku kemudian menggambarkan dua kombinasi tersebut di papan tulis menggunakan stylus.

[Tiga bangunan (area pertama)] + [(satu bangunan + satu bangunan + satu duel) area kedua] = area ketiga.

Tiga bangunan (area pertama) + [(satu bangunan + dua duel) area kedua] = area ketiga.

"Terlihat seperti rumus," komentar Chrys.

"Kau membuatku pusing. Aku butuh istirahat," Chloe menyahut.

Aku mengembuskan napas yang juga lelah. Dengan mereka, harus lebih bersabar.

"Baiklah, kita cukupkan dulu untuk sekarang. Lagi pula sudah saatnya jam makan siang."

"Oh, akhirnya!" Chrys dan Chloe berseru bersamaan seraya punggung mereka menegak.

"Ayo, Cha, kita makan!" ajak Chloe pada Mischa.

"Kita jangan ketinggalan, Ren, nantinya makanannya Chloe habiskan!"

"Sembarangan!" protes si Badut.

Chrys hanya tertawa lalu memukul punggungku pelan.

"Oke, oke. Ingat saja kalau kita masih harus mempelajari peradaban apa saja yang mungkin keluar agar kita bisa lebih cepat menyelesaikan pertandingan besok."

"Iya, kami mengerti. Berhentilah bersikap kaku. Nikmati saja dulu selagi ada waktu," tambah Chloe.

Aku hanya mendengkus. Kalau saja mereka paham kalau pertandingan ini sangat penting bagiku dan mempertaruhkan nama baik sekolah serta negara.

~~oOo~~

A/N

Akhirnya bisa update! //teriak dari atas puncak gunung.

Cerita ini sedang diikutsertakan dalam Marathon Writing Month (MWM) NPC, jadi kemungkinan update-nya bakal sering dari biasanya. Doakan saja bisa ngebut dan syukur-syukur tamat bulan ini. Aamiin.

Kepada semua pembaca, terima kasih masih setia mau baca sampai sini dan seterusnya! Love you all! //muah.

...

Diterbitkan: 03/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro