Bab 23: Dua Jawaban, Satu Perlawanan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Fase kedua akhirnya tiba. Ketiga tim memasuki arena dari tiga sisi yang berbeda. Magna Prudentia dari kiri, Prima Sophia dari tengah, Scienta et Social dari kanan. Seiring kami yang berjalan menuruni tangga, riuh suara penonton menggema di seantero stadion. Menggunakan pakaian olahraga masing-masing sekolah, dan strap di kedua sisi paha dengan botol minuman yang terikat, kami bersiap di posisi yang telah ditentukan.

"Selamat datang, Semua!" Suara Pembawa Acara bergaung seperti berasal dari langit. "Kali ini, para Anak-Anak Genius harus menyelesaikan teka-teki di dalam bangunan-bangunan ikonik dunia dengan teknologi yang menjadi ciri khas peradaban/kebudayaan/kerajaan tertentu. Dengan waktu yang sedikit dan kemungkinan keluarnya sesuatu yang tidak diinginkan jika kalah, apakah mereka bisa bertahan dan menjadi pemenang? Tanpa perlu basa-basi lagi, kita tentukan sekarang! Arena, set!"

Bersamaan dengan pekik Pembawa Acara dan penonton yang semakin beringas, cahaya menyilaukan membanjiri stadion. Lapangan sepak bola seketika berubah.

Dataran yang berbeda-beda terhampar sepanjang mata memandang. Rerumputan, padang pasir, tanah berbatu, hutan. Jenis pepohonannya menyesuaikan dengan tiap-tiap hamparan. Bangunan-bangunan ikonik dari berbagai peradaban dan kebudayaan berdiri mengikuti ekosistem yang ada. Piramida-piramida berbagai bentuk, pagoda, kuil, dan yang lainnya. Bangunan-bangunan ikonik yang jauh bagai siluet di latar belakang. Dan awannya ... awannya terasa lembut seperti permen kapas.

Tempat ini layaknya alam mimpi atau seperti lukisan yang cukup surealis karena semua warna dan bentuk saling bersatu padu.

"Indah ...," bisik Chloe. Matanya berbinar penuh rasa takjub.

"Keren." Chrys tidak kalah terpukau.

Mischa hanya diam dengan mulut membulat.

"Apa yang kau lakukan, Ren?" tanya si Anak Pirang ketika aku menunjuk bangunan-bangunan yang ada.

"Mengukur jarak," jawabku.

"Oh, apa itu seperti pelaut dengan bintang-bintang?" sahut Chloe dengan nada mengejek.

"Wah, Chlo, kau tahu yang seperti itu? Kau bisa melakukannya?"

Chloe hanya tersenyum dengan dagu terangkat sambil melipat tangan di depan dada; membuatku malas melihatnya.

Rasa kagum kami pun harus terhenti karena suara dari langit yang menginterupsi.

"Semua peserta, bersiap!"

Kami mengeluarkan avatar masing-masing. 

"Kita akan mulai dalam—"

Hitung mundur di langit muncul disertai bel penanda yang berbunyi.

"Tiga!"

Aku menandai lokasi pertama yang akan kami datangi.

"Dua!"

Badan agak bungkuk, kaki menekuk. Kusiapkan kuda-kuda untuk berlari.

"Satu!"

Aku memelesat. Kutuju bangunan berbentuk pagoda karena itu yang paling dekat.

"Ayo, cepat!" perintahku. Jangan sampai mereka hilang arah dan membuat kekalahan semakin dekat.

Rumput-rumput di bawah kami berganti menjadi lantai bebatuan persegi. Semakin dekat dengan kompleks bangunan, pagoda gemuk berlantai tiga itu semakin jelas. Kami baru benar-benar masuk ke pelatarannya ketika melewati gapura khas arsitektur Timur dengan lawang berbentuk lingkaran. Dikenal sebagai Kuil Surga, bangunan dari negeri Sinensia itu memiliki atap biru dan cat dinding merah.

Tiga tingkatan teras bertegel putih kami lewati supaya bisa ke depan pintu besar ganda Kuil Surga. Aku langsung menyuruh Chrys untuk membantu mendorong pintu berukir naga tersebut. Derak benda besar bergeser bergaung seiring kami mengerahkan tenaga sekuat mungkin.

Ruangan yang luas menyambut kami seketika. Langit-langitnya tinggi sampai ke lantai tiga. Tangga-tangga yang menempel memutari dinding menyatukan setiap lantai berbentuk platform setengah lingkaran. Di langit-langit paling atas, terdapat patung ular naga yang kepalanya menghadap ke bawah seperti terbang menukik dan bila dilihat lebih saksama, tubuh naga itu berwarna hijau berkilau seperti terbuat dari batu zamrud. Ada sesuatu di mulutnya.

"Woah!" Chrys dan Chloe berseru bersamaan.

Suara debum pintu tertutup dan bel peringatan yang disertai cahaya berwarna merah muncul seketika kami melangkah masuk. Saat aku berbalik, hitungan mundur yang ada di atas pintu berjalan. Sepuluh menit.

Panik memenuhi wajah Chrys dan Chloe.

Tanpa memedulikan mereka, mataku langsung tertuju pada sebuah benda bulat seperti globe emas yang disangga oleh sistem rangka berkaki tiga dan lingkaran besi yang melingkupi daerah ekuator dan garis bujur dengan warna senada. Benda itu berada di tengah ruangan. Aku melihat sekeliling kembali untuk memastikan adakah petunjuk lain yang dapat membantu.

"Celestial Globe," bisikku, salah mengartikan benda itu sebagai peta dunia. Titik-titik putih seperti terbuat dari permata tersebar di seluruh permukaannya, membentuk semacam pola rasi bintang. Nama benda itu jelas tercantum di dasar alasnya.

"Benda apa itu?" tanya Chrys. "Keren."

"Peta langit," jawabku, berusaha mengetahui mekanisme benda itu.

"Harus diapakan?" Chloe menimpali.

"Belum tahu." Kuputar benda itu untuk menemukan apa pun yang dapat diotak-atik. "Daripada diam, mending kalian mencari petunjuk. Mischa, kau di lantai bawah. Chloe, kau lantai dua. Chrys di lantai tiga. Cepat, waktu terus bergerak."

Semua mengangguk, lantas berpencar. Aku sendiri terus memperhatikan dan meraba-raba berharap ada suatu tombol yang dapat mengaktifkan benda itu.

"Aku menemukan sesuatu!" teriak Chrys dari lantai tiga. "Bentuknya silinder! Ada di mulut naga. Aku susah mengambilnya! Bantu aku!"

"Mischa, gunakan akar Lakshmi untuk menolong Chrys!" perintahku sambil terus mengotak-atik Celestial Globe.

Suara langkah-langkah kaki yang menaiki tangga menggema seiring jemariku yang terus menyentuh permukaan bundar kasar peta langit. Adrenalin semakin meningkat dan keringat bercucuran dari keningku bersamaan dengan suara hitung mundur yang kian terdengar.

Getaran kecil terasa seiring Chrys yang berteriak, "Aku dapat!"

Cahaya-cahaya putih pun terpancar keluar dari kristal-kristal Celestial Globe saat aku berhasil menekan tombol yang tepat. Aku mundur selangkah karena kaget dan silau.

"Keren!" Chrys dan Chloe berseru bersama dari lantai atas. Mereka secara cepat turun seperti kumpulan banteng yang rusuh.

Mereka berdua benar. Titik-titik cahaya yang berasal dari kristal-kristal peta langit terproyeksi ke seluruh dinding, seperti bintang di langit malam. Aku menengadah, mencoba membayangkan konstelasi apa saja yang bisa dibuat.

"Seperti lantai disko!" seru Chloe saat di lantai bawah.

"Haha, benar!" Chrys melompat-lompat. Dia memberikan perkamen di tangannya. "Ini, Ren."

Aku menerimanya dan langsung kubuka. Lembaran kain berwarna krem bergambar titik-titik dengan garis-garis membentuk pola tertentu pun membentang. Tertulis "Peta Dunhuang" di bagian atas. Aku membalikkan peta itu dan mendapati petunjuk yang harus dilakukan. Cocokkan rasi bintang yang ada dengan peta sebelum waktu habis atau seekor monster akan muncul.

"Pegang ini, Chrys," pintaku sambil menyerahkan perkamen. Kening anak itu mengerut meski tetap dia terima. Kuperintahkan dia untuk sedikit mendekat sambil membentangkannya di depan dada sementara aku memutar Globe.

Aku tidak berhenti melihat ke arah cahaya yang terpantul dan Celestial Globe yang terus aku otak-atik. Putaran globenya membuat cahaya yang ada bergerak dan berputar.

"Ada yang bisa kami bantu, Ren? Melihatmu sendiri yang berusaha rasanya salah."

"Tidak perlu, cukup pegangi saja supaya aku mudah melihat petanya."

Chloe mendesah di belakangku. "Ada yang mau jadi pahlawan sendiri."

Tak kuhiraukan sindirannya dan terus saja bekerja.

"Kira-kira, rasi bintang apa saja ya yang ada?" tanya Chrys.

"Pasti bukan zodiak seperti yang kita tahu, tapi shio seperti yang tertera di peta," jawab Chloe.

Aku mendengkus. "Aku baru ingat, bagaimana kalau kalian membantu dengan diam memperhatikan saja?"

"Ck, baiklah. Tapi harus kuingatkan kalau waktu kita yang tersisa tinggal lima menit lagi."

Aku langsung berbalik dan mendapati hitungan mundur di atas pintu seperti yang Chloe katakan. Kupercepat analisisku terhadap rasi bintang dan peta di tangan Chrys.

"Tenang, Ren, tenang. Panik hanya akan membuat semua hal semakin keruh."

"Itu benar. Waktumu tinggal tiga menit lagi."

Dasar badut konyol tukang provokasi.

Entah hanya perasaanku atau memang itu adanya, tetapi Celestial Globe ini lebih seperti kunci brankas. Setiap kuputar, seperti ada mekanisme yang bergerak di dalam globe ini. Bunyi "Klik! Klik!" selalu terdengar tatkala aku menggerakkannya.

Sedikit lagi. Gambaran rasi bintang yang ada di langit-langit Kuil Surga ini hampir mirip dengan ada yang di peta.

Klik!

Hitungan mundur berhenti.

"Whoa!"

Celestial Globe itu merekah menjadi enam bagian seperti kelopak lotus. Dari dalamnya, sebuah balok kayu seperti potongan kubus berbentuk Z perlahan melayang. Kuambil benda itu dan kulihat status yang tertera. Sebuah potongan kunci.

"Kita berhasil!" pekik Chrys.

"Akhirnya. Sisa waktumu tadi tinggal lima detik, Kesatria."

Aku hanya memutar bola mata sebagai respons. Kumasukkan potongan kunci itu ke inventory, lantas menggiring teman-temanku keluar pintu yang kini telah terbuka.

"Dua bangunan lagi sebelum area selanjutnya!" teriak Chrys girang.

Cahaya menyilaukan seketika membutakan mataku saat aku keluar karena terlalu lama di dalam bangunan yang pencahayaannya minim. Kukerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan diri.

Setelah cukup nyaman, aku membuka peta. Kucari bangunan mana yang cukup dekat agar bisa mengefektifkan waktu. Ada satu titik yang tidak jauh dari tempat kami berada.

"Koloseum," bisik Chrys di dekat telingaku. Matanya fokus ke layar peta. Pipinya hampir menyentuh pipiku membuat aku geli dibuatnya.

"Benar." Tanpa membuang waktu lagi, kami bergerak ke arah selatan. "Ayo!" ajakku.

Kami berputar ke belakang Kuil Surga, melewati gerbang selatan bermodel sama seperti yang pertama. Lantai kompleks kuil seketika berubah dari tegel kelabu menjadi rerumputan ketika kami di luar.

Berubahnya rerumputan menjadi jalanan bebatuan persegi menandakan kami telah memasuki kompleks Koloseum. Tiang-tiang dan selokan di kanan-kiri jalan yang merupakan ciri khas arsitektur Arrum menemani kami sepanjang perjalanan ke bangunan berbentuk oval dengan banyak jendela menghiasinya itu.

"Kita akan jadi gladiator!" seru Chrys sambil memasuki salah satu pintu Koloseum.

"Hei, Chrys, tunggu!" cegahku, tapi anak itu keburu hilang ditelan kegelapan bangunan.

Aku, Chloe, dan Mischa yang tersisa lekas menyusul anak pirang itu.

Bagian dalam Koloseum lebih seperti bangunan yang belum jadi dengan pilar-pilar tinggi dan besar menyangga setiap sudut yang ada. Sekat-sekat membatasi beberapa bagian, menjadikan tempat kami berada seperti ruangan. Pintu-pintu kecil berpalang besi di kanan dan kiri seperti menghubungkan dengan ruangan lain.

Aku mengedarkan pandang untuk menemukan petunjuk, tetapi nihil yang kujumpai termasuk menghilangnya teman-temanku. Mereka malah berada di lapangan di mana cahaya satu-satunya berasal. Berdiri menatap entah apa.

Aku menyusul mereka.

"Kalian sedang apa?" tanyaku, ikut melihat sekeliling.

"Kami sedang mencari petunjuk," jawab Chloe. Kepalanya mengedar ke seluruh sudut Koloseum. Mischa di sebelahnya melakukan hal yang sama.

"Tapi sepertinya tidak ada apa-apa. Kau tahu sesuatu, Ren?"

"Kita akan tahu," timpalku sambil melihat peta, berharap sesuatu itu ada di dalam layar. "Sebaiknya kita berpencar."

"Oke!" Chrys meninju udara.

Chloe mengangkat bahu. "Kalau itu maumu."

Mischa hanya mengangguk.

Namun, baru beberapa langkah kami bergerak, pintu masuk di belakang kami menutup dengan jeruji besi. Antarmuka hologram muncul memperingatkan kami kalau kami telah gagal karena tidak berhasil menemukan teka-teki yang dimaksud.

Aku hanya bisa membulatkan mata sambil mengerutkan kening. Sejak kapan? Sejak kapan hitung mundurnya dimulai? Tidak ada peringatan sebelumnya.

"Lihat!"

Seruan Chrys membuyarkan lamunanku. Anak pirang itu menunjuk ke salah satu sisi di mana jeruji besi besar perlahan terangkat. Dari dalam sana, sebuah bayangan seukuran truk seperti hewan berkaki empat keluar. langkahnya yang berat mengesankan betapa besarnya hewan itu menyebabkan efek dramatis; getaran, gema langkah, belum lagi geraman yang terdengar seperti seekor predator kelaparan.

"Hei, Chlo, mau taruhan? Yang keluar pasti singa," terka Chrys.

"Tidak, tidak, pasti beruang," tukas Chloe. "Lihat saja ukurannya yang raksasa!"

Tidak ada yang benar. Hewan itu campuran dari beberapa binatang; bagian depan singa, belakang kambing, bersayap kelelawar, dan berekor ular.

Air liur makhluk itu menetes-netes. Geliginya yang penuh taring tajam mengilat terkena cahaya. Kuku-kuku pedangnya merengkuh tanah hingga terkoyak. Mata merahnya menatap nyalang.

Keterangan di atas makhluk itu tertulis: The Hybrid Myth – Chimaera. Hit point 2500.

Si Chimaera mengaum sambil menggebrak tanah dengan kedua kaki depannya.

Kami semua melompat mundur, melindungi diri dari angin yang mengempas. Lekas kusuruh Arthur untuk menerjang, bersama dengan Krishna, Lakshmi, dan Clowny.

"Bersiaplah, Arthur!" Kukerjakan segera soal penghasil skill. "Excalibur!"

Pedang Arthur berubah menjadi besar. Makhluk digital itu lantas melompat mengincar kepala si Chimaera. Namun, hewan hibrida itu berhasil mengelak dengan berputar dan menyerang dengan asam dari ekornya.

Arthur bertahan dengan pedang besarnya. Krishna membantu dengan pilar batu yang mengoyak perut. Si Chimaera mengaum. Ketika makhluk itu akan membuka mulut, akar Laskhmi keburu membelenggunya. Cakar-cakarnya berusaha mengoyak akar, tetapi percuma. Clowny menutupnya dengan lidah api.

Namun, serangan itu hanya menghabiskan setengah hit poin si monster. Makhluk itu berhasil terbang seketika skill Clowny berakhir. Makhluk itu benar-benar terbang dan menyemburkan api. Arthur bertahan menggunakan Excalibur. Lakshmi berlindung di balik akar. Krishna dan Clowny kalang-kabut mengelak melompat-lompat.

"Chloe, butakan makhluk itu dengan lidah api sekali lagi! Mischa, ikat dia dengan akar! Chrys, alihkan perhatiannya! Aku akan taklukkan dengan skill level 2!"

Mereka melakukan apa yang kuminta, sedangkan aku mengerjakan soal yang cukup susah untuk mendapat skill yang juga lumayan. Sulit berkonsentrasi di antara ledakan, getaran, dan semua efek visual ini sementara aku harus tetap fokus. Lidah api Clowny terasa panas sampai aku berkeringat banyak. Untung saja tidak perlu berlama-lama lagi.

Chimaera yang malang, makhluk digital itu sebentar lagi akan musnah.

"Semua menghindar!" perintahku agar Arthur dapat memberikan serangan pamungkas pada makhluk yang ternyata masih bisa berdiri setelah diserang bertubi-tubi itu. "Sekarang, Arthur!"

Dengan satu gerak tangan avatarku, puluhan pedang berbilah tajam memelesat dari langit, menghunjam tubuh hewan hibrida itu. Si Chimaera berusaha terbang, tetapi puluhan senjata tajam keburu mengoyak sayap-sayap hewan tersebut. Raungan kesakitan semakin menggelegar seiring tubuhnya tersayat, tertebas, dan tertusuk. Satu menit penuh pekikan kemudian, makhluk itu terpecah menjadi cahaya kekuningan.

"Yeay, kita berhasil!" Chrys dan Chloe melompat bersama, seiring gerbang jeruji besi yang terbuka.

Potongan kunci kedua muncul tak lama setelahnya dari butir-butir cahaya yang memadat. Aku bergegas mendekati benda yang sedang melayang tersebut. Bentuknya mirip potongan kunci pertama, tetapi dengan arah yang berbeda. Aku lantas menyimpannya dalam inventory.

"Ayo, Semua. Waktu kita tidak banyak!"

Tinggal satu bangunan lagi di area pertama yang harus ditaklukkan. Aku langsung membuka peta untuk melihat jalur tercepat yang ada, lantas menggiring teman-temanku keluar.

Bangunan yang kutuju ada di arah barat laut, ekosistem gurun. Kami melewati padang rumput lainnya, tanah berbatu, dan kumpulan bukit kecil. Kami berhenti sejenak untuk beristirahat di salah satu bukit, di mana aku dapat melihat kumpulan siluet-siluet manusia bergerak mendekati bangunan-bangunan lain. Aku memerintahkan yang lain untuk bergegas agar tidak ketinggalan.

Ada beberapa hal yang dapat menggambarkan tempat ini. Rangkaian pegunungan, pilar-pilar batu menjulang, dan arsitektur yang megah. Bangunan ketiga ini mirip seperti katil yang terbuat dari batu kecokelatan yang dipahat. Tiang-tiang batu menyangga, dan di beberapa bagian terukir seperti jendela-jendela tanpa lubang. Pintu masuk yang melengkung menunggu di ujung tangga.

"Hei, kalian merasa tidak kalau bentuk bangunan ini mirip yang ada di Arrum? Aku tidak yakin di sebelah mana, tapi rasanya seperti itu," ujar Chrys berhenti di tangga pertama sambil terus menengadah memperhatikan bangunan di depan kami.

"Itu adalah arsitektur dari Kekaisaran Parthia," jawab Mischa setelah sekian lama tidak bersuara. "Kekaisaran yang pernah berjaya di benua Parthive, sebelah selatan Pegunungan Avar."

Kekaisaran Parthia, sepertinya aku pernah mendengar nama itu.

"Woah, Cha, kau benar-benar banyak tahu soal sejarah!" puji Chloe, membuat pipi orang di sebelahnya merona, sedangkan Chrys yang bertanya hanya mengangguk-angguk sambil memegang dagu.

Aku dan Chrys membuka pintu bersama seperti di Kuil Surga, tetapi ternyata tidak seberat yang kami duga padahal terbuat dari batu. Di dalam, kegelapan langsung menyapa. Hanya ada berkas-berkas cahaya yang menjadi penerang.

Aku menyipitkan mata supaya bisa melihat lebih jelas, tetapi tetap tidak membantu.

"Hei, Badut, apakah badutmu bisa membuat api untuk penerangan dengan skill-nya?" tanyaku sambil masih berusaha melihat.

Chloe menggeram di belakangku. "Bisa tidak kau memanggilku dengan benar?!"

"Cepat jawab sebelum hitung mundurnya dimulai—"

"Ren, Chlo, tenanglah—"

Pintu tertutup dan kegelapan semakin menjadi. (Mischa dan Chloe berteriak seperti melihat hantu, sedangkan Chrys memekik lebih seperti orang yang kaget.) Hanya ada cahaya remang-remang dari kristal-kristal di dinding yang kini semakin terang, menjadi penerang itu sendiri. Sekarang, semua menjadi jelas. Sepertinya kami jadi tidak memerlukan skill api Clowny seperti yang kuminta.

"Oh, akhirnya. Kukira aku akan buta selama di sini," kelakar Chrys.

"Itu tidak mungkin, Jagoan. Bagaimana kita mau bekerja kalau seperti itu?" balas Chloe sinis.

Ruangan itu berbentuk persegi dengan ukiran-ukiran rumit di dindingnya. Terdapat tiga celah menjorok ke dalam di setiap sisi. Di depan celah-celah itu, terdapat guci tembikar, batang-batang besi, dan beberapa macam serbuk. Aku mendekatinya untuk melihat lebih jelas.

Dan hitungan mundur pun terjadi.

Aku refleks melihat ke arah pintu masuk. Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan. Lekas aku memperhatikan lebih dekat, lalu sebuah antarmuka hologram muncul. Namun, hanya ada satu kata tanpa petunjuk yang lain. "Gerakanlah!" katanya.

"Apa maksudnya?!" protes Chloe melihat petunjuk yang sama.

"Cepat, kita harus menggunakan otak kita!"

Aku tidak menghiraukan mereka.

"Hei, Chrys, kau tahu tidak bahan pembuat baterai?" tanyaku retoris sambil berjongkok melihat ke arah bahan-bahan di hadapanku.

Anak itu mengabsen. "Mangan Klorida, Amonia Klorida, batang Karbon katoda, plat seng, dan larutan elektrolit," sebut Chrys. Aku bergantian melihatnya dengan bahan-bahan yang ada.

"Mischa, aku tahu kau paham apa yang kumaksud."

Si Gadis Pemalu mengangguk. "Baterai Parthia," jawabnya.

"Benar." Aku mengoreksi. Kutunjuk Chloe dan Chrys. "Sekarang bantu memasukkan bahan-bahannya ke dalam tembikar. Chys, kau bantu aku."

"Oke!"

Dan secara tidak langsung aku menyuruh Chloe untuk membantu Mischa.

Ada total tiga baterai yang harus kami buat. Kami berempat merakit baterai itu secara hati-hati. Setiap bahan dimasukkan berdasarkan ingatan yang pernah kubaca tentang baterai kuno itu dan pengetahuan tentang anatomi baterai di kelas robotik dahulu. Aku yakin teman-temanku yang lain juga tahu karena kami mendapat kelas yang sama.

Batang besi, serbuk, larutan elektrolit. Semua ditutup kemudian menggunakan penutup yang disediakan. Waktu tersisa 5 menit lagi ketika kami selesai.

"Sekarang apa?" tanya Chrys. "Memasukkan pada celah di dinding seolah mereka tempat baterai yang ada di remote tv?"

Aku mengangguk. "Benar." Aku yakin karena sebelumnya juga telah memeriksa celah ketika memperhatikan bahan-bahan pembuat baterai.

Aku dan Chrys akhirnya mendapat masing-masing satu, sedangkan Chloe dan Mischa bersama-sama mendapat sisanya. Dengan hati-hati, kami memasukkan baterai-baterai itu secara bersamaan.

Namun, tidak ada yang terjadi.

"Mungkin perlu ada sakelar yang ditekan," tebak Chloe.

Itu konyol, tetapi patut dicoba. Kami meraba dinding, lantai, celah. "Sakelar" itu akhrinya aku temukan tepat di bagian dinding depanku, berupa ukiran lingkaran yang berlapis-lapis. Aku memutarnya 180 derajat sampai bunyi klik terdengar.

Garis-garis cahaya kekuningan lantas menyebar seperti listrik dalam kabel, merayap di sepanjang dinding, langit-langit, lantas berakhir di tengah lantai. Dari titik berakhirnya cahaya, getaran terasa, bersamaan dengan munculnya pilar berundak-undak setinggi kurang lebih 1,5 meter. Di ujung pilar itu, potongan kunci serupa dua sebelumnya melayang-layang. Pintu batu dapat terbuka kembali.

"Saatnya ke area kedua," ajakku sembari mengambil potongan kunci dan memasukannya ke inventory.

~~oOo~~

A/N

Akhirnya dapat update lagi! Entah kenapa adegan pertarungan di bab ini sangat kentang. Mungkin karena pendek dan efek saya sudah lama enggak nulis adegan gelut. Yah, lagi pula bab ini dan yang selanjutnya ditulis dalam rangka MWM, jadi nanti bakal disunting lagi. Anyway, nikmati dulu aja apa yang ada, ya!

...

Diterbitkan: 11/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro