Bab 24: Siap Kalah?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesampainya di luar, aku langsung memeriksa peta. Ada beberapa titik yang tertera; bangunan-bangunan, para peserta, dan penghalang-penghalang yang belum pernah kami temui sebelumnya. Di sisi barat, tergambar jalur memanjang dengan keterangan "Tembok Besar Sinensia" dan terdapat salah satu titik yang merupakan pintu gerbang ke area selanjutnya.

"Ayo, lekas," ajakku setelah memetakan jalur yang sekiranya cukup cepat.

Kami melewati gurun dan padang rumput lagi. Namun, saat berada di tengah padang bunga, kami terpaksa berhenti. Mischa tertinggal. Dia tidak kuat berlari lagi. Gadis itu menumpu pada lutut dengan napas terengah.

"Kau tidak apa-apa, Cha?" tanya Chloe sembari mendekati Mischa.

Gadis yang ditanya hanya mengangguk lemah.

Chloe menatapku serius. "Kita istirahat sebentar," mohonnya.

Aku memperhatikan Mischa lekat, juga pada si Badut Konyol dan Chrys. Kedua orang hiperaktif itu mungkin tampak masih bisa berlari jauh, tetapi dada mereka yang turun-naik dan napas yang satu-satu tidak bisa berbohong.

"Baiklah." Aku memutuskan. Aku pun mengambil air yang ada di strap kaki kanan, lantas meminum seperempatnya.

"Kalian tahu, replika ini sangat cantik. Harus kuakui," puji Chrys. Matanya berkeliling ke hamparan ekosistem yang berbagai macam, seperti kumpulan habitat di kebun binatang yang digabung jadi satu, membentuk sebuah harmoni yang pas. "Ascent tentunya punya selera yang tinggi terhadap keindahan."

"Benar, lihat saja bangunan-bangunan yang mereka buat," sahut Chloe.

Stamina mereka bertiga sepertinya sudah cukup, tetapi aku tidak ingin mengambil risiko. "Kita jalan, jangan berdiam diri saja, atau kita akan tertinggal," pintaku sambil melangkah.

"Baiklah, Ketua." Chloe menjawab dengan nada yang menjengkelkan, membuat mataku berkedut. Mischa di sebelahnya seperti orang yang bersalah.

"Kita akan lanjut berlari setelah stamina kita terkumpul lebih banyak," lanjutku, lebih seperti kode pada Mischa agar gadis itu setidaknya tenang, bahwa semua ini bukan sepenuhnya salahnya. Aku mungkin masih bisa bertahan, tetapi tidak dengan Chloe dan Chrys.

Di tengah perjalanan, Chrys menyeletuk, "Kau pernah berpikir tidak bagaimana kalau kita gagal?"

Aku seketika berhenti berjalan. Bagaimana kalau kami gagal? Kalau itu sampai terjadi, semua pihak akan kecewa, terutama Ayah. Aku tidak tahu apa yang akan orang tua itu lakukan kalau kami—aku—sampai gagal. Kalau sampai gagal di fase kedua ini, moral teman-temanku pun akan menurun, mereka bisa saja jadi tidak bersemangat, menjadi efek domino. Lalu, hanya kekalahan yang akan menunggu.

Aku menggeleng. Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Aku menatap Chrys lekat. "Itu tidak akan terjadi," tegasku.

Chrys mengangkat kedua tangan sebahu. "Oke ... santai. Aku hanya bertanya. Tidak perlu seperti orang yang marah begitu."

Aku terkesiap. Apa? Semenyeramkan itukah aku? Lalu baru kusadari kalau tanganku mengepal, dan gigiku mengetat.

Aku mengembuskan napas, lantas berusaha tersenyum, menenangkan. "Kita akan menang," yakinku. "Dan kalau sampai kalah pun, masih ada dua fase lagi sampai pemenang akhir ditentukan."

Chrys mengangkat kedua sudut bibirnya. "Tentu saja. Jangan khawatir, Ren. Aku percaya pada kepemimpinanmu." Anak itu menoleh pada Chloe dan Mischa. "Ya, kan, Gadis-Gadis?"

"Harus kuakui kalau cara Kesatria Sombong itu memimpin tidak ada masalah besar sejauh ini." Chloe berpaling sambil bersungut yang untungnya tidak terdengar olehku atau aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai tertangkap oleh kupingku. "Pastikan saja kau memimpin dengan benar sampai akhir."

Mischa hanya mengangguk, entah mengiakan pernyataan siapa.

Mengabaikan respons ambigunya aku bertanya khawatir. "Bagaimana keadaanmu?"

"Aku sudah tidak apa-apa."

"Kau yakin?" ulangku memastikan.

"Aku tidak apa-apa, sungguh."

"Jangan khawatir, Cha. Bilang saja sejujurnya. Jangan terintimidasi dengan orang sombong itu." Chloe memberiku tatapan penuh penghakiman; mata menyipit, mulut monyong, hidung kembang-kempis.

Mataku berkedut, tersinggung. Namun, sekarang bukan saat yang tepat untuk memulai keribuatn.

"Aku benar-benar tidak apa-apa, Chloe," jawab Mischa lembut. "Terima kasih karena sudah khawatir." Gadis itu menunduk. "Lagi pula, aku tidak ingin jadi beban dan membuat kita kalah."

"Hei, jangan berkata seperti itu. Kalau kita kalah, itu karena tim, bukan kesalahan satu orang. Lagi pula, Kesatria Sombong itu sudah berjanji, kan?" Chloe menepuk-nepuk bahu Mischa.

Rasanya aku ingin meledak, tetapi Chrys keburu memegang pundakku dan tersenyum menenangkan. "Tenang ...," bisiknya.

"Oke," aku memutuskan. "Kita lanjut lari."

Meskipun aku memerintahkan untuk bergerak cepat, aku tetap memperhatikan anggota timku yang ada di belakang. Sesekali kutengok Mischa atau Chloe, takut mereka kelelahan dan menyebabkan hal yang tidak diinginkan.

"Bilang kalau kau butuh sesuatu, Cha," kataku masih berlari, memasuki ekosistem bebatuan. "Jangan paksakan dirimu kalau lelah."

"Itu benar, Cha," tambah Chloe. Dia melompati satu batu

"Tenang, Cha, kalau kau kelelahan, aku siap menggendongmu," timpal Chrys sambil tertawa. "Aku tidak mau kalah dengan Ren yang waktu itu menggendongmu saat terdesak. Aku kan, juga kuat." Anak pirang itu mengelus-elus bisep kirinya.

"Kau tidak mau menggendongku, Chrys?" tanya Chloe dengan nada memelas.

"Tidak perlu!" Chrys berseru nyaring. "Kau itu gadis tangguh dan tidak perlu orang sepertiku untuk menjaga. Kalau tetap butuh, Ren-lah orangnya!"

Pernyataan Chrys membuatku refleks melihat ke belakang, membuatku hampir jatuh karena terantuk batu.

"Pfft—" Chloe menahan tawa.

"Hati-hati, Ren."

Mengabaikan perkataan Chrys yang seolah menjodohkanku dengan badut paling konyol di seluruh dunia, aku terus berlari maju sampai tiba di depan Tembok Raksasa Sinensia. Bangunan itu berupa tembok raksasa—seperti namanya—yang menjulang belasan meter. Terbuat dari batu kelabu dengan pinggiran atas seperti gerigi dan terdapat bagian lebih menonjol seperti menara pengawas setiap beberapa meter.

Di depan gerbangnya, aku mengusap udara untuk membuka jendela inventory, lantas kukeluarkan tiga potongan kunci. Benda itu melayang-layang di tanganku, siap untuk membuka gerbang. Namun, lubang kunci yang ada tidak sesuai dengan potongan-potongan itu.

"Apa yang kautunggu?" tanya Chloe. "Cepat masukkan!"

Aku menyipitkan mata pada si Gadis Badut. Kulihat bergantian antara potongan-potongan kunci dan lubang yang tidak sesuai. "Sepertinya kita harus merangkai benda ini jadi kunci yang sesuai."

"Apa?! Teka-teki lainnya?!" Chrys memekik histeris. Anak itu menjambak rambut pirangnya seperti orang frustrasi.

"Ap—di saat seperti ini? Ketika kita selangkah lagi untuk transisi arena?" Chloe ikut misuh-misuh.

Aku memutar bola mata. "Kalau kalian punya energi untuk mengeluh, lebih baik selesaikan teka-teki ini," tukasku sambil memperlihatkan potongan-potongan kunci yang melayang-layang.

Ketiga temanku hanya menatap benda kecil itu. Chrys yang berinisiatif memulai, tetapi si Anak Pirang hanya menyentuh-nyentuhnya seolah sedang memastikan potongan persegi dari kayu tersebut tidak akan meledak. Chloe hanya melihatnya bingung, dan Mischa menatapnya dengan mata berbinar.

Aku gemas. "Kalian ini tahu apa yang harus dilakukan tidak?"

Chrys hanya tertawa bodoh.

"Kau sendiri kalau mengerti kenapa tidak selesaikan sendiri?" kata Chloe sinis. Dia menatapku intens dengan alis menukik sebelum memalingkan wajah dan melipat tangannya di depan dada.

Aku hanya mengetatkan rahang karena aku pun tidak yakin apa yang harus dilakukan. Ini adalah pertama kalinya aku melihat benda seperti ini. Tidak ada keterangan. Tidak ada petunjuk.

Ketika aku akan menganalisis dan mengotak-atik potongan-potongan kunci itu, samar-samar tangan Mischa seperti ingin meraih benda di tanganku. Ketika tatapan kami bertemu, gadis itu layaknya orang yang ketakutan dan seketika memalingkan wajahnya.

"Aku tahu kau tahu sesuatu," kataku pada Mischa.

Gadis yang kumaksud membuka mulut malu-malu.

"Benda itu mirip Kongming Lock," jawabnya lirih. "Sebuah mainan teka-teki dari negeri Sinensia. Aku sering memainkannya waktu kecil."

Tanpa basa-basi, aku menyerahkan potongan-potongan kunci tersebut pada Mischa. Gadis itu menerimanya enggan. Namun, tangannya langsung bergerak lincah menyusun benda itu menjadi satu-kesatuan. Kurang dari dua menit.

"Selesai." Mischa menunjukkan hasil karyanya berupa balok kayu kecokelatan yang menyatu membentuk heksahedron—versi trigonal bipiramida—dengan beberapa bagian persegi yang menonjol.

"Keren!" Chrys dan Chloe berkata bersama.

"Kau luar biasa, Cha!" puji si Anak Pirang.

"Sangat hebat!" tambah si Badut Konyol.

Aku sendiri tersenyum puas. "Kerja bagus." Kuterima kembali kunci yang telah disusun Mischa, lantas memasukannya ke lubang kunci yang ada di gerbang pintu Tembok Raksasa Sinensia.

Suara klik nyaring terdengar ketika aku memutar kunci itu sesuai petunjuk yang baru kusadari ada karena bentuknya seperti gambar setengah lingkaran yang tertutup lumut. Bersama dengan derak gerbang yang membuka ke bawah, getaran kecil menggoyangkan tanah di bawah kami.

Cahaya matahari seketika menyapa. Area kedua.

Angin berembus menyapa ketika kami melewati gerbang. Pemandangan ekosistem masih sama seperti sebelumnya; sabana, gurun, padang rumput, tundra. Di kejauhan, bangunan-bangunan ikonik lain seperti menara tinggi ataupun gedung kuno bertingkat menyebar.

Aku menggiring tim ke area hutan di mana piramida berundak-undak berada seperti kata peta. Dari sabana yang kami injak, bertransisi ke area hutan dengan rumput-rumput yang lebih tinggi dan besar. Perdu-perdu, pepohonan menjulang dengan kanopi lebar khas hutan hujan, dan tanaman-tanaman berdaun lebar menyapa kami.

Ekosistem ini lebih menyusahkan dari yang lain. Tanaman-tanaman yang ada menghambat kami bergerak. Sesekali aku harus menyingkirkan dedaunan yang menghalangi atau melindungi kulit dari gesekan batang-batang pohon. Arthur sesekali membantu dengan pedangnya. Hal yang aku pertanyakan adalah kenapa semua simulasi ini dibuat sangat nyata, seperti kasus bos naga di fase pertama yang mengeluarkan darah saat ditusuk. Apa Ascent memang mau pamer teknologi? Kalau iya, mereka berhasil.

"Aaah! Semua ranting-ranting ini menusukku!" Chloe mengeluh di belakangku. Dia menggosok-gosok lengannya seperti orang yang terkena gigitan serangga. "Kenapa tempat ini dibuat menyusahkan, sih?!"

Aku hanya bisa menghela napas dibuatnya.

"Ah!" Mischa tersandung. Chrys membantunya.

"Kau tidak apa-apa, Cha?" tanya si Anak Pirang. Mischa mengangguk. "Itu untuk menambah kesan menantang, Chlo!" Chrys menjawab pertanyaan Chloe. Meskipun mengakibatkan seseorang jadi terluka."

Kusibak daun lebar terakhir, dan sebuah bangunan pun berdiri menjulang di hadapan kami. Piramida batu kelabu berundak-undak dengan pintu persegi tertutup di bagian bawah, dan terdapat bangunan persegi lainnya di bagian atas.

"Whoa!" Dua orang di sebelahku berseru bersama.

"Piramida bangsa Maya, peradaban yang berada di jantung Hutan Farashtre," gumamku.

"Kita harus ke mana sekarang?" tanya Chloe.

Namun, aku mendekati bagian bawah piramida alih-alih menjawab.

"Apa yang kau lakukan?"

"Kau menemukan sesuatu, Ren?"

Aku memperhatikan pintu batu itu, mengetuk-ngetuknya, lalu meraba permukaannya yang kasar berharap menemukan sesuatu.

"Kita harus ke bagian atas," simpulku. "Pintunya terkunci."

Tangga yang kami naiki terhitung curam. Mungkin memiliki kemiringan 45 derajat. Di puncak, aku langsung masuk ke bangunan persegi terbuka tanpa pintu di setiap sisi.

"Itu patung untuk apa? Lucu, ya? Bentuknya mirip orang sit-up," komentar Chrys.

Di depanku, hanya ada meja batu dengan piringan batu juga bergambar rumit; gambar binatang, tanaman, pahatan-pahatan abstrak. Semua disusun melingkar mengelilingi ukiran matahari yang bulat dengan wajah dan lidah yang menjulur.

"Untuk pengorbanan?!"

Dasar mereka. "Hei, jangan membuang-buang waktu!" peringatku. "Cepat kemari!"

Chrys seketika berlari ke samping kiriku, disusul Chloe dan Mischa yang mengambil tempat di sisi lain.

"Oke, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Mata biru Chrys menatap gambar-gambar di depannya.

"Kita harus mencari tanggal yang tepat," jawabku setelah membaca petunjuk dan ukiran di meja batu. "Kalian bisa melihat petunjuknya sendiri."

"Kita hanya punya tiga kali kesempatan, kalau gagal seekor monster berkepala tujuh akan muncul," tambah Chloe yang juga membaca petunjuk dari antarmuka hologram yang melayang.

"Apa tanggal yang kemungkinan diminta?" tanyaku sambil masih memperhatikan ukiran-ukiran batu.

"Mungkin tanggal kiamat seperti yang pernah digembar-gemborkan dulu?" celetuk Chrys.

"Itu konyol," sanggahku.

"Ya ... siapa yang tahu, kan?"

"Apa salahnya mencoba?" Chloe mendukung pendapat Chrys. "Kalau salah, masih ada dua kesempatan lagi, kan?"

"Bagaimana pendapatmu, Cha?" Aku beralih pada gadis yang sedari tadi diam.

"Yang kutahu, salah satu kegunaan kalender Maya adalah untuk menentukan waktu panen. Jadi, kemungkinan tanggal panen pertama yang diinginkan?"

"Waktu panen apa? Jagung, cokelat, kentang?" Pertanyaan Chrys sama denganku.

Aku berbalik ke belakang untuk menengok patung yang Chrys lihat sebelumnya. Patung yang berpose sit-up. "Tanaman apa yang diasosiasikan dengan pengorbanan?" tanyaku pada Mischa.

"Jagung," jawab gadis itu. "Dewa Jagung yang dipenggal—"

"Oke, tanggal berapa?" sela Chrys.

Kuputar bola mata. Setelah kusebutkan tanggalnya—yang semoga saja benar—aku kemudian meminta mereka semua membantu memutar piringan batu berlapis-lapis ini yang bekerja seperti roda-roda gigi.

"Tapi, bagaimana kalau salah?" Chloe ragu. "Memang itu tanggal yang diinginkan?"

"Kita masih punya dua kesempatan lagi." Aku membalikkan kata-kata badut konyol itu. Gadis itu hanya mendengkus.

Kami pun memutarnya melawan arah jarum jam karena saat dicoba searah malah tidak bergerak. Perlahan, lapisan demi lapisan berputar seiring lapisan terluar yang bergerak. Satu per satu gambar yang menentukan setiap hari, bulan, dan tahun diletakkan segaris dengan juluran lidah wajah matahari yang menjadi penanda tanggal yang dikehendaki. Namun, tidak ada yang terjadi. Tidak ada monster yang keluar kalau memang itu salah ataupun potongan kunci yang keluar.

"Eh, kenapa? Apa kita kurang sesuatu?" Pertanyaan Chrys mewakili kebingungan kami.

Aku kembali menelaah petunjuk dan tersadar kalau ada langkah yang terlewat. Seharusnya aku menekan sebuah tombol, tetapi petunjuk tidak jelas mengatakannya yang mana. Jadi, aku meraba setiap ukiran untuk merasakan keganjilan di setiap sentuhan, dan mendapati ukiran matahari di tengah terasa agak bergerak saat disentuh. Aku menekan tombol itu.

Mulut di wajah matahari terbuka, lantas mengeluarkan potongan kunci melayang yang serupa sebelumnya.

"Wuhuuu! Untung saja bukan tanggal kiamat yang dipilih atau kita akan benar-benar tamat!" Chrys berseru girang.

"Itu konyol kalau kau masih percaya tanggal tersebut adalah ramalan kiamat, Chrys." Chloe menyahut.

"Chlo—"

Lantai di bawah kami bergetar, lalu merekah. Sebuah lubang lantas menelan kami dalam kegelapan. Teriakan kaget dan takut tidak dapat ditahan. Para avatar menambah kesan panik. Aku memeluk Arthur—yang beberapa bagian baju zirahnya menusuk kulitku. Krishna mendekap wajah Chrys. Clowny memegang kepala Chloe membuatnya seperti kain yang berkibar. Lakshmi dalam rengkuhan Mischa. Kami seolah sedang memainkan perosotan berupa lorong panjang dengan lampu-lampu kristal merah sebagai satu-satunya penerangan yang menemani sepanjang seluncuran. Hal itu berlangsung cepat sampai sebuah cahaya di ujung lorong terlihat.

Aku mendarat mulus dengan berguling terlebih dahulu. Namun, ketika aku akan berdiri, sebuah benda keras, menyebalkan, dan tukang mengomel menghantamku. Makhluk itu meringis sebelum aku menyuruhnya menyingkir. Sementara itu, Chrys mendarat dengan wajah, lalu Mischa menindih punggung si Anak Pirang sampai si empunya berteriak keras. Para avatar terlempar beberapa meter.

Kami ternyata keluar dari pintu terkunci yang ada di dasar sebelumnya.

Aku meluruskan punggung, lantas menepuk-nepuk bagian tubuh yang sekiranya kotor. Setelah dirasa beres, aku menyuruh teman-temanku untuk kembali bergerak.

"Ayo, siapa yang tahu Prima Sophia dan Magna Prudentia sudah sampai mana," ingatku. Aku menaruh Arthur di bahu.

Kami melewati ekosistem sabana sebagai daerah transisi. Melewati pohon-pohon akasia dan rumput-rumput gurun yang menyebar di beberapa sisi. Sesekali rumput bola melintas, membuat Chrys berkomentar bahwa hal itu mengingatkannya pada film koboi. Sungguh tidak penting.

Daerah gurun menjadi tujuan kami. Namun, ternyata bukan kami saja yang mengincar bangunan itu. Secara kebetulan tim lain sedang mendekat ke arah bangunan yang mirip menara tinggi berwarna putih.

"Aku akan mencegat mereka, jangan sampai ketinggalan!"

Aku menambah kecepatan. Saat aku lebih dekat, baru lebih jelas bahwa tim itu adalah Prima Sophia.

Kami pun akhirnya berhadapan.

"Wah, wah, aku tidak menyangka kalau kita akan bertemu di saat seperti ini," ujar Alva. Loki bertengger di pundaknya.

Bersamaan dengan itu, Chrys, Chloe, dan Mischa tiba.

"Tidak perlu membuang waktu. Langsung saja kita duel untuk memperebutkan bangunannya," sahutku. "Tapi, kita duel satu lawan satu. Kau dan aku. Kita selesaikan duel yang ada di Puspa Iptek yang tertunda waktu itu."

Akan tetapi, Chloe tidak setuju. "Itu adalah strategi yang egois. Bukan saatnya untuk mengedepankan ego," katanya.

Aku menyipitkan mata. "Ini bisa lebih cepat daripada harus melawan mereka sekaligus," yakinku. "Kalian harus percaya padaku." Aku menatap mereka satu per satu. "Kalau gagal, aku yang akan menanggung akibatnya."

"Ren ...," panggil Chrys lirih. Aku menatapnya yakin. Dia mengangguk. "Baiklah, aku percaya padamu."

Mischa tidak perlu ditanya. Dia akan menyetujui semua yang aku katakan. Chloe di sisi lain, perlu mengomel terlebih dahulu sebelum setuju.

"Ah, baiklah! Kalau kalah semua ini salahmu!" katanya.

"Ck, cepatlah! Kau yang bilang jangan mengulur waktu, tapi kau sendiri yang tidak kunjung memulai. Aku dan timku sudah setuju untuk duel satu lawan satu!" Alva mengomel.

"Oke! Tidak perlu kita tunda lagi."

Semua teman-temanku dan anggota tim Alva mundur ke jarak yang aman. Aku lantas mengirimkan undangan untuk duel satu lawan satu. Alva menerimanya. Arthur dan Loki di posisi, di hadapan majikan mereka masing-masing.

Semua teman-teman kami menghitung mundur. 3 ... 2 ... 1 ....

"Mulai!"

~~oOo~~

A/N

Akhirnya dapat update lagi, yeay! Semoga saja setelah ini akan jadi lebih sering. Saya gak sabar untuk memperlihatkan scene uwu-uwu di bab-bab mendatang. UwU.

...

Diterbitkan: 18/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro