Bab 25: Kunci Kemenangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maju, Arthur!"

"Hadapi dia, Loki!"

Avatarku memelesat dengan pedangnya. Loki yang jadi sasaran menghindar ke atas. Arthur kembali menebas, tetapi lecutan angin avatar Alva memaksanya bertahan dengan tameng. Saat Loki kembali menjejak, Arthur balik menyeruduk dengan perisai.

Aku membiarkan mereka bermain sebentar sementara aku menyiapkan skill. Excalibur untuk pemanasan.

"Arthur, mundur!" perintahku saat makhluk digital itu sedang berusaha menembus pertahanan tongkat menyilang Loki.

"Ha! Jadi, kau bersiap memberikan avatarmu skill? Akan kuladeni!"

"Jangan kalah, Kesatria! Kau sudah janji!" Benar. Aku memang sudah janji, tetapi tidak perlu juga meneriakkannya. Suaranya yang cempreng malah bisa saja membuatku hilang fokus.

"Tunjukan kemampuanmu, Va!" Olivia ikut menyemangati.

Alva. Aku penasaran keterampilan apa yang akan anak itu tunjukkan.

"Makan ini!" teriak si Bocah Alafathe.

Loki mengayunkan tongkatnya, menghasilkan lima lingkaran sihir hijau yang berputar di atas kepala.

"Tebas dia, Arthur!"

Bersamaan dengan lecutan peluru-peluru angin yang keluar dalam lingkaran sihir, Arthur mengelak dan sesekali mengoyak peluru angin yang mendekat. Lecutan sihir Loki yang memeleset menghantam pasir menyebabkan butiran-butirannya terbang, membuat udara di sekitar menjadi "keruh".

Aku refleks menyipitkan mata meskipun tahu pasir digital ini tidak akan merusak penglihatanku. Hal itu menyebabkan koordinasiku dengan Arthur berkurang. Namun, aku masih bisa melihat Arthur yang berdiri menunggu lawannya, lantas terempas karena serangan Loki.

"Arthur!"

Luka digital menganga di dada avatarku. Sial, serangan pertama.

"Ini baru pemanasan!" teriak Alva.

Arthur tepat bangkit menghindar saat kusuruh tatkala Loki kembali menyerang dengan lecutan angin. Kuberikan kembali Excalibur karena telah kedaluwarsa. Dengan tameng yang melindungi dari angin dan pasir yang beterbangan, Arthur menerjang. Avatarku bergerak lincah mengejar avatar Alva yang melompat-lompat menghindar. Saat makhluk tengil digital itu meloncat ke atas, Arthur melempar perisainya sesuai perintahku.

"Loki bertahan!" titah Alva, tetapi tongkat menyilangnya tidak cukup kuat menahan hantaman besi yang membuat bunyi nyaring.

Loki jatuh. Arthur langsung menyambarnya dengan Excalibur yang dipegang oleh dua tangan, menambah poin kerusakan yang diterima lawannya. Koyak. Tebas. Sayat. Avatar Alva terlempar jauh dengan luka digital di sana-sini. Hit point-nya sisa setengah.

"Cepat bangun, Loki!" perintah Alva. Makhluk digital tengil itu berguling ke belakang, lantas bangkit. Tangannya yang memegang tongkat terangkat. Lingkaran sihir lain muncul dari atas kepalanya.

"Tak akan kubiarkan!"

Arthur mengambil perisainya yang terjatuh, lantas diseruduk seekor serigala besar yang keluar dari lingkaran sihir Loki. Avatarku terpelanting, berguling-guling. Hit point-nya ikut berkurang. Ck, sial.

Pendukung Alva bersorak, sementara orang-orang di belakangku terdengar kecewa.

"Kau pernah merasakan gigitan Fenrir?" tanya Alva retoris. "Kalau belum, sekarang saatnya! Koyak dia, Fenrir!"

Jadi, Loki adalah tipe Mage-Summoner? Informasi yang bermanfaat.

"Arthur, bertahan!"

Trang!

Tameng Arthur dan taring Fenrir beradu. Mereka tampak tidak seimbang. Avatarku terlihat seukuran kepala si serigala dibandingkan dengan hewan yang dihadapinya. Loki yang ada di kepala binatang itu juga bisa saja menyerang Arthur. Dua lawan satu, sedikit curang agaknya.

Tidak ada cara lain.

"Arthur menghindar!"

Excalibur hancur, avatarku mundur. Arthur melemparkan tamengnya kembali tepat ke arah Loki. Namun, Fenrir dan Loki dapat menghindar. Serigala besar itu menebaskan cakarnya ke arah avatarku sampai terjungkal. Hit point avatarku berkurang drastis.

Karena Fenrir merupakan skill, pasti ada waktunya sampai habis. Aku harus mengulur waktu sampai itu terjadi sembari kusiapkan skill pamungkas untuk pertarungan ini.

"Arthur, terus mengelak!"

"Apa pun yang kaurencanakan tidak akan berhasil!"

Fenrir terus mengejar avatarku, Arthur berkelit gesit. Kuku makhluk itu terus berusaha mengoyaknya, tetapi tidak pernah berhasil. Dari sini, aku berhasil mengamati sesuatu bahwa Loki tidak melakukan apa-apa. Sepertinya avatar Alva itu tidak bisa menyerang sebagai ganti makhluk panggilan. Cukup adil.

Oke, saatnya babak akhir.

Arthur berlari ke arah perisainya yang tergeletak cukup jauh dari posisi kami berada. Saat dia akan dimakan si Serigala Besar, tamengnya kembali melindungi. Suara keriut besi yang koyak menyayat telinga.

"Arthur, sekarang! Mundur!" perintahku. Fenrir sendiri menggeleng-geleng berusaha mengeluarkan potongan besi besar dari mulutnya.

Avatarku meloncat ke belakang, lantas mengangkat tangannya ke langit. Dari ketiadaan, satu per satu benda-benda tajam bermunculan dari udara. Dari ujungnya, percik-percik petir terlihat. Mereka memelesat cepat ke arah Fenrir dan Loki.

Aku perlu skill yang cukup kuat untuk mengalahkan mereka tanpa menyakiti otakku terlalu jauh. Aku rasa, skill ini sudah cukup. Hujan Pedang Level 2.

"Loki, menghindar!"

Namun, saat satu tombak berhasil mengenai Fenrir, serigala besar itu menghilang jadi butir cahaya. Entah karena terkena serangan atau karena waktunya habis seperti niat awalku. Yang pasti, Loki tengah dihujani puluhan benda tajam yang mengguncang tanah dan menerbangkan pasir ke udara yang membutakan mata.

Satu menit penuh, lalu semua hening. Sayangnya, Loki masih bisa bertahan. Makhluk itu tertatih menumpu tongkat. Sulur-sulur tanaman tersisa di kakinya. Skill pertahanankah? Meski begitu, hit point-nya sisa sedikit.

"Jangan kira ini sudah selesai!" pekik Alva.

"Ini memang sudah selesai!" tegasku.

Kuberikan lagi Excalibur untuk serangan pamungkas. Dengan cepat, Arthur menerjang. Loki masih bisa mengelak. Namun, Arthur sigap memutar kakinya, lantas menebas dengan sekuat tenaga ke arah kepala Loki.

Para pendukung kedua kubu berteriak saat Loki benar-benar terpecah menjadi cahaya.

"Kau berhasil, Ren!"

"Hebat, Kesatria!"

"Whoooo!"

Aku tersenyum penuh kemenangan. "Kurasa, kita sudah tahu siapa pemenangnya di sini," kataku.

Alva menggeram sambil mengepalkan tangan. "Lain kali, aku tidak akan kalah!" pekiknya sambil menunjukku.

"Akan kunantikan!" balasku, lantas meninggalkan mereka menuju bangunan yang kami rebutkan.

Aku dan Chrys membuka pintu ganda. Seketika ruangan bundar dengan jajaran rak-rak buku di dindingnya menyambut. Di depan kami, terdapat sebuah tangga yang menjulang ke atas. Namun, tangga itu tidak berbentuk lurus, melainkan berbentuk elips; melengkung ke bawah dahulu sebelum ke atas. Ada titik cahaya di tengahnya.

Sebuah jendela notifikasi muncul.

[Ulugh Begh adalah seorang penguasa di Samarkand. Dikenal pula sebagai seorang ilmuwan dan pemilik dari Observatorium Ulugh Begh. Salah satu bukunya yang terkenal adalah Zij-I-Djadid-I-Sultani. Temukan buku itu dan ungkap pengetahuan dunia kuno!]

Lalu hitungan mundur terjadi.

"Yang benar saja?! Kita harus mencari satu buku dari sekumpulan buku-buku di sini?!" Chrys berteriak histeris.

"Jangan panik dulu. Pasti ada petunjuk di suatu tempat." Aku mencoba menenangkan.

"Oke, apa rencana efektifmu?" tanya Chloe. Matanya liar melihat sekeliling.

"Kau dan Mischa cari petunjuk di lantai bawah." Aku menunjuk gadis itu. "Chrys, kau lantai atas bersamaku."

"Kau sebut itu rencana efektif?!"

"Memang kau punya ide lain?!" Aku balik meneriaki gadis badut itu. "Tidak? Sekarang berpencar!"

Chloe mencak-mencak, tetapi dia tetap bergerak menelusuri setiap rak bersama Clowny di punggungnya. Mischa dan Lakshmi di sisi yang berlawanan. Sementara itu, aku dan Chrys naik tangga yang yang ada di sisi pintu masuk.

"Kalau saja ini perpustakaan, seharusnya mengikuti aturan klasifikasi Dewey. Akan tetapi, aku yakin pasti kalau Dewey dan Ulug Beg tidak sezaman."

Aku melihat sekilas-sekilas susunan buku yang ada. Kiri-kanan-atas-bawah. Arthur berada di sampingku mengikuti apa yang kulakukan. Chloe benar kalau strategi ini sangat tidak efektif, tetapi aku juga tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi selain menemukan petunjuk secara kebetulan. Jujur, panik juga menyerangku sesaat setelah melihat tumpukan buku yang banyak seperti Chrys.

Aku melihat sekeliling sekali lagi, berharap ada petunjuk. Namun, yang kutemukan malah Chloe yang berlari ke bagian bawah ceruk lengkung. Clowny yang ada di kepalanya membuat lonceng di topi badut itu bergerak-gerak nyaring.

"Oi, Badut, apa yang kau lakukan?!" teriakku dari pinggir birai.

"Apa kau tidak sadar, Kesatria?! Ini adalah sextant raksasa!" balas Chloe memekik. Gadis itu kemudian bergantian melihat antara titik cahaya jatuh di bawahnya dengan sumber lubang di mana sumber cahaya itu berasal. Tangan si Badut Konyol sesekali diarahkan pada lubang yang 45 derajat dari titiknya berada sekarang.

Sextant raksasa? Tunggu. Bagian lengkung, titik cahaya yang jatuh. Tapi aku tidak melihat kesamaan itu dalam bentuknya. Bagaimana dia tahu?

Gadis itu kembali naik, lantas pergi ke lantai dua. Chloe memutari jajaran rak dan melewati Chrys dan Krishna yang langsung ikut berlari bersama sambil mengobrol. Mereka terlihat gembira dengan sesuatu.

Aku mencegat mereka dari arah berlawanan. Kami akhirnya bertemu di tengah.

"Minggir!" titah Chloe karena aku menghalangi jalannya.

"Kau mau ke mana?"

"Aku menyadari sesuatu, tetapi tidak bisa dikatakan sebuah petunjuk karena aku harus memastikannya langsung."

"Katakan," pintaku.

"Aku menemukan koordinat kitabnya."

"Di mana?"

"Atas." Chloe menunjuk rak di atasnya. "Aku harus mengambilnya langsung karena aku lebih tahu detailnya." Gadis itu melihat anak pirang di sampingnya. "Chrys bantu aku."

"Oke, aku harus apa?"

"Kau jongkok, aku akan naik ke punggungmu."

Chrys memenuhi permintaan si Badut Konyol. Chloe duduk di pundak anak itu seperti bocah yang ingin menonton konser lebih jelas di antara lautan manusia. Clowny berpindah ke lantai.

Aku mundur untuk memberikan mereka ruang. Mischa menyusul kemudian di sebelahku.

"Jadi, kau memang benar-benar bisa dalam navigasi," kataku basa-basi, setengah memuji.

"Tentu saja! Aku tidak pernah sombong tanpa dasar," timpal gadis itu.

"Boleh juga."

"Kau memang keren, Chlo!"

"Sedikit ke kiri, Chrys!" pinta Chloe. Anak di bawahnya hampir gagal menyeimbangkan diri. "Sedikit lagi ...." Tangan gadis itu hampir merogoh buku—"Dapat!" Dia membaca sampulnya. "Ini dia! Ternyata aku benar."

"Benarkah?"

Chloe terentak ke belakang karena gerakan Chrys yang tiba-tiba. Chrys sendiri benar-benar oleng setelahnya akibat ulah sendiri. Aku refleks menangkap Chloe agar dia tidak jatuh. Kutahan ketiaknya sampai wajahnya menghadap wajahku.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Chloe dengan wajah terbalik.

"Chlo, fanthatmhu mhenindwih wajhahku."

Chloe buru-buru bangkit. Gadis itu melindungi bagian belakangnya dengan buku yang baru diambil. Wajahnya memerah.

Aku membantu Chrys bangkit. "Kau menang banyak hari ini."

"Menang banyak apa?! Aku hampir mati kehabisan napas!" Anak itu terbatuk lalu mengambil udara banyak-banyak.

"Oh, maaf." Chloe menyahut. Dia lantas berdeham.

"Em, anu, waktu kita tinggal sedikit." Mischa mengingatkan yang membuat kami panik lagi seketika.

"Kenapa waktunya masih berjalan?" Chrys berdiri sambil mengusap hidung.

"Mungkin ada petunjuk lanjutan di buku ini," tebak Chloe. Dibukanya buku itu, kemudian waktu pun berhenti.

Lembar-lembar kertas lalu bergerak sendiri seperti tertiup angin sampai akhirnya berhenti di tengah-tengah. Potongan kunci bersemayam di dalam lembar-lembar kertas yang dipotong membentuk lubang persegi.

Potongan kunci kedua akhirnya kami dapatkan. Saatnya berburu tim lain.

Kami tidak membuang waktu lagi. Namun, ketika kami keluar, sebuah gempa terjadi. Bangunan di belakang kami tenggelam seolah ditelan pasir diiringi debu-debu yang membutakan mata. Aku menjaga jarak sembari memeriksa sekeliling. Kusipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas. Tidak hanya bangunan yang kami masuki, tetapi juga bangunan-bangunan lain sejauh mata memandang.

"Apa yang terjadi?" tanya Chrys.

Jendela notifikasi menjawab kebingungan kami. Di sana tertulis bahwa area ketiga yang hanya bisa dimasuki oleh satu tim telah terbuka. Itu artinya, Prima Sophia atau Magna Prudentia telah berhasil.

"Kita ... gagal?" Pertanyaan retoris Chloe memperjelas keadaan.

"Eh?"

Chrys jatuh berlutut. Matanya nanar melihat jendela pop-out. "Ini betulan?"

Aku harap ini hanya kesalahan sistem, tetapi sangat kecil kemungkinannya. Semua menjadi semakin jelas ketika gempa yang lebih kecil terjadi. Di kejauhan, sebuah bangunan tinggi bangkit dari dalam tanah. Bangunan itu berwarna putih seperti piramida terpotong berundak-undak, hanya saja lebih lebar. Di sisi-sisinya terdapat warna-warni kehijauan.

Tiga layar hologram lebar berbeda perspektif kemudian muncul di hadapan kami, memperlihatkan bangunan itu lebih jelas dari arah atas, samping, dan bawah. Putih megah dengan tangga di kedua sisi seperti segitiga berujung tumpul bergerigi. Warna hijau yang menutupinya berasal dari tanaman-tanaman rambat yang menjuntai ke bawah. Bangunan itu lebih mirip istana dengan taman di dalamnya. Taman Gantung Babyl.

Di depan bangunan itu, tiga orang lelaki dan satu gadis berdiri. Magna Prudentia. Mereka berhasil. Sial. Aku tidak bisa menahan kekesalan ini. Dadaku rasanya sesak. Rasanya aku ingin berteriak. Rahangku yang mengetat dan tangan yang mengepal serasa tidak cukup untuk menahannya.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Chrys terduduk pasrah sambil memain-mainkan pasir. Krishna berselonjor di sebelahnya.

Aku menarik napas perlahan, lantas mengembuskannya agar sedikit tenang. "Maaf, aku kurang bisa mengatur waktu," ujarku seraya mengusap wajah. "Kita hanya bisa pasrah sekarang dan menonton Magna Prudentia berjuang mengalahkan bos terakhir."

Chloe ikut duduk di samping Chrys. Dagunya menyentuh lutut. Clowny menyandarkan kepala pada majikannya. "Sudah tidak ada lagi yang bisa kita lakukan," ucapnya sembari mendesah. "Mungkin ini yang dirasakan lawan kita saat kita menghadapi bos di fase pertama."

"Maaf," Mischa bersuara. "Ini semua salahku. Kalau saja aku tidak menghambat kalian ...." Gadis itu berkaca-kaca.

"Tidak, tidak! Ini bukan salah siapa-siapa!" Chrys menghibur.

"Benar! Kita semua bekerja sebagai satu tim!" Chloe ikut menenangkan. Matanya melirik padaku. Dagunya bergerak-gerak menunjuk Mischa; memberi kode.

Aku mendesah. "Benar. Kita hanya sedang sial saja. Kita bisa membalas mereka di fase-fase berikutnya."

Setelah cukup tenang, aku kembali fokus pada layar hologram, menikmati sisa pertandingan ini.

Saka, Seta, Argen, dan Ludwig menaiki tangga dari sisi kanan secara berurutan. Avatar mereka berjalan beriringan di saling majikan masing-masing. Mereka terus menapaki setiap tangga dengan sesekali melihat ke kanan dan kiri sampai tiba di puncak, di mana sebuah air pancur dan pohon-pohon tinggi berkanopi lebar menunggu mereka.

Untungnya, Magna Prudentia tidak membuang waktu hanya untuk menikmati pemandangan. Di depan pintu besar menuju sebuah bangunan berbentuk kubus dengan pilar-pilar yang menyangga, mereka berdiri. Argen dan Ludwig yang membuka pintu ganda itu bersama.

Pintu itu menggiring Saka dan kawan-kawan menuju sebuah lorong yang gelap. Namun, koridor itu seketika terang benderang dengan api dalam obor yang menyala. Ada berbagai macam patung dewa berdiri dan ukiran-ukiran atau gambar binatang yang menemani mereka sampai ke ujung lorong di mana sebuah pintu lainnya menunggu.

Aku tidak bisa mendengar apa pun yang mereka katakan meskipun mereka tampak mengobrol. Mungkin untuk privasi agar semua gosip yang mereka perbincangkan tidak tersebar seperti yang selalu kami lakukan, atau memang kameranya tidak disertai dengan mikrofon yang mana lebih masuk akal alasan pertama.

Aula berbentuk bundar di balik pintu kedua yang dibuka oleh lagi-lagi Argen dan Ludwig menyambut mereka. Api dalam obor yang berdiri seketika menyala berurutan dari tempat keempat orang itu sampai ke ujung ruangan, di mana seekor hewan berkaki empat sedang duduk sambil memejamkan matanya.

Ketika Saka, Seta, Argen, dan Ludwig melangkah masuk sepenuhnya, pintu di belakang mereka tertutup. Mata dari hewan itu terbuka, memperlihatkan warna merah yang menyala terang.

Berkaki empat dengan dua kaki belakang seperti cakar elang, dan dua kaki depan seperti kaki singa. Tubuh makhluk itu bersisik hijau. Ekornya seperti cemeti. Kepalanya berbentuk naga bertanduk ganda. Ketika menjulur, lidahnya bercabang dua seperti ular.

Mushussu sang Penjaga Gerbang Ishtar.

Makhluk hibrida itu berdiri, lantas membuka mulut. Langit-langit seketika meluruhkan serpihan-serpihannya.

Argen dan Ludwig memosisikan diri di tengah, sedangkan Saka dan Seta berpencar di kedua sisi.

Si Makhluk Hibrida menyemburkan api ke segala arah. Herakles—avatar milik Argen—melindungi diri dengan jubah kulit singa, sedangkan Achilles Ludwig di sampingnya dengan tameng besar. Scheherazade Seta berlindung dengan gulungan pasir, sedangkan Sobek milik Saka menghalangi dengan dinding air.

Si Mushussu melompat, kemudian berputar mengibaskan ekornya. Keempat avatar lantas terempas. Namun, Scheherazade langsung bangkit. Pasirnya mencengkeram kaki belakang si Monster. Monster hibrida itu berusaha membebaskan diri, tetapi kaki depannya malah terjebak juga oleh air dari avatar Saka yang bertopeng buaya.

Si monster menjerit-jerit—meski aku tidak yakin makhluk itu benar-benar berteriak atau tidak.

Achilles mengangkat tombak di tangan kanan, lalu menghantamkannya ke lantai. Batang-batang besi bermunculan dari bawah, bergerak mengikuti alur sampai menghantam tubuh Mushussu. Makhluk hibrida itu membuka mulutnya seperti kesakitan. (Entahlah, aku tidak yakin. Semua kebisuan ini membuatku sulit mendeskripsikannya.)

Herakles membantu dengan menancapkan pedang ke lantai, lantas aliran listrik mengalir melalui batang-batang besi Achilles, menyetrum si Mushussu. Makhluk itu menggelepar, tetapi tidak sampai tumbang.

"Makhluk itu tangguh," komentar Chloe setelah sekian lama membisu.

"Namanya juga bos monster," Chrys menanggapi.

Aku mengerling mendengar ocehan mereka.

Pertarungan semakin sengit. Ikatan pasir Scheherazade dan air Sobek lepas. Mushussu berputar mengibaskan ekornya, lalu menebas batang-batang besi Achilles sampai terlempar. Makhluk itu melompat-lompat menciptakan getaran yang membuat tubuh tidak seimbang. Keempat orang dari Magna Prudentia itu sampai harus berpegangan pada lantai.

Dalam keadaan yang seperti itu, Argen dan Ludwig yang tiarap mengutus avatar mereka untuk maju. Dengan susah payah, dua orang itu berdiri terlebih dahulu, lantas melempar Herakles dan Achilles ke arah si Monster Hibrida sambil menghunuskan senjata.

Tombak Achilles menancap tepat di kening si makhluk, disusul pedang Herakles di punggungnya. Mushussu menggerak-gerakkan kepala dan tubuhnya, berusaha menyingkirkan dua kesatria itu.

Berhasil. Achilles dan Herakles terlempar. Namun, serangan balasan dari Magna Prudentia menanti. Scheherazade mengangkat kedua tangan, pasir menggulung di belakangnya. Dengan satu ayunan, pasir menerkam Mushussu, menguburnya.

"Uwoh! Aku merasa jurus itu berbeda dengan yang terakhir aku lihat! Apa itu serangan pamungkas?" terka Chrys.

"Bisa jadi. Tsunaminya lebih mengerikan dari yang pernah kita hadapi."

Semakin lama, gulungan pasir itu semakin memadat. Seolah makhluk apa pun di dalamnya bisa mati remuk karena tekanan. Dan Saka sepertinya ingin memperkeruh hal itu dengan serangan lanjutan dari Sobek. Butir-butir es tajam muncul dari udara, mengincar kepompong pasir yang sudah tidak bergerak itu. Satu perintah dari lelaki berambut tembaga tersebut, dan kristal-kristal es tajam pun memelesat cepat.

Entah itu serangan pamungkasnya atau bukan, yang pasti pasir Scheherazade seketika meluruh dan meninggalkan jejak cahaya keemasan.

Magna Prudentia berhasil. Mereka menang.

"Mereka ... sangat kuat," Chrys syok.

"Benar. Bos monster kalah begitu cepatnya. Ternyata, benar kata Pak Ben. Kita tidak boleh memandang rendah lawan kita. Mereka bisa saja punya jurus rahasia, dan sekarang mereka berhasil membuktikannya. Aku heran kenapa mereka bisa kalah di fase pertama."

"Kenapa kalian malah jadi rendah diri seperti ini?" Aku tidak terima. "Mereka mungkin kuat, tapi kita juga sama kuatnya dengan mereka. Jangan pernah meremehkan diri sendiri!" Aku mengingatkan kedua orang itu. "Mereka bisa menang di fase ini, tapi tidak dengan yang selanjutnya."

Dasar. Kadang aku tidak mengerti dengan jalan pikiran orang yang menganggap diri inferior padahal mereka punya potensi.

"Baiklah, Kesatria, kami mengerti," balas Chloe sambil mengerling.

"Okey ... Ren."

Pertandingan telah usai. Area pertandingan beserta segala ekosistem di dalamnya meluruh jadi cahaya putih. Tanah kami berpijak perlahan turun. Lapangan di Infinite Stadium kembali seperti semula, beserta tribune-tribune penuh penonton yang bersorak.

"Mari kita sambut pemenang fase kedua ini! Magna Prudentia!" Pembawa Acara berseru lantang.

Aku ikut bertepuk tangan seperti yang lain untuk formalitas dan menghargai.

Musik, siulan, dan terompet bersahut-sahutan. Layar hologram melayang di beberapa sudut stadion, memperlihatkan Saka, Seta, Argen, dan Ludwig dari berbagai sisi. Senyum mengembang di wajah mereka disertai lambaian tangan.

"Aku taruhan kalau kita juga terlihat seperti itu di fase pertama" kata Chloe sambil bersedekap.

"Kita akan seperti itu lagi," janjiku.

...

Musik mengalun di aula pertemuan. Aroma makanan menguar di seluruh ruangan. Percakapan menambah keriuhan. Orang-orang hilir-mudik menambah hidup keramaian.

Malam fase kedua ditutup dengan makan malam mewah dan pesta yang meriah.

Namun, meja tempat kami makan sunyi senyap. Hanya ada suara piring dan garpu beradu, serta suara kunyahan yang terdengar. Setidaknya, sampai Chloe memecah keheningan dengan sendawanya.

"Untungnya, makanannya tetap terasa enak," komentar gadis itu, lalu meminum segelas air dalam gelas besar.

"Ya, setidaknya rasanya yang enak bisa memperbaiki mood yang kacau," tanggap Chrys yang ada di sampingku. Dia mengambil cupcake merah muda sebagai pencuci mulut.

Mischa yang ada di depan si Anak Pirang hanya menyatukan kedua tangan di depan dada sambil memejam sesaat setelah makan. Sementara itu, aku hanya diam merenungi kekalahan kami.

Meja Prima Sophia tidak berbeda jauh. Alva bersandar pada punggung sambil bersedekap. Piringnya sudah licin. Olivia menautkan tangan di depan dahi seraya menunduk. Aryza dan Zea makan dengan khidmat. Tidak ada obrolan. Tidak ada penghiburan.

Kontras dengan kami, Magna Prudentia di mejanya sedang tertawa lepas, mungkin menikmati kemenangan fase kedua ini. Saka si Ketua sesekali memukul-mukul udara seperti menirukan orang yang sedang berkelahi.

"Aku akan kembali ke kamar," laporku. Aku berdiri, lantas meninggalkan meja. Tidak menghiraukan mereka yang membicarakanku di belakang.

Kuhindari beberapa orang-orang yang berlalu-lalang. Aku memiringkan tubuh, berputar, sampai akhirnya aku menabrak seseorang.

"Hati-hati, Jagoan," katanya sambil memegang bahuku. "Kau tidak apa-apa, Arennga?"

"Pak Ben." Aku terkesiap. "Aku tidak apa-apa. Hanya agak lelah."

Pak Ben tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Bapak hanya tidak ingin kau terlalu terbebani. Kau terlihat frustrasi. Ingat ini, Arennga. Menang-kalah dalam pertandingan itu sudah biasa. Kita bisa memenangkannya di fase-fase berikutnya. Lagi pula, tidak hanya hasil saat pertandingan saja yang diperhitungkan. Jadi, jangan dibawa pusing, Oke?"

Aku menghela napas lelah. "Baiklah," jawabku.

Pak Ben tersenyum lebih lebar, lalu menepuk bahuku. "Istirahatlah. Perjalanan masih panjang," nasihatnya, lalu melenggang pergi; menghilang dalam kerumunan.

Aku kembali melangkah. Saat bisa keluar dari aula pertemuan, aku baru bisa bernapas lega. Di dalam benar-benar menyesakkan. Secara fisik maupun mental. Kuharap di kamar aku bisa menenangkan diri lebih baik.

Namun, baru saja aku merebahkan diri di kasur, dering ponsel menggangguku. Aku merogoh ke dalam saku, dan mood-ku semakin hancur saat melihat siapa peneleponnya. Kesal, aku seketika mematikannya. Kututup mata dengan lengan untuk menghindari cahaya lampu yang menusuk ke mata.

Telepon genggamku kembali meraung. Aku terpaksa mengangkatnya karena kalau dimatikan berapa kali pun, orang itu akan terus menghubungi, dan mematikan ponsel tidak akan menghentikannya dalam terus mengontakku; lewat mana saja.

Aku duduk, lantas mendekatkan ponsel ke telinga.

"Arennga, di mana sopan-santunmu? Lancang sekali kau mematikan panggilan saat orang tua menghubungi!" Suara bass tua di seberang menusuk telingaku.

"Apa yang Ayah inginkan?" tanyaku dingin. "Langsung pada intinya, aku tahu Ayah tidak suka basa-basi."

"Ayah kecewa padamu," timpalnya datar. Sudah kuduga. "Kau bisa melakukan ini lebih baik. Kalau kau sampai kalah, Yayasan tidak akan tinggal diam. Kau bahkan tidak ingin tahu apa yang mereka bisa lakukan. Tugasmu hanya satu, Arennga. Menang."

Lalu, sambungan terputus secara sepihak.

Aku menggenggam ponsel erat. Ingin sekali aku lemparkan benda di genggamanku ini agar orang tua yang hanya bisa menekan itu tidak bisa lagi menghubungi.

Pak Ben yang menjadi guru pembimbingku yang bertugas agar kami meraih kemenangan saja tidak mengatakan hal itu secara gamblang. Akan tetapi, orang tuaku sendiri ....

Di saat seperti ini saja, dia bicara padaku. Ayah bahkan tidak menelepon saat aku menang di fase pertama. Aku bukannya ingin diberi selamat, tetapi aku hanya ingin tahu apakah dia khawatir setelah tahu aku jatuh dari ketinggian. Nyatanya, tidak ada hal yang seperti itu.

Jika dia hanya ingin menekanku lebih keras, mengoyakku dari dalam, menjadikanku bom waktu, dia berhasil.

~oOo~

A/N

Akhirnya fase dua selesai! Yaaay! Banyak sekali yang terjadi di bab ini. Aku harap kalian tidak overwhelmed. Maafkan bila adegan pertarungan akhirnya tidak keren. Memang seharunya lebih epik, tetapi cukup sulit karena keterbatasan indra yang dipakai. Setelah ini, bagian uwu-uwu dan yang lebih seru akan menanti. Cheeers!

...

Diterbitkan: 23/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro